Praanggg ...
Nampan di tangan Galena jatuh berhamburan ke lantai."Kau tidak mendengar perintahku?" desis Dirga pada Galena. Sudah cukup keangkuhan wanita itu membuat selera makannya di meja makan raib, sekarang wanita itu mencoba menentang perintahnya. "Apa kau mencoba menantangku?"Bibir Galena membeku. Ketakutan merebak di dadanya. "A-aku hanya bermaksud melayanimu ...""Aku tak membutuhkannya.""T-tapi aku tunanganmu, Dirga? Kenapa kau begitu marah ...""Aku sudah mengatakan padamu, kan. Hanya butuh satu syarat kau tinggal di tempat ini. Patuhi peraturanku atau enyah dari hadapanku.""Kau benar-benar keterlaluan, Dirga!" Galena memberanikan diri untuk menentang. Kedua matanya berkaca-kaca oleh kekecewaan oleh kata-kata Dirga yang begitu dingin dan tak punya hati."Aku tak butuh istri yang tidak penurut, apalagi terlalu menuntut. Sekali lagi kuperingatkan padamu, ucapanku adalah peraturan di rumah ini. Jangan ganggu kesenanganku, urusanku, atau bahkan masalahku."Galena tak mengatakan apa pun. Sejak awal Dirga memang sudah memperingatkan bahwa pernikahan mereka tak akan lebih dari selembar kertas kesepakatan antara papanya dan pria itu. Ialah yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada Dirga. Merayu sang papa untuk menjodohkan pria itu dengannya. "Lalu apa artiku sebagai istrimu?""Tidak ada." Jawaban Dirga jelas, singkat dan padat. "Apakah sekarang kau mulai memahami dengan benar apa yang kau inginkan dariku?""Aku akan minta pada papa untuk menarik semua ...""Lakukan," tantang Dirga dengan geraman di dada. Berani sekali wanita itu mengancamnya. Kalau pun Galena berani melakukan hal tersebut dan membawa dampak yang cukup besar pada perusahaan, itu jauh lebih baik daripada harus berada di bawah ancaman seseorang. Jauh lebih baik daripada direndahkan seperti ini. Apalagi wanita licik seperti Galena. Tidak ada hal apa pun lagi yang ditakutkannya setelah apa yang dilakukan ayah Davina padanya. Juga pada Rega, dan Sesil. Terlalu banyak nyawa yang harus dibayar pria itu, juga sang putri. Yang membuatnya bertahan sejauh ini hanyalah rasa manis dari balas dendam itu sendiri.Wajah Galena memucat. Kehilangan kata-kata dan berbalik pergi dengan kaki dihentak-hentakkan ke lantai. Menghapus air mata menggunakan punggung tangan dengan kasar sebelum mencapai pintu.Dengan wajah yang masih menggelap oleh amarah, Dirga melangkah keluar, berbelok menuju pintu kamar di samping kamarnya. Benar-benar gadis tak tahu diuntung.***Davina segera menyambar benda itu dari tangan Meera, yang membekap kesiapnya dengan telapak tangan."Itu alat yang kau minta dariku tadi, kan?" Meera mencoba bertanya dengan suaranya yang tercekat. Masih syok untuk menelaah apa yang sedang terjadi dengan sang teman. Tatapannya mau tak mau turun ke arah perut Davina yang masih rata. "A-apakah itu ...""Jangan katakan apa pun, Meera." Davina segera menarik laci teratas nakas dan melempar benda itu ke dalam sana sebelum menutupnya. "Tidak ada yang harus tahu.""T-tapi itu anak tuan Di ..."Braakkk ...Pintu kamar terjemblak terbuka, membuat keduanya terlonjak kaget dan menoleh ke arah pintu. Dirga dengan wajah yang menggelap berdiri di ambang pintu, pandangannya mengarah lurus ke arah Davina. "Keluar," desisnya tajam.Meera segera bangkit berdiri dan bergegas menuju ke arah pintu. Usiran itu jelas hanya ditujukan untuknya. Giginya tak berhenti menggigit bibir bagian dalamnya, dengan kecemasan yang membuat tubuhnya ikut gemetar.Tubuh Davina yang duduk di tempat tidur seketika menegang menangkap kilat yang menyambar di kedua mata Dirga. Napasnya tertahan ketika Dirga membanting pintu tertutup tepat ketika Meera keluar. Menguncinya dan melangkah mendekat. Ia sudah tahu ini akan terjadi saat Galena merebut cangkir teh darinya, tapi tetap saja ketakutan menyeruak di dadanya dengan cara yang mengerikan.Dirga melangkah mendekat, mengurai dasi dan menariknya dari kerah kemeja tanpa melepaskan tatapannya yang mengunci Davina. Wajah gadis itu yang sudah pucat semakin pucat. "Hanya karena aku mengabulkan satu keinginanmu dan kau memutuskan untuk bermalas-masalan