LOGINTerbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar.
Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain.
"Hai, halo."
Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya.
"Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan.
"Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri.
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming.
"Iya. Kamu Serena Gilbert?" tanya lelaki itu seraya mendekat.
"Kenapa kamu bisa tahu namaku?"
Bukannya menjawab, lelaki itu malah mengulurkan tangan. "Kenalkan aku Asher. Aku tadi duduk di belakang kamu pas ujian tadi. Sori, tadi aku sempat melihat nama kamu di lembar kerja," ujar lelaki yang mengenalkan diri sebagai Asher. Wajahnya meringis di akhir kalimat.
"Oh, mengintip," respons Serena seraya mengangguk kecil.
Tapi reaksinya ditangkap lain oleh Asher. Lelaki itu menggoyangkan kedua tangan.
"Tapi sumpah aku nggak ngintip jawaban kamu."
"Aku nggak bilang begitu." Dengan senyum simpul Serena gantian mengulurkan tangan. "Oke, salam kenal, Asher."
Lelaki tinggi itu tersenyum yang lagi-lagi memunculkan lekuk di pipinya. Dia segera menjabat tangan Serena. "Salam kenal juga. Aku harap kita bisa berteman."
Sambil melepas jabatan tangan, Serena tersenyum miring. "Itu pun kalau kita diterima di kampus ini," katanya lantas kembali berjalan.
Asher segera menjadi langkahnya. "Harus dong. Kita wajib keterima di sini. Asal kamu tau, aku menaruh harapan besar di sini."
Serena bisa melihat kilat semangat di mata legam Asher. Diam-diam Serena menarik bibir samar. Semangat sama yang bisa ditemukan pada dirinya sendiri.
"Oh ya Serena, habis ini kamu langsung pulang?" tanya Asher ketika mereka sudah keluar dari lobi kampus.
"Ya."
"Kamu tinggal di mana? Aku antar ya. Kebetulan aku bawa motor. Jadi kita bisa...."
Ucapan Asher terdengar seperti gelembung ketika tatap Serena menemukan mobil hitam doff yang sangat dia kenali memasuki area kampus. Tanpa alasan dadanya bergetar. Bahkan tubuhnya mematung seketika.
"Jadi, gimana? Mau kan?"
Suara Asher menyentak kembali kesadaran Serena. Dia menoleh sedikit, menemukan senyum manis lelaki itu. "Maaf, gimana?" tanyanya mengerjap.
"Aku antar kamu pulang, tapi sebelum itu kita ngopi dulu di kafe depan. Kamu mau kan?"
Kembali tatapan Serena mengikuti arah mobil hitam doff yang sekarang sudah berhenti di lahan parkir depan. Tatapannya terpaku pada seseorang berjas hitam yang dia kenali sebagai supir Tuan Max, Ben, keluar dari pintu kemudi. Ben hanya berdiri di samping mobil, dengan pandangan lurus ke arah Serena.
Seperti menyadari sesuatu mata Serena mengerjap. Mungkinkah Max Evans menjemputnya?
"Asher, sori. Sepertinya aku nggak bisa terima tawaran kamu," ujarnya terdengar buru-buru.
"Sayang sekali."
"Sori. Aku duluan." Serena mengambil langkah cepat.
"Serena!" seru Asher. "Apa lain kali bisa?"
"Aku nggak tau!"
Serena berjalan cepat. Menyeberangi jalan kampus, lalu segera menuju tempat di mana mobil Max Evans terparkir.
"Selamat siang, Nona Serena," sapa Ben sopan. "Tuan Max sudah menunggu Anda," lanjutnya lalu segera membukakan pintu penumpang di sisi kiri.
Pria itu tidak tahu jika jantung Serena yang tadinya cuma bergetar mendadak berdebar. Apakah terjadi sesuatu sampai Max Evans menjemputnya?
"Silahkan, Nona. Jangan membuat Tuan Max menunggu lama."
