Share

2. Positif

Penulis: Luisana Zaffya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-26 16:24:59

Setelah jam sepuluh malam, akhirnya Dirga membiarkan Davina turun dari tempat tidur dan kembali ke kamarnya. Kamarnya tepat berada di samping kamar sang tuan. Yang meskipun ia tidak menempati kamar para pelayan karena memudahkan sang tuan menginginkan dirinya kapan pun.

Tubuhnya terasa menggigil, lemah dan seluruh tenaganya teruras habis. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata. Membiarkan kantuk berat menyelimutinya. Begitu cepat.

*** 

Pagi itu, di ruang makan Galena menyambut kedatangan Dirga dengan senyum semringahnya. Ya, sejak kemarin wanita itu bermalam di rumah ini, untuk satu bulan ke depan atau untuk seterusnya jika ia berminat melanjutkan pertunangan mereka.

Papa Galena menjadi investor terbesar di perusahaannya setelah Jimi mengobrak-abriknya. Membantunya selamat dari ambang kebangkrutan. Dan Galena sebagai putri kesayangan, yang secara kebetulan tertarik padanya, tentu saja tak membuang kesempatan itu. Meminta sang papa menjodohkan dirinya dengan wanita itu.

"Selamat pagi," sapa Galena dengan suara riangnya ketika Dirga duduk di kepala meja. "Apa kau beristirahat dengan baik? Maaf, semalam aku tidak menemanimu makan malam. Aku harus memeriksa gedung tempat resepsi pernikahan kita. Suasananya lebih indah ketika malam …."

Dirga tak mendengarkan. Pelayan mendekatinya dan menuangkan air putih di gelasnya, menarik perhatiannya karena ada yang janggal. "Ke mana dia?"

Pelayan itu berhenti menuangkan air putih di gelasnya. "Davina?"

Dirga tak mengangguk. Ya, semua pelayan tahu hanya gadis itu yang bertanggung jawab melayani semua kebutuhannya. Bahkan untuk segelas air putih yang akan dia teguk.

"Tadi pagi-pagi sekali dia menghubungi saya untuk menggantikan …"

Pyaarr ….

Gelas yang belum sepenuhnya terisi itu jatuh ke lantai. Membuat Galena terperanjat dan pelayan itu menjerit.

"Jadi dia sudah bangun dan memilih bermalas-malasan, begitu?"

Wajah pelayan muda itu memucat. Menggeleng dengan kepala tertunduk. "D-dia sakit dan …"

"Kau pikir aku butuh mendengar alasan?"

Pelayan itu menggeleng. "S-saya akan memanggilnya, Tuan."

Dirga tak perlu mengangguk. Pelayan muda itu bergegas menghilang dari pandangannya.

Galena yang menyaksikan adegan tersebut masih terpaku di kursinya. Pikirannya berusaha menelaah penyebab kemarahan Dirga. Dia? Jangan bilang yanh dimaksud dia oleh Dirga adalah pelayan yang keluar dari kamar pria itu kemarin pagi?

Ya, pelayan. Gadis itu ternyata tak lebih dari pelayan di rumah ini. Meski dispesialkan oleh Dirga dengan tidak tidur di kamar pelayan, gadis sialan itu hanya seorang pelayan.

"Aku tak tahu kau begitu pemilih bahkan untuk seorang pelayan, Dirga." Galena mencoba bersuara. Menatap ke arah Dirga yang bersandar di punggung kursi dengan pandangan tertunduk ke arah jam di pergelangan tangan pria itu.

Dirga sama sekali tak menanggapi. Wajahnya terlihat begitu kesal. Setelah semalam ia memberikan gadis itu keringanan dan kembali ke kamar, sekarang gadis itu semakin melalaikan kewajiban, begitu? Benar-benar licik. Seperti ayahnya.

Suara langkah mendekat membuatnya mengangkat wajah. "Kau membuatku menunggu. 3 menit 34 detik."

Dengan wajah pucat dan bibirnya yang kering, Davina  berkata lirih, "Maaf." Melihat gelas yang jatuh di lantai, ia pun bergegas ke dapur untuk mengambil gelas bersih dan menuangkan segelas air putih untuk sang tuan. Roti panggang, madu dan beberapa butir buah berry. 

Melihat itu, Galena menyeringai. "Aku mau jus jeruk," perintahnya melihat Davina yang baru saja selesai mengurus Dirga  dan berdiri di samping kursi pria itu.

Pelayan muda yang tadi memanggil Davina pun bergegas hendak menuangkan jus jeruk.

"Aku kau dia juga yang melakukannya untukku." Galena menunjuk ke arah Davina.

Dirga berhenti mengunyah, tanpa menoleh ke arah Galena, pria itu setengah membantung pisau dan garpunya ke piring. Membuat selera makannya seketika menguap.

Ck, hanya dirinya yang bisa memperlakukan Davina dengan cara yang buruk. Gadis itu pelayannya. Dan hanya untuk melayaninya. Hanya dirinya yang bisa menginjak-injak gadis itu. Melihat ada orang lain yang ikut campur memperlakukan Davina dengan 

"Bawakan aku segelas teh," perintah Dirga sambil mendorong kursi di belakangnya dengan kasar. Kemudian menghilang dari ruang makan dalam sekejap.