mengabaikan tugasmu?"Davina menggeleng pilu meski sudah berusaha keras menetralisir ketakutannya. Tubuhnya gemetar dengan jarak di antara mereka yang semakin terpangkas. Perlahan dan pasti, sengaja menciptakan ketakutan yang berkali-kali lipat. Ketika Dirga sudah berada di smaping tempat tidur dan membungkuk, entah kenapa tubuhnya merangkak menjauh. Hanya untuk ditangkap kakinya dan diseret ke arah pria itu."K-kumohon, sekali ini saja.""Kau sudah memohon padaku. Kemarin," desis Dirga, merangkak naik dan menggunakan kakinya untuk menahan kedua kaki Davina, kemudian menangkap kedua pergelangan tangan kecil gadis itu dengan mudah dan mengikatnya menggunakan dasi. Yang diikatkan di kepala ranjang.Seringai di wajahnya semakin menggelap melihat ketakutan yang merebak di wajah Davina. Gadis itu mencicit seperti tikus kecil yang ketakutan. Seharusnya gadis itu sudah memperkirakan hukuman semacam ini sebelum memutuskan menentang perintahnya."M-maafkan aku," isak Davina dengan air mata yang mulai meleleh. Memohon dengan pilu."Terlambat," balas Dirga bersamaan dengan tangannya yang mencengkeram ujung pakaian Davina dan merobek kain itu hanya dalam satu sentakan.***Ketika Dirga sudah selesai meluapkan seluruh emosinya pada tubuh Davina, pria itu berguling ke samping. Napasnya yang terengah setelah pelepasan yang sempurna, perlahan mulai berubah tenang. Ujung matanya melirik ke samping, melihat mata nanar Davina yang penuh air mata. Menahan isak tangis meski wajah gadis itu sudah dibanjiri air mata.Kemudian pandangannya naik ke arah pergelangan tangan Davina yang masih terikat di kepala ranjang, tangannya terulur dan melepaskan ikatan tersebut dalam sekali tarikan dan bangkit terduduk. Turun dari tempat tidur sambil berpakaian. Terakhir menyimpul dasinya dengan pandangan yang masih mengarah ke tempat tidur yang berantakan. Seperti penampilan Davina.Davina memiringkan tubuh untuk memunggungi Dirga setelah menarik selimut menutupi ketelanjangan tubuhnya. Dadanya terasa sesak oleh isakan yang tertahan. Tak hanya tubuhnya yang hancur, hatinya pun remuk redam oleh semua penghinaan ini. Berapa banyak lagi ia harus membayar kejahatan ayahnya? Berapa lama lagi ia harus bertahan degan semua siksaan ini? Untuk dosa yang bahkan tidak diketahuinya.Hingga detik ini, jawaban itu tak pernah ditemukannya. Seolah menghilang ditelan bumi. Ditumpuki oleh dendam Dirga yang semakin hari semakin menumpuk. Menenggelamkan dirinya dalam penyiksaan tiada akhir."Selama tiga hari kau tidak boleh keluar dari kamar ini," titah Dirga sebelum beranjak menuju pintu dan menguncinya dari luar.***Galena segera menyembunyikan diri menangkap gelagat aneh pelayan muda yang tampaknya begitu dekat dengan pelayan sekaligus pelacur Dirga itu. Ia menyembunyikan diri dan mengamati Meera, yang diam-diam menaburkan sesuatu di makanan yang disediakan untuk gadis sialan itu. Keningnya berkerut, bertanya-tanya apakah sesuatu itu yang kemudian disembunyikan dengan cepat di balik aku pakaiannya.Suara langkah kaki yang mendekat mengalihkan perhatian, melihat Dirga yang melangkah masuk ke area dapur.Meera menyodorkan nanpan berisi makan malam untuk Davina dan mengangguk sopan. Sementara Dirga mengamati sejenak makanan tersebut. Merasa puas, pria itu pun membawa pergi nampan tersebut dan Galena melangkah kelyar dari persembunyiannya."Ck, ck, ck," decak Galena berhenti di depan meja, menghadang Meera yang hendak berjalan pergi. "Kau mencoba bermain kucing-kucingan dengan tuanmu, begitu?"Wajah Meera memucat, "A-apa maksud Anda, Nona?"Tangan Galena terulur. "Berikan padaku.""S-saya tidak tahu apa yang Anda katakan, Nona.""Dirga?!" panggil Galena. Yang membuat wajah Meera semakin pucat. Bahaya, jika tuan Dirga tahu, maka tamatlah riwayat Davina.Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang
Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i
Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk
Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat
Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen
Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m