Tidak ada pilihan lain. Gadis 17 tahun ini menarik napas panjang sebelum beranjak menuruti permintaan Ben. Setelah memastikan dirinya masuk, Ben menutup kembali pintu mobil.
Udara dingin mobil yang mengeluarkan aroma lembut tidak bisa menenangkan perasaan Serena yang mendadak gelisah.
Max Evans dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang bangir duduk di jok sebelah. Menebarkan aroma intimidasi yang begitu kental.
"Se-selamat siang, Tuan," sapa Serena dengan nada ragu. Perasaannya makin tak karuan ketika Max hanya membalas sapaan Serena dengan geraman kecil.
Serena menelan ludah kasar. Apakah dia melakukan kesalahan? Atau jangan-jangan Max sudah tahu hasil ujiannya yang ternyata dinyatakan tidak lulus? Tapi bukankah pengumumannya baru tiga hari lagi? Ya Tuhan, Serena mendadak deg-degan.
Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan pelataran kampus. Tidak ingin membuat kesalahan lain, gadis itu memilih diam. Hatinya tidak senyaman mobil yang dia naiki. Apa cuma perasaan Serena? Situasinya benar-benar mencekam. Max bahkan tidak berniat memecahkan suasana dan malah turut bungkam.
"Seharusnya Tuan Max tidak perlu repot menjemput saya," ucap Serena akhirnya, yang lama-lama makin tak nyaman dengan keheningan mencekam itu.
"Kenapa? Supaya kamu bisa diantar lelaki muda itu?"
Agak terkejut ketika Max dengan cepat merespons. Meski mengenakan kacamata hitam, Serena bisa merasakan tatapan Max Evans menghunus padanya.
"Bukan begitu. Setahu saya di jam kerja begini Tuan sangat sibuk?" Serena menunduk seraya menggigit bibir berharap ucapannya tidak salah.
Melepas kacamata, Max memalingkan wajah. Ujung matanya kembali melirik Serena. "Jangan sok tahu! Sibuk atau tidak, itu bukan ditentukan jam kerja."
Wajah dingin itu tampak mengeras. Rahang kokoh Max bahkan makin terlihat tegas. Serena tahu tuannya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Iya. Saya salah."
Serena terkejut saat tiba-tiba Max memutar badan ke arahnya. Tubuh pria itu condong mendekat hingga dua mata mereka bertemu dalam jarak yang lumayan dekat.
"Apa kamu tahu kesalahanmu?" tanya Max nyaris berbisik.
Demi Tuhan, bukan hanya jantung yang berdetak kencang, napas Serena pun mendadak sesak. Jarak yang makin sempit membuatnya bisa merasakan aroma tubuh Max Evans. Aroma cedarwood dan lemon yang juga sama mengudara di ruang pribadi pria itu.
"Saya—"
"Bukankah pernah saya katakan sebelumnya bahwa kamu itu milikku, Serena?"
Serena menelan ludah kepayahan. Lantas mengangguk.
"Lalu apa yang kamu lakukan tadi dengan lelaki kurus itu?"
Secara perlahan pupil mata Serena membesar. Dia tidak pernah menyangka bahwa berbicara dengan seorang teman bisa membuat Max Evans marah.
"Ka-kami hanya bicara dan—"
"Apa pun itu, Serena. Saya tidak suka melihatmu bicara padanya."
Tangan Serena meremas pinggiran jok mobil yang dia duduki ketika Max makin merapat. Bahkan sekarang dia bisa merasakan embusan napas segar pria itu menyentuh hangat kulit wajahnya. Serena makin terdesak mundur.
"Kamu harus kuhukum, Serena. Jadi..." Max memiringkan kepala. Tatapan matanya turun ke bibir merah muda gadis itu yang sedikit terbuka.
Di tempatnya Serena menahan napas. Jarak yang makin dekat membuatnya kesulitan meraup udara. Aura dominan Max Evan lebih-lebih membuatnya tidak bisa berkutik. Sedikit saja dia bergerak, maka keadaan akan berubah menjadi serius.
