MasukSuasana di meja makan mendadak terasa hening dan dingin. Raven hanya diam, menatap Celine tanpa ekspresi. Celine balas menatap Raven seakan menuntut jawaban.
Sementara itu, tangan Sera semakin bergetar. Bagaimana kalau nyonya rumah ini mengetahui hubungan terlarang Sera dengan Raven? Apa yang akan Celine lakukan? Celine pasti marah dan kecewa padanya.
Gugup dan takut kini menguasai diri Sera, tangannya seolah kehilangan tenaga. Hingga….
Prang!
Piring dalam genggamannya tiba-tiba terjatuh ke lantai, menghasilkan suara yang memekakkan telinga. Pecah. Buah-buahannya berhamburan.
Celine berjengit kaget dan sontak menatap Sera dengan mata sedikit membulat. Suaranya terdengar halus saat berkata, “Ah… rupanya selain lemah, kamu juga ceroboh. Menarik sekali. Pelayan macam apa yang suamiku pekerjakan ini?” Celine sempat melirik Raven sejenak.
Lembut dan halus, tapi kalimat itu terdengar menohok.
“Ma-Maaf, Bu. Lain kali saya akan berhati-hati,” ucap Sera, lalu dia berjongkok dan mengumpulkan serpihan beling dengan tangan yang masih gemetar.
Raven tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia hanya diam seraya fokus pada layar iPad-nya, tanpa memperdulikan Sera sama sekali.
Sera sempat meringis ketika jari telunjuknya tertusuk pecahan beling yang tajam hingga berdarah. Namun dia mengacuhkan lukanya dan terus mengumpulkan pecahan beling itu.
Dia lalu berdiri hendak mengambil sapu, tapi pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang dan kepalanya terasa berat. Meski begitu Sera tetap memaksakan diri menyeret langkahnya menuju dapur.
Namun, kakinya tidak kuat lagi menahan bobot tubuhnya. Dia terjatuh ke lantai dengan posisi duduk.
Ratna yang menyaksikan hal itu langsung menaruh piring yang belum selesai dia cuci, lalu bergegas menghampiri Sera.
“Sera, wajah kamu pucat sekali. Sebaiknya kamu istirahat dulu,” ucap Ratna dengan penuh kekhawatiran sambil merangkul bahu Sera.
Sera memijat pelipis yang terasa sakit. “Aku baik-baik aja, Mbak. Ini cuma darah rendah aja, jadi–”
“Apa kamu mau mati di rumah saya?!” sela Raven yang tiba-tiba berdiri dan menatap Sera dengan penuh amarah.
Sera terhenyak. Perlahan dia menoleh dan mendapati tatapan pria itu yang terasa menusuk. Jauh lebih dingin dan tajam daripada biasanya. Sekilas Sera melihat ada sorot khawatir dari manik coklat Raven, tapi sepertinya itu hanya ilusi.
“Kalau tidak sanggup bekerja jangan paksakan dirimu! Saya tidak suka pelayan yang malas dan menjadikan sakit sebagai alasan untuk bermalas-malasan!” tukas Raven lagi tanpa perasaan.
Sera sedikit menunduk demi menghindari tatapan Raven. Dia berusaha menahan sakit kepala dan hatinya yang perih karena ucapan menyakitkan itu. Padahal Sera bukan malas, dia hanya merasa lelah.
“Kamu pikir saya membayarmu untuk jatuh pingsan? Jangan membuat saya menyesal sudah mempekerjakanmu!”
Setelah mengatakannya, Raven pergi begitu saja dari ruang makan tanpa sempat menyentuh sarapannya.
Sera mengepalkan tangan seraya mengerjapkan matanya yang mulai memanas. Ucapan Raven terdengar lebih menyakitkan daripada rasa pusing yang menguasai kepalanya.
Sementara itu, Celine masih duduk di tempatnya semula. Keningnya yang berkilau kini mengernyit karena sikap Raven barusan membuatnya kebingungan.