"Dirga?!" panggil Galena tapi tak digubris oleh pria itu. Membuat pandangannya teralih pada Davina dan pelayan muda yang kepalanya tertunduk. "Kenapa dia tiba-tiba marah? Apa aku melakukan kesalahan?"

Davina mengerjapkan matanya. Kepalanya masih pusing dan sekarang pria itu masih menginginkan dirinya.

"Hanya tuan yang berhak memerintah Davina, Nona."

Mata Galena melebar tak percaya. "Kenapa? Bukahkah dia juga pelayan di rumah ini?"

Pelayan muda itu mengangguk tetapi tak berani bicara lebih banyak.

Mata Galena menyipit, mengarah pada Davina. "Siapa sebenarnya kau?"

Davina tak menjawab, malah berbalik ke arah dapur.

Galena berang bukan main. Berani-beraninya seorang pelayan mengabaikan dirinya. Ia menghampiri Davina dan mencekal lengan gadis itu. Menyentakkan Davina hingga terputar menghadapnya. "Aku belum selesai bicara denganmu."

"Tuan tidak suka dibuat menunggu, Nona." Davina berkata dengan suaranya yang lemah dan bibirnya yang kering.

"Bukan aku juga yang akan kena murka Dirga, kan? Siapa kau sebenarnya?"

"Saya bukan siapa-siapa."

"Lalu kenapa hanya kau yang bisa melayani Dirga dan Dirga yang bisa kau layani?"

"Itu yang diinginkan tuan."

"Omong kosong." Galena mendorong pundak Davina dengan kasar. 

Tubuh Davina yang bahkan berjuang keras hanya untuk berdiri, dengan dorongan Galena pun dibuat tersungkur di lantai dengan mudah. Membuat pelayan muda di samping Galena bergegas menolong. Menangkap pundak Davina dan menjatuhkan kepala gadis itu di dadanya. "Maafkan Davina, Nona. Dia sedang sakit."

Galena yang hendak membuat pelajaran lebih keras lagi pada Davina pun segera mengurungkan niat. Ia hanya memerintah Davina saja sudah membuat Dirga marah, tentu saja ia tak mau membuat Dirga semakin murka kepadanya. Mau tak mau, ia pun mengalah dan berbalik pergi.

"Kau baik-baik saja?" Meera menepuk lembut pipi Davina. "Kau demam, Davina."

Davina berusaha mengumpulkan kesadarannya. "Aku harus membawa teh ke kamar Dirga."

"Tapi … biarkan aku yang mengatakan pada tuan."

"Kau tahu dia sedang kesal, kan? Bantu aku berdiri."

"Kalau begitu aku yang akan membuat tehnya. Kau duduklah."

"Dia akan tahu kalau kau yang membuatnya."

"Tuan tidak pernah meminumnya, kan? Kau tahu teh ini hanya alasan untuk …" Meera segera berhenti. Menatap canggung pada Davina.

"Ya, aku tahu." Dengan sisa tenaga yang semakin terkikis habis, Davina berjalan ke balik meja dapur. Mulai merebus air dan siap membawa nampan teh dalam lima menit. Meera yang tampak cemas pun tak bisa meninggalkan sang teman begitu saja. Khawatir jika tiba-tiba Davina  pingsan dan teh panas itu akan menumpahi tubuh gadis itu.

"Berikan padaku. Aku yang akan membawanya untuk tunanganku." Galena rupanya menunggu di ujung tangga. Mengambil nampan di tangan Davina dengan paksa.

Davina ingin membantah, tetapi berdiri saja ia sudah cukup lemah. Meera yang berdiri di samping Davina pun hendak membantu membantah, tapi seketika membungkam mulutnya karena mendapatkan pelototan mata dari Galena.

"Temanmu sedang sakit, kan? Karena aku majikan yang baik hati, aku akan membiarkanmu beristirahat. Pergilah. Huss." Galena mengusir Davina dan Meera dengan mengibaskan tangan, lalu berbalik dam berjalan ke arah pintu kamar Dirga.

"Tuan akan murka," bisik Meera mulai cemas.

"Dia tunangannya, kan. Akan baik-baik saja,"lirih Davina meski tak yakin dengan kalimatnya sendiri. Ia pun berjalan ke arah kamarnya dan berbaring di tempat tidur. Ingin sebentar memejamkan mata.

""Aku akan membawakanmu makanan untuk minum obat kalau begitu.."

"Tidak perlu, Meera," jawab Davina dengan suara lirihnya. "Kau lanjutkan saja pekerjaanmu atau tuan akan memarahimu."

"Ck" decak Meera tak suka.

"Apa ini?" Meera yang berdiri di samping ranjang mengamati sebuah stik berwarna biru muda yang baru diambilnya dari meja nakas. Sebelum kemudian terpaku menyadari benda itu dan terkesiap keras melihat hasilnya. "P-positif?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8b

    Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 8a

    Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7b

    Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 7a Cinta Sang Tuan

    Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6b

    Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen

  • Pelayan Sang Tuan   Extra 6a

    Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status