Namun anehnya, alih-alih menghindar atau setidaknya mendorong tubuh pria itu menjauh, Serena malah memicingkan mata. Seolah siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.
Saat melihat isyarat yang Max berikan, Serena langsung mengikuti pria itu, meninggalkan kerusuhan pagi hari yang disebabkan wanita bernama Irene.Dua sisi pintu mobil Max sudah terbuka saat dia sampai ke teras. Lengkap dengan Ben yang berdiri menyambut kedatangan Max dan dirinya. Sejak dimulainya perkuliahan, Serena selalu berangkat bersama Max. Bahkan jika jam kepulangan mereka sama, pria itu akan menjemputnya. Jika tidak, maka Ben yang ditugaskan untuk menjemput Serena.Sudah seperti tahanan. Tapi jujur, Serena bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan lagi."Kenapa wanita tadi mencari saya?" tanya Serena begitu mobil yang mereka tumpangi keluar dari pelataran mansion."Entah. Mungkin dia cemburu padamu." Terdengar aneh jika wanita cantik seperti Irene merasa cemburu padanya. Secara wajah dan penampilan jelas Serena kalah telak. Apa yang perlu dicemburui? "Hari ini pulang sore atau siang?" tanya Max mengalihkan topik. "Sepertinya sore lagi," sahut Serena seray
Serena!" seru Lety. Dia tergopoh-gopoh menghampiri Serena yang sudah bersiap pergi. Sejak Serena menjadi anak kuliahan, wanita seksi itu mendapat tugas tambahan baru dari Jessica yaitu menyiapkan bekal untuk Serena. Tentu saja Lety tidak terima begitu saja awalnya. Namun begitu tahu Max yang memerintahnya langsung dia tidak bisa menolaknya lagi. "Ini bekal kamu," katanya dengan bibir mengerucut. Dia mengangsurkan tas bekal dengan wajah tak ikhlas. Serena mengulum senyum sambil menerima tas itu. "Makasih, Kak Lety." "Jangan besar kepala. Aku melakukan ini karena perintah Tuan Max, kalau tidak mana mungkin aku—" ucapan Lety terhenti dan matanya terbelalak saat tiba-tiba Serena merangkul lengannya. "Iya, iya. Aku tau, Kak." Serena tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Lety. Karena dia tahu Lety sebenarnya peduli padanya. Sama seperti Bibi Jessica. Setelah dinyatakan lolos dan tak lama kemudian resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di kota, hanya Jessica dan L
Satu detik, dua detik, sampai tiga detik Serena menunggu. Tapi tidak terjadi sesuatu yang seperti ada di dalam pikirannya. Keningnya berkerut samar. Sebenarnya apa yang sedang Max Evans lakukan? Secara perlahan dan hati-hati Serena membuka sedikit matanya. Dia terperanjat seketika saat netranya bisa langsung menangkap keberadaan Max Evans yang kini tengah tersenyum aneh sambil menatapnya. Dan Serena baru saja sadar bahwa jarak mereka juga tidak sedekat tadi. "Kamu menunggu apa?" tanya Max dengan nada geli, yang sontak membuat pipi Serena memanas. "Sa-saya nggak menunggu apa-apa." "Masih kecil, jangan berpikiran yang aneh-aneh." Nada menggoda Max membuat wajah Serena makin memerah. "Saya nggak berpikir apa-apa!" bantahnya tak terima. Tapi— Gadis itu menghindari tatapan Max, menutup wajahnya dengan telapak tangan menyadari kebodohannya. Reaksi itu sukses mengundang tawa kecil Max. Pria itu menggeleng sambil menahan geli. Dalam keadaan malu wajah Serena terlihat sangat menggemaskan
Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. "Hai, halo." Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. "Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. "Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. "Iya. Kamu Sere
Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. "Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya d
"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. "Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini.""Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. "Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berh







