LOGINPenat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil.
Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur.
Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun.
Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang.
Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser.
"Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat.
Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya dia berhasil mengisi penuh botol tersebut. Namun....
"Kenapa kamu belum tidur?"
"Ah!!!"
Serena terlonjak kaget. Refleks botol minum yang dia genggam terlepas dan jatuh. Botol itu menghantam lantai, tutupnya lepas dan air di dalamnya sontak tumpah.
Jantungnya berdetak kencang tak terkendali. Nyaris saja Serena ambil langkah seribu ketika tiba-tiba lampu dapur menyala. Suasana pun mendadak terang benderang. Membuat gadis itu bisa melihat jelas sosok yang sempat membuatnya terkejut.
"Tuan Max?" gumamnya dengan mata mengerjap. Beruntung gerakan refleksnya tidak membuat orang yang tiba-tiba muncul di depannya itu celaka. Jika iya, masalah besar akan terjadi.
Max Evans tampak membuang napas sambil menatap Serena. Dia melipat lengan ke dada, lantas mengedikkan dagunya.
"Kenapa tengah malam membuat kekacauan di dapur?"
Serena menggeleng gugup. "Sa-saya cuma mengambil air minum, Tuan." Dia bergegas memungut botol minum yang terjatuh. Isinya tinggal separuh.
Gadis itu berinisiatif mengambil kain lap untuk membersihkan air yang berceceran di lantai sebelum mendapat teguran kembali dari tuannya.
Serena tidak sadar jika midi dress yang dia pakai sedikit naik ketika berlutut membersihkan lantai. Sehingga pahanya yang mulus dan bersih terlihat.
Dan Max Evans yang berdiri di depan gadis itu secara tidak sengaja melihatnya. Pria itu sedikit kaget dan dengan segera membuang pandang.
"Cepat berdiri!" perintahnya sambil membalikkan badan.
Serena yang masih mengelap lantai agak bingung karena lantainya belum bersih, tapi dia menurut berdiri. Dia menatap punggung lebar Max yang terbalut piyama tidur.
"Apa Tuan Max perlu sesuatu?" tanya gadis itu.
Max kembali berbalik dan menghadap gadis itu. "Tolong ambilkan air putih."
"Oh, baik." Serena mengangguk dan segera bergerak memenuhi perintah tuannya. Tapi ketika tangannya baru akan terjulur untuk meraih gelas, kakinya mendadak terpeleset lantai yang masih licin berkat tumpahan air tadi.
Serena terpekik dan tubuhnya nyaris menghantam lantai jika sebuah tangan tidak segera menahannya. Rasa syok mengerubungi, membuatnya terpegun dengan jantung berdetak kencang.
Mata abu Max sedikit melebar penuh kekhawatiran. Satu tangannya mencengkeram lengan Serena dan sebelah lainnya memeluk pinggang ramping gadis itu. "Kamu baik-baik saja?"
Mata Serena mengerjap, sedikit bergeser dan menemukan wajah Max Evans yang begitu dekat.
"Sa-saya baik-baik saja."
Semburat merah memenuhi wajah cantik Serena saat menyadari dirinya berada di bawah rengkuhan lengan besar Max Evans. Sadar situasi gadis itu berusaha melepaskan diri. Namun posisinya tidak memungkinkan untuk segera berdiri ke posisi semula.
"Lain kali harus lebih hati-hati," ucap Max seraya membantu gadis itu berdiri dengan benar. "Kamu isi botol minum kamu saja. Setelah itu cepat istirahat. Bukannya besok ada ujian?"
Kejadian barusan masih menyisakan gugup yang begitu kental. Serena seolah masih bisa merasakan rengkuhan tangan besar Max Evans menempel di tubuhnya. Rasa panas yang menjalar masih tertinggal. Jadi, alih-alih pergi mengamini perintah pria itu, gadis itu malah terdiam di tempat.
Max yang tengah mengisi gelas dengan air, menaikan sebelah alis melihat gadis itu malah melongo. "Kenapa masih berdiri di sini?"
Gadis berkulit putih itu terkesiap. "Oh, iya!" Sampai tak sadar suaranya meninggi. Dia segera menutup mulutnya sendiri.
Lagi-lagi Max harus membuang napas kasar. Dia mengambil botol minum milik Serena dan mengisinya. Begitu penuh dia serahkan kepada gadis itu. "Kembali ke kamarmu. Jika besok gagal ujian gara-gara terlambat bangun, aku pastikan kamu akan mendapat hukuman."
"Jangan." Serena mengibaskan tangan. "Iya, iya. Saya ke kamar sekarang, Tuan." Dia bergegas mengayunkan langkah.
"Hei, tunggu!"
Kaki Serena berhenti bergerak seketika dan secara otomatis memutar badan. "Ya, Tuan?"
"Baju kamu." Max menunjuk pakaian Serena dengan wajah risih. Membuat gadis itu menatap pakaiannya sendiri.
