Nawangsih mengerucutkan bibirnya dengan muka mengejek. "Banyakan juga punyaku, ndomas. Lihat..., ada daster, kerudung, sendal, jajanan pasar, kebaya, kaos, kain jarik, pita, sama stagen. Gak cuma serabi dan combro!" celetuknya seraya menaruh barang pemberian pedagang pasar di hadapan Suryawijaya."Kok banyak, kamu pasti ngerampok tadi di pasar!" goda Suryawijaya. Nawangsih mendesis. "Ndomas sembarangan. Ini hadiah buat aku karena sudah bantu-bantu di pasar tadi. Tanya Ibunda saja kalau tidak percaya. Dan semua ini untukku, ndomas jangan minta!" "Bun, serius?" Suryawijaya menoleh kepada sang Ratu yang baru mengipasi wajahnya dengan kipas bulu ayam."Adikmu itu kalau ikut sidak ke pasar pasti menjadi mediator antara Ibu dan perwakilan pasar. Sudah jangan ribut terus, Ibu pusing, banyak yang harus Ibu pikir." sang Ratu menghela napas.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi mediator? Aku tidak percaya, Bun. Tania bisanya cuma pringas-pringis kalau diajak diskusi." "Mema
Keesokan harinya. Kaysan, seorang diri menemui Adhiwiryo di istananya. Dengan kejujuran dan keterbukaannya, ia mengungkapkan niat dari kedatangannya itu.Adhiwiryo menjadi genting. Kekuasaan semakin jauh darinya. Sepersekian detik, tidak ada yang bersuara. Dua pimpinan itu nampak bergulat dengan pikiran yang mengganggu."Satu tahun? Maaf kang mas, satu tahun itu waktu yang sangat lama. Tidakkah perjodohan ini di percepat saja agar Mas Suryawijaya juga bisa tinggal disini dan tidak perlu wira-wiri." Adhiwiryo geleng-geleng kepala, merasa telah dipermainkan oleh keluarga besar Adiguna Pangarep,.sementara komentar Adhiwiryo membuat Kaysan tersenyum."Saya minta maaf. Bukan karena saya melanggar janji. Namun, Suryawijaya akan menerima perjodohan ini jika apa yang ia takutkan tidak terjadi! Terimalah pengajuan dari putraku." ucap Kaysan yang terus mencermati segala perubahan air muka Adhiwiryo.Adhiwiryo nampak memutar bola matanya, wajahnya sedikit terlihat gelisah. "Saya mengerti niat bai
Kedatangan Kaysan di sambut oleh Rinjani yang sudah menunggu sejak tadi."Bagaimana kangmas, apakah mas Adhiwiryo bersedia mengulur waktu perjodohan putraku dengan anak-anaknya?" Rinjani bersimpuh di hadapan suaminya yang duduk di kursi antik lawasan jati asli."Ambilkan gelas."Rinjani tersenyum rikuh, lupa melayani suaminya karena saking antusiasnya menunggu kabar dari lelaki yang amat dicintainya."Terima kasih. Setidaknya air putih yang kamu berikan sudah cukup melegakan." Jawaban itu sekaligus menjadi gambaran tentang apa yang terjadi tadi."Puji syukur. Terima kasih untuk setiap jengkal sabar yang kerap kangmas taruh pada kami, pada setiap perkataan dan perjalanan yang sering menggerus emosi dan perasaan ini. Kami menyayangimu, Mas." Rinjani memberi hormat sebelum mencium punggung tangan suaminya.Kaysan mengelus puncak kepala istrinya. "Jika salahku masih tercelar di hati keluarga besar Tirtodiningratan. Setidaknya maafku harus terungkap dengan bersih." Kaysan menyentuh bahu ist
Rinjani berhenti mengetuk pintu kamar Suryawijaya seraya menunggu putranya dengan sabar."Le, buka pintunya. Ibunda ingin bicara." Di dalam kamar. Suryawijaya menghela napas, kemudian menghadapkan dirinya ke daun pintu tanpa berkedip. "Ibunda pasti tersinggung dengan perkataanku tadi." gumamnya seraya membuka pintu kamar. "Le." Mata sendu Rinjani membuat Suryawijaya menghela napas. "Maafkan aku ibu, seharusnya aku tidak berkata seperti tadi dan menyakiti perasaan ibu.""Kamu sedang tertekan? Ibunda bersedia menjadi teman curhatmu karena kaki tanganmu sedang menjemput mas Bimo di bandara."Pertanyaan sang Ibu membuat Suryawijaya mengangkat wajahnya seraya menggeleng."Aku hanya butuh waktu sendiri, Bun. Bisakah Ibunda kembali saja ke kamar. Ayahanda lebih membutuhkan Ibunda sekarang." Rinjani menatap putranya dengan lekat. "Kamu yakin tidak membutuhkan Ibu?” Rinjani berdehem. "Sepertinya kamu lupa kalau Ibunda sama keras kepalanya sepertimu." Rinjani menyelinap masuk ke dalam kama
