Share

Bab 5 kedatangan musuh

"Tuan" keluh Leya yang saat ini tangannya di pelintir oleh Aldrich.

"Maafkan aku" kesal Aldrich yang langsung melepaskan tangan Leya.

Leya mengasuh kesakitan dia bahkan mengibas ibaskan tangannya karena kesakitan ulah Aldrich.

"Tuan setid....."

Dorr

"Tiarap" sahut Aldrich membawa Leya ke kolong ranjangnya.

Dug

Kepala Leya terbentur di ranjang yang ada di kamar itu, Leya di ibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga juga.

Leya memegang kepalanya yang terbentur cukup keras, ke kayu yang menopang ranjang itu.

"Sakit" tanya Aldrich yang langsung mengusap kepala Leya.

"Ish kenapa ada suara pistol di sini" geram Aldrich yang saat ini sudah sangat marah bahkan rahangnya mengeras jika mengingat musuh musuh Aldrich yang selalu saja mengincar dia.

"Tuan ada apa" tanya Leya ketakutan, tentu saja Leya bahkan belum pernah melihat seperti apa pistol tapi saat ini ada suara pistol yang terdengar di Villa itu.

Brakk

Leya terperanjat kaget saat mendengar suara pintu yang saat ini terbuka, Leya takut kalau ada orang jahat yang datang ke sana.

"Al" teriak nyaring Van membuat Aldrich menghela nafasnya.

"Kalian sedang apa" tanya Van saat melihat Aldrich tengah bersembunyi di kolong ranjang bersama dengan Leya.

Hahaha

Suara gelak tawa terdengar renyah oleh Aldrich, namun saat ini Aldrich mengambil satu gelas air dan langsung menguyur wajah Van dengan air itu.

Seketika tawa itu langsung hilang di gantikan dengan wajah bengis dari Van.

"Ada apa di luar" tanya Aldrich.

"Musuh mu datang ke sini, tapi aman anak buah mu sudah menangkap dia" sahut Van sambil mengelap wajahnya dengan tissue yang ada di atas meja.

"Syukurlah" gumam Aldrich.

Leya langsung berjalan akan keluar dari kamar itu, Namun tangannya di pegang erat oleh Aldrich yang melarang Leya untuk pergi dari sana.

"Tunggulah di sini" pinta Aldrich.

"Tidak bisa tuan, saya harus ke bawah" sahut Leya.

"CK baiklah" decak Aldrich.

**

Di sebuah ruangan yang gelap, terdengar suara ringisan kesakitan seseorang yang mampu mengganggu pendengaran semua orang yang ada di sana.

Tak

Tak

Derap langkah memecah keheningan, menyiratkan aura yang menyeramkan dengan keadaan ruangan yang gelap tanpa penerangan.

Salah satu anak buah Aldrich membuka jendela yang ada di ruangan itu, hingga menampakan wajah cecunguk yang saat ini di ikat dengan tali.

"Siapa yang menyuruhmu" suara dingin itu bertanya pada cecunguk yang saat ini hanya bisa memohon ampun.

Lakban yang tadinya menutupi mulutnya di tarik dengan sangat kencang.

"Katakan" ujarnya.

"Tuan tolong ampuni saya" ungkapnya memohon ampun pada laki laki iblis yang bahkan sudah tidak mengenal kata maaf itu.

"Siapa" suara berat menuntut orang itu untuk menjawab pertanyaannya.

"Tuan Granida" ungkapnya dengan lutut yang sudah bergetar hebat.

"Ampuni saya tuan, saya janji saya akan bilang pada tuan Granida kalau di sini tidak ada siapa pun" mohonnya membuat perjanjian dengan Aldrich.

"Baiklah lakukan saja" titah Aldrich mengkode anak buahnya untuk membukakan ikatan yang menjerat tangan dan kakinya.

Orang itu mengambil ponsel yang ada di saku celananya,

๐Ÿ“ž๐Ÿ“ž

"Tuan, di Villa ini tidak ada orang" sahutnya.

"Benarkah, lantas kemana Aldrich dan para anak buahnya" suara berat terdengar marah di sebrang sana.

"Benar tuan" ungkapnya.

"Baik pulanglah, sekarang ada hal yang harus kita lakukan" sahutnya.

๐Ÿ“ž๐Ÿ“ž

"Apa yang mau dia lakukan" tanya Aldrich.

"Tuan ingin melakukan transaksi racun di wilayah anda" sahutnya.

"Transaksi di wilayah aku" senyuman terbesit di bibir pria itu.

