Masuk“Pak, apa yang mau Bapak lakukan?”
Bodoh. Seharusnya Sera tidak perlu bertanya. Seharusnya dia tahu apa yang akan Raven lakukan ketika pria itu membawanya ke kamar ini. Kamar bernuansa abu-abu yang setiap sudutnya mengingatkan Sera pada sentuhan-sentuhan panas majikannya.
Namun, apakah Raven akan melakukannya di saat dia baru saja bertengkar dengan istrinya? Segila itukah pria itu? Sera sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Raven saat ini.
Raven tidak menjawab. Pria berusia 33 tahun itu menutup pintu dengan kasar dan menguncinya dengan tangan yang terbebas, sementara tangan yang lainnya masih mencengkeram pergelangan tangan Sera.
Napas Raven memburu. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. Dia memenjarakan Sera di dinding, hingga Sera meringis kesakitan ketika punggungnya membentur dinding itu.
“Saya membutuhkanmu sekarang.”
Sera sudah bisa menebak kalimat itu akan terlontar dari mulut Raven, tapi tetap saja Sera terhenyak mendengarnya.
“Ta-tapi saya–”
Suara Sera tertelan begitu saja ketika Raven mendaratkan bibirnya pada bibir Sera. Raven mengangkat kedua tangan Sera ke atas kepala dengan gerakan terburu-buru, dan menguncinya dengan satu tangan.
Ciuman Raven terasa kasar dengan napas yang memburu. Sera kesulitan mengimbanginya.
Bukan. Itu bukan ciuman penuh gairah, melainkan ciuman penuh kemarahan. Raven seolah-olah ingin melampiaskan amarahnya pada Sera akibat pertengkarannya dengan Celine. Itu membuat dada Sera terasa nyeri karena dirinya hanya dijadikan objek pelampiasan.
Objek pelampiasan?
Sera tertawa di dalam hati. Menertawakan dirinya sendiri. Bukankah sejak awal dirinya memang hanya objek pelampiasan Raven saja?
Ciuman Raven semakin tak terkendali, hingga Sera merasakan dirinya nyaris kehabisan napas. Tetapi Raven sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menghirup udara. Raven tidak pernah mencium Sera sampai sekasar ini sebelumnya.
Sera baru bisa menghirup oksigen sepuasnya ketika Raven membenamkan wajahnya ke leher. Satu tangan Raven yang terbebas menjelajahi setiap jengkal tubuh Sera. Sera tidak bisa membohongi diri, bahwa kini jantungnya berdebar kencang.
Saat Raven mengikis jarak di antara tubuh mereka, Sera bisa merasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana. Hal itu seolah-olah membantah tuduhan Celine beberapa saat yang lalu, bahwa Raven impoten.
Sera tidak mengerti kenapa Celine bisa menuduh Raven seperti itu. Karena pada kenyataannya, Raven tidak seperti yang Celine ucapkan.
Raven melepaskan kedua pergelangan tangan Sera dari genggamannya. Dia kembali mencium bibir Sera. Lalu tanpa diduga-duga, Raven merobek paksa kemeja yang dikenakan wanita itu, hingga terdengar bunyi kancing yang berhamburan di lantai.
Sera terhenyak. Dengan sekuat tenaga dia mendorong dada kokoh pria itu, membuat Raven mundur dan menatap Sera dengan tatapan tajam, seolah tidak terima dengan sikap Sera.
“Apa yang kamu lakukan?” desis Raven.
“Ma-Maaf, Pak. Sa-Saya tidak bisa melakukannya.”
“Apa katamu?” Mata Raven menyipit. “Kamu berani menolak saya?”
Sera merapatkan kemejanya yang sudah terkoyak, seraya memeluk tubuhnya sendiri. Dia sedikit menunduk, tak berani menatap mata majikannya yang tajam dan dalam itu. “Saya… lagi datang bulan.”
Mendengar jawaban Sera, Raven terdiam. Rahangnya mengeras. Satu tangannya kemudian menonjok dinding, dan tetap dalam posisi itu selama beberapa waktu sambil menundukkan wajahnya, bibirnya setengah terbuka seraya bernapas tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat.
Sera mengangkat kepalanya. Matanya yang jernih itu menatap Raven dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi dia merasa lega karena kondisinya yang sedang datang bulan berhasil menyelamatkannya kali ini. Namun di sisi lain, dia merasa tak nyaman melihat kekecewaan tergambar dalam raut muka pria itu.
Sera melihat Raven memejamkan matanya sejenak. Entah mengapa kali ini Sera merasa iba melihat wajah majikannya. Kata-kata Celine beberapa saat yang lalu pasti telah menghancurkan harga diri seorang Raven. Pria yang sangat dihormati dan disegani oleh banyak orang.
Kini, Raven tampak seperti seorang pria yang kesepian.
“Seberapa banyak yang kamu dengar?” Mata Raven bergerak, menatap Sera tanpa ekspresi.
Sera buru-buru menundukkan pandangannya. Tatapan pria itu selalu membuatnya sakit dan berdebar-debar dalam waktu bersamaan.
Sera mengerti Raven tengah membahas mengenai Sera yang menguping percakapannya dengan Celine.
“Um… itu… nggak terlalu banyak,” jawab Sera ragu-ragu.
Raven menegakkan kepalanya dan mendengus kasar. “Kamu mendengar kalau saya impoten?”
Sera mengerutkan kening, lalu mengangguk pelan. “Ta-tapi Bapak nggak seperti itu.” Dia buru-buru meluruskan jawabannya. Karena memang kenyataannya Raven tidak impoten. Tetapi entah kenapa Celine mengira begitu. Mungkinkah selama ini Raven dan Celine tidak pernah berhubungan layaknya pasangan suami istri lainnya?
“Saya seperti itu.”
“Apa?” Sera menaikkan wajahnya, menatap Raven bingung.
Raven mengembuskan napas kasar dan menjejalkan satu tangannya–yang semula menonjok dinding, ke dalam kantong celana. “Keluarlah.”
Meski masih banyak tanya yang bersarang di kepala Sera, tetapi Sera tidak punya hak untuk bertanya lebih jauh. Dia tahu diri di mana posisinya berada.
Pada akhirnya Sera mengangguk. Dia sempat menunduk menatap kemejanya sendiri, lalu menghela napas pelan. Beruntung Sera masih memiliki cadangan seragam yang lain untuk dikenakan besok.
Sera akan melangkah pergi, tapi seperti ada dorongan besar dari dalam dirinya untuk tetap berdiri di situ. Kemudian Sera berbalik, menatap Raven.
Melihat sikap Sera, Raven pun balas menatap Sera dengan datar.
“Pak Raven, terima kasih banyak.”
Satu alis Raven terangkat. “Untuk?”
“Tadi pagi Bapak sudah memanggil Dokter Andre untuk memeriksa kondisi saya,” ujar Sera, “Saya hanya kelelahan dan cukup istirahat saja, saya rasa saya tidak pantas mendapat pengobatan dari dokter pribadi Bapak.” Sera membasahi bibirnya sejenak. “Tapi karena Bapak sudah berbaik hati menolong saya, saya sangat berterima kasih.”
Raven tidak memberi tanggapan apapun, dia hanya menatap Sera dengan tatapan sulit diartikan.
Sera tahu, seharusnya dia pergi saat itu juga dari hadapan Raven karena dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi malam ini.
Namun, kakinya seolah terpaku ke lantai saat bersitatap dengan Raven. Meski ekspresinya tampak dingin dan datar, tapi Sera melihat ada rasa sepi yang terpancar dari sorot mata pria itu.
Sera ingin menenangkannya, atau mungkin memeluknya sambil mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Hingga tanpa sadar, tangan Sera terulur, menyentuh tangan Raven dan perlahan menggenggamnya.
Raven tersentak. Dia menunduk menatap tangan mereka. Lalu menatap wajah Sera lagi.
“Apa yang kamu lakukan, Sera?”
Sera menelan saliva, lalu memberanikan diri berkata, “Saya cuma ingin menenangkan Bapak.”
“Apa?”
“Saya rasa, perasaan Bapak saat ini sedang kacau. Sejujurnya saya nggak tahu bagaimana cara menyenangkan hati Pak Raven, tapi saya berharap perasaan Bapak jadi jauh lebih tenang.”
Mendengar kata-kata perempuan berusia 25 tahun itu, Raven terdiam cukup lama.
Sera tertegun saat menyadari tatapan Raven melembut. Itu seperti tatapan yang Sera dapatkan ketika mereka sedang berada di atas ranjang. Jantung Sera kembali berdebar-debar.
Namun sepertinya itu hanya ilusi. Karena kini tatapan Raven terlihat tajam. Sangat tajam, hingga Sera merasa tatapan itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Raven tiba-tiba menepis tangan Sera dengan kasar, seolah-olah tak ingin disentuh wanita itu.
“Kamu pikir siapa dirimu sampai berani melakukan ini terhadap saya?” tanya Raven, dingin.
“A-Apa?”
Raven tersenyum sinis. “Jangan sampai lupa apa posisimu di rumah ini. Kamu hanya seorang pembantu yang kebetulan bisa menghangatkan ranjang saya. Jadi jangan pernah berpikir kamu bisa lebih dari itu.”
Sera tercenung. Kata-kata Raven berhasil menamparnya. Dia mencengkeram kemeja di depan dada dengan kuat, hingga jarinya memutih.
“Dan satu hal lagi.” Raven menjejalkan kedua tangan ke saku celana. “Saya memanggil Dokter Andre untuk memeriksamu bukan karena saya peduli padamu. Jadi jangan terlalu percaya diri. Saya melakukannya karena saya butuh tubuh kamu. Bukan kamu.”
Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sampai warnanya memucat. Dadanya berdenyut nyeri. Seharusnya dia sadar akan hal itu. Seharusnya… Sera tidak terbawa perasaan.
Lalu detik itu juga, Sera meninggalkan kamar itu dengan langkah cepat agar Raven tidak melihat matanya yang memerah.
***
Sera merasakan suasana di antara mereka semakin mencekam dan tegang. Aura kelam yang terpancar dari Raven membuat Sera diserang rasa gugup dan takut.Meski Raven tidak bicara langsung padanya, tetapi Sera sadar bahwa pria itu tengah menyuruhnya agar menjauhi Bastian.Dan sebelum semuanya menjadi kacau, Sera cepat-cepat berkata dengan terbata, “B-Bastian, A-Aku mau… ke toilet dulu. Permisi.”Tanpa menunggu respons dari Bastian, detik itu juga Sera pergi meninggalkan dua pria itu dengan langkah tergesa-gesa.Tetapi Sera merasakan tatapan Raven menusuk punggungnya, membuat Sera ingin segera menghilang dari sana.Setelah keluar dari paviliun, dia berpegangan pada pilar besar sambil berusaha mengatur napasnya, mencoba menghilangkan perasaan yang sejak tadi bergumul di dalam dadanya.Sera sama sekali tidak menduga bahwa Raven akan menghampirinya di tempat seramai ini. Padahal tidak hanya ada Celine, tetapi keluarga besarnya pun hadir di pesta ini.Meskipun gelagat Raven yang tenang dan data
Celine melihat kepergian Raven. Kemudian dia pamit pada tiga wanita di hadapannya. Senyuman anggun terlukis di bibir Celine saat dia menghampiri sepupu suaminya itu.“Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan barusan,” ucap Celine.Gerald membalas senyuman Celine seraya menatap wanita itu dengan lekat. “Ya… cukup menyenangkan,” katanya, “walaupun sikapnya selalu dingin, tapi aku sudah memakluminya.”Gerald mengambil dua gelas wine dari waitress yang melintas di hadapan mereka, lalu menyerahkan salah satunya pada Celine.“Terima kasih.” Celine menerimanya, lalu menyesap wine itu dengan perlahan-lahan. Setelah menelan minumannya, dia berkata, “Kalau wanita lain yang jadi istrinya, aku yakin sekali dia nggak akan bertahan di sisi pria dingin seperti itu.”“Kamu memang wanita yang luar biasa.” Gerald tersenyum kecil, tetapi senyumannya tak mampu menyembunyikan rasa perih yang tergambar dalam sorot matanya. “Lihatlah, di ruangan ini nggak ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu. Kamu sa
Bastian menatap Sera tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar.“Sebenarnya aku datang ke sini untuk mewakili ayahku yang nggak bisa hadir,” ucap Bastian, “ngomong-ngomong kamu jadi tamu Tuan Prabu juga? Waah… ini kebetulan sekali. Pantas saja aku merasa bersemangat datang ke sini.” Bastian terkekeh-kekeh.Sera berdiri di hadapan Bastian. “Majikan aku adalah cucunya Tuan Prabu. Dan malam ini Tuan Prabu mengundang seluruh pekerja di keluarga besarnya untuk datang ke acara ini.”Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya.“Oh, kenalkan ini teman-temanku.” Sera lalu mengenalkan Ratna dan Ayu pada Bastian.Bastian tersenyum dan mengenalkan dirinya pada mereka sebagai teman dekat Sera.Ayu terpana melihat ketampanan Bastian, pipinya tersipu malu saat Bastian menjabat tangannya. Dan dengan malu-malu Ayu menyebutkan namanya.“Sera, kok kamu nggak bilang-bilang punya teman seganteng ini?” bisik Ayu.Ratna langsung menyenggol lengannya. “Jangan genit.”Ayu memanyunkan bibirnya, da
Sera menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu terbit senyuman kecil di bibirnya.Gaun hitam yang melekat di tubuhnya itu tampak cantik. Itu gaun sederhana berlapis chiffon yang jatuh lembut dengan tinggi di bawah lutut.Bagian bahunya terbuka, dan di bagian pinggang pita panjang yang diikat rapi, mempertegas siluet rampingnya.Gaun yang tidak terlalu mencolok. Sehingga Sera cukup percaya diri mengenakannya. Sera sengaja memilih pakaian tersebut dari beberapa pakaian pemberian Raven, untuk dikenakan di acara ulang tahun Tuan Prabu hari ini.Kaki jenjangnya dibalut high heels berstrap tipis. Sementara tas kecil dengan rantai emas menggantung manis di tangannya.Itu heels dan tas pemberian Raven. Kemarin Sera tiba-tiba mendapat kiriman paket dari pengirim tak dikenal.Paket itu berisi heels yang sesuai ukuran kaki Sera dan tas kecil model sederhana. Ada secarik kertas dalam paket tersebut, yang menunjukkan bahwa pengirimnya adalah Raven.‘Gunakan ini besok. Jangan mempermalukan Kakek.’P
Tubuh Sera seketika menegang ketika bibir Raven menempel pada bibirnya. Napasnya tertahan dan Sera merasakan dunia di sekitar mereka terhenti sesaat. Matanya terbelalak. Bisa dia rasakan Raven memagut bibir atasnya dengan lembut. Namun, kesadaran seketika menghampiri Sera. Detik itu juga Sera menjauhkan wajahnya dari Raven hingga tautan bibir mereka terlepas. Mata Sera mengerjap-ngerjap cepat. “A-Apa yang Bapak lakukan?” tanyanya terbata-bata dengan pipi memanas, dia melirik ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang menyaksikan tindakan Raven barusan. “Bapak lupa kita ada di mana?” Tak ada riak di wajah Raven. Pria itu menatap manik mata Sera dengan lekat. “Jangan coba-coba menggoda saya lagi,” bisiknya dengan suara berat tanpa menghiraukan ucapan Sera. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu mengulanginya.” “Sudah saya bilang saya tidak menggoda Bapak,” protes Sera sebelum meneguk air minumnya untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Raven kembali duduk da
Sera keluar dari ruang ganti setelah selesai mencoba lebih dari lima pakaian yang berbeda. Dia menghampiri Raven yang masih duduk di sofa, lalu menyerahkan semua pakaian itu kepada pegawai butik. “Saya pilih yang ini saja, Pak,” kata Sera sambil menunjuk pakaian yang paling sederhana. “Saya rasa ini yang paling cocok untuk saya.” Mendengar ucapan Sera, pegawai butik itu menatap Raven. Raven balas menatapnya sekilas sambil mengangguk singkat. Sera yang memperhatikan interaksi mereka sama sekali tidak mencurigai apapun. Namun ketika Raven telah membayar di kasir dan membawa paper bag besar ke hadapannya, Sera baru menyadari bahwa pria itu memborong semua pakaian yang tadi Sera coba. Sera tertegun. “Pak, ini terlalu berlebihan,” protes Sera, “saya tidak membutuhkan pakaian mewah sebanyak ini. Satu saja cukup.” Raven menatap manik mata Sera lama. Lalu menjawab datar, “Kamu tidak perlu butuh. Saya yang memutuskan apa yang harus kamu pakai.” Sera terdiam, pelan-pelan meremas uju




![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)


