Pagi datang perlahan, membasuh sisa hujan malam tadi dengan sinar matahari yang berwarna pucat. Udara masih lembap, namun terasa segar. Di gerbang rumah besar keluarga Ardiansyah, sebuah angkutan umum berhenti.
Seorang gadis cantik dengan pakaian sederhana turun dengan langkah hati-hati. Ia mengenakan seragam warna abu-abu tua, rambutnya di kuncir rapi, dan di tangannya tergenggam koper kecil yang tampak usang namun masih terlihat bersih. Tidak lama pintu pagar yang menjulang tinggal terbuka. Keluarlah seorang pria paruh baya menghampirinya dengan seragam security. "Pembantu baru?" Tanyanya, dengan kedua mata yang menatapnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Namanya Ayu. Gadis itu mengangguk pelan, takut, sekaligus risih diperhatikan seperti itu. "Masuk!" Perintahnya kemudian. Ayu menggeret kopernya, menatap bangunan megah di depannya dengan mata yang berbinar. Pilar-pilar besar, kaca jendela tinggi, dan taman depan yang luas membuatnya terpaku sesaat. Karena sebelumnya, ia tidak pernah melihat rumah sebesar ini di seumur hidupnya. "Ya ampun, ini rumah apa istana?" Bisiknya lirih penuh kekaguman. "Kamu jalan lurus aja, masuk dari pintu samping. Nanti ada orang yang menunggu kamu di sana," Ucap security itu menyadarkan Ayu dari rasa kekagumannya. "B-baik Pak. Saya permisi," Pamitnya gugup tapi sopan. Ayu melangkah pelan, sedikit ragu, namun langkahnya tetap mantap. Di dalam dadanya ada debaran takut dan harap. Ini pekerjaan baru, jadi pembantu rumah tangga di rumah keluarga kaya. Dan ia bertekad untuk menjalani segalanya dengan jujur dan sepenuh hati. Pintu samping dibuka oleh seorang ART paruh baya bernama Bu Marni. Perawakannya kecil, wajahnya ramah, namun sorot matanya begitu tajam. "Kamu Ayu?" Tanyanya dengan tatapan yang sama persis seperti security tadi. "Iya, Bu. Saya Ayu." "Masuk. Saya akan tunjukkan dimana kamarmu." Ayu mengikuti langkah Bu Marni yang mengantarkannya menuju ke kamar pembantu yang berada di bagian belakang. "Istirahatlah sebentar. Nanti sore kamu sudah harus mulai bekerja." Bu Marni berucap, sambil membuka salah satu pintu yang terkunci. "Baik Bu," Jawab Ayu patuh. Pintu terbuka. Bu Marni berbalik, mengayunkan langkah kembali masuk ke rumah mewah itu. Ayu ikut melangkah, masuk ke dalam kamar pembantu yang tergolong sempit. Namun sangat cukup menjadi tempatnya beristirahat selepas penat bekerja. Di dalam kamar itu hanya ada satu ranjang single, satu lemari kayu dan satu meja kecil di sebelah ranjang. Ayu duduk di tepi ranjang, ranjang yang tidak terlalu empuk. Namun setidaknya lebih nyaman dari ranjangnya yang ada di kampung. Haaaah! Ayu menghembuskan nafas panjang. "Semoga aku betah kerja di sini," Ayu tersenyum lembut, lalu mulai membuka koper miliknya dan lanjut memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Sore harinya… Sesuai dengan instruksi Bu Marni, Ayu mulai membersihkan koridor lantai atas. Saat sedang bekerja, Ia sempat melihat sekelebat bayangan seorang pria berjalan menuju ke sebuah ruangan. Pria itu tak menoleh tapi aura dinginnya, terasa menusuk sampai ke tulang. Selesai membersihkan semuanya. Ayu kembali turun ke lantai bawah, menyimpan kembali peralatan kebersihan ke tempat semula. "Ayu," Bu Marni memanggil dari arah dapur. "Iya Bu." Ayu menghampiri dengan langkah terburu. "Tolong buatkan minuman untuk Tuan, lalu antarkan ke ruang kerjanya yang ada di lantai 2 dekat koridor ujung," Perintah Bu Marni. Ayu mengangguk, lalu menjalankan perintah Bu Marni. Tapi pergerakannya berhenti tiba-tiba. "Maaf Bu, kira-kira