Home / Romansa / Pelayan Cantik Sang Presdir / 7. Saran Menyesatkan

Share

7. Saran Menyesatkan

last update Huling Na-update: 2025-10-23 05:06:26

"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" 

Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. 

"Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. 

Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini."

"Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." 

Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. 

"Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berhenti bicara ketika Jessica mengangkat telunjuk ke depan bibir. 

"Sudah cukup, kembali kerja sana." 

Meskipun keberatan, Lety pasrah saat harus kembali menunaikan tugasnya. Lalu ketika melihat Serena berjalan cepat melewatinya wanita itu mengejar. 

"Kak Lety mau apa?" tanya Serena dengan nada lelah. "Aku nggak punya tenaga buat berdebat." 

Di depan pintu kamar, Serena menatap wanita seksi itu yang tengah tersenyum. 

Buru-buru Lety berpindah ke sisi Serena. Matanya tampak berbinar. "Aku boleh berkunjung ke kamarmu?" 

"Mau apa?" 

"Hei, jangan bersikap nggak sopan begitu sama seniormu. Begini-begini aku bisa berguna, aku bisa bantu kamu ... khususnya soal fashion dan make up." 

Alis melintang Serena naik. Tatapannya menyapu penampilan Lety yang jauh dari kesan pelayan. Daripada pelayan dia lebih mirip wanita penggoda. 

"Uhm, itu nggak perlu. Makasih." Mengabaikan Lety, Serena  berbalik dan segera membuka kunci pintu. 

"Serena, tunggu. Oke, mungkin aku bisa bantu kamu belajar?" ucap Lety mencoba berkompromi. 

Melihat kegigihan seniornya itu Serena hanya bisa membuang napas dan akhirnya mengizinkan Lety masuk. 

"Benar-benar nggak adil!" komentar Lety ketika melihat penampakan kamar Serena. "Kamarmu lebih luas dari kamar kami. Semua yang ada di sini jelas bikin kami iri." Dia mencoba duduk di ranjang tidur Serena. Permukaannya begitu empuk dan lembut. "Serena! Bukan hanya bikin kami iri, aku yakin wanita Tuan Max di paviliun hijau bakal iri kalau tahu semua ini." 

Serena yang sejak masuk lebih memilih mengecek buku pemberian Calvin pun menoleh mendengar itu. "Wanita Tuan Max di paviliun hijau?" 

Lety mengangguk. "Ya. Tempat para wanita milik Tuan Max. Mereka tinggal di sana." 

"Wanita milik Tuan Max?" Tubuh Serena tiba-tiba merinding mengingat kembali ucapan Max Evans kemarin. 

"Iya. Hmm, atau jangan-jangan kamu lagi dipersiapkan untuk jadi wanita simpanan Tuan Max? Tapi aneh kalau memang benar, buat apa Tuan Max menyekolahkan kamu lagi?" 

Dada Serena mendadak berdebar. Sebenarnya Bukan hal aneh karena dia sudah dibeli, tapi membayangkan tetap membuatnya merinding. 

"Meskipun Tuan Max penggemar wanita cantik, tapi dia cukup pemilih. Wanita yang dia punya cantiknya di luar nalar. Tuan Max juga sangat memanjakan mereka. Mungkin karena itu mereka jadi sombong," ujar Lety menggebu. Raut wajahnya tampak kesal. "Mereka suka memandang remeh pelayan di mansion ini. Aku juga pernah ribut sama salah satu dari mereka." 

Serena tahu waktunya akan terbuang sia-sia kalau masih tetap mendengar ocehan Lety. Tapi dia akui cukup tertarik dengan topik yang seniornya itu angkat. 

"Makanya Serena kamu jangan mau kalah. Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin buat mengalahkan mereka," lanjut Lety bersemangat. Bahkan kobaran apinya terlihat di bola matanya. 

"Aku ke sini bukan untuk bersaing atau cari musuh," sahut Serena, lalu memusatkan perhatian kembali pada buku-bukunya. 

Decakan Lety terdengar keras. Dia beranjak mendekati Serena dan menepuk dua bahu gadis itu. "Bukan cari musuh. Tapi sedikit memberi pelajaran ke wanita-wanita sombong di paviliun hijau aku rasa bukan masalah. Selama ini mereka selalu merasa di atas awan, tidak terkalahkan. Kalau kamu bisa menaklukkan hati Tuan Max, nggak menutup kemungkinan mereka akan disingkirkan. Biar gimana juga usia mereka lebih tua, dan kamu itu ibarat daun yang masih muda. Masih gurih dan legit." 

Oh My God! Serena menepuk dahi dan menggeleng. Entah apa yang ada di otak pelayan itu. 

"Tenang!" Lety tersenyum lebar. Lalu membungkuk. "Aku bisa bantu kamu buat naklukin hati Tuan Max." 

"Terima kasih, tapi itu nggak perlu." Serena menggeleng tak habis mengerti. 

"Hm, kamu ini. Aku berbaik hati mau bantu tapi malah ditolak," gerutu Lety sembari mencibir. Bibirnya yang seksi bergerak komat-kamit.

Serena tersenyum, lantas menepuk buku-bukunya. "Aku mau fokus belajar, Kak. Dan aku rasa menaklukkan Tuan Max itu ide buruk. Kalau mau kenapa bukan Kak Lety saja yang mencoba menaklukkan Tuan Max?"

Wanita berseragam nyentrik di dekat Serena itu mendesah. "Kalau bisa, mungkin sudah lama aku jadi Nyonya Evans." 

"Kak Lety itu cantik. Nggak mungkin Tuan Evans tidak tertarik." 

"Tapi aku bukan levelnya. Levelku hanya sebatas jadi pelayan di rumah ini saja." 

Serena meringis melihat muka melankolis Lety. Sekarang gantian dia yang menepuk pundak wanita itu. "Sabar ya, Kak." 

"Tapi jangan salah!" seru Lety tiba-tiba hingga membuat Serena terlonjak kaget. "Tuan Max nggak sepenuhnya tidak menyukai kami. Soalnya aku pernah lihat dia make out sama salah satu pelayan di sini."

"Hah? Apa? Make out?" 

Lety mengangguk. "Iya. Main-main." Dia membentuk tanda kutip saat mengucapkan kata "main-main". 

Serena tidak peduli. Sepertinya dia harus memangkas obrolan unfaedah ini atau waktu belajarnya akan terbuang sia-sia. 

"Oke, Kak. Karena Kak Lety sudah melihat kamarku, jadi Kak Lety bisa keluar. Sori, tapi aku harus belajar buat persiapan besok. Aku bisa dipenggal Tuan Max kalau tidak lolos ujian masuk." 

"Tapi—" 

Serena menggapai tangan Lety, dan menarik paksa wanita itu keluar dari kamarnya. 

"Serena, pertimbangkan apa yang aku bilang tadi," ujar Lety lagi saat pintu sudah hampir Serena tutup.

"Hm, ya, ya. Aku pertimbangkan nanti," balas Serena tersenyum lebar, lantas segera menutup pintu kamarnya. 

Dia membuang napas lega akhirnya bisa lepas dari wanita bawel itu. Menaklukkan hati Tuan Max? Yang benar saja! 

Tiba-tiba tanpa permisi wajah dingin Max Evans berkelebat di benaknya. Serena terperanjat dan segera menggelengkan kepala cepat, mengenyahkan bayangan itu

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   126. Mama

    "Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   125. Tidak Menyerah

    "Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   124. Hukuman

    Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   123. Usut Tuntas

    Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   122. Merepotkanmu Lagi

    Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   121. Cemas

    Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status