Amora masih tercengang bingung memandangi rumahnya sendiri. Ini seolah ada rasa berat untuk melangkah karena hatinya mendadak tidak tenang. Apalagi tatkala melirik ke arah Gery yang dengan santainya sudah melangkah sampai di depan pintu, hal itu membuat perasaan Amora semakin bergemuruh.“Kenapa dia mengajakku kemari?” batin Amora lagi. “Ada apa ini?”“Kau mau di situ saja?”“Eh, iya!” Amora buru-buru tersadar dari lamunan saat Gery menegurnya. “Aku datang.”Amora berdiri di samping Gery kemudian mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, pintu pun terbuka dan seseorang dari dalam muncul.“Kalian?” kata Ambar. Ibu tiri Amora yang membukakan pintu. “Ada perlu apa kalian datang?”Amora tidak bisa menjawab, karena ia sendiri bingung mengapa bisa datang kemari. Ada perlu apa, tentunya Gery yang tahu. Dan benar saja, Gery kemudian mulai berkata.“Apa ayah Atmaja ada?” tanya Gery.“Ayah?” pekik Amora dalam hati. “Dia menyebut ayah?”“Dia ada di kebun,” jawab Ambar acuh. “Ada perlu apa
Pagi harinya rumah Atmaja mulai direpotkan dengan persiapan untuk acara pernikahan di hari esok. Sesuai permintaan Putri dan ayahnya, Amora pun datang lebih awal usai sang suami berangkat ke kantor.Halaman yang tidak terlalu luas, kini sedang disulap oleh beberapa tukang dekorasi.Sementara Atmaja dan Ambar tengah membantu tukang dekorasi, Amora yang sedang membuatkan minuman di dapur dihampiri Putri.“Maaf,” kata Putri.Amora yang sedang mengaduk minuman, lantas menoleh. “Maaf untuk apa?”“Aku tidak bermaksud. Aku hanya mencintai Andy.” Wajah sendu Putri terlihat nyata.Amora meletakkan sendok di dalam bak wastafel. “Aku tidak masalah,” kata Amora sambil tersenyum.“Aku tidak tahu kenapa kau bisa tiba-tiba menikah dengan Tuan Gery. Kau tidak pernah cerita. Tapi aku tahu saat itu kau masih mencintai Andy.”Amora tersenyum lalu bersandar pada meja menghadap ke arah Putri. “Tidak masalah, mungkin Andy bukan jodohku. Dia lebih pantas mendapatkan wanita yang benar-benar mencintai
Awalnya Amora pulang akan diantar Lina, tapi Amora langsung menolak karena takut merepotkan. Dan lagi, Amora juga bukan pulang ke rumah sang suami, melainkan ke rumah ayahnya. Di sana sedang kerepotan, tidak mungkin untuk Amora ditinggalkan. “Sungguh kau tidak mau kuantar?” tawar Lina sekali lagi. Lina sudah di dalam mobil, sementara Amora berdiri di samping badan mobil sambil menjinjing paperbag belanjaannya. “Tidak usah. Aku mau mampir ke rumah ayahku. Nanti adikku marah.” “Baiklah, Aku pulang dulu. Sampai bertemu besok.” Lina melambaikan kelima jari sebelum menutup jendela mobil. Setelah mobil Lina sudah melesat cukup jauh, Amora mencari tempat duduk lebih dulu. Hatinya terasa tidak tenang karena dia sudah memakai uang sang suami tanpa meminta izin. Amora lantas memilih duduk di kursi besi panjang di halte bus. Tidak ada siapapun di sana, sementara langit mulai gelap dan awan-awan mulai bergeser mencari tempatnya. “Ha-halo,” kata Amora gugup begitu panggilan telepon tersambung
Kembali ke kamar, Gery langsung meminta Amora untuk mengambilkan baju yang baru ia beli tadi. Gery tahu kalau di sini tidak ada baju, jadi terpaksa membelinya berbarengan dengan membeli gaun untuk Amora. Dan karena tak mau berlama-lama mengotori mata dengan memandangi dada bidang yang masih sedikit basah itu, Amora pun buru-buru mengulurkan baju yang sudah ia ambil.Selama Gery sedang sibuk berpakaian, Amora terlihat membereskan ranjangnya. Ia hanya tak mau kalau suaminya merasa tidak nyaman di kamar ini.“Kau sudah mau tidur?” tanya Amora.Gery mendekat, kemudian naik ke atas ranjang melewati hadapan Amora begitu saja. “Ya, aku sudah ngantuk.”Amora nampak gugup dan salah tingkah. “Em, kalau begitu ... aku, aku tidur di luar.”“Hei!” panggil Gery.Amora yang sudah mencengkeram gagang pintu lantas menoleh. “Ada apa?”“Kau mau keluargamu berpikiran aneh?”Amora mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Gery berdecak kemudian turun dari atas ranjang. Gery berjalan menghampiri Amora dan me