minuman apa yang harus aku buat?" Ayu bertanya, karena ia tidak ingin membuat kesalahan di hari pertama bekerja. "Terserah kamu," Bu Marni lanjut memasak. Ayu kembali mengangguk. Lalu ia membuatkan teh hangat dengan aroma melati yang ada di sana. Selesai membuat teh, Ayu membawanya menuju ke ruang kerja sang Tuan Rumah. Tok! Tok! Tok! Ayu mulai mengetuk pintu dan dari dalam terdengar suara berat yang mempersilahkannya untuk masuk. Ceklek! Ayu membuka pintu, melangkah masuk dengan perlahan dan di sana ia melihat sang Tuan rumah dengan tatapan yang tajam dan aura dingin, sedang duduk di meja kebesaran dengan sebuah laptop menyala yang ada di hadapannya. "Permisi Tuan. Ini teh hangatnya." Ayu menunduk sopan, sambil meletakkan teh hangat itu di atas meja. Revan mengangkat pandangannya sejenak, melihat pembantu baru yang mengantarkan teh hangat untuknya. "Kamu pembantu baru?" Revan bertanya. Tapi kedua matanya menatap Ayu dari atas kepala sampai ujung kaki. "Iya Tuan, nama saya Ayu." Ayu juga mengangkat pandangan, menampilkan senyum manis yang tulus. Saat ini, jantung Ayu berdetak dengan cepat. Karena ini kali pertama ia bertemu dengan sang Tuan rumah. Apalagi sorot matanya yang tajam serta auranya yang dingin membuat Ayu sedikit takut. Tapi, ketakutan Ayu mendadak sirna seketika. "Semoga kamu betah kerja di sini ya?" Ucap Revan dengan senyum simpul di wajahnya. Ayu sedikit tersentak, melihat ada senyum di sana. "Terima kasih Tuan. Saya pasti betah kerja di sini," Setelahnya Ayu pamit kembali ke belakang, sedangkan Revan melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.Langit Paris mulai menggelap. Gemerlap lampu kota membias di jendela hotel yang sunyi. Di ruang tamu, Revan duduk sendirian di sofa. Ponselnya tergeletak di atas meja, namun pikirannya berkecamuk.Sejak sore tadi, Nadine pamit keluar untuk berbelanja. Ia tak repot-repot mengajak Revan. Bahkan Revan pun tak berniat menawarkan diri. Ia hanya diam. Mengizinkan Nadine pergi, seperti biasa dengan hati yang tetap tak berpenghuni.Namun kini, setelah beberapa jam sendirian, ada yang mengusik dadanya. Rindu. Rindu yang mendesak di dada seperti sesuatu yang tak bisa ditahan lagi.Ayu.Wajah gadis itu terbayang begitu jelas, cara ia menunduk saat menyajikan teh, senyum kecil yang selalu memudar begitu Revan pergi, dan terutama matanya yang bicara tanpa suara.Revan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya.Tangannya sempat ragu. Tapi akhirnya, ia menekan ikon panggilan, menghubungi nomor Ayu.Nada sambung terdengar beberapa detik sebelum suara lembut itu menjawab.“Halo, Tuan?”Revan meme
Deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Dari balik gorden tipis, Ayu menyingkap sedikit kainnya, menatap diam-diam ke luar jendela.Siluet Revan dan Nadine tampak melangkah menuju mobil dengan koper-koper di belakang mereka. Nadine tertawa kecil sambil menggamit lengan Revan, seolah mereka pasangan mesra yang tengah bersiap menuju bulan madu impian.Tapi Ayu tahu… semua itu palsu. Karena disekitar mereka ada kedua orang tua yang sengaja datang untuk mengantarkan ke bandara.Revan tak menoleh. Tak ada senyum. Tak ada ekspresi apa pun di wajah pria itu, bahkan ketika Nadine melingkarkan tangannya di lengan suaminya. Ekspresi Revan tetap datar. Beku.Namun yang paling menyakitkan bagi Ayu adalah kenyataan bahwa ia tetap berdiri di balik tirai, menyaksikan pria yang semalam memeluk dan mencium dirinya. Kini pergi bersama wanita yang sah menyandang status sebagai istrinya.Ayu menahan napas ketika mobil itu melaju keluar dari halaman. Seketika dadanya sesak. Sebagian dari dirinya in
