Share

9. Kamu Milikku

last update Huling Na-update: 2025-10-24 15:23:42

Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. 

Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. 

"Hai, halo." 

Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. 

"Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. 

"Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. 

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. 

"Iya. Kamu Serena Gilbert?" tanya lelaki itu seraya mendekat. 

"Kenapa kamu bisa tahu namaku?" 

Bukannya menjawab, lelaki itu malah mengulurkan tangan. "Kenalkan aku Asher. Aku tadi duduk di belakang kamu pas ujian tadi. Sori, tadi aku sempat melihat nama kamu di lembar kerja," ujar lelaki yang mengenalkan diri sebagai Asher. Wajahnya meringis di akhir kalimat. 

"Oh, mengintip," respons Serena seraya mengangguk kecil. 

Tapi reaksinya ditangkap lain oleh Asher. Lelaki itu menggoyangkan kedua tangan. 

"Tapi sumpah aku nggak ngintip jawaban kamu." 

"Aku nggak bilang begitu." Dengan senyum simpul Serena gantian mengulurkan tangan. "Oke, salam kenal, Asher." 

Lelaki tinggi itu tersenyum yang lagi-lagi memunculkan lekuk di pipinya. Dia segera menjabat tangan Serena. "Salam kenal juga. Aku harap kita bisa berteman." 

Sambil melepas jabatan tangan, Serena tersenyum miring. "Itu pun kalau kita diterima di kampus ini," katanya lantas kembali berjalan. 

Asher segera menjadi langkahnya. "Harus dong. Kita wajib keterima di sini. Asal kamu tau, aku menaruh harapan besar di sini." 

Serena bisa melihat kilat semangat di mata legam Asher. Diam-diam Serena menarik bibir samar. Semangat sama yang bisa ditemukan pada dirinya sendiri. 

"Oh ya Serena, habis ini kamu langsung pulang?" tanya Asher ketika mereka sudah keluar dari lobi kampus. 

"Ya." 

"Kamu tinggal di mana? Aku antar ya. Kebetulan aku bawa motor. Jadi kita bisa...." 

Ucapan Asher terdengar seperti gelembung ketika tatap Serena menemukan mobil hitam doff yang sangat dia kenali memasuki area kampus. Tanpa alasan dadanya bergetar. Bahkan tubuhnya mematung seketika. 

"Jadi, gimana? Mau kan?" 

Suara Asher menyentak kembali kesadaran Serena. Dia menoleh sedikit, menemukan senyum manis lelaki itu. "Maaf, gimana?" tanyanya mengerjap. 

"Aku antar kamu pulang, tapi sebelum itu kita ngopi dulu di kafe depan. Kamu mau kan?" 

Kembali tatapan Serena mengikuti arah mobil hitam doff yang sekarang sudah berhenti di lahan parkir depan. Tatapannya terpaku pada seseorang berjas hitam yang dia kenali sebagai supir Tuan Max, Ben, keluar dari pintu kemudi. Ben hanya berdiri di samping mobil, dengan pandangan lurus ke arah Serena. 

Seperti menyadari sesuatu mata Serena mengerjap. Mungkinkah Max Evans menjemputnya? 

"Asher, sori. Sepertinya aku nggak bisa terima tawaran kamu," ujarnya terdengar buru-buru. 

"Sayang sekali." 

"Sori. Aku duluan." Serena mengambil langkah cepat. 

"Serena!" seru Asher. "Apa lain kali bisa?" 

"Aku nggak tau!" 

Serena berjalan cepat. Menyeberangi jalan kampus, lalu segera menuju tempat di mana mobil Max Evans terparkir. 

"Selamat siang, Nona Serena," sapa Ben sopan. "Tuan Max sudah menunggu Anda," lanjutnya lalu segera membukakan pintu penumpang di sisi kiri. 

Pria itu tidak tahu jika jantung Serena yang tadinya cuma bergetar mendadak berdebar. Apakah terjadi sesuatu sampai Max Evans menjemputnya? 

"Silahkan, Nona. Jangan membuat Tuan Max menunggu lama." 

Tidak ada pilihan lain. Gadis 17 tahun ini menarik napas panjang sebelum beranjak menuruti permintaan Ben. Setelah memastikan dirinya masuk, Ben menutup kembali pintu mobil. 

