Share

Awal yang Baru

Keesokan harinya, Azmira sudah bisa mengikuti alur pekerjaan barunya. Hal ini tentu saja berkat bantuan Moko dan Yitno yang sudah mensupport Azmira. Moko dengan penuh semangat mengajari Azmira hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bekerja. Tentunya diselingi dengan candaan pula. 

"Eh," panggil Moko kepada Azmira. 

"Ah, eh, ah, eh, mulu sih kamu Moko. Aku itu punya nama tahu. Masih pagi sudah ngajak ribut aja sih." Azmira langsung memasang muka cemberut

Moko yang merasa gemas dengan wajah cemberut Azmira sedikit menahan tawa. Wajah Azmira saat ini sangat mirip dengan beruang kutub yang galak tapi lucu. 

"Iya, deh Nona Azmira." Moko kembali melotot untuk menggoda Azmira.

Azmira sebenarnya sempat merasa kesal dengan Moko yang terkesan sok dekat. Namun, entah mengapa Azmira justru menjadi nyaman dan langsung bisa akrab dengan Moko. Mungkin karena usia mereka yang sepantaran.

Moko—pria yang bernama lengkap Triadmoko Suseno—saat ini sedang mengerjakan proyek sipil di Yogyakarta. Sebelumnya Moko sedang mengerjakan pekerjaan sipil di Kota Tarakan, namun karena pekerjaan di Yogyakarta lebih mendesak, Bagas akhirnya memutuskan untuk menarik Moko pulang terlebih dahulu. 

Jam dinding menunjukkan pukul 09:30 WIB, pertanda bahwa Azmira harus segera mengirimkan laporan permintaan harga barang kepada distributor yang telah ia kerjakan kemarin. Dengan sangat hati-hati, Azmira mengirimkan laporan tersebut kepada Bagas melalui email. Tidak sampai 3 menit setelah mengirim email, Azmira sudah dipanggil oleh Bagas untuk segera masuk ke ruangannya. 

Dengan hati yang gundah dan perut yang terasa mulas, Azmira segera melangkahkan kaki menuju ruangan Pak Bagas. 

"Aduh, ini perut kenapa enggak bisa dikondisikan sih!" gerutu Azmira dalam hati

Tok tok tok, Azmira mengetuk pintu ruangan Pak Bagas. Bagas menyuruh Azmira untuk segera masuk. 

"Jadi, kamu itu sudah mengerjakan apa aja sih! Masa bikin laporan begini saja enggak becus!" bentak Bagas dengan suara lantangnya hingga terdengar sampai luar ruangan. 

"Maaf, Pak. Saya sudah mengerjakan sesuai instruksi Bapak dan mengikuti pola laporan sebelumnya," jawab Azmira sopan dengan suara lirih karena kaget.

"Halah, kamu itu pasti kerjanya cuma tebar pesona aja kan sama cowok-cowok di depan sana. Kerja itu yang benar jangan cuma bercanda aja. Baru juga kerja sehari sudah buat masalah kaya gini!" Kali ini Bagas sungguh terlihat sangat marah. 

Azmira sejujurnya merasa kesal karena Bagas memarahinya tidak secara objektif melainkan memang hanya karena tidak suka dengan Azmira. Sedari tadi omelan Bagas hanya seputar sindiran karena Azmira dekat dengan Moko, namun Bagas malah tidak mengoreksi laporan yang dikirim Azmira. 

"Ya sudah, sana kembali ke meja kamu. Itu laporan kamu tanggalnya salah. Lebih teliti lagi dan segera perbaiki! Saya tunggu secepatnya." Bagas menyodorkan lipatan kertas kosong yang sedari tadi ia tulis sembari memarahi Azmira. 

"Baik, Pak." Azmira mengambil lipatan kertas itu dan segera keluar ruangan. 

Saat Azmira keluar dari ruangan, Rina langsung mendekati Azmira

"Sudah, Mbak. Enggak usah diambil hati. Pak Bagas itu memang sarapan paginya marah-marah," ucap Rina menenangkan hati Azmira. 

