Pagi itu langit terlihat cerah, dan rumah keluarga Ardiansyah masih tetap terasa lebih sunyi dari biasanya. Ayu memulai harinya lebih awal, membersihkan lantai atas sesuai instruksi Bu Marni. Langkahnya ringan nyaris tanpa suara, karena ia sudah terbiasa menjaga ketenangan. Sebab Ayu tahu betul, bahwa di rumah sebesar ini suara sekecil apapun bisa memantul ke mana-mana.
Sambil membawa ember dan lap pel, Ayu mendekati ruang tengah di lantai dua, tepat di depan kamar utama. Tadinya ia berniat membersihkan kaca jendela besar yang ada di ujung lorong. Tapi langkahnya terhenti, saat mendengar suara-suara dari balik pintu kamar yang tidak tertutup dengan sempurna. Awalnya hanya terdengar seperti gumaman cepat. Tapi lama-kelamaan suara Nadine terdengar lebih jelas dan meninggi. "Sampai kapan kamu terus mengatur hidupku, Revan? Aku bukan bonekamu." Ayu tertegun. Suara Nadine terdengar sangat tinggi dan penuh dengan kemarahan. Apa yang ia dengar barusan, tidak seperti wanita anggun yang ia lihat dari kejauhan semalam sore. "Aku tidak mengatur, Nadine. Aku hanya mengingatkanmu akan batasan yang seharusnya tetap kamu jaga. Bukankah nama baik sangat penting untukmu,” Revan terlihat santai, sama sekali tidak terpengaruh dengan suara istrinya yang meninggi. "Oh, jadi maksudmu aku istri yang buruk, gitu? Istri yang tidak tahu aturan, istri yang tidak penah memperhatikan suaminya!” Nadine semakin tersulut emosi. Revan tersenyum smirk. “Akhirnya kamu sadar dengan sendirinya.” Ayu berdiri kaku di tempatnya. karena perdebatan di dalam sana masih terdengar semakin sengit. Tetapi sejak tadi, hanya suara Nadine yang lebih mendominasi. "Tapi tunggu. Apa jangan-jangan, suamiku ini masih mengharapkan perhatian dan rumah tangga yang hangat?” Nadine bukan bertanya tapi lebih seperti sedang menyindir Revan, yang dulu pernah berharap perhatian dan rumah tangga hangat di tahun pertama mereka menikah. “Mengharap perhatian darimu adalah sebuah perbuatan yang sangat sia-sia." Suasana hening sejenak, lalu terdengar suara benda pecah dari dalam sana. Praang! Ayu memejamkan mata. Ia merasa bersalah karena sudah mendengar semuanya. Tetapi tubuhnya tak bisa digerakkan, seperti ada magnet yang menahan kakinya untuk tetap berada di sana. "Ya kamu benar sekali. Karena aku memang tidak berniat untuk memberikan perhatian sedikitpun padamu. Sebab aku, menikah denganmu atas dasar permintaan orang tua dan bukan karena cinta.” “Dan sekarang aku juga tidak butuh cinta dari perempuan sepertimu!” Ucap Revan tajam. Ayu tidak tahu apalagi yang terjadi di dalam sana. Namun, setelahnya pintu kamar terbuka. Revan keluar dengan langkah tegap dan lagi-lagi wajah dingin tanpa ekspresi. Ayu reflek mundur, membalikkan tubuh dan berpura-pura sedang mengepel lantai. Jantungnya berdetak kencang, ia merasa suara detaknya bisa terdengar sampai ke ujung lorong. Revan berjalan melewatinya tanpa menoleh. Namun langkahnya terhenti hanya beberapa meter dari tempat Ayu berdiri. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu melanjutkan langkah menuju ruang kerja. Ayu menatap punggung pria itu dari kejauhan. Ada sesuatu dalam caranya berjalan. Bukan marah tapi patah, yang sedang ia tutupi dengan wajah datar, agar tidak ada yang bisa membaca ekspresi wajahnya. Terhitung baru dua hari Ayu bekerja di rumah megah bak istana itu. Namun, Ayu tahu jika tidak ada cinta dalam rumah ini, yang ada hanyalah dua orang yang terpaksa terikat dalam janji pernikahan. Tapi hidup dalam dunia mereka masing-masing. Setelah itu Ayu menunduk dan lanjut mengepel lantai yang sebenarnya sudah bersih. Tapi, ia harus tetap berpura-pura, karena kedua telinganya mendengar ada ketukan stiletto yang keluar dari dalam kamar. "Hei kamu!" Nadine berdiri di belakangnya sambil berkacak pinggang. Kedua mata Ayu membulat, namun ia tetap memutar poros tubuhnya menghadap Nyonya pemilik rumah ini. "Saya Nyonya," Ayu menunduk dengan sopan. "Tolong