Akhirnya Syahira masuk ke dalam mobil mewah milik Tuan Rinto. Jantungnya berdetak sangat cepat. Ia merasa sangat ketakutan.
'Ya ampun, gimana ini? Sebenarnya Tuan Rinto mau bawa aku kemana? Kenapa dia gak ilfeel, sih, liat penampilan aku kayak gini?' Syahira bermonolog.
Supir pribadi Tuan Rinto segera menyalakan mobil dan melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan pekarangan rumah keluarga Kemal.
Tuan Rinto terus saja memperhatikan wajah Syahira yang duduk berada di sampingnya.
"Meskipun penampilanmu seperti ini, ternyata kamu tetap terlihat cantik. Hanya saja baju yang kamu pakai itu benar-benar seperti gadis kampung!"
Syahira mendelik, menatap tajam ke arah Tuan Rinto. "Sebenarnya Tuan mau bawa saya kemana?" tanyanya memberanikan diri.
"Sebaiknya kamu tidak banyak bertanya, Syahira. Ikuti saja perintah saya. Karena saya sudah mengeluarkan banyak uang pada ibumu untuk bisa membawamu."
Perkataan yang keluar dari mulut Tuan Rinto membuat Syahira bergidik ngeri. Dirinya merasa seperti barang yang sudah dibeli oleh seorang konglomerat. Kemudian Syahira terdiam. Berbagai pikiram buruk kini hadir di dalam benaknya. Ia takut jika dirinya nanti akan dijadikan budak pemuas nafsu oleh Tuan Rinto. Seperti yang sering ia baca di novel-novel kesayangannya.
"Kita mau kemana, Tuan?" tanya supir pribadi Tuan Rinto.
"Kita ke hotel Sahara," jawab Tuan Rinto.
Seketika Syahira langsung membulatkan matanya saat Tuan Rinto mendengar nama hotel Sahara. Bagaimana tidak, hotel Sahara adalah tempat dimana ia bekerja. Dirinya tidak mungkin datang ke hotel itu dengan seorang pria seperti Tuan Rinto apalagi saat ini ia berpakaian seperti orang kampung. Sudah pasti orang-orang yang mengenalnya akan berpikiran jika ia adalah perempuan nakal. Datang ke hotel bersama dengan om-om.
"Ki--kita mau apa, Tuan, ke hotel?" tanya Syahira dengan gugup.
"Sudah saya katakan, kamu tidak usah banyak tanya!" Tuan Rinto berbicara cukup keras, sehingga membuat Syahira semakin merasa ketakutan.
Tuan Rinto mengambil ponselnya, kemudian menghubungi seseorang.
"Tolong siapkan kamar dan carikan gaun yang seksi. Sekarang juga!"
"Baik, Tuan. Saya siapkan sekarang juga," sahut seorang wanita dari balik telponnya.
Kemudian Tuan Rinto langsung mengakhiri panggilannya.
'Gaun seksi? Untuk apa?' Syahira bertanya-tanya di dalam hatinya. Ia semakin ketakutan.
Beberapa menit kemudian, mobil tersebut telah memasuki area hotel Sahara. Jantung Syahira semakin berdetak tak karuan.
'Ya ampun bagaimana ini? Mudah-mudahan saja tak ada orang yang mengenalku. Apalagi kalau sampai bertemu dengan Bu Luna. Habislah aku menjadi bahan buliannya,' batin Syahira.
"Hei, ayo cepat turun, kenapa kamu bengong aja dari tadi?" tegur Tuan Rinto dengan suaranya yang cukup keras, sehingga membuat Syahira terperanjat.
"I--iya, Tuan."
Syahira bersiap untuk turun dari mobil, membuka pintu mobil dengan tangan sedikit gemetar. Setelah keluar dari mobil, ia terus saja menundukkan kepalanya. Takut jika ada orang yang mengenalnya.
"Astaga, kamu benar-benar membuatku kesal, Syahira. Kenapa lelet sekali? Untung saja kamu itu memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang indah, jika tidak, saya tidak sudi mengeluarkan banyak uang untukmu," gerutu Tuan Rinto.
Pria paruh baya itu langsung menarik tangan Syahira agar segera masuk ke dalam hotel. Mau tak mau Syahira mengikuti langkah kaki Tuan Rinto. Namun ia menundukkan kepalanya. Tak berani menatap ke depan. Melihat itu, Tuan Rinto merasa sedikit heran.
"Hei, kenapa dari tadi kamu terus saja menundukkan kepala? Malu, karena pakaianmu yang kampungan, hah?"
"Ti--tidak, Tuan," jawab Syahira gugup.
"Aaahh ... terserah kamu sajalah. Saya hanya ingin cepat sampai ke kamar. Melihatmu memakai gaun yang seksi. Hahahaha ...."
Sontak, Syahira langsung mendongakkan kepalanya.
"Kita mau ngapain ke kamar, Tuan? Bukankah Tuan hanya akan mengajak saya untuk makan malam di restoran?" tanya Syahira memberanikan diri.
"Kamu tinggal ikuti saja perintah dari saya, Syahira!" hardik Tuan Rinto.
Syahira langsung terdiam. Tak berani lagi untuk mengeluarkan suaranya.
Tiba-tiba ....
Bugh!
Syahira menabrak seseorang.
"Maaf," ucap Syahira. Ia tetap menundukkan kepalanya. Tak berani menatap ke depan. Setelah itu ia kembali melangkahkan kakinya. Namun langkahnya terhenti saat perempuan yang tak sengaja bertabrakan dengannya menarik tangan Syahira.
"Syahira?" seru perempuan yang ternyata adalah Luna.
Kedua matanya kemudian menatap seorang pria yang sedari tadi menggandeng tangan Syahira.
"Tuan Rinto? Anda bersama gadis kampungan ini?" tanya Luna heran.
"Hai, Luna. Ya, kenapa? Ada yang salah?" tanya Tuan Rinto.
Tuan Rinto adalah kolega bisnis dari ibunya Luna. Mereka cukup dekat, sehingga Luna sedikit tau tentang bagaimana kelakuan Tuan Rinto yang sering menyewa wanita nakal untuk melampiaskan hasratnya sebagai laki-laki.
Luna menatap Syahira dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Dia tiba-tiba tersenyum sinis.
"Aku gak nyangka. Ternyata, kamu ini seorang wanita panggilan, ya?"
"Ayo cepat mandinya, jangan lama-lama!" seru Romi. Kemudian ia pun kembali ke ruang tengah dan duduk si sofa semula. Sambil menunggu anak dan menantunya bersiap-siap, Romi memainkan ponselnya.Samuel segera mengetuk pintu kamar mandi yang memang hanya ada satu di dalam villa itu. Tok ...tok ... tok ..."Syahira, apa kamu bisa lebih cepat di kamar mandinya?" Samuel sedikit berteriak tepat di depan pintu kamar mandi. "I--iya, ini sebentar lagi juga udah selesai, kok," sahut Syahira dari dalam kamar mandi. Kemudian ia pun segera menyelesaikan ritual mandinya dengan tergesa-gesa. 'Huh, ga enak banget mandi aja di tungguin.' Syahira menggerutu di hatinya. Menit berikutnya, pintu kamar mandi pun terbuka, dan Samuel masih berdiri di depan pintu, membuat Syahira merasa malu, karena saat ini Syahira hanya mengenakan handuk. Tubuh polosnya kini hanya berbalut handuk. Syahira dan Samuel sama-sama mematung dan saling pandang. Samuel sampai meneguk air liurnya b
"Pagi, pengantin baru," sapa Romi yang sepagi ini sudah berada di depan pintu villa yang ditempati oleh Syahira dan Samuel. Syahira yang baru bangun, sangat terkejut melihat kedatangan ayah mertuanya yang tiba-tiba, dan sepagi ini pria paruh baya yang masih terlihat tampan diusianya itu sudah datang ke villa. Entah untuk apa Romi datang sepagi ini. "Pa ... Pak Romi?" pekik Syahira terkejut. "Ayolah, Syahira. Jangan panggil 'pak'. Panggil Ayah saja. Kamu ini sekarang adalah istri dari Samuel, putra Ayah satu-satunya. Jadi, Ayah juga sudah menganggap kamu sebagai putri Ayah."Romi mengacak rambut Syahira. Pria itu memperlakukan Syahira sudah seperti anak kandungnya sendiri. Karena memang sedari Syahira kecil, Romi sudah menganggap gadis itu sebagai anaknya sendiri. Dan betapa bahagianya Romi saat ini, setelah keinginannya terwujud untuk menikahkan putranya dengan Syahira. 'Ish, kenapa ayah sama anak itu tingkahnya sama saja. Sama-sama suka mengacak rambutku,' g
"Kamu kenapa, Syahira? Kok ngeliatin aku kayak gitu?" Samuel memicingkan matanya. Menatap wajah perempuan yang baru saja dinikahinya itu. "Eh ... siapa yang ngeliatin Bapak. Kepedean, deh," sanggah Syahira sembari memalingkan wajahnya, menatap hamparan lautan di depannya. Terlihat sekali jika Syahira berusaha untuk menutupinya. Perempuan yang kini sudah sah menjadi istri dari Samuel itu, saat ini pasti sedang merasakan malu.Samuel tersenyum. Laki-laki yang kini berkulit putih itu masih terus memandangi wajah Syahira. Ekspresi wajah istrinya sungguh sangat menggemaskan bagi Samuel. Baginya, Syahira masih sama seperti dulu. Syahira kecil yang manja dan menggemaskan. Rasanya, Samuel masih tak percaya jika saat ini ia telah menikahi gadis kecilnya. "Kenapa jadi sekarang Bapak yang ngeliatin aku kayak gitu?" protes Syahira yang merasa dirinya sedang diperhatikan oleh Samuel. Kali ini giliran Samuel yang terlihat salah tingkah. Ia merasa termakan oleh omongannya s
"Cellin!" pekik Rena begitu terkejutnya, saat ia melihat putri kesayangannya itu tiba-tiba jatuh pingsan di dekatnya.Kedua matanya langsung membelalak lebar. Wajah Rena pun sudah terlihat begitu panik dan kebingungan, tak mengerti kenapa putrinya jadi seperti ini lagi.Rena berjalan cepat menghampiri Cellin yang sudah terpejam tak berdaya. Lekas ia duduk bertekuk lutut di samping sang putri dan menepuk-nepuk pipi Cellin dengan pelan."Astaga, Cellin! Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu jadi seperti ini, Nak?" Rena masih panik dan mengguncang-guncangkan tubuh Cellin supaya mau terbangun."Ayo bangun, Cellin. Jangan buat ibu jadi cemas begini," panik Rena, karena putrinya itu tak kunjung membuka matanya.Rena benar-benar kebingungan dan kalang kabut. Dia tak tahu apa yang telah terjadi kepada putrinya, kenapa akhir-akhir ini Cellin seringkali mendadak pingsan seperti saat ini.Melihat Cellin yang tiba-tiba jatuh pingsan, membuat hati bersih Syahira pun ter
"Ya ampun, Cellin. Apa yang terjadi sama kamu?"Rena tengah duduk di atas tempat tidur dengan wajahnya yang terlihat begitu cemas. Di sampingnya tampak sang putri kesayangan yang sedang berbaring miring membelakanginya.Selimut tebal nampak menutupi tubuh gadis remaja itu hingga sebatas telinganya. Di balik selimut tebal itu, terlihat bahunya naik turun dan suara isakan pelan terdengar."Hiks, hiks," isak tangis Cellin tergugu, membuat dadanya terasa kian sesak.Menyaksikan putrinya yang sedang menangis tertahan, tentu saja membuat Rena semakin merasa cemas. Perlahan ia menyentuh punggung Cellin dan mengusap-usapnya."Cellin, ada apa, Nak? Katakan sama ibu, apa yang terjadi sama kamu?" bujuk Rena.Akan tetapi, Cellin sama sekali tak mau menjawab pertanyaan ibunya dan memilih untuk tetap diam meringkuk sambil terus menangis. Rena menjadi kebingungan dengan sikap sang putri. Tangannya kemudian terulur meraih kepala Cellin, tetapi tiba-tiba Rena merasa sangat te
Dengan langkah berjingkat, Syahira berjalan keluar dari kamar. Sengaja ia berjalan pelan seperti itu agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu istirahat Samuel saat ini."Aku harus segera masak, mumpung dia masih tidur," gumam Syahira, sembari membuka pintu kamar dengan pelan dan menutupnya kembali dengan berhati-hati.Kritt!Begitu pintu kamar tertutup, Syahira kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur. Ruangan luas yang tampak rapi itu menyambut kedatangan Syahira di sana. Pasti Mbak Siti yang sudah merapikan tempat itu sebelumnya. Syahira pun kemudian mulai berjalan mendekati lemari es yang berada di sudut dapur."Mungkin ada sesuatu yang bisa aku masak pagi ini," gumam Syahira, berucap pada dirinya sendiri.Perlahan tangannya mulai meraih gagang pintu lemari es tersebut dan lekas menariknya. Kulkas pun terbuka lebar, tetapi ketika suhu dingin dari lemari es itu menguar menerpa wajah Syahira, seketika kedua mata gadis itu membelalak lebar. Kedua bibirn