Udara dingin mobil yang mengeluarkan aroma lembut tidak bisa menenangkan perasaan Serena yang mendadak gelisah. 

Max Evans dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang bangir duduk di jok sebelah. Menebarkan aroma intimidasi yang begitu kental. 

"Se-selamat siang, Tuan," sapa Serena dengan nada ragu. Perasaannya makin tak karuan ketika Max hanya membalas sapaan Serena dengan geraman kecil. 

Serena menelan ludah kasar. Apakah dia melakukan kesalahan? Atau jangan-jangan Max sudah tahu hasil ujiannya yang ternyata dinyatakan tidak lulus? Tapi bukankah pengumumannya baru tiga hari lagi? Ya Tuhan, Serena mendadak deg-degan. 

Mobil pun bergerak perlahan meninggalkan pelataran kampus. Tidak ingin membuat kesalahan lain, gadis itu memilih diam. Hatinya tidak senyaman mobil yang dia naiki. Apa cuma perasaan Serena? Situasinya benar-benar mencekam. Max bahkan tidak berniat memecahkan suasana dan malah turut bungkam. 

"Seharusnya Tuan Max tidak perlu repot menjemput saya," ucap Serena akhirnya, yang lama-lama makin tak nyaman dengan keheningan mencekam itu. 

"Kenapa? Supaya kamu bisa diantar lelaki muda itu?" 

Agak terkejut ketika Max dengan cepat merespons. Meski mengenakan kacamata hitam, Serena bisa merasakan tatapan Max Evans menghunus padanya. 

"Bukan begitu. Setahu saya di jam kerja begini Tuan sangat sibuk?" Serena menunduk seraya menggigit bibir berharap ucapannya tidak salah. 

Melepas kacamata, Max memalingkan wajah. Ujung matanya kembali melirik Serena. "Jangan sok tahu! Sibuk atau tidak, itu bukan ditentukan jam kerja." 

Wajah dingin itu tampak mengeras. Rahang kokoh Max bahkan makin terlihat tegas. Serena tahu tuannya itu sedang tidak baik-baik saja. 

"Iya. Saya salah." 

Serena terkejut saat tiba-tiba Max memutar badan ke arahnya. Tubuh pria itu condong mendekat hingga dua mata mereka bertemu dalam jarak yang lumayan dekat. 

"Apa kamu tahu kesalahanmu?" tanya Max nyaris berbisik. 

Demi Tuhan, bukan hanya jantung yang berdetak kencang, napas Serena pun mendadak sesak. Jarak yang makin sempit membuatnya bisa merasakan aroma tubuh Max Evans. Aroma cedarwood dan lemon yang juga sama mengudara di ruang pribadi pria itu. 

"Saya—" 

"Bukankah pernah saya katakan sebelumnya bahwa kamu itu milikku, Serena?" 

Serena menelan ludah kepayahan. Lantas mengangguk. 

"Lalu apa yang kamu lakukan tadi dengan lelaki kurus itu?" 

Secara perlahan pupil mata Serena membesar. Dia tidak pernah menyangka bahwa berbicara dengan seorang teman bisa membuat Max Evans marah. 

"Ka-kami hanya bicara dan—" 

"Apa pun itu, Serena. Saya tidak suka melihatmu bicara padanya." 

Tangan Serena meremas pinggiran jok mobil yang dia duduki ketika Max makin merapat. Bahkan sekarang dia bisa merasakan embusan napas segar pria itu menyentuh hangat kulit wajahnya. Serena makin terdesak mundur. 

"Kamu harus kuhukum, Serena. Jadi..." Max memiringkan kepala. Tatapan matanya turun ke bibir merah muda gadis itu yang sedikit terbuka. 

Di tempatnya Serena menahan napas. Jarak yang makin dekat membuatnya kesulitan meraup udara. Aura dominan Max Evan lebih-lebih membuatnya tidak bisa berkutik. Sedikit saja dia bergerak, maka keadaan akan berubah menjadi serius. 

Namun anehnya, alih-alih menghindar atau setidaknya mendorong tubuh pria itu menjauh, Serena malah memicingkan mata. Seolah siap menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.  

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   126. Mama

    "Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   125. Tidak Menyerah

    "Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   124. Hukuman

    Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   123. Usut Tuntas

    Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   122. Merepotkanmu Lagi

    Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   121. Cemas

    Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status