"Apa yang salah dengan baju saya, Tuan?" Kening Serena mengerut bingung. Bukankah semua yang ada di lemarinya pilihan pria itu?
"Pakaian itu tidak cocok. Lain kali jangan pakai itu lagi. Pakaian panjang lebih cocok buat kamu."
Meskipun tidak paham, Serena mengiyakan saja. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil berlalu. Tidak cocok apanya? Bukankah ini cuma baju buat tidur? Dia mengenakan pakaian ini karena merasa nyaman. Tidak peduli cocok atau tidak.
Di sisi lain, Max Evans segera meraup mukanya sendiri begitu gadis itu pergi. Dia memandang ke arah perginya Serena dengan perasaan yang tidak menentu. Pria itu tidak percaya bahwa dirinya sempat merasakan getaran aneh melihat gadis itu. Terlebih ketika
"Dia hanya gadis remaja. Kenapa bisa mempengaruhiku begini?" gumamnya pada diri sendiri. Setelah menandaskan isi gelas, alih-alih kembali ke lantai atas pria itu menuju ke arah pintu keluar. Dia butuh mendatangi paviliun hijau sekarang juga untuk menghilangkan perasaan anehnya.
Saat melihat isyarat yang Max berikan, Serena langsung mengikuti pria itu, meninggalkan kerusuhan pagi hari yang disebabkan wanita bernama Irene.Dua sisi pintu mobil Max sudah terbuka saat dia sampai ke teras. Lengkap dengan Ben yang berdiri menyambut kedatangan Max dan dirinya. Sejak dimulainya perkuliahan, Serena selalu berangkat bersama Max. Bahkan jika jam kepulangan mereka sama, pria itu akan menjemputnya. Jika tidak, maka Ben yang ditugaskan untuk menjemput Serena.Sudah seperti tahanan. Tapi jujur, Serena bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan lagi."Kenapa wanita tadi mencari saya?" tanya Serena begitu mobil yang mereka tumpangi keluar dari pelataran mansion."Entah. Mungkin dia cemburu padamu." Terdengar aneh jika wanita cantik seperti Irene merasa cemburu padanya. Secara wajah dan penampilan jelas Serena kalah telak. Apa yang perlu dicemburui? "Hari ini pulang sore atau siang?" tanya Max mengalihkan topik. "Sepertinya sore lagi," sahut Serena seray
Serena!" seru Lety. Dia tergopoh-gopoh menghampiri Serena yang sudah bersiap pergi. Sejak Serena menjadi anak kuliahan, wanita seksi itu mendapat tugas tambahan baru dari Jessica yaitu menyiapkan bekal untuk Serena. Tentu saja Lety tidak terima begitu saja awalnya. Namun begitu tahu Max yang memerintahnya langsung dia tidak bisa menolaknya lagi. "Ini bekal kamu," katanya dengan bibir mengerucut. Dia mengangsurkan tas bekal dengan wajah tak ikhlas. Serena mengulum senyum sambil menerima tas itu. "Makasih, Kak Lety." "Jangan besar kepala. Aku melakukan ini karena perintah Tuan Max, kalau tidak mana mungkin aku—" ucapan Lety terhenti dan matanya terbelalak saat tiba-tiba Serena merangkul lengannya. "Iya, iya. Aku tau, Kak." Serena tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Lety. Karena dia tahu Lety sebenarnya peduli padanya. Sama seperti Bibi Jessica. Setelah dinyatakan lolos dan tak lama kemudian resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di kota, hanya Jessica dan L
Satu detik, dua detik, sampai tiga detik Serena menunggu. Tapi tidak terjadi sesuatu yang seperti ada di dalam pikirannya. Keningnya berkerut samar. Sebenarnya apa yang sedang Max Evans lakukan? Secara perlahan dan hati-hati Serena membuka sedikit matanya. Dia terperanjat seketika saat netranya bisa langsung menangkap keberadaan Max Evans yang kini tengah tersenyum aneh sambil menatapnya. Dan Serena baru saja sadar bahwa jarak mereka juga tidak sedekat tadi. "Kamu menunggu apa?" tanya Max dengan nada geli, yang sontak membuat pipi Serena memanas. "Sa-saya nggak menunggu apa-apa." "Masih kecil, jangan berpikiran yang aneh-aneh." Nada menggoda Max membuat wajah Serena makin memerah. "Saya nggak berpikir apa-apa!" bantahnya tak terima. Tapi— Gadis itu menghindari tatapan Max, menutup wajahnya dengan telapak tangan menyadari kebodohannya. Reaksi itu sukses mengundang tawa kecil Max. Pria itu menggeleng sambil menahan geli. Dalam keadaan malu wajah Serena terlihat sangat menggemaskan
Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. "Hai, halo." Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. "Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. "Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. "Iya. Kamu Sere
Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. "Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya d
"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. "Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini.""Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. "Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berh







