Share

3. Sebuah Fakta

last update Last Updated: 2025-10-06 11:21:05

Suasana di meja makan mendadak terasa hening dan dingin. Raven hanya diam, menatap Celine tanpa ekspresi. Celine balas menatap Raven seakan menuntut jawaban.

Sementara itu, tangan Sera semakin bergetar. Bagaimana kalau nyonya rumah ini mengetahui hubungan terlarang Sera dengan Raven? Apa yang akan Celine lakukan? Celine pasti marah dan kecewa padanya.

Gugup dan takut kini menguasai diri Sera, tangannya seolah kehilangan tenaga. Hingga….

Prang!

Piring dalam genggamannya tiba-tiba terjatuh ke lantai, menghasilkan suara yang memekakkan telinga. Pecah. Buah-buahannya berhamburan.

Celine berjengit kaget dan sontak menatap Sera dengan mata sedikit membulat. Suaranya terdengar halus saat berkata, “Ah… rupanya selain lemah, kamu juga ceroboh. Menarik sekali. Pelayan macam apa yang suamiku pekerjakan ini?” Celine sempat melirik Raven sejenak.

Lembut dan halus, tapi kalimat itu terdengar menohok.

“Ma-Maaf, Bu. Lain kali saya akan berhati-hati,” ucap Sera, lalu dia berjongkok dan mengumpulkan serpihan beling dengan tangan yang masih gemetar.

Raven tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia hanya diam seraya fokus pada layar iPad-nya, tanpa memperdulikan Sera sama sekali.

Sera sempat meringis ketika jari telunjuknya tertusuk pecahan beling yang tajam hingga berdarah. Namun dia mengacuhkan lukanya dan terus mengumpulkan pecahan beling itu.

Dia lalu berdiri hendak mengambil sapu, tapi pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang dan kepalanya terasa berat. Meski begitu Sera tetap memaksakan diri menyeret langkahnya menuju dapur.

Namun, kakinya tidak kuat lagi menahan bobot tubuhnya. Dia terjatuh ke lantai dengan posisi duduk.

Ratna yang menyaksikan hal itu langsung menaruh piring yang belum selesai dia cuci, lalu bergegas menghampiri Sera.

“Sera, wajah kamu pucat sekali. Sebaiknya kamu istirahat dulu,” ucap Ratna dengan penuh kekhawatiran sambil merangkul bahu Sera.

Sera memijat pelipis yang terasa sakit. “Aku baik-baik aja, Mbak. Ini cuma darah rendah aja, jadi–”

“Apa kamu mau mati di rumah saya?!” sela Raven yang tiba-tiba berdiri dan menatap Sera dengan penuh amarah.

Sera terhenyak. Perlahan dia menoleh dan mendapati tatapan pria itu yang terasa menusuk. Jauh lebih dingin dan tajam daripada biasanya. Sekilas Sera melihat ada sorot khawatir dari manik coklat Raven, tapi sepertinya itu hanya ilusi.

“Kalau tidak sanggup bekerja jangan paksakan dirimu! Saya tidak suka pelayan yang malas dan menjadikan sakit sebagai alasan untuk bermalas-malasan!” tukas Raven lagi tanpa perasaan.

Sera sedikit menunduk demi menghindari tatapan Raven. Dia berusaha menahan sakit kepala dan hatinya yang perih karena ucapan menyakitkan itu. Padahal Sera bukan malas, dia hanya merasa lelah.

“Kamu pikir saya membayarmu untuk jatuh pingsan? Jangan membuat saya menyesal sudah mempekerjakanmu!”

Setelah mengatakannya, Raven pergi begitu saja dari ruang makan tanpa sempat menyentuh sarapannya.

Sera mengepalkan tangan seraya mengerjapkan matanya yang mulai memanas. Ucapan Raven terdengar lebih menyakitkan daripada rasa pusing yang menguasai kepalanya.

Sementara itu, Celine masih duduk di tempatnya semula. Keningnya yang berkilau kini mengernyit karena sikap Raven barusan membuatnya kebingungan.

Celine tahu, Raven memang dingin dan tipe pria yang tak suka banyak bicara. Tapi kenapa Raven harus repot-repot marah pada seorang pelayan? Padahal Sera tidak berbuat kesalahan selain memecahkan piring barusan. Seharusnya Raven marah ketika Sera memecahkan piring itu, bukan saat dia hampir pingsan.

“Saya rasa kamu lagi nggak enak badan,” ucap Celine acuh tak acuh. “Pergilah ke kamar kamu. Saya nggak mau disalahkan kalau terjadi sesuatu sama pelayan di rumah ini.”

“Terima kasih, Bu Celine,” ucap Sera sambil berusaha bangkit berdiri dibantu Bu Ratna. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali berkata, “Maafkan saya, karena pagi-pagi saya sudah membuat keributan.”

Setibanya di kamar, Sera membaringkan tubuhnya di atas kasur lalu memejamkan mata. Berharap kondisi tubuhnya sedikit membaik setelah istirahat sebentar.

Namun ucapan tajam Raven tadi terus terngiang-ngiang di kepala, membuat Sera tak bisa istirahat dengan tenang.

Sera menghela napas pelan. Tidak seharusnya dia sakit hati karena ucapan Raven. Pria itu pantas memarahinya karena Sera memang dibayar untuk bekerja, bukan untuk sakit-sakitan seperti ini.

Pintu kamar Sera terdengar diketuk, diiringi suara Mbak Ratna yang meminta izin masuk. Wanita paruh baya itu lantas menghampiri Sera sambil membawa makanan di atas nampan.

“Ini apa, Mbak?” Sera berusaha bangkit duduk dan merasa sedikit bingung melihat makanan yang cukup bervariasi itu. Makanan yang bergizi. Lengkap dengan sayur dan protein.

“Ini sarapan buat kamu. Ayo dimakan dulu.”

“Tapi aku sudah sarapan tadi.”

“Tadi kamu cuma sarapan roti,” ucap Mbak Ratna, “cepat makan. Jangan sia-siakan kebaikan Pak Raven. Jarang-jarang loh dia perhatian sama pembantu seperti kita.”

Kata-kata Mbak Ratna yang diucapkan dengan sumringah itu membuat Sera tertegun. “Maksud Mbak, Pak Raven yang menyuruh Mbak buat nyiapin makanan ini?” tanyanya tak yakin.

“Benar.” Mata Mbak Ratna berbinar-binar. “Selain meminta saya menyiapkan makanan buat kamu, Pak Raven juga sudah manggil Dokter Andre buat memeriksa kondisi kamu, Sera.”

“A-Apa?” Sera kembali tertegun. Dia seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Bagaimana mungkin seorang Raven yang tidak pernah peduli pada pelayannya, sekarang tiba-tiba memanggil dokter pribadinya hanya untuk sekadar memeriksa kondisi seorang ART?

Sera menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, berusaha menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang.

Sikap Raven membuat Sera bingung. Padahal beberapa saat yang lalu pria itu memarahinya tanpa perasaan, tapi sekarang dia tiba-tiba menunjukkan perhatiannya yang sulit dimengerti.

Pukul sembilan malam, Sera mematikan lampu dapur setelah dia menyelesaikan pekerjaannya. Ya, setelah tadi pagi Dokter Andre memeriksanya dan memberinya obat, kondisi Sera kini terasa jauh lebih baik dan dia mampu bekerja kembali.

Pada saat yang sama, Raven dan Celine memasuki rumah bersama-sama. Mereka baru saja pulang dari acara makan malam di rumah orang tua Raven.

Sera sempat terpaku melihat sepasang suami istri itu. Mereka pasangan yang tampak sempurna. Sama-sama tampan dan cantik. Selain itu mereka juga sama-sama berasal dari keluarga kalangan atas.

“Sera, buatkan saya teh hangat. Antar ke kamar saya,” ucap Celine ketika Sera menyambut mereka. Sedangkan Raven pergi begitu saja tanpa menatap Sera sama sekali, seolah-olah Sera hanyalah sebuah bayangan.

Sera sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia kembali ke dapur dan menyalakan lampu, membuat teh kamomil hangat untuk Celine. Lalu membawa minuman itu di atas nampan ke lantai dua, ke kamar utama yang ditempati Raven dan Celine.

Ketika dia sampai di depan pintu yang setengah terbuka itu, Sera menghentikan langkah dan mengangkat tangan kanannya hendak mengetuk pintu. Namun, gerakannya terhenti saat Sera mendengar keributan dari dalam sana.

“Raven, aku benar-benar sudah muak! Berapa kali lagi aku harus mendengar permintaan konyol mereka?” Suara Celine terdengar sedikit meninggi dan sarat akan emosi. “Kapan kalian akan memberi kami cucu?” Celine mendengus. “Mereka sudah muak menunggu dan aku juga sudah lelah menyembunyikan kenyataan ini!”

Sera terdiam, dia tidak mau menguping percakapan mereka. Namun kakinya seolah terpaku hingga sulit untuk melangkah pergi.

“Cukup, Celine. Jangan bawa-bawa orang tuaku ke dalam masalah ini.” Raven berkata seperti biasa. Dingin dan datar.

“Kenapa tidak?!” Lagi, Celine terdengar mendengus. “Mereka hanya ingin cucu, ingin kita memiliki anak. Sesuatu yang bahkan tidak bisa kamu berikan padaku. Mereka terus mendesakku seolah-olah hanya aku yang bersalah di sini, padahal kenyataannya kita seperti ini gara-gara kamu!”

“Celine!”

“Apa aku harus memberitahu mereka? Bahwa suamiku, laki-laki yang dikagumi banyak orang, anak yang sangat dibanggakan orang tuanya, kenyataannya tidak bisa menyentuh istrinya seperti lelaki normal?!”

Terdengar suara kursi yang bergeser cukup keras, pertanda Raven berdiri dari kursinya. Sera mengeratkan genggamannya pada nampan.

“Diam, Celine!”

Namun suara Celine terdengar semakin meninggi. “Kamu boleh membentakku sepuas kamu, Raven! Tapi itu tidak bisa mengubah fakta bahwa kamu impoten! Kamu memalukan! Bagi keluargaku, keluargamu, dan bagi dirimu sendiri! Benar-benar memalukan!”

Hening.

Suasana di dalam kamar mendadak sunyi. Sera seketika menutup mulutnya dengan satu telapak tangan seolah-olah takut hembusan napasnya akan terdengar oleh mereka. Hatinya berdesir aneh. Di satu sisi dia merasa iba, tapi di sisi lain ada perasaan getir yang memenuhi relung hatinya.

Sera tak menyangka bahwa malam ini dia akan mendengar sebuah rahasia yang Raven sembunyikan. Namun, jika Raven tidak bisa menyentuh Celine seperti lelaki normal, kenapa dia….

Pikiran Sera yang berkelana seketika terputus saat mendengar suara high heels yang beradu dengan lantai.

Sera terkesiap. Dia segera menghampiri meja yang teronggok tak jauh dari pintu kamar itu dan pura-pura menaruh nampan di sana.

Celine keluar dari kamar tersebut dan pergi begitu saja tanpa menyadari kehadiran Sera. Hingga Sera mendengar mobil Celine yang melaju meninggalkan halaman rumah. Celine telah pergi.

Sera masih terpaku.

Saat Sera akan pergi, tiba-tiba Raven keluar dari kamar itu dan tatapannya langsung mengunci tatapan Sera, membuat Sera terkesiap. Kemarahan terpancar jelas dalam sorot mata pria itu. Sepertinya harga diri Raven terluka akibat ucapan Celine tadi.

Sera meremas roknya dengan gugup. Dia berharap Raven tidak menyadari bahwa dirinya sejak tadi menguping pertengkaran mereka.

Namun, harapan Sera pupus saat Raven tiba-tiba bertanya dengan suara dingin, “Kamu mendengar semuanya?”

Tenggorokan Sera tercekat.

Raven berjalan menghampiri Sera tanpa melepaskan tatapan tajamnya.

Sera membasahi bibirnya sesaat, dia hendak berbohong, tapi mulutnya malah berkata, “M-Maafkan saya, Pak. S-Saya tidak bermaksud–akh!” Sera memekik saat Raven tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya, lalu menariknya dengan kasar hingga mau tak mau Sera mengikuti langkah pria itu.

“Bapak mau bawa saya ke mana?”

Raven tidak menjawab. Raut mukanya terlihat mengeras.

Raven lalu mendorong sebuah pintu kamar dan membawa Sera masuk ke dalam sana, yang membuat napas Sera tercekat.

Itu bukan kamar utama, melainkan kamar Raven. Kamar yang selalu menjadi saksi bisu malam-malam panas mereka.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   5. Kasta yang Berbeda

    Ponsel Sera bergetar di dalam saku rok spannya. Dia terpaksa menghentikan aktifitasnya untuk melihat siapa yang menelepon.Saat melihat nama ayahnya terpampang di layar, Sera menghela napas berat dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku.Dia enggan mengangkat panggilan dari pria yang selalu berhasil menghancurkan hatinya itu.Tak ingin mood-nya terganggu, Sera kembali melanjutkan aktifitasnya. Menyirami tanaman daun mint yang tumbuh subur di dalam pot.Setelah disiram, daun mint itu langsung mengeluarkan aroma segar yang tercium di udara. Sera terpaku sejenak. Aroma mint itu hampir sama dengan aroma yang menguar dari Raven saat pria itu menciumnya.Sera mengembuskan napas kasar. Lalu menggeleng, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari benaknya.Bagaimanapun juga, kata-kata Raven yang menyakitkan malam itu membuat Sera tak ingin berhadapan dengannya lagi.“Kira-kira hari ini Pak Raven pulang nggak, ya? Kalau pulang, ‘kan, saya bisa nyediain makan malam yang lebih banyak,” ucap M

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   4. Hanya Butuh Tubuhmu

    “Pak, apa yang mau Bapak lakukan?”Bodoh. Seharusnya Sera tidak perlu bertanya. Seharusnya dia tahu apa yang akan Raven lakukan ketika pria itu membawanya ke kamar ini. Kamar bernuansa abu-abu yang setiap sudutnya mengingatkan Sera pada sentuhan-sentuhan panas majikannya.Namun, apakah Raven akan melakukannya di saat dia baru saja bertengkar dengan istrinya? Segila itukah pria itu? Sera sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Raven saat ini.Raven tidak menjawab. Pria berusia 33 tahun itu menutup pintu dengan kasar dan menguncinya dengan tangan yang terbebas, sementara tangan yang lainnya masih mencengkeram pergelangan tangan Sera.Napas Raven memburu. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. Dia memenjarakan Sera di dinding, hingga Sera meringis kesakitan ketika punggungnya membentur dinding itu.“Saya membutuhkanmu sekarang.”Sera sudah bisa menebak kalimat itu akan terlontar dari mulut Raven, tapi tetap saja Sera terhenyak mendengarnya.“Ta-tapi saya–”Suara Sera tertelan b

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   3. Sebuah Fakta

    Suasana di meja makan mendadak terasa hening dan dingin. Raven hanya diam, menatap Celine tanpa ekspresi. Celine balas menatap Raven seakan menuntut jawaban.Sementara itu, tangan Sera semakin bergetar. Bagaimana kalau nyonya rumah ini mengetahui hubungan terlarang Sera dengan Raven? Apa yang akan Celine lakukan? Celine pasti marah dan kecewa padanya.Gugup dan takut kini menguasai diri Sera, tangannya seolah kehilangan tenaga. Hingga….Prang!Piring dalam genggamannya tiba-tiba terjatuh ke lantai, menghasilkan suara yang memekakkan telinga. Pecah. Buah-buahannya berhamburan.Celine berjengit kaget dan sontak menatap Sera dengan mata sedikit membulat. Suaranya terdengar halus saat berkata, “Ah… rupanya selain lemah, kamu juga ceroboh. Menarik sekali. Pelayan macam apa yang suamiku pekerjakan ini?” Celine sempat melirik Raven sejenak.Lembut dan halus, tapi kalimat itu terdengar menohok.“Ma-Maaf, Bu. Lain kali saya akan berhati-hati,” ucap Sera, lalu dia berjongkok dan mengumpulkan se

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   2. Daya Tarik Baru

    Sera keluar dari rumah Raven dengan perasaan campur aduk dan tubuh lelah. Amplop berisi uang pemberian Raven dia sembunyikan di dalam saku cardigan. Ya, dia mengesampingkan harga dirinya, karena kenyataannya dia memang membutuhkan uang itu.Hujan masih turun dengan deras. Sera merapatkan cardigannya dan berdiri cukup lama di beranda samping.Kamar ART ada di bagian belakang, terpisah dari rumah mewah ini. Setidaknya tubuh Sera akan basah kuyup ketika menyeberangi taman menuju kamarnya.Sebenarnya di dalam ada payung, tapi Sera terlalu enggan kembali ke dalam rumah majikannya. Yang ingin dia lakukan saat ini hanya membaringkan tubuhnya di atas kasur.Sera sempat berjongkok, karena lututnya terlalu lemas untuk menopang berat tubuhnya. Pada saat yang sama dia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Sera tertegun. Dia hapal betul siapa pemilik mobil tersebut. Celine Adisty, istri Raven Lucien Maheswara yang baru saja pulang.Sesaat kemudian Sera mendengar suara pintu ruma

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   1. Malam yang Panjang

    Sera benci bagaimana tubuhnya berkhianat. Tubuhnya menikmati setiap hentakan pria yang seharusnya dia jauhi. Namun di balik desahan yang lolos, hatinya terasa hancur. Karena Sera tahu, setelah semuanya usai, hanya amplop berisi uang yang akan menunggu di meja.Di luar, hujan turun dengan deras. Suara gemericiknya mampu meredam desahan dan geraman rendah yang saling bersahutan di dalam kamar mewah itu.Kamar yang telah menjadi saksi bisu bagaimana luka dan gairah bertemu dalam tubuh seorang wanita yang dipaksa tunduk pada takdir.“Kenapa melamun?”Suara berat itu terdengar di sela-sela napas yang memburu, seiringan dengan gerakan Raven yang tiba-tiba terhenti, yang mampu mengeluarkan Sera dari lamunan singkatnya.Satu tangan lebar Raven bergerak menyentuh dagu Sera hingga mata mereka saling bersitatap. Sementara satu tangannya yang lain masih mengunci kedua pergelangan tangan Sera di atas kepala.“Saat saya menyentuhmu, kamu hanya boleh memikirkan saya. Mengerti?”Suara Raven terdengar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status