“Aku minta maaf,” kata Amora sesampainya di tempat loundry. “Aku tidak bermaksud membentak ibumu.”Gery tetap bermuka pias, tapi tidak menunjukkan raut amarah. “Jangan dipikirkan. Ibuku hanya asal bicara. Jangan kau masukkan ke hati.”Amora mengangguk. “Aku masuk dulu.”“Aku jemput sekitar pukul tiga sore.”Gery berlalu dan Amora masuk ke dalam. Di sana sudah ditunggu Lela yang mulai mengurusi setumpuk pakaian dari customer. Belum terlalu banyak memang, akan tetapi bisa terbilang lumayan untuk tempat laundry yang baru buka.“Maaf aku telat,” kata Amora sambil meletakkan tas di gantungan. “Aku ada sedikit masalah tadi.”“Tidak apa,” sahut Lela sembari menuang deterjen ke dalam mesin cuci. “Aku juga baru beberapa menit.”Amora mendekat dan ikut mengangkat setumpukkan pakaian berwarna putih dan memasukkannya ke dalam mesin cuci yang lain.“Apa kau sudah sarapan?” tanya Amora.“Sudah. Ibuku masak nasi goreng tadi pagi,” sahut Lela. “Kau sendiri sudah makan?”Amora mendesah kemu
Pukul lima sore, Amora tengah berdiri sendirian di halte bus. Lela sudah pulang lebih dulu sekitar pukul empat. Awalnya Lela hendak mengantar pulang, akan tetapi Amora menolak. Selain jaraknya yang lumayan jauh, rumah Lela juga tidak sejalan.Amora sendiri sudah duduk dan berdiri beberapa kali sambil terus berharap ada angkutan umum atau taksi yang lewat. Kalau saja ponselnya tidak mati, mungkin Amora sudah menelpon taksi online.Apapun terasa mudah di jaman modern seperti sekarang ini.Saat Amora hendak kembali duduk, sebuah sedan berwarna hitam berhenti di hadapannya. Amora sontak berdiri tegak dan waspada. Saat Amora hendak mundur dan pergi, seseorang di balik mobil memanggilnya.“Amora!”Amora berhenti sebelum menoleh, keningnya berkerut. Mungkin saja itu orang yang Amora kenal, tapi tentu saja suara pria itu bukanlah suara Gery.“Theo,” kata Amora saat matanya bertemu pandang dengan sosok yang kini sudah keluar dan berdiri di samping mobil.“Hai,” Theo melambaikan tangan.
“Di mana istrimu?” tanya Ibu saat Gery sudah turun.Di ruang makan sudah tidak ada siapapun selain ibu dan Belva. Ibu juga sepertinya hendak pergi karena tampilannya terlihat rapi.“Dia masih tidur,” jawab Gery acuh.Wenda berdiri dan menghampiri Gery. “Jam segini istrimu masih tidur?”Gery mengerutkan dahi melihat reaksi sang ibu, sementara ibu sudah menggelengkan kepala dan berdecak.“Malas sekali istrimu, Gery?” lanjut Ibu lagi. “Lihat Belva, dia selalu bangun tepat waktu.”Gery melirik ke arah Belva sambil mendecih. “Memang betul! Dia bangun pagi, tapi cuma untuk sarapan.”Merasa sedang disindir, Belva lantas mencebik pelan dan mengepalkan kedua tangannya. Belva yang merasa marah, memilih beranjak pergi menuju kamarnya.“Apa yang kamu katakan?” ibu melotot. “Kau menyakiti Belva.”Gery tersenyum tipis. “Ibu ... apa yang sudah Belva katakan sampai ibu terhasut sejauh ini?”“Apa maksudmu?”“Ibu kan orang yang berpendidikan, tidakkah ibu bisa membedakan mana yang baik dan b
Dion dan Gery bertemu di sebuah restoran sekalian makan siang. Dion yang sedari tadi memperhatikan raut wajah Gery tak bersahabat, bisa mengira-ira kalau memang sedang ada masalah."Kenapa wajahmu ditekuk begitu?” tanya Dion.Makanan datang disaat Gery membuang napas karena pertanyaan Dion.“Kenapa?” tanya Dion lagi.Gery masih belum menjawab, tapi sedang sibuk mengaduk pasta di atas piring.Gery kali ini mengacungkan garpu ke arah Dion. “Katakan, apa kau yang memberitahu pada ayahku?”Dion menelan ludah. “Apa maksudmu?” Dion kemudian pura-pura tidak paham dengan pertanyaan Gery.“Jangan pura-pura tidak paham.” Gery mendecih lalu memasukkan satu suap pasta ke dalam mulut. “Kau kan yang bilang tentang Amora?”Dion meringis sambil garuk-garuk tengkuk. “Em, anu itu ... aku hanya ...”“Hanya apa?” salak Gery. “Berani-beraninya kau ember!”Dion mengabaikan makan siangnya dan lebih fokus menatap Gery. “Bukan begitu. Kau tahu kan, ayahmu sangat berkuasa. Dia mengancamku kalau ti