panggilkan Lita dan suruh menghadap saya sekarang juga," Titahnya, kembali masuk ke dalam kamar. Jantung Ayu berdetak semakin menggila. Karena tadinya Ia berpikir, akan menjadi sasaran kemarahan sebab sudah lancang mendengar pertengkaran mereka. Namun apa yang ia pikirkan, tidak sesuai dengan kenyataannya. Ayu meninggalkan peralatan kebersihannya di sana. Lalu ia melangkah cepat, menghampiri Lita yang sedang membersihkan lantai satu. "Lita," Panggilnya. Wanita muda yang bernama Lita memutar poros tubuhnya. "Ada apa?" "Kamu dipanggil Nyonya, diminta untuk menghadapnya sekarang!" Ayu menyampaikan pesan dari Nadine. Tanpa mengucapkan sepatah katapun. Lita meninggalkan pekerjaannya, melangkah terburu-buru menghadap Nadine. Karena wanita itu paling tidak suka menunggu lama. Setelah menyampaikan pesan dari sang Nyonya rumah. Ayu kembali ke lantai atas, tapi baru saja ia akan memulai pekerjaan, Ayu mendengar suara Revan yang memanggilnya. “Ayu.” Tubuhnya menegang seketika, saat melihat Revan berdiri ditengah ambang pintu ruang kerja. “Iya Tuan.” Ayu menunduk sopan. “Tolong buatkan minuman untukku, terserah apa saja,” Pinta Revan, kembali masuk ke dalam. “Baik Tuan.” Ayu mengangguk, lalu pergi ke dapur. Tidak sampai 10 menit, Ayu kembali ke ruang kerja Revan dengan nampan kecil yang berisi teh hangat. Tok! Tok! Tok! Ayu mengetuk pintu, lalu terdengar sahutan dari dalam. Ia gegas membuka pintu. Terlihatlah Revan yang sedang berdiri di dekat jendela dengan pandangan yang menatap ke luar. “Letakkan saja diatas meja.” Revan menoleh sejenak. Ayu meletakkan teh hangat itu di atas meja sesuai instruksi sang tuan rumah. Setelahnya ia pamit keluar untuk melanjutkan pekerjaan. “Kasihan Tuan Revan.” Ayu bergumam, sambil melangkah meninggalkan ruang kerjaAroma tumisan bawang dan telur dadar memenuhi seluruh ruangan apartemen pagi itu. Sinar matahari menembus tirai tipis, jatuh di wajah Ayu yang tengah sibuk di dapur. Tangannya lincah mengaduk sup hangat, sementara di meja makan, roti panggang dan segelas susu sudah tersusun rapi. Sesekali, Ayu menatap jam dinding. Biasanya jam segini Revan sudah bersiap ke kantor. Tapi hari ini berbeda. Pagi ini Revan bilang ia ingin di rumah saja. Katanya, ingin “menghabiskan waktu” dengan Ayu. Senyum kecil terbit di bibirnya. Sejak tinggal di apartemen rahasia milik Revan, hari-hari Ayu jauh lebih tenang. Tidak ada lagi suara tetangga yang ribut di kosan, tidak ada atap bocor saat hujan. Tapi di sisi lain, hati kecilnya juga takut, takut jika semua ini hanya sementara. Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar. Revan keluar dengan kaus hitam polos dan celana panjang abu-abu. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi justru itu membuatnya tampak lebih santai dan... menawan. “Pagi sayang,” ucapn
Hujan baru saja reda ketika mobil hitam milik Revan berhenti di depan rumah sakit. Ayu menatap ke luar jendela, melihat butiran air yang masih menempel di kaca. Hatinya berdebar aneh, antara canggung, gugup, dan tak percaya bahwa ia kini benar-benar duduk di sebelah Revan lagi. Revan, sang tuan muda yang rela mengejarnya sampai keluar kota.“Udah siap?” suara Revan memecah keheningan. Nada lembutnya membuat Ayu spontan menoleh.“Kayaknya, iya,” jawabnya pelan, sambil menggenggam ujung tas yang ia bawa.Revan tersenyum tipis. “Kita periksa sebentar aja. Aku udah janji sama dokter buat cek kandungan kamu. Umurnya kira-kira baru enam minggu, kan?”Ayu mengangguk. “Iya, hasil test pack waktu itu cuma garis dua samar. Aku juga belum periksa ke dokter.”Tanpa menunggu jawaban, Revan turun lebih dulu, membuka pintu untuknya. Sifatnya yang perhatian itu membuat Ayu semakin salah tingkah. Mereka berjalan berdampingan melewati lobi rumah sakit. Aroma antiseptik menyeruak, sementara langkah kaki