"Hahahah, baiklah aku tunggu kedatangannya" sahut Aldrich.

Dorr

Aldrich menembakan peluru pada orang itu, dengan seketika dia langsung terjungkal dan tewas di tempat.

Sungguh Aldrich tidak menerima permintaan maaf apa lagi dari orang yang sudah main main dengannya.

"Kirimkan mayat laki laki itu pada Granida, aku mau melihat bagaimana reaksi dia saat tau kalau anak buahnya itu sudah tewas" titah Aldrich dengan senyuman yang menyeringai.

Saat ini ada beberapa warga yang datang ke sana, Aldrich langsung paham pada apa yang akan di lakukan oleh warga itu.

"Cepat kemas dia" titah Aldrich.

Dengan cepat Aldrich keluar dari sana dengan di dampingi beberapa orang anak buahnya, Aldrich akan menyambut warga yang datang.

"Selamat datang bapak bapak" sahut Aldrich yang langsung menyalami bapak bapak yang datang itu.

"Tuan, mohon maaf tadi kami mendengar ada suara tembakan, ada apa ya" tanya bapak bapak itu mengintimidasi Aldrich.

"Tidak ada pak" jawab Aldrich.

"Tapi orang itu menanyakan anda" sahut bapak itu.

"Oh ya itu tadi ada yang datang ke sini, tapi sudah pulang lagi, kalau bapak tidak percaya silahkan mau di lihat lihat" sahut Aldrich dengan senyuman ramahnya.

"Tidak perlu tuan" ujarnya yang langsung pergi dari sana meninggalkan Aldrich yang saat ini masih memandang mereka.

"Tidak akan mampir dulu pak" tanya Aldrich setengah berteriak.

"Tidak perlu tuan, kami ada urusan" sahutnya.

Aldrich hanya bisa mengigit bibir bawahnya saja, dia yakin kalau mereka mencurigai Aldrich dengan datangnya anak buah Granida.

"Semuanya kacau" gumam Aldrich.

Leya dan Ririn menatap pada warga yang baru saja pulang itu.

"Kamu merasa gak, kalau tuan Al itu bukan orang sembarangan" tanya Ririn.

"Ya aku merasa, dia layaknya seorang psikopati" jawab Leya mempunyai pemikiran yang sama seperti Ririn.

"Apa jika kita melakukan kesalahan, kita akan di bunuh" tanya Ririn menatap datar.

"Mungkin, makanya jangan buat kesalahan" sahut Leya.

"Siapa yang suka membuat kesalahan bukannya kamu ya" tanya Ririn dengan tawa kecil.

"Ada apa".

"Hah" Leya dan Ririn terkejut saat mendengar suara laki laki yang ada di belakang mereka.

Mereka hanya menunduk saat melihat kalau laki laki yang ada di sana adalah Van.

"Sedang apa" tanya Van.

"Kami sedang mencari barang" ujar Ririn yang langsung pergi dari sana mencari cari barang padahal itu adalah sebuah kebohongan besar.

"Permisi tuan" ujar Leya yang akan pergi juga.

"Tunggu" sahut Van yang mampu menghentikan langkah kaki wanita berusia dua puluh tahunan itu.

"Ya tuan" tanya Leya.

"Duduklah" pinta Van yang langsung di turuti oleh Leya dan duduk di kursi meja makan bersebrangan dengan Van.

"Aku mau tanya boleh" tanya Van yang di Jawab anggukan kepala oleh Leya.

"Kenapa memakai hijab" tanya Van.

Leya mengernyitkan dahinya dia bingung harus menjawab apa karena alasan Leya memakai hijab tentu saja karena ingin menutup aurat.

"Tuan, alasannya adalah saya ingin menutup aurat" jawab Leya.

"Apa itu aurat" tanya Van.

"Tubuh yang tidak boleh terlihat oleh lawan jenis" jawab Leya.

"Kau tau, dulu mendiang istri ku dulu mau memakai hijab, tapi sayang sebelum keinginan itu terwujud dia malah di ambil tuhan" Van menceritakan itu dengan wajah yang sendu, mungkin Van mengingat mending istrinya.

"Yang sabar tuan, aku yakin Tuhan menyiapkan yang terbaik untuk anda" ujar Leya mencoba menguatkan Van.

Terlihat dari raut wajahnya Van sepertinya memiliki beban hidup yang pahit, bahkan saat ini mata Van sudah berembun karena merasa kehilangan yang sangat mendalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status