Kepulangan Bimo dari kampus militer disambut baik oleh keluarga besar Kaysan Adiguna Pangarep di ruang keluarga yang kini nampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa pelayan kinasih ikut berada di sana untuk melayani ndoro bei meski hanya duduk bersila sembari menunggu titah. Bimo yang tiba di rumah sebelum senja menghilang memberi hormat kepada orangtua angkatnya."Ibu, Ayah. Saya senang bisa kembali.” ucapnya seraya mencium punggung tangan keduanya.Mereka tersenyum menanggapi ucapan putra angkatnya yang kini bertambah kekar dan memiliki senyum yang tulus. Tak bisa mereka pungkiri bahwa kehadiran Bimo sudah tunggu-tunggu oleh mereka berdua."Kami sangat merindukanmu, Le. Apakah kamu sudah siap mengabdi lagi kepada nagari?" "Sendiko dhawuh, Ibu. Saya bersedia dengan senang hati." Suryawijaya yang bersila tak jauh dari ketiganya mencelos. Sama seperti hari biasanya yang sudah mereka lalui bersama-sama. Keunggulan Bimo dalam bidang pengabdian kerap dibanding-bandingkan oleh orang tua
Suasana pagi di rumah utama nampak sejuk dan tenang seperti biasanya. Burung-burung bernyanyi di dahan pohon bercampur dengan suara gamelan.Nawangsih tersenyum untuk dirinya sendiri dengan segenap tekad kuat di kepalanya."Cah ayu sudah siap?" tanya Eyang Ningrum sembari merapikan jarik mlipit yang dikenakan Nawangsih."Sudah eyang.""Ya sudah ayo."Keduanya lantas bergegas menuju gedung widya budaya untuk mengikuti rangkaian upacara doa bersama untuk keselamatan yang dihaturkan kepada Tuhan sebelum melakukan kegiatan inventarisasi dan digitalisasi naskah penting peninggalan sejarah yang didominasi oleh peninggalan seni budaya dan tradisi Jawa.Nawangsih terus mengikuti prosesi acara yang digelar dengan penuh ketelitian dan kesabaran.“Mas Bimo sudah kembali ya?" Citra tersenyum malu."Iya, mas Bimo sudah pulang. Sekarang baru ikut Ayahanda ke kantor untuk mengkoordinasikan kegiatannya.” Nawangsih tersenyum. "Kenapa, kangen sama masku?”"Hu'um." Citra mengangguk seraya menyikut lengan
Bimo menyempatkan diri untuk menemui ayahnya di ruang pribadinya. Dengan sedikit senyum gugup ia memberanikan diri bertanya tentang perjodohan yang dikatakan oleh Suryawijaya semalam."Bagaimana putraku? Apakah ada yang berbeda sebelum kepergianmu ke pelatihan militer?" tanya Kaysan, belum bersedia menjawab pertanyaan tersebut."Semua masih sama Ayah. Kekasihku masih ada. Hanya bajuku yang berganti ukuran." jawab Bimo lalu tersenyum.Kaysan membalas senyuman itu tak kalah manisnya. Mata bijaknya memperhatikan tubuh kekar Bimo sebentar, lalu kembali ke buku hijaunya yang tebal. "Apa yang Suryawijaya ceritakan kepadamu? Apa dia masih mengeluhkan persoalan itu?" "Saya rasa tidak Ayahanda. Semalam ndomas hanya menceritakan ide-ide baru yang menurutnya bagus untuk dijadikan solusi. Setelahnya hanya merokok saja sambil berpikir."Senyum Kaysan semakin melebar. "Apa Suryawijaya sudah membutuhkan penasihat? Bagaimana dengan Iwan, mau sampai kapan dia tidak berani menemui saya hanya karena ha
"Saya sangat berterima kasih atas kunjungan dan kebaikan Mas Surya hari ini. Ini sungguh-sungguh luar biasa." Adhiwiryo memberi hormat. Suryawijaya mengangguk takzim, "Secepatnya saya akan kembali, Romo Adhiwiryo. Saya akan mempelajarinya untuk menyimpulkan apa saja yang bisa kita siapkan dan lakukan nantinya." janjinya sungguh-sungguh untuk merangkai restu dari ayahnya.Adhiwiryo merangkul bahu Suryawijaya. "Kamu sangat mempunyai tekad kuat. Sangat mirip sekali dengan ayahmu." Adhiwiryo meremas bahu Suryawijaya dengan keras. "Sampaikan salam untuk beliau.""Baik, Romo. Nanti saya sampaikan." Suryawijaya tersenyum masam."Mari saya antar keluar."Mereka menyusuri lorong yang begitu hening sampai suara detak jam gantung terdengar menemani langkah mereka.Setibanya di parkiran motor, Suryawijaya langsung menggeber motornya dengan setengah hati. Pikirnya melayang ke mana-mana seolah benar apa yang terlihat tak bisa mendeskripsikan kenyataan yang sesungguhnya.Sedangkan Adhiwiryo menatap