Pintu kamar kos yang sempit itu tertutup rapat di belakang mereka. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan yang pengap, hanya terdengar deru nafas keduanya yang tidak beraturan. Lampu neon yang redup menyinari wajah Ayu yang pucat, matanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti mengalir sejak bertemu Revan tadi.Tanpa menunggu lebih lama, Revan langsung melangkah mendekat dan memeluk tubuh Ayu dengan erat, sangat erat. Seakan-akan ia takut wanita itu akan menghilang lagi jika pelukannya mengendur walau hanya sesaat. Rasa rindu yang telah ia pendam selama ini, kini meledak begitu saja membuatnya lupa akan segala hal. Lupa bahwa wanita yang kini berada dalam dekapannya sedang mengandung anak mereka."Ayu..." bisik Revan parau di telinga wanita itu. Suaranya bergetar, menahan emosi yang membludak. "Kenapa kau pergi? Kenapa kau tinggalkan aku?"Ayu yang awalnya kaku, perlahan mulai mencair. Tangannya yang semula tergantung lemah di sisi tubuh, kini terangkat dan membalas pelukan
Embun pagi masih menggantung di udara ketika mobil sedan hitam berhenti di depan gang sempit yang mengarah ke kos-kosan. Revan mematikan mesin dan menghela napas panjang. Tangannya bergetar sedikit ketika meraih kunci mobil. Perjalanan selama delapan jam dari Jakarta ke kota kecil ini terasa seperti keabadian baginya."Alamat ini sudah alamat yang benar kan?" tanya Revan pada pria paruh baya yang berdiri di samping pintu mobil."Benar, Pak. Ini fotonya waktu dia berangkat kerja ke laundry kemarin," jawab pria itu sambil menyerahkan foto Ayu yang sedang berjalan.Revan menatap foto itu dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah beberapa hari sejak Ayu pergi meninggalkan rumah tanpa kata-kata. Beberapa hari yang terasa seperti bertahun-tahun bagi Revan. Setiap malam ia tidak bisa tidur nyenyak, terus memikirkan Ayu yang pergi membawa anak yang dikandungnya.Udara pagi yang sejuk menyapa wajahnya. Revan merapikan kemeja putihnya dan menyisir rambut dengan jari. Ia ingin terlihat rapi di depan
Lampu-lampu kristal Le Bistrot memancarkan cahaya hangat yang memantul di permukaan meja marmer, menciptakan suasana romantis yang biasa menjadi saksi bisu pertemuan rahasia Nadine dan Alvin. Restoran mewah itu memang selalu menjadi tempat favorit mereka, karena cukup eksklusif untuk menghindari mata-mata yang tidak diinginkan, namun cukup intimate untuk mengekspresikan perasaan yang terpendam.Nadine memarkir mobilnya di basement dengan tangan yang sedikit gemetar. Melalui kaca spion, ia memeriksa penampilannya sekali lagi, memastikan cardigan yang dikenakannya cukup longgar untuk menyembunyikan perubahan bentuk tubuhnya. Napas panjang ia hembuskan sebelum keluar dari mobil, berusaha menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk bertemu dengan pria yang sangat dicintainya.Lift membawanya ke lantai dua restoran dengan musik jazz yang lembut mengalir dari speaker tersembunyi. Begitu pintu lift terbuka, mata Nadine langsung menangkap sosok familiar yang duduk di meja pojok, meja yang
Jam dinding di ruang kerja Revan berdetak monoton, menunjukkan pukul 19.00 WIB. Suara mekanis itu terasa begitu keras di tengah kesunyian malam yang mulai turun. Gedung perkantoran sudah hampir kosong, hanya tersisa beberapa lampu yang masih menyala di lantai-lantai tertentu, menciptakan pola cahaya yang sporadis di antara kegelapan.Revan masih terpaku di kursi kepimpinannya, mata lelahnya menatap layar ponsel dengan intensitas yang tak berkurang sejak siang tadi. Jari-jarinya sesekali mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, menunggu kabar dari tim pencari profesional yang telah ia tugaskan untuk menemukan Ayu. Kriiing... Kriiing...Ponselnya kembali bergetar dan bersuara nyaring. Dengan harapan yang membuncah, Revan langsung meraih telefonnya, berharap melihat nomor yang ditunggu-tunggu. Namun layar menampilkan nama "Nadine" dengan foto pernikahan mereka yang penuh ironi menyakitkan.Revan memandang layar itu dengan tatapan datar, hampir tanpa emosi. Ini sudah panggilan kesepuluh dala