Hari pernikahan pun tiba. Para tamu sudah berkumpul untuk memberi saksi pada sepasang sejoli yang sebentar lagi akan sah menjadi suami istri. Di ruangan lain, Amora sendiri sudah siap dengan penampilannya. Memakai gaun yang dibelikan Gery, Amora nampak begitu cantik.Gery terpesona, tapi dia tidak mampu mengungkapkannya. Cukup diam-diam tersenyum tipis sambil curi-curi pandang.“Bagaimana dia bisa terlihat begitu cantik dengan riasan sederhana?” batin Gery.Sebelum keluar dari kamar, Amora melangkah dan berdiri di hadapan Gery. “Maaf ...” Amora meraih kemeja Gery yang belum terkancing sempurna di bagian kerah.Keduanya sempat berpandangan mata. Berkedip bersamaan dengan perasaan masing-masing. Siapa yang tahu kalau jantung keduanya sudah berdegup begitu kencang. Ketika salah satu wajah mendekat maju dan hampir saja bersentuhan bibir, seseorang mengetuk pintu.Perasaan campur aduk, keduanya pun saling buang muka dan pura-pura sibuk membenarkan tampilan diri sendiri.“Ya, tunggu s
Usai pernikahan, Gery langsung meminta pulang. Gery tak lagi mau menginap. Selain merasa gerah karena kamar Amora yang sempit, sebenarnya ia malas bertatap muka dengan Andy.Seperti hal tadi sore, saat Gery sedang menunggu Amora di teras rumah, Andy datang menghampiri. Pria itu duduk di kursi kosong di samping Gery.“Apa alasanmu menikahi Amora?” tanya Gery tanpa basa-basi.“Tidak sopan sekali kau bertanya begitu?” sahut Gery acuh.“Amora masih menjalin hubungan denganku, tapi tiba-tiba kau menikahinya. Itu sangat aneh.” Andy menatap Gery. “Benarkan?”“Benar apanya?” sahut Gery.“Pasti ada sesuatu sampai Amora mau menikah denganmu kan?”Gery memalingkan wajah dan tidak menjawab. Tuduhan Andy memang benar. Gery menikahi Amora karena sesuatu hal. Pada intinya karena hati yang bergejolak.“Memang benar.” Andy mendecih lalu menyeringai.“Benar atau tidaknya, itu bukan urusanmu. Amora istriku, dan lagi kau juga sudah menikah. Sebaiknya jangan mengganggu Amora lagi.”Gery lantas b
Amora sudah bangun lebih dulu seperti biasanya. Kali ini bahkan bangun lebih awal karena mendadak haus dan sedikit lapar. Tepat sekitar jam 4 pagi, Amora turun ke lantai satu untuk mencari cemilan yang mungkin bisa buat mengganjal perut.Sampai di dapur para pembantu belum ada yang terbangun. Lampu-lampu di setiap ruangan juga masih padam. Amora jalan menuju dapur sampai mepet dinding supaya tidak menabrak sesuatu.Amora awalnya ingin menyalakan lampu, tapi takut ada orang yang mungkin saja terbangun. Bukan apa-apa, Amora hanya takut mengganggu.“Kenapa aku bisa sampai kelaparan?” keluh Amora sambil menuang air putih ke dalam gelas. “Aku lupa makan setelah acara dari rumah ayah. Em, jangan-jangan Gery juga kelaparan?”Amora meneguk habis air putihnya, lalu terlihat kebingungan sendiri. Berpikir sejenak, Amora lantas mencari sesuatu di dalam kulkas ataupun lemari yang menggantung di dapur.Selagi menahan rasa lapar, Amora mencari sesuatu yang bisa suaminya makan setelah terbangu
Amora keluar kamar mandi susah memakai baju. Rambutnya yang basah ia gulung ke atas menggunakan handuk. Sementara Gery, dia sedang menikmati bolu yang disediakan Amora. Gery sudah berada di kamar lagi sebelum Amora keluar. Jadi, Amora tidak tahu kalau Gery sempat keluar dari kamar.“Bagaimana kau tahu kalau aku lapar?” tanya Gery.Amora menoleh sambil melepas handuk di kepala dan memiringkan kepala hingga rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah.“Semalam kau tidak makan, kupikir mungkin kau lapar,” sahut Amora.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Amora buru-buru menyisir rambutnya yang setengah kering lalu bergegas ingin keluar dari kamar.“Kau mau kemana?” tanya Gery.“Menyiapkan makanan untukmu. Kau mandi saja, kalau sudah susul aku di ruang makan.”Amora sudah keluar dan Gery masih terbengong. Gery heran melihat sikap Amora yang begitu menghormatinya. Amora tahu bagaimana Gery berniat buruk padanya, tapi wanita itu tak menunjukkan rasa takut a