"Memangnya ada gitu sarapan marah-marah, Rin?" balas Azmira dengan sedikit senyum mengembang di bibirnya. 

"Nah, kan kalau senyum gitu Mbak Azmira jadi cantik lagi," goda Rina. 

Rina sungguh sangat paham bagaimana rasanya menjalani hari pertama sebagai karyawan baru bak di neraka. Hari pertamanya bekerja saja bahkan dia sudah disuruh membuatkan kopi untuk tamu sambil mempersiapkan ruangan rapat tepat 3 (tiga) menit sebelum tamunya Pak Bagas tiba. Ditambah harus mendengarkan sindiran Bagas sampai 3 (tiga) kali dari pagi sampai sore, hanya karena Rina lupa mematikan AC di ruang rapat setelah selesai digunakan. Sudah seperti sedang minum obat saja. Benar-benar pengalaman yang menyebalkan jika diingat-ingat kembali. 

"Wes, pokok'e biarkan saja si Bagas mengomel Mbak. Sudah hobi dia begitu." Rina kembali menyemangati Azmira agar tidak sedih. 

"Iya, terima kasih ya Rina." Azmira langsung kembali ke tempat duduknya. 

Tak bisa dipungkiri, posisi Azmira saat ini memang bisa dibilang posisi panas alias banyak yang tidak betah. Penyebab utamanya adalah mereka tidak tahan dengan kebiasaan Bagas yang suka sekali marah-marah setiap pagi. Mereka tidak membuat kesalahan saja bisa membuat Bagas marah, apalagi jika membuat kesalahan. Mungkin, meja itu bisa saja dibalik oleh Bagas. 

Kebiasaan buruk Bagas ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Pak Yuspianto sejak lama. Tabiat Bagas memang sedikit buruk, namun dibalik tabiat buruk itu sebenarnya Bagas adalah orang yang paling kompeten dan memiliki loyalitas sangat tinggi pada perusahaan. Tidak ada satupun karyawan yang se-loyal Bagas di perusahaan manapun. Hal inilah yang menjadi satu-satunya nilai positif Bagas. Entah mungkin karena Bagas hingga usia 36 (tiga puluh enam) tahunnya kini masih berstatus single, sehingga dia sangat loyal kepada perusahaan. 

Azmira kini kembali duduk ke kursi kerjanya. Moko yang melihat Azmira menghela nafas dengan berat, buru-buru menggodanya agar tidak sedih. 

"Jadi, sarapanmu tadi rasa apa? Coklat atau keju?"

Azmira yang tadinya kesal karena dimarahi Bagas, mendadak jadi mesem-mesem mendengar candaan dari Moko. 

"Rasa durian." Azmira mengangkat kedua tangannya memperagakan singa mengamuk. 

Keduanya pun tertawa lepas bersama. 

Yitno tiba-tiba datang dan langsung duduk di kursi kerjanya sambil merengut. 

"Om—sapaan akrab khusus untuk Yitno di circle mereka—, habis dapat jackpot kah? Merengut juga ini pagi-pagi," goda Moko. 

"Gimana enggak merengut. Si Bagas itu kadang suka enggak jelas juga. Pagi-pagi aku disuruh ke kantor End User—sebutan untuk customer pemakai jasa perusahaan tempat mereka bekerja—buat ambil Surat Perintah Kerja, tapi gak disiapin Surat Jalannya. Kan, jadi kerja dua kali begini." Yitno menggerutu dan melotot ke arah ruangan Bagas. 

Azmira yang tadi sedang fokus di depan laptop seketika berhenti mengetik mendengar Yitno datang. Dan lagi-lagi jantungnya masih deg-degan jika berada dekat Yitno. 

"Mas Yitno jangan marah-marah terus, nanti cepat tua loh." Azmira memberanikan diri mengajak Yitno bicara duluan

Yitno sungguh bahagia sekali karena Azmira mengajak ia bicara. Hal yang sudah Yitno tunggu akhirnya tiba juga. 

