LOGINDalam kebimbangan hatinya, Moza memaksakan diri memakan beberapa potong buah. Hari ini, ia membutuhkan tenaga besar untuk menghadapi peristiwa yang akan mengubah garis hidupnya. Menikah dengan Dastan Limantara bukanlah perkara sepele. Ia tidak tahu badai apa lagi yang akan menerjangnya setelah janji suci itu terucap.Baru saja ia meletakkan garpu, ponsel di atas meja berkelap-kelip.Melihat nama Pak Nata muncul di layar, Moza segera mengangkatnya. "Halo, Pak Nata?""Selamat pagi, Nyonya. Mohon maaf mengganggu, saya sudah menunggu di lobi bawah," suara Pak Nata terdengar sangat sopan dari seberang sana."Baik, Pak. Saya akan turun sekarang."Moza bangkit dan menoleh pada Isna yang sedang sibuk di dapur. "Bi Isna, saya akan pergi sekarang. Tolong bantu bereskan peralatan makan ini.""Tentu, Nyonya. Itu sudah menjadi tugas saya," jawab Bi Isna sambil membungkuk hormat."Terima kasih, Bi." Tanpa menunda lagi, Moza bergegas mengambil tas tangannya lalu melangkah keluar.Di lobi apartemen
Di sisi lain ibu kota, sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah berlantai dua.Yohan mematikan mesin mobilnya, tetapi tangannya masih mencengkeram kemudi dengan ragu. Ia menoleh ke arah Alexa yang sedang mematut diri di cermin kecil. "Alexa, apa kau yakin kita harus menemui Papa malam-malam begini?" tanya Yohan dengan nada khawatir.Alexa menutup cerminnya dengan bunyi klik yang tajam. Tatapannya dingin dan penuh ambisi."Hanya Papa, satu-satunya orang yang bisa menghalangi Moza menjadi bagian dari keluarga Limantara," sahut Alexa sinis.Tanpa menunggu jawaban Yohan, Alexa membuka pintu mobil dan turun lebih dulu. Sepatu hak tingginya berbunyi nyaring di atas aspal. Yohan menghela napas panjang, merasa tidak punya pilihan selain mengikuti sang istri dari belakang. Alexa menekan bel pintu dengan tidak sabar. Tak lama kemudian, seorang pelayan pria paruh baya membukakan pintu dengan wajah mengantuk. "Nona Alexa? Apa Anda datang untuk makan malam?" ujar pelayan itu bingung.
Moza menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam detak jantungnya yang menggila.Motif apa yang tersembunyi di balik pertanyaan Dastan? Bisa jadi itu jebakan, bisa pula ujian kejujuran. Namun, kemungkinan paling berbahaya adalah pria itu benar-benar tidak tahu dan sedang mencari kebenaran.Karena itulah, ia tidak boleh bersikap naif. Sebelum hasil tes DNA keluar, Moza bertekad memagari dirinya dengan pertahanan yang kokoh.Perlahan, ia pun mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap langsung ke dalam manik mata Dastan. Mata Moza berkaca-kaca, memantulkan cahaya lampu kamar yang temaram.“Kalau saya berkata bahwa saya tidak tahu siapa ayah Kayden, apa Anda akan percaya, Tuan Muda?” tantang Moza dengan suara parau.Raut wajah Dastan berubah seketika. Kilat keterkejutan melintas di matanya. Bibirnya terkatup rapat, seolah ada kata-kata yang tertahan di kerongkongan.Moza tersenyum getir. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya.“Anda tidak percaya, bukan? Tapi itulah kenyataannya,” p
Ucapan Dastan masih bergema di telinga Moza, seperti perintah yang tak terbantahkan.Dengan hati berdebar-debar, Moza lekas mengeringkan tangannya yang masih lembap. Setelah memastikan peralatan makan tertata rapi, Moza melangkah menuju kamar Kayden karena kopernya masih tertinggal di sana. Ia mengetuk pintu dengan ragu, lalu mendorongnya perlahan. Seketika, pemandangan di depannya menghentikan detak jantung Moza. Di atas ranjang mobil yang tidak terlalu besar untuk orang dewasa, Dastan berbaring menyamping. Ia bersandar pada bantal, dengan tubuh Kayden yang mungil terbaring di sebelahnya. Pria itu memegang ponsel, tampak sedang membacakan sebuah dongeng yang ia cari di internet.Kayden sudah setengah tertidur, tetapi ia masih mendengarkan suara Dastan.Melihat kehadiran Moza, Dastan berhenti membaca dan menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan. "Mama mau tidur di sini juga?" panggil Kayden, membuka matanya sedikit."Tidak, Sayang. Mama akan mandi di kamar sebelah. Kayden tidur
Dastan masih menggendong Kayden, menikmati kehangatan kecil yang merembes melalui jasnya."Apa kau suka kamar ini?" tanya Dastan dengan suara rendah yang menenangkan.Kayden mengangguk mantap, tangannya masih melingkar di leher Dastan. "Suka sekali, Pa! Banyak mobilnya, tapi aku juga suka sepak bola. Aku punya bola di rumah Nenek Mara."Dastan menarik sudut bibirnya tipis, menampilkan senyuman yang hampir tak terlihat. "Nanti Papa akan tambahkan dekorasi bola di sini."Mendengar ucapan Dastan, mata Kayden berbinar senang. Namun, detik berikutnya raut wajah bocah lelaki itu berubah menjadi sendu. "Papa kerja sampai malam terus, ya? Apa kantor Papa jauh sekali dari sini? Aku nungguin Papa dari tadi,” tanya Kayden penuh rasa ingin tahu."Lain kali, Papa akan usahakan pulang lebih cepat," sahut Dastan. Harapan langsung bersinar di wajah Kayden. Ia menyandarkan kepala di bahu Dastan sambil merengek lebih manja."Aku mau tidur ditemani Papa. Aku takut kalau tidur sendirian di kamar baru."
Ketika Moza membimbing Kayden untuk mandi, bocah itu kembali dibuat terperangah. Kamar mandi di apartemen ini tidak seperti kamar mandi rumah sakit, atau rumah mereka di Sarima. Lantainya dilapisi keramik antislip berwarna biru muda dengan motif terumbu karang. Di sudut ruangan, terdapat sebuah bathtub porselen putih berukuran sedang, yang sangat pas untuk anak-anak. Dilengkapi dengan keran otomatis untuk mengatur suhu air.Moza mulai menyalakan air hangat. Wangi sabun beraroma bubblegum yang sudah disediakan di sana, langsung memenuhi ruangan."Mama, airnya keluar sendiri dari dinding! Dan lihat, cerminnya punya lampu di pinggirnya!" seru Kayden sambil menyentuh wastafel yang tingginya memang disesuaikan untuk anak-anak.Moza tersenyum lembut sembari membantu Kayden melepas pakaian. Ia mulai memandikan putranya dengan air hangat, membasuh punggung kecil Kayden dengan spons. Di tengah keheningan yang hanya diisi oleh suara gemericik air, Kayden tiba-tiba menoleh."Mama, apa Papa tin







