Share

8. Gugup

last update Huling Na-update: 2025-10-24 15:18:10

Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. 

Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. 

Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. 

Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. 

Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. 

"Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. 

Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya dia berhasil mengisi penuh botol tersebut. Namun.... 

"Kenapa kamu belum tidur?" 

"Ah!!!" 

Serena terlonjak kaget. Refleks botol minum yang dia genggam terlepas dan jatuh. Botol itu menghantam lantai, tutupnya lepas dan air di dalamnya sontak tumpah. 

Jantungnya berdetak kencang tak terkendali. Nyaris saja Serena ambil langkah seribu ketika tiba-tiba lampu dapur menyala. Suasana pun mendadak terang benderang. Membuat gadis itu bisa melihat jelas sosok yang sempat membuatnya terkejut. 

"Tuan Max?" gumamnya dengan mata mengerjap. Beruntung gerakan refleksnya tidak membuat orang yang tiba-tiba muncul di depannya itu celaka. Jika iya, masalah besar akan terjadi. 

Max Evans tampak membuang napas sambil menatap Serena. Dia melipat lengan ke dada, lantas mengedikkan dagunya. 

"Kenapa tengah malam membuat kekacauan di dapur?" 

Serena menggeleng gugup. "Sa-saya cuma mengambil air minum, Tuan." Dia bergegas memungut botol minum yang terjatuh. Isinya tinggal separuh. 

Gadis itu berinisiatif mengambil kain lap untuk membersihkan air yang berceceran di lantai sebelum mendapat teguran kembali dari tuannya. 

Serena tidak sadar jika midi dress yang dia pakai sedikit naik ketika berlutut membersihkan lantai. Sehingga pahanya yang mulus dan bersih terlihat. 

Dan Max Evans yang berdiri di depan gadis itu secara tidak sengaja melihatnya. Pria itu sedikit kaget dan dengan segera membuang pandang. 

"Cepat berdiri!" perintahnya sambil membalikkan badan. 

Serena yang masih mengelap lantai agak bingung karena lantainya belum bersih, tapi dia menurut berdiri. Dia menatap punggung lebar Max yang terbalut piyama tidur. 

"Apa Tuan Max perlu sesuatu?" tanya gadis itu. 

Max kembali berbalik dan menghadap gadis itu. "Tolong ambilkan air putih." 

"Oh, baik." Serena mengangguk dan segera bergerak memenuhi perintah tuannya. Tapi ketika tangannya baru akan terjulur untuk meraih gelas, kakinya mendadak terpeleset lantai yang masih licin berkat tumpahan air tadi. 

Serena terpekik dan tubuhnya nyaris menghantam lantai jika sebuah tangan tidak segera menahannya. Rasa syok mengerubungi, membuatnya terpegun dengan jantung berdetak kencang. 

Mata abu Max sedikit melebar penuh kekhawatiran. Satu tangannya mencengkeram lengan Serena dan sebelah lainnya memeluk pinggang ramping gadis itu. "Kamu baik-baik saja?" 

Mata Serena mengerjap, sedikit bergeser dan menemukan wajah Max Evans yang begitu dekat. 

"Sa-saya baik-baik saja." 

Semburat merah memenuhi wajah cantik Serena saat menyadari dirinya berada di bawah rengkuhan lengan besar Max Evans. Sadar situasi gadis itu berusaha melepaskan diri. Namun posisinya tidak memungkinkan untuk segera berdiri ke posisi semula. 

"Lain kali harus lebih hati-hati," ucap Max seraya membantu gadis itu berdiri dengan benar. "Kamu isi botol minum kamu saja. Setelah itu cepat istirahat. Bukannya besok ada ujian?" 

Kejadian barusan masih menyisakan gugup yang begitu kental. Serena seolah masih bisa merasakan rengkuhan tangan besar Max Evans menempel di tubuhnya. Rasa panas yang menjalar masih tertinggal. Jadi, alih-alih pergi mengamini perintah pria itu, gadis itu malah terdiam di tempat. 

Max yang tengah mengisi gelas dengan air, menaikan sebelah alis melihat gadis itu malah melongo. "Kenapa masih berdiri di sini?" 

Gadis berkulit putih itu terkesiap. "Oh, iya!" Sampai tak sadar suaranya meninggi. Dia segera menutup mulutnya sendiri. 

Lagi-lagi Max harus membuang napas kasar. Dia mengambil botol minum milik Serena dan mengisinya. Begitu penuh dia serahkan kepada gadis itu. "Kembali ke kamarmu. Jika besok gagal ujian gara-gara terlambat bangun, aku pastikan kamu akan mendapat hukuman." 

"Jangan." Serena mengibaskan tangan. "Iya, iya. Saya ke kamar sekarang, Tuan." Dia bergegas mengayunkan langkah. 

"Hei, tunggu!" 

Kaki Serena berhenti bergerak seketika dan secara otomatis memutar badan. "Ya, Tuan?" 

"Baju kamu." Max menunjuk pakaian Serena dengan wajah risih. Membuat gadis itu menatap pakaiannya sendiri. 

"Apa yang salah dengan baju saya, Tuan?" Kening Serena mengerut bingung. Bukankah semua yang ada di lemarinya pilihan pria itu? 

"Pakaian itu tidak cocok. Lain kali jangan pakai itu lagi. Pakaian panjang lebih cocok buat kamu." 

Meskipun tidak paham, Serena mengiyakan saja. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil berlalu. Tidak cocok apanya? Bukankah ini cuma baju buat tidur? Dia mengenakan pakaian ini karena merasa nyaman. Tidak peduli cocok atau tidak. 

Di sisi lain, Max Evans segera meraup mukanya sendiri begitu gadis itu pergi. Dia memandang ke arah perginya Serena dengan perasaan yang tidak menentu. Pria itu tidak percaya bahwa dirinya sempat merasakan getaran aneh melihat gadis itu. Terlebih ketika 

"Dia hanya gadis remaja. Kenapa bisa mempengaruhiku begini?" gumamnya pada diri sendiri. Setelah menandaskan isi gelas, alih-alih kembali ke lantai atas pria itu menuju ke arah pintu keluar. Dia butuh mendatangi paviliun hijau sekarang juga untuk menghilangkan perasaan anehnya. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   126. Mama

    "Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   125. Tidak Menyerah

    "Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   124. Hukuman

    Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   123. Usut Tuntas

    Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   122. Merepotkanmu Lagi

    Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   121. Cemas

    Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status