"Azmira sih tadi pagi enggak ikut aku ke...."

"Dia memang sudah tua," timpal Moko. 

"Moko ini memang kok ya, orang lagi ngomong main dipotong aja kaya kirim sms kepanjangan," balas Yitno

Suasana percakapan menjadi riuh karena candaan yang dilemparkan oleh Moko. Sebenarnya selain memang tabiat Moko yang suka bercanda, Moko juga sedikit merasa cemburu karena Azmira sedari tadi hanya melihat ke Yitno saja. Namun, Moko berusaha menahan perasaan itu agar ia tidak terlalu jauh jatuh cinta kepada Azmira. 

"Azmira, nanti makan siang dimana?" tanya Moko. 

"Belum tahu, nih! Aku ikut kamu dong, Moko," balas Azmira.

Yitno tiba-tiba mengeluarkan handphonenya lalu mengetik sesuatu, sepertinya sedang mengirim pesan kepada seseorang.

"Aku ikut juga deh Moko. Aku enggak tenang membiarkan kamu berdua sama Azmira," celetuk Yitno.

"Tumben Om mau ikutan. Biasanya juga pasti pulang. Emangnya diizinin kah sama...."

"Aman itu." Yitno menatap mata Moko seolah memberi kode untuk tidak melanjutkan omongannya. 

Azmira sedari tadi hanya tersenyum melihat tingkah kedua temannya itu. Azmira bersyukur masih di kelilingi oleh orang-orang baik. Mereka lalu kembali ke rutinitas pekerjaannya masing-masing hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12:00 WIB. Azmira, Moko dan Yitno bersiap-siap untuk keluar istirahat keluar kantor.

Tujuan istirahat mereka kali ini adalah kost Moko. Hal ini diusulkan oleh Moko sendiri karena perdebatan mereka untuk menentukan mau makan siang dimana tidak menemukan titik terang. Seperti biasa diskusi panjang lebar tidak berfaedah yang berujung tanpa kesepakatan. Akhirnya mereka pun bersiap dan menuju ke parkiran motor untuk mengendarai kendaraan masing-masing.

"Azmira, sini kamu sama aku aja," ajak Moko.

"Jangan mau sama Moko, sama aku aja. Enggak tenang hatiku kalau kamu sama si Moko," balas Yitno.

"Ya sudah, aku sama Mas Yitno aja ya. Oke!" Azmira segera naik ke motor Yitno

Mereka lalu memacu sepeda motor mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju kost Moko, Azmira hanya diam saja di bangku motor belakang. 

"Tadi kamu dimarahin apa sama Bagas?" tanya Yitno memecah kecanggungan.

"Padahal aku sudah kerjakan laporan dengan baik, tapi katanya aku kebanyakan tebar pesona. Jadi bingung sendiri juga sih yang salah dimananya," cerita Azmira.

"Yasudah biarkan aja. Si Bagas itu memang enggak jelas. Kerjanya setiap pagi marah-marah gitu," 

"Iya, Mas. Tadi sudah banyak yang bilang juga kok," jawab Azmira cepat karena percakapan mereka terganggu efek suara motor pengendara lainnya.

Setibanya di kost Moko, Yitno memarkirkan motornya dan kemudian membukakan helm yang digunakan Azmira. Moko yang melihat moment itu, segera menggoda mereka karena dia tidak mau menjadi obat nyamuk disana.

"Hey, enggak usah lebay segala bukain helm. Kaya drama-drama percintaan aja," goda Moko.

"Ni anak memang enggak bisa betul lihat orang lain bahagia ya." Yitno menjitak kepala Moko.

"Haduh, Om! Tenaganya dikondisikan dong! Kekerasan sama anak kecil nih," canda Moko.

Azmira hanya tertawa melihat tingkah Yitno dan Moko yang sudah seperti adik dan kakak itu.