Suara tawa masih terdengar renyah dari dalam ruang tamu. Ayu berdiri kaku di balik dinding beton yang menjulang tinggi, tangannya masih menggenggam nampan kosong. Tadinya ia ingin langsung ke belakang, tapi di sudut hatinya ada rasa penasaran dengan lanjutan obrolan itu.“Bagimana kalau kalian liburan romantis ke eropa?” Saran Mila, menjadi orang yang paling antusias merencanakan bulan madu kedua untuk anak dan menantunya.“Boleh juga. Kamu mau kan Revan kita bulan madu ke eropa?” Tanya Nadine dengan suara yang sangat lembut dan mendayu merdu.Revan diam. Ayu tahu itu. Ia mengenal setiap tarikan napas Revan, setiap diamnya, setiap caranya menahan rasa tidak nyaman. Tapi sayangnya di dalam ruangan itu tak ada satupun yang menyadari. Semua sibuk membayangkan cucu yang akan segera lahir dari pasangan sah bernama Revan dan Nadine.Ayu menunduk, tak sanggup mendengar obrolan itu lebih lama. Ia cepat-cepat berbalik, melangkah ke dapur dengan pandangan yang mengabur oleh air mata yang ditaha
Suara Nadine masih terdengar memanggil di luar. Sedangkan di dalam sana, Ayu sudah bersembunyi di balik tubuh kekar Revan. Berbeda dengan Ayu, Revan malah terlihat santai seolah-olah itu bukanlah hal yang penting. “Jangan khawatir, aku akan bawa Nadine pergi. Nanti setelah aman kamu bisa langsung keluar.” Revan mengusap lembut puncak kepala Ayu.Ayu mengangguk patuh, lalu ia memilih untuk bersembunyi. Tapi sebelum itu, Revan kembali melabuhkan satu kecupan di keningnya dengan lembut.Keduanya sama-sama tersenyum, lalu Ayu bergerak cepat bersembunyi di balik sofa yang ada di sudut ruangan. Brak!Brak!“Revan, buka pintunya,” Nadine kembali berteriak. Ceklek!Revan membuka pintu dan ia langsung melihat wajah Nadine yang kesal. “Kenapa baru buka pintu sekarang?” Nadine berkacak pinggang di hadapannya. “Aku tidur,” Jawab Revan santai.Nadine memicing dengan tatapan penuh selidik. “Kenapa harus tidur di sini?” Nadine masih mencacarnya dengan pertanyaan, karena wanita itu ingin membac
Tubuh Ayu seketika meremang. Tetapi belum sempat ia bereaksi, Revan sudah terlebih dahulu mencium bibirnya, masih dengan kelembutan tapi penuh dengan tuntutan. Untuk yang kali ini, ayu sedikit kesulitan mengimbangi Revan yang pastinya sudah lebih pro dibandingkan dirinya yang seorang pemula. Namun sebisa mungkin Ayu berusaha untuk mengimbangi, walaupun kemampuannya masih kalah jauh. Melihat Ayu yang sudah terbuai, Revan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan sangat mudah, pria itu menggendong tubuh Ayu dan membawanya ke pembaringan. Diletakkannya tubuh itu dengan lembut, seolah-olah Ayu adalah sebuah kaca yang mudah retak jika diperlakukan dengan kasar.“Kamu cantik sekali, Ayu,” Puji Revan, setelah menyudahi ciumannya.Kedua pipi Ayu merona. Tatapan mereka saling bertemu, di mana ada hasrat yang sudah membara.“Ayu, bolehkah?” Revan bertanya sambil menyingkirkan helaian rambut Ayu yang menutupi wajah cantiknya. Hati Ayu yang sudah meledak-ledak, hanya bisa mengangguk lemah. Da