Saat keluar dari kamar mandi, sosok Amora sudah tidak ada. Gery melihat ke sekeliling, tapi memang tetap tidak ada Amora.“Di mana dia?” tanya Gery sambil melempar handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut ke sembarang tempat.Gery melirik jam dinding—sudah menunjukkan pukul tujuh malam—itu artinya mungkin Amora sedang bantu menyiapkan makan malam.“Malam, Bu,” sapa Amora saat melihat ibu mertuanya sedang menonton televisi.Wenda menoleh dan tersenyum. Sayangnya, senyuman itu bukanlah untuk Amora melainkan untuk Belva yang ternyata berdiri di belakangnya. Amora yang sempat tersenyum pun bergeser saat Belva dengan sengaja menyerempetnya.“Malam, Bu.” Belva sudah duduk di samping ibu mertuanya. Wanita itu sempat melirik ke arah Amora supaya Amora merasa iri.Tidak mau diambil hati, Amora membuang napas saat itu juga. Amora memutar badan dan pergi ke ruang makan. Toh niatnya Amora memang mau membantu menyiapkan makanan untuk sang suami.“Meskipun Gery tidak mungkin tertarik
Sampai di dalam kamar “Berhenti!” teriak Amora begitu tangan Gery mulai menelusup ke dalam bajunya. “Jangan lakukan ...” suaranya melambat.Gery yang terkejut spontan mundur. “Ada apa?”Amora mencengkram kerah bajunya dengan erat. “Jangan lakukan ...”“Apa ada masalah?” tanya Gery heran. “Semalam kau tidak menolak.”Memang. Amora akui malam itu sungguh nikmat dan Amora ingin lagi. Namun, mengingat siapa yang Gery cintai dan apa tujuan Gery menikahinya, Amora jadi ragu.“Kau masih menyangka aku menyukai Amora?” tanya Geri lagi.Gery membuang muka dan mendecih. “Harus kukatakan berapa kali?”Amora menggigit bibir dan tertegun. “Aku tidak tahu. Aku hanya takut. Kau kan tidak mencintaiku.”Kali ini Gery yang terdiam membisu. Gery tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Mencintai Amora? Itu bukanlah tujuan Gery, tapi malam itu, Gery tidak bisa mengelak kalau sangat menikmati bersama Amora. Untuk Cinta? Gery sungguh tidak tahu.“Kau tidak bisa menjawab kan?” mata Amora nana
Semua orang sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Amora juga hari ini akan disibukkan dengan urusan laundrynya bersama Lela.Amora kemudian beranjak turun setelah mencangklong tas di pundaknya. Tampilan sederhana, selalu menjadi kebiasaan untuk Amora. Cukup dengan bedak seadanya di tambah rambut panjang yang diikat tinggi, membuat siapa saja yang melihat Amora pasti akan kesemsem.“Kau mau kemana?” tanya Ibu saat Amora sampai di akhir anak tangga. Mata Wenda memandangi Amora mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Aku mau ke tempat laundry, Bu,” jawab Amora dengan seutas senyum.“Laundry?” kening Wenda berkerut. “Untuk apa? Di rumah kan ada pembantu, kau jangan buang-buang uang.”Amora tersenyum tipis sambil mencengkram selempang tas di depan dada. “Bukan begitu, Bu. Aku pergi ke tempat londryku sendiri. Tempat usahaku dengan teman.”Wenda membulatkan mulut sebelum kembali bicara. “Ikut ibu sebentar.” Tiba-tiba Wenda menarik lengan Amora.Amora yang bingung hanya
Andy menyuruh Putri pulang setelah selesai makan siang. Beralasan akan ada pertemuan dengan teman menyangkut mobil, Putri pun menurut saja. Setelah Putri pergi, Andy menyerahkan bengkel kepada karyawannya. Bohong kalau Andy tidak penasaran dengan apa yang dikatakan Belva.“Amora pasti sedang ada di tempat loundry,” kata Andy sambil memakai sabuk pengaman. “Aku harus ke sana.”Mungkin ini bukan urusan Andy lagi, tapi mengingat kata balas dendam, Andy merasa khawatir dengan keadaan Amora. Pikir Andy, semua ini pasti ada sangkut pautnya tentang kebebasan ayah Amora beberapa bulan yang lalu.“Hari ini banyak ya,” kata Lela saat sedang mengepak baju yang sudah bersih. “Aku sampai kelelahan.”Amora yang sibuk menyetrika melempar senyum. “Lumayan. Setidaknya uang bayaranmu akan nambah.”Keduanya tertawa.“Em, Amora,” panggil Lela setelah itu.“Hm.”“Aku beberapa kali mendengar percakapan dari beberapa orang mengenai pernikahanmu.”“Kenapa dengan pernikahanku?” tanya Amora.Suasana