Mereka bertiga lalu masuk ke kamar kost Moko. Azmira yang baru pertama kali masuk kamar kost sungguh heran dengan kondisi kamar Moko. Berantakan. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Moko lalu menawari Azmira dan Yitno menu makanan yang tersaji di kamar Moko. Ada menu Soto Ayam, Ayam Geprek, Ayam Goreng, Kari Ayam dan lain sebagainya dalam bentuk mie instan. 

"Astaga Moko, kamu ini benar-benar anak kost sejati. Isi makananmu semua mie instan, ha ha ha," tawa Yitno.

"Enggak lama itu ususmu bentuknya mirip kaya mie, keriting!" timpal Azmira.

"Ternyata kamu ada suaranya juga ya Ra," balas Moko.

"Moko ini sembarangan aja loh manggil Ra Ra," kata Yitno

"Emangnya harus dipanggil apa Om?" Azmira mulai ikut memanggil Yitno dengan sapaan Om.

"Panggil sayang dong," goda Yitno

"Huuu. Om enggak jelas. Sudah tua jangan kebanyakan modusin anak orang." Moko mulai menggoda lagi.

"Enak situ muda," balas Yitno

"Enak situ tua," Moko dan Azmira serempak menjawab bersamaan.

Entah mengapa sebenarnya candaan mereka bertiga sungguh garing krispi seperti kerupuk. Namun, Azmira merasa bahagia dan sejenak melupakan beban pikiran di pekerjaan bila bersama mereka, terutama semenjak kejadian tadi pagi—ketika Azmira dimarahi oleh Bagas—yang sungguh menguras emosi.

Tidak terasa 15 (lima belas) menit sudah berlalu. Tiba-tiba ada panggilan masuk di handphone Moko, ternyata itu adalah panggilan telepon dari Putra—rekan kerja mereka yang bernama lengkap Keannu Mahasaputra—yang saat ini sedang dinas bekerja di Kota Jakarta. Moko lantas mengenalkan Azmira kepada Putra melalui panggilan video alias video call. Selama ini Moko dan Yitno memanggil Azmira dengan panggilan Azmira, namun setelah mereka berbincang dengan Putra akhirnya Azmira sah menyandang nama Zira di circle pertemanan mereka. Sungguh pertemanan yang sangat unik dengan nama panggilan unik masing-masing.

Putra yang hanya sekilas melihat interaksi Azmira dan Yitno melalui video call langsung tahu bahwa mereka berdua saling suka.

"Si Om, puber kedua kayanya ini. Awas aja dia ngerusak anak orang. Mana si Zira ini kelihatannya masih polos banget," batin Putra.

Sejak saat itulah Putra merasa ingin melindungi Azmira, namun perasaannya hanya sebatas sebagai kakak dan tidak lebih dari itu.

Panggilan telepon dengan Putra itu harus berakhir karena waktu sudah menunjukkan pukul 13:00 WIB, mereka bertiga harus segera kembali ke kantor jika tidak ingin melihat Bagas mengomel kembali seperti tadi pagi. Entah mengapa Bagas ini sepertinya selalu ingin memakan orang jika marah. Sebelum mereka pulang, Azmira sempat membalas pesan dari Maliki yang menanyakan kabar Nugraha. Ketika akan mengakhiri chatnya dengan Maliki, Azmira tidak sadar malah salah mengirimkan pesan tersebut ke Yitno yang mana isi pesannya adalah "Iya, Ayah. Hati-hati di jalan ya!".

"Iya, Bunda," balas Yitno kepada Azmira.

Azmira yang kaget karena ternyata salah kirim segera meminta maaf kepada Yitno karena ketidaksengajaan itu. Yitno yang hanya terkekeh segera mengacak rambut Azmira dengan tangannya. Moko yang sudah menunggu di depan pintu ikut berkomentar melihat tingkah mereka.

"Astaga, sampai kapan kalian berdua mau berdiri disitu? Kamu masih mau diomelin lagi sama Bagas. Nanti dia kalau ngamuk suka makan meja loh," celetuk Moko sambil menahan tawa melihat kelakuan Yitno yang sudah kaya ABG lagi jatuh cinta.