Celine tahu, Raven memang dingin dan tipe pria yang tak suka banyak bicara. Tapi kenapa Raven harus repot-repot marah pada seorang pelayan? Padahal Sera tidak berbuat kesalahan selain memecahkan piring barusan. Seharusnya Raven marah ketika Sera memecahkan piring itu, bukan saat dia hampir pingsan.
“Saya rasa kamu lagi nggak enak badan,” ucap Celine acuh tak acuh. “Pergilah ke kamar kamu. Saya nggak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu sama pelayan di rumah ini.”
“Terima kasih, Bu Celine,” ucap Sera sambil berusaha bangkit berdiri dibantu Bu Ratna. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali berkata, “Maafkan saya, karena pagi-pagi saya sudah membuat keributan.”
Setibanya di kamar, Sera membaringkan tubuhnya di atas kasur lalu memejamkan mata. Berharap kondisi tubuhnya sedikit membaik setelah istirahat sebentar.
Namun ucapan tajam Raven tadi terus terngiang-ngiang di kepala, membuat Sera tak bisa istirahat dengan tenang.
Sera menghela napas pelan. Tidak seharusnya dia sakit hati karena ucapan Raven. Pria itu pantas memarahinya karena Sera memang dibayar untuk bekerja, bukan untuk sakit-sakitan seperti ini.
Pintu kamar Sera terdengar diketuk, diiringi suara Mbak Ratna yang meminta izin masuk. Wanita paruh baya itu lantas menghampiri Sera sambil membawa makanan di atas nampan.
“Ini apa, Mbak?” Sera berusaha bangkit duduk dan merasa sedikit bingung melihat makanan yang cukup bervariasi itu. Makanan yang bergizi. Lengkap dengan sayur dan protein.
“Ini sarapan buat kamu. Ayo dimakan dulu.”
“Tapi aku sudah sarapan tadi.”
“Tadi kamu cuma sarapan roti,” ucap Mbak Ratna, “cepat makan. Jangan sia-siakan kebaikan Pak Raven. Jarang-jarang loh dia perhatian sama pembantu seperti kita.”
Kata-kata Mbak Ratna yang diucapkan dengan sumringah itu membuat Sera tertegun. “Maksud Mbak, Pak Raven yang menyuruh Mbak buat nyiapin makanan ini?” tanyanya tak yakin.
“Benar.” Mata Mbak Ratna berbinar-binar. “Selain meminta saya menyiapkan makanan buat kamu, Pak Raven juga sudah manggil Dokter Andre buat memeriksa kondisi kamu, Sera.”
“A-Apa?” Sera kembali tertegun. Dia seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Bagaimana mungkin seorang Raven yang tidak pernah peduli pada pelayannya, sekarang tiba-tiba memanggil dokter pribadinya hanya untuk sekadar memeriksa kondisi seorang ART?
Sera menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, berusaha menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang.
Sikap Raven membuat Sera bingung. Padahal beberapa saat yang lalu pria itu memarahinya tanpa perasaan, tapi sekarang dia tiba-tiba menunjukkan perhatiannya yang sulit dimengerti.
Pukul sembilan malam, Sera mematikan lampu dapur setelah dia menyelesaikan pekerjaannya. Ya, setelah tadi pagi Dokter Andre memeriksanya dan memberinya obat, kondisi Sera kini terasa jauh lebih baik dan dia mampu bekerja kembali.
Pada saat yang sama, Raven dan Celine memasuki rumah bersama-sama. Mereka baru saja pulang dari acara makan malam di rumah orang tua Raven.
Sera sempat terpaku melihat sepasang suami istri itu. Mereka pasangan yang tampak sempurna. Sama-sama tampan dan cantik. Selain itu mereka juga sama-sama berasal dari keluarga kalangan atas.
“Sera, buatkan saya teh hangat. Antar ke kamar saya,” ucap Celine ketika Sera menyambut mereka. Sedangkan Raven pergi begitu saja tanpa menatap Sera sama sekali, seolah-olah Sera hanyalah sebuah bayangan.
Sera sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia kembali ke dapur dan menyalakan lampu, membuat teh kamomil hangat untuk Celine. Lalu membawa minuman itu di atas nampan ke lantai dua, ke kamar utama yang ditempati Raven dan Celine.
Ketika dia sampai di depan pintu yang setengah terbuka itu, Sera menghentikan langkah dan mengangkat tangan kanannya hendak mengetuk pintu. Namun, gerakannya terhenti saat Sera mendengar keributan dari dalam sana.
“Raven, aku benar-benar sudah muak! Berapa kali lagi aku harus mendengar permintaan konyol mereka?” Suara Celine terdengar sedikit meninggi dan sarat akan emosi. “Kapan kalian akan memberi kami cucu?” Celine mendengus. “Mereka sudah muak menunggu dan aku juga sudah lelah menyembunyikan kenyataan ini!”
Sera terdiam, dia tidak mau menguping percakapan mereka. Namun kakinya seolah terpaku hingga sulit untuk melangkah pergi.
“Cukup, Celine. Jangan bawa-bawa orang tuaku ke dalam masalah ini.” Raven berkata seperti biasa. Dingin dan datar.
“Kenapa tidak?!” Lagi, Celine terdengar mendengus. “Mereka hanya ingin cucu, ingin kita memiliki anak. Sesuatu yang bahkan tidak bisa kamu berikan padaku. Mereka terus mendesakku seolah-olah hanya aku yang bersalah di sini, padahal kenyataannya kita seperti ini gara-gara kamu!”
“Celine!”
“Apa aku harus memberitahu mereka? Bahwa suamiku, laki-laki yang dikagumi banyak orang, anak yang sangat dibanggakan orang tuanya, kenyataannya tidak bisa menyentuh istrinya seperti lelaki normal?!”
Terdengar suara kursi yang bergeser cukup keras, pertanda Raven berdiri dari kursinya. Sera mengeratkan genggamannya pada nampan.
“Diam, Celine!”
Namun suara Celine terdengar semakin meninggi. “Kamu boleh membentakku sepuas kamu, Raven! Tapi itu tidak bisa mengubah fakta bahwa kamu impoten! Kamu memalukan! Bagi keluargaku, keluargamu, dan bagi dirimu sendiri! Benar-benar memalukan!”
Hening.
Suasana di dalam kamar mendadak sunyi. Sera seketika menutup mulutnya dengan satu telapak tangan seolah-olah takut hembusan napasnya akan terdengar oleh mereka. Hatinya berdesir aneh. Di satu sisi dia merasa iba, tapi di sisi lain ada perasaan getir yang memenuhi relung hatinya.
Sera tak menyangka bahwa malam ini dia akan mendengar sebuah rahasia yang Raven sembunyikan. Namun, jika Raven tidak bisa menyentuh Celine seperti lelaki normal, kenapa dia….
Pikiran Sera yang berkelana seketika terputus saat mendengar suara high heels yang beradu dengan lantai.
Sera terkesiap. Dia segera menghampiri meja yang teronggok tak jauh dari pintu kamar itu dan pura-pura menaruh nampan di sana.
Celine keluar dari kamar tersebut dan pergi begitu saja tanpa menyadari kehadiran Sera. Hingga Sera mendengar mobil Celine yang melaju meninggalkan halaman rumah. Celine telah pergi.
Sera masih terpaku.
Saat Sera akan pergi, tiba-tiba Raven keluar dari kamar itu dan tatapannya langsung mengunci tatapan Sera, membuat Sera terkesiap. Kemarahan terpancar jelas dalam sorot mata pria itu. Sepertinya harga diri Raven terluka akibat ucapan Celine tadi.
Sera meremas roknya dengan gugup. Dia berharap Raven tidak menyadari bahwa dirinya sejak tadi menguping pertengkaran mereka.
Namun, harapan Sera pupus saat Raven tiba-tiba bertanya dengan suara dingin, “Kamu mendengar semuanya?”
Tenggorokan Sera tercekat.
Raven berjalan menghampiri Sera tanpa melepaskan tatapan tajamnya.
Sera membasahi bibirnya sesaat, dia hendak berbohong, tapi mulutnya malah berkata, “M-Maafkan saya, Pak. S-Saya tidak bermaksud–akh!” Sera memekik saat Raven tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya, lalu menariknya dengan kasar hingga mau tak mau Sera mengikuti langkah pria itu.
“Bapak mau bawa saya ke mana?”
Raven tidak menjawab. Raut mukanya terlihat mengeras.
Raven lalu mendorong sebuah pintu kamar dan membawa Sera masuk ke dalam sana, yang membuat napas Sera tercekat.
Itu bukan kamar utama, melainkan kamar Raven. Kamar yang selalu menjadi saksi bisu malam-malam panas mereka.
***
Sera merasakan suasana di antara mereka semakin mencekam dan tegang. Aura kelam yang terpancar dari Raven membuat Sera diserang rasa gugup dan takut.Meski Raven tidak bicara langsung padanya, tetapi Sera sadar bahwa pria itu tengah menyuruhnya agar menjauhi Bastian.Dan sebelum semuanya menjadi kacau, Sera cepat-cepat berkata dengan terbata, “B-Bastian, A-Aku mau… ke toilet dulu. Permisi.”Tanpa menunggu respons dari Bastian, detik itu juga Sera pergi meninggalkan dua pria itu dengan langkah tergesa-gesa.Tetapi Sera merasakan tatapan Raven menusuk punggungnya, membuat Sera ingin segera menghilang dari sana.Setelah keluar dari paviliun, dia berpegangan pada pilar besar sambil berusaha mengatur napasnya, mencoba menghilangkan perasaan yang sejak tadi bergumul di dalam dadanya.Sera sama sekali tidak menduga bahwa Raven akan menghampirinya di tempat seramai ini. Padahal tidak hanya ada Celine, tetapi keluarga besarnya pun hadir di pesta ini.Meskipun gelagat Raven yang tenang dan data
Celine melihat kepergian Raven. Kemudian dia pamit pada tiga wanita di hadapannya. Senyuman anggun terlukis di bibir Celine saat dia menghampiri sepupu suaminya itu.“Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan barusan,” ucap Celine.Gerald membalas senyuman Celine seraya menatap wanita itu dengan lekat. “Ya… cukup menyenangkan,” katanya, “walaupun sikapnya selalu dingin, tapi aku sudah memakluminya.”Gerald mengambil dua gelas wine dari waitress yang melintas di hadapan mereka, lalu menyerahkan salah satunya pada Celine.“Terima kasih.” Celine menerimanya, lalu menyesap wine itu dengan perlahan-lahan. Setelah menelan minumannya, dia berkata, “Kalau wanita lain yang jadi istrinya, aku yakin sekali dia nggak akan bertahan di sisi pria dingin seperti itu.”“Kamu memang wanita yang luar biasa.” Gerald tersenyum kecil, tetapi senyumannya tak mampu menyembunyikan rasa perih yang tergambar dalam sorot matanya. “Lihatlah, di ruangan ini nggak ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu. Kamu sa
Bastian menatap Sera tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar.“Sebenarnya aku datang ke sini untuk mewakili ayahku yang nggak bisa hadir,” ucap Bastian, “ngomong-ngomong kamu jadi tamu Tuan Prabu juga? Waah… ini kebetulan sekali. Pantas saja aku merasa bersemangat datang ke sini.” Bastian terkekeh-kekeh.Sera berdiri di hadapan Bastian. “Majikan aku adalah cucunya Tuan Prabu. Dan malam ini Tuan Prabu mengundang seluruh pekerja di keluarga besarnya untuk datang ke acara ini.”Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya.“Oh, kenalkan ini teman-temanku.” Sera lalu mengenalkan Ratna dan Ayu pada Bastian.Bastian tersenyum dan mengenalkan dirinya pada mereka sebagai teman dekat Sera.Ayu terpana melihat ketampanan Bastian, pipinya tersipu malu saat Bastian menjabat tangannya. Dan dengan malu-malu Ayu menyebutkan namanya.“Sera, kok kamu nggak bilang-bilang punya teman seganteng ini?” bisik Ayu.Ratna langsung menyenggol lengannya. “Jangan genit.”Ayu memanyunkan bibirnya, da
Sera menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu terbit senyuman kecil di bibirnya.Gaun hitam yang melekat di tubuhnya itu tampak cantik. Itu gaun sederhana berlapis chiffon yang jatuh lembut dengan tinggi di bawah lutut.Bagian bahunya terbuka, dan di bagian pinggang pita panjang yang diikat rapi, mempertegas siluet rampingnya.Gaun yang tidak terlalu mencolok. Sehingga Sera cukup percaya diri mengenakannya. Sera sengaja memilih pakaian tersebut dari beberapa pakaian pemberian Raven, untuk dikenakan di acara ulang tahun Tuan Prabu hari ini.Kaki jenjangnya dibalut high heels berstrap tipis. Sementara tas kecil dengan rantai emas menggantung manis di tangannya.Itu heels dan tas pemberian Raven. Kemarin Sera tiba-tiba mendapat kiriman paket dari pengirim tak dikenal.Paket itu berisi heels yang sesuai ukuran kaki Sera dan tas kecil model sederhana. Ada secarik kertas dalam paket tersebut, yang menunjukkan bahwa pengirimnya adalah Raven.‘Gunakan ini besok. Jangan mempermalukan Kakek.’P
Tubuh Sera seketika menegang ketika bibir Raven menempel pada bibirnya. Napasnya tertahan dan Sera merasakan dunia di sekitar mereka terhenti sesaat. Matanya terbelalak. Bisa dia rasakan Raven memagut bibir atasnya dengan lembut. Namun, kesadaran seketika menghampiri Sera. Detik itu juga Sera menjauhkan wajahnya dari Raven hingga tautan bibir mereka terlepas. Mata Sera mengerjap-ngerjap cepat. “A-Apa yang Bapak lakukan?” tanyanya terbata-bata dengan pipi memanas, dia melirik ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang menyaksikan tindakan Raven barusan. “Bapak lupa kita ada di mana?” Tak ada riak di wajah Raven. Pria itu menatap manik mata Sera dengan lekat. “Jangan coba-coba menggoda saya lagi,” bisiknya dengan suara berat tanpa menghiraukan ucapan Sera. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu mengulanginya.” “Sudah saya bilang saya tidak menggoda Bapak,” protes Sera sebelum meneguk air minumnya untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Raven kembali duduk da
Sera keluar dari ruang ganti setelah selesai mencoba lebih dari lima pakaian yang berbeda. Dia menghampiri Raven yang masih duduk di sofa, lalu menyerahkan semua pakaian itu kepada pegawai butik. “Saya pilih yang ini saja, Pak,” kata Sera sambil menunjuk pakaian yang paling sederhana. “Saya rasa ini yang paling cocok untuk saya.” Mendengar ucapan Sera, pegawai butik itu menatap Raven. Raven balas menatapnya sekilas sambil mengangguk singkat. Sera yang memperhatikan interaksi mereka sama sekali tidak mencurigai apapun. Namun ketika Raven telah membayar di kasir dan membawa paper bag besar ke hadapannya, Sera baru menyadari bahwa pria itu memborong semua pakaian yang tadi Sera coba. Sera tertegun. “Pak, ini terlalu berlebihan,” protes Sera, “saya tidak membutuhkan pakaian mewah sebanyak ini. Satu saja cukup.” Raven menatap manik mata Sera lama. Lalu menjawab datar, “Kamu tidak perlu butuh. Saya yang memutuskan apa yang harus kamu pakai.” Sera terdiam, pelan-pelan meremas uju




![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)