Tepat belakang sofa, jantung Ayu berdegup kencang. Tangannya reflek gemetar akibat rasa takut saat mendengar suara Nadine yang semakin mendekat. Ayu memejamkan mata, melafalkan doa berulang kali, semoga Nadine tidak melihat keberadaannya di sana. “Semoga Tuan Revan bisa membuat Nyonya pergi dari sini,” Batinnya. Kedua mata Ayu yang sejak tadi tertutup rapat. Tiba-tiba terbuka lebar, saat mendengar perkataan Nadine yang membuatnya semakin ketakutan. “Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan di sini kan!” Tekan Nadine, menatap tajam suaminya. Ayu menahan nafas. Ingin mendengar jawaban yang keluar dari bibir sang Tuan muda. Tepat di atas sofa. Revan terlihat santai, bahkan terlalu santai seperti apa yang terjadi bukan masalah baginya. “Sejak kapan kamu peduli dengan apa yang aku lakukan!” Ucapan Revan, sukses membungkam istrinya. Nadine diam untuk beberapa saat. “Wajar dong jika aku peduli, karena kamu suamiku dan aku tidak mau kamu macam-macam di belakangku,” Dengan san
Bu Marni yang sedang berada di dapur terkejut, saat melihat kedatangan Nadine yang hampir tidak pernah masuk ke area dapur. Wajah wanita itu terlihat serius dengan pandangan mata yang mengendar ke sekitar.“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Bu Marni menunduk hormat lalu bertanya. Nadine tidak menjawab. Ia mencari kamera tersembunyi berbentuk boneka kecil yang seingatnya ia tempelkan di pintu lemari pendingin.“Kemana semua hiasan kecil yang ada di pintu lemari pendingin ini?” Nadine menoleh ke arah Bu Marni. Bu Marni sedikit terkesiap, lalu ia menjawab. “Bukannya semua hiasan itu Nyonya minta untuk buang semuanya,”Nadine membulatkan kedua matanya. “Lalu kamu buang ke mana?” Nadine seketika panik, karena ia benar-benar lupa sudah meletakkan kamera tersembunyi di sana. “Saya buang ke tempat sampah yang ada di depan Nyonya,” Bu Marni menjawab dengan takut.“Cari dan ambil semua hiasan kecil itu!” Titah Nadine. “Maaf nyonya. Semua hiasan kecil itu pasti sudah tidak ada, karena tadi
2 hari kemudian…Nadine yang awalnya berencana liburan selama 3 hari di Singapura. Nyatanya ia harus kembali lebih awal, karena pria pujaan hatinya harus kembali lebih dulu karena ada urusan pekerjaan.“Jangan sedih gitu dong, nanti kalau aku ada waktu kita liburan lagi, ok,” Ucap pria itu merangkul bahu Nadine.Nadine menyandarkan kepala di dada bidangnya. “Janji ya?” Nadine mendongakkan kepala.Cup!Pria itu mencium singkat kening Nadine. “Iya aku janji,” Jawabnya disertai senyum.Karena taksi yang mereka naiki sudah sampai di apartemen pria itu, dengan berat hati Nadine harus berpisah dari nya. “Jangan lupa hubungi aku,” Pinta Nadine sebelum pria itu turun.Pria itu tersenyum, lalu mengangguk.Setelahnya taksi kembali melaju, mengantarkan Nadine pulang. Sebenarnya ia sedikit kecewa, karena rencana 3 hari liburan mereka harus dipersingkat menjadi 2 hari. Tapi tidak masalah, karena pria itu sudah berjanji akan mengajaknya liburan lagi di lain waktu.40 menit kemudian…Akhirnya taksi
Keesokan harinya…Pagi-pagi sekali Nadine sudah bersiap untuk pergi ke Singapura selama 3 hari. Selama istrinya berdandan, Revan hanya bersandar di headboard ranjang dengan laptop yang menyala dipangkuan. “Selama aku pergi kamu jangan macam-macam! Apalagi dekat-dekat dengan pembantu baru itu,” Nadine berucap sambil merias wajahnya di cermin. Revan menghentikan tarian jarinya sejenak. “Jika aku mau, sudah dari lama aku akan melakukannya.” “Baguslah kalau kamu tidak macam-macam. Oh iya, selama aku disana jangan pernah menghubungi karena aku tidak mau diganggu.” Nadine beranjak karena ia sudah selesai.Revan hanya diam, kembali memusatkan dirinya pada pekerjaan yang harus selesai pagi itu juga. 30 menit kemudian. Nadine yang sudah selesai berdandan langsung beranjak, ia mematut dirinya sekali lagi di depan cermin untuk memastikan penampilannya akan selalu sempurna. “Aku pergi,” Pamitnya keluar dari kamar. Revan tak menjawab, tapi ia hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada pek