"Iya iya, bawel banget sih kamu Moko," balas Yitno sembari mengajak Azmira keluar kamar.

Azmira tidak sanggup menatap mata Yitno karena terlalu malu. Di dalam hati, ia hanya memaki dirinya sendiri. "Bodoh kamu, Azmira." Azmira tidak bisa menahan rasa malunya hingga mukanya memerah seperti kepiting rebus. Yitno yang semakin gemas melihat kelakuan Azmira itu, malah semakin mencubiti pipi Azmira yang akhirnya dilerai oleh Moko karena Moko tidak mau kembali menjadi obat nyamuk lagi.

Seperti yang sudah diduga, mereka bertiga akhirnya kena omel oleh Bagas karena kembali ke kantor terlambat. Moko dan Yitno yang sudah hapal dengan kalimat andalan Bagas, hanya mendengarkan sambil lalu saja. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Azmira yang sedari tadi menahan kesal karena Bagas hanya mengomel tidak jelas, tanpa sadar mengatakan sesuatu.

"Pak Bagas itu enggak bosan kah? Dari tadi marah-marah terus. Sudah gitu marahnya muter-muter aja pembahasannya. Kalau yang dibahas bukan kesalahan kami, mendingan kami lanjutin kerjaan kami, Pak. Biar Bapak nanti enggak tambah marah karena kerjaan kami enggak selesai." Azmira mengucapkan kalimat yang membuat Moko dan Yitno takjub seketika. Mereka benar-benar takjub dengan keberanian Azmira melawan Bagas si tukang marah.

Bagas yang merasa tersindir, tiba-tiba menyuruh mereka semua keluar ruangan. Entah mengapa bukannya merasa marah karena ditegur Azmira, Bagas malah merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Tidak seperti biasanya, bila ditegur Bagas cenderung akan semakin marah. Namun, kali ini Bagas malah merasa ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Yah, Bagas si pemarah yang tidak pernah jatuh cinta belum sadar bahwa itu adalah rasa suka yang pertama kali ia rasakan.

Moko dan Yitno masih merasa takjub dengan yang dilakukan Azmira tadi di ruangan Bagas. Mereka berdua tidak menyangka dibalik wajah polos Azmira ternyata terdapat sikap yang keras. Sungguh sikap yang jarang ditemukan pada karyawan wanita di perusahaan itu dimana rata-rata lebih memilih diam ketika harus berdebat dengan Bagas.

"Eh, Zira. Kamu hebat juga ya. Berani negur Bagas gitu. Coba kalau yang lain, sudah dibanting itu meja di depan dia," puji Moko.

"Reflek aja tadi aku. Habis aku kesal juga dia mengomel terus tanpa henti dan tanpa arah pembahasan yang jelas." Azmira merasa lega sudah berani mengungkapkan rasa kesalnya.

"Jelas dong Moko. Siapa dulu? Bundanya Ayah," goda Yitno.

"Haaa? Enggak salah dengar kah ini aku? Haduh jadi nyamuk lagi aku nanti. Dahlah aku balik kerja aja." Moko duduk ke kursinya menghindari dua pasangan itu.

"Om,...."

"Sudah jangan dipikirin, dijalanin aja dulu," balas Yitno sambil membentuk love dengan kedua tangannya.

Azmira dan Yitno resmi berpacaran ala orang tua setelah kejadian tidak sengaja itu. Azmira melalui hari ini dengan perasaan yang sangat bahagia karena ternyata rasa sukanya berbalas dengan Yitno. Yitno juga merasakan hal yang sama dengan Azmira.

Azmira kembali ke mejanya dan melihat ada lipatan kertas yang ia taruh di bawah laptopnya. Azmira teringat kertas tersebut diberikan oleh Bagas, namun belum ia baca. Mengingat ada pekerjaan yang sangat mendesak, Azmira memilih menyimpan saja dahulu kertas tersebut untuk dibaca nanti ketika tidak sibuk.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Astrid Kusumastuti
laki2 memang gitu kalau merayu. manis betul mulutnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status