Share

Bab 6 tanda cinta

Malam ini di sebuah markas yang di pegang oleh perkumpulan Mafia bernama Wustom, saat ini mereka mendapatkan kiriman hadiah yang sangat indah.

Orang orang Granida membuka kotak besar itu di luar, takutnya ada jebakan dari Mafia lain yang akan membuat mereka dalam bahaya, bukan hal pertama bagi mereka mendapatkan kiriman seperti itu.

Dan yang sudah sudah isinya adalah bom, atau bahkan senjata yang bisa menghabisi nyawa para orang orang itu.

Mereka membuka kotak yang ada di sana, dan isinya adalah anak buah yang tadinya di suruh mencari tau keberadaan Aldrich.

Mereka terkejut bukan main, mengingat saat berangkat orang itu masih sangat sehat.

"Panggil tuan Granida" pinta orang itu.

"Ada apa" tanya Granida yang saat ini sudah ada di sana menatap tajam pada kotak yang besar itu.

"Tuan jenazah Naren" sahutnya menunjuk pada jasad yang sudah di tinggal rohnya itu.

"Ini pasti ulah Aldrich" geramnya.

Granida melihat ada sebuah pemutar rekaman yang ada di atas jenazah Naren.

Granida memutar rekaman suara itu dan ternyata benar suaranya adalah suara Aldrich.

(( "Granida, CK bodoh, kau lupa pada ku? Fyuh, aku tidak akan lupa padamu, bagaimana kabar mu? Masih mau menghabisi aku? Kalau kau mau melakukan transaksi di di wilayah ku, maka lakukan saja, tapi tolong jangan lakukan apa pun yang akan membuat mu menyesal, bukankah kita teman? Arggh aku lupa kita sudah bukan siapa siapa lagi?, Oh ya aku hanya meminta pada mu, tolong jangan campuri urusan ku dasar keparat" geram Aldrich di remakan itu.

"Aku harap tuhanlah yang membalas dirimu Granida" amarah Van meluap saat bicara di perekam itu. ))

Granida marah dia langsung melemparkan perekam suara itu hingga hancur di tanah yang berbatu itu.

Granida mengambil bom yang ada di saku celananya itu.

Bom itu dia lemparkan ke arah peti mati itu,

Bumm

Bom itu meledak menghancurkan peti mati, hingga membuat peti itu terbakar habis dengan api yang seketika langsung melahap itu semua.

"Aaaaa... Aku akan hancurkan kalian Aldrich, Van" geram Granida berteriak layaknya seorang yang benar benar marah bahkan urat nadi yang ada di lehernya terlihat jelas.

**

Malam ini Leya belum bisa pulang, hari ini adalah waktunya gajian, tapi Ibu Ani dan Ririn meminta Leya menunggu hingga Aldrich memberikan uang gaji mereka.

Sekarang sudah pukul delapan malam, Leya bahkan sudah melaksanakan sholat Maghrib dan isya di sana.

Saat ini yang Leya tunggu adalah uang gaji dari Aldrich.

Bulan ini adalah bulan kedua mereka gajian dan sesuai perjanjian, harusnya tanggal ini Aldrich memberikan gaji pada pekerjaannya.

Brakk

"Aaaaa" teriak seorang wanita sambil membuka pintu utama dengan kasar,

Leya langsung bangkit dia mendekat dengan perlahan ke arah ruang tamu yang sangat luas itu, leya takut kalau ada musuh yang datang ke sana, apa lagi sejak kejadian tadi siang, Aldrich pun seperti terlihat was was.

"Nona" sahut Leya yang langsung membantu Emly yang saat ini berjalan sempoyongan.

"Antar dia ke kamar" tidak anak buah Aldrich yang sejak tadi mengawal Emly.

Dengan keadaan yang tidak sadar Emly pulang, bahkan bajunya terlihat koyak mungkin karena Emly mabuk parah.

"Nona aku antar ke kamar ya" ucap Leya.

Leya memapah Emly yang saat ini mabuk, bahkan di mulutnya menyeruak minuman beralkohol yang mungkin baru saja Emly minum.

"Ada apa" tanya Aldrich dengan suara berat, tak ada sedikit pun rasa khawatir yang di tunjukan oleh Aldrich pada adiknya.

Bukan karena tak sayang, hanya saja Aldrich malas memarahi Emly, apa lagi ujung ujungnya Emly pasti menangis dan menyalahkan Tuhan karena sudah mengambil orang tua mereka.

"Tuan, Nona mabuk" jawab Leya.

"Antar ke kamarnya, dan datang ke kamar aku, uang gajian kamu sudah aku siapkan" sahut Aldrich.

"Baik tuan" ujar Leya.

Dengan cepat Leya membawa Emly ke kamar Nonanya itu, Leya menyayangkan keadaan Emly sekarang apa lagi Emly masih sangat muda.

Leya menyelimuti tubuh Emly, namun saat ini tatapan mata gadis itu tertuju pada leher Emly yang banyak kecupan merah di sana.

"Astaghfirullah" gumam Leya yang langsung memegang dadanya tak pernah kalau Emly akan melakukan hal di luar batas itu.

Leya langsung pergi dari sana menuju ke kamar Aldrich yang ada di lantai yang sama dengan kamar Emly.

Tokk

"Masuk" suara berat Aldrich menyambut kedatangan Leya.

"Ini gaji kalian" Aldrich menyodorkan tiga buah amplop pada Leya.

"Terima kasih tuan, saya akan berikan pada Ibu Ani dan Ririn" sahut Leya.

Tak ada jawaban dari Aldrich dia malah fokus pada layar laptop yang saat ini ada di hadapannya.

"Tuan, saya melihat kalau di leher Nona ada tanda cinta" sahut Leya.

Aldrich menghentikan gerak tangannya yang saat ini tengah mengetik.

Keningnya mengerut, namun hanya sebentar setelahnya dia langsung melanjutkan mengetik angka angka yang ada di laptop itu.

"Biarkan saja" sahut Aldrich.

"Tapi tuan, setau aku Nona besok akan ada kuliah di kota, apa tidak apa apa kalau Nona seperti itu" tanya Leya.

"Kamu punya cara untuk menghilangkannya" tanya Aldrich yang bahkan tak melihat sedikit pun pada Leya.

"Katanya pakai bawang putih bisa" sahut Leya ragu.

"Lakukan saja apa pun yang kau bisa, kalau perlu kau cuci saja kulitnya agar tak ada yang bisa menyentuh Emly" titah Aldrich.

"Baik tuan".

Leya pergi dari sana setelah berpamitan pada Aldrich, saat ini sudah malam dan Leya akan pulang sendirian dari sana.

Jarak rumahnya ke Villa itu tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu jalan sekitar tujuh menit.

Leya mengambil barang barang dia, saat ini dia langsung pulang karena anaknya pasti menunggu Leya pulang.

Pil pahit sudah Leya telan, dia harus menerima kenyataan kalau suaminya menikah lagi dengan meninggalkan dia dan anaknya yang masih sangat kecil.

"Malam ini terlihat lebih gelap" gumam Leya.

Di kegelapan malam pukul setengah sembilan, Leya berjalan di jalanan itu, hanya lampu temaram yang ada di pinggir jalan itu yang menerangi langkah Leya.

"Dinginnya" gumam Leya.

Prakk

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status