Share

4. Hanya Butuh Tubuhmu

last update Last Updated: 2025-10-06 11:21:09

“Pak, apa yang mau Bapak lakukan?”

Bodoh. Seharusnya Sera tidak perlu bertanya. Seharusnya dia tahu apa yang akan Raven lakukan ketika pria itu membawanya ke kamar ini. Kamar bernuansa abu-abu yang setiap sudutnya mengingatkan Sera pada sentuhan-sentuhan panas majikannya.

Namun, apakah Raven akan melakukannya di saat dia baru saja bertengkar dengan istrinya? Segila itukah pria itu? Sera sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Raven saat ini.

Raven tidak menjawab. Pria berusia 33 tahun itu menutup pintu dengan kasar dan menguncinya dengan tangan yang terbebas, sementara tangan yang lainnya masih mencengkeram pergelangan tangan Sera.

Napas Raven memburu. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. Dia memenjarakan Sera di dinding, hingga Sera meringis kesakitan ketika punggungnya membentur dinding itu.

“Saya membutuhkanmu sekarang.”

Sera sudah bisa menebak kalimat itu akan terlontar dari mulut Raven, tapi tetap saja Sera terhenyak mendengarnya.

“Ta-tapi saya–”

Suara Sera tertelan begitu saja ketika Raven mendaratkan bibirnya pada bibir Sera. Raven mengangkat kedua tangan Sera ke atas kepala dengan gerakan terburu-buru, dan menguncinya dengan satu tangan.

Ciuman Raven terasa kasar dengan napas yang memburu. Sera kesulitan mengimbanginya.

Bukan. Itu bukan ciuman penuh gairah, melainkan ciuman penuh kemarahan. Raven seolah-olah ingin melampiaskan amarahnya pada Sera akibat pertengkarannya dengan Celine. Itu membuat dada Sera terasa nyeri karena dirinya hanya dijadikan objek pelampiasan.

Objek pelampiasan?

Sera tertawa di dalam hati. Menertawakan dirinya sendiri. Bukankah sejak awal dirinya memang hanya objek pelampiasan Raven saja?

Ciuman Raven semakin tak terkendali, hingga Sera merasakan dirinya nyaris kehabisan napas. Tetapi Raven sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menghirup udara. Raven tidak pernah mencium Sera sampai sekasar ini sebelumnya.

Sera baru bisa menghirup oksigen sepuasnya ketika Raven membenamkan wajahnya ke leher. Satu tangan Raven yang terbebas menjelajahi setiap jengkal tubuh Sera. Sera tidak bisa membohongi diri, bahwa kini jantungnya berdebar kencang.

Saat Raven mengikis jarak di antara tubuh mereka, Sera bisa merasakan sesuatu yang mengeras di bawah sana. Hal itu seolah-olah membantah tuduhan Celine beberapa saat yang lalu, bahwa Raven impoten.

Sera tidak mengerti kenapa Celine bisa menuduh Raven seperti itu. Karena pada kenyataannya, Raven tidak seperti yang Celine ucapkan.

Raven melepaskan kedua pergelangan tangan Sera dari genggamannya. Dia kembali mencium bibir Sera. Lalu tanpa diduga-duga, Raven merobek paksa kemeja yang dikenakan wanita itu, hingga terdengar bunyi kancing yang berhamburan di lantai.

Sera terhenyak. Dengan sekuat tenaga dia mendorong dada kokoh pria itu, membuat Raven mundur dan menatap Sera dengan tatapan tajam, seolah tidak terima dengan sikap Sera.

“Apa yang kamu lakukan?” desis Raven.

“Ma-Maaf, Pak. Sa-Saya tidak bisa melakukannya.”

“Apa katamu?” Mata Raven menyipit. “Kamu berani menolak saya?”

Sera merapatkan kemejanya yang sudah terkoyak, seraya memeluk tubuhnya sendiri. Dia sedikit menunduk, tak berani menatap mata majikannya yang tajam dan dalam itu. “Saya… lagi datang bulan.”

Mendengar jawaban Sera, Raven terdiam. Rahangnya mengeras. Satu tangannya kemudian menonjok dinding, dan tetap dalam posisi itu selama beberapa waktu sambil menundukkan wajahnya, bibirnya setengah terbuka seraya bernapas tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat.

Sera mengangkat kepalanya. Matanya yang jernih itu menatap Raven dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi dia merasa lega karena kondisinya yang sedang datang bulan berhasil menyelamatkannya kali ini. Namun di sisi lain, dia merasa tak nyaman melihat kekecewaan tergambar dalam raut muka pria itu.

Sera melihat Raven memejamkan matanya sejenak. Entah mengapa kali ini Sera merasa iba melihat wajah majikannya. Kata-kata Celine beberapa saat yang lalu pasti telah menghancurkan harga diri seorang Raven. Pria yang sangat dihormati dan disegani oleh banyak orang.

Kini, Raven tampak seperti seorang pria yang kesepian.

“Seberapa banyak yang kamu dengar?” Mata Raven bergerak, menatap Sera tanpa ekspresi.

Sera buru-buru menundukkan pandangannya. Tatapan pria itu selalu membuatnya sakit dan berdebar-debar dalam waktu bersamaan.

Sera mengerti Raven tengah membahas mengenai Sera yang menguping percakapannya dengan Celine.

“Um… itu… nggak terlalu banyak,” jawab Sera ragu-ragu.

Raven menegakkan kepalanya dan mendengus kasar. “Kamu mendengar kalau saya impoten?”

Sera mengerutkan kening, lalu mengangguk pelan. “Ta-tapi Bapak nggak seperti itu.” Dia buru-buru meluruskan jawabannya. Karena memang kenyataannya Raven tidak impoten. Tetapi entah kenapa Celine mengira begitu. Mungkinkah selama ini Raven dan Celine tidak pernah berhubungan layaknya pasangan suami istri lainnya?

“Saya seperti itu.”

“Apa?” Sera menaikkan wajahnya, menatap Raven bingung.

Raven mengembuskan napas kasar dan menjejalkan satu tangannya–yang semula menonjok dinding, ke dalam kantong celana. “Keluarlah.”

Meski masih banyak tanya yang bersarang di kepala Sera, tetapi Sera tidak punya hak untuk bertanya lebih jauh. Dia tahu diri di mana posisinya berada.

Pada akhirnya Sera mengangguk. Dia sempat menunduk menatap kemejanya sendiri, lalu menghela napas pelan. Beruntung Sera masih memiliki cadangan seragam yang lain untuk dikenakan besok.

Sera akan melangkah pergi, tapi seperti ada dorongan besar dari dalam dirinya untuk tetap berdiri di situ. Kemudian Sera berbalik, menatap Raven.

Melihat sikap Sera, Raven pun balas menatap Sera dengan datar.

“Pak Raven, terima kasih banyak.”

Satu alis Raven terangkat. “Untuk?”

“Tadi pagi Bapak sudah memanggil Dokter Andre untuk memeriksa kondisi saya,” ujar Sera, “Saya hanya kelelahan dan cukup istirahat saja, saya rasa saya tidak pantas mendapat pengobatan dari dokter pribadi Bapak.” Sera membasahi bibirnya sejenak. “Tapi karena Bapak sudah berbaik hati menolong saya, saya sangat berterima kasih.”

Raven tidak memberi tanggapan apapun, dia hanya menatap Sera dengan tatapan sulit diartikan.

Sera tahu, seharusnya dia pergi saat itu juga dari hadapan Raven karena dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi malam ini.

Namun, kakinya seolah terpaku ke lantai saat bersitatap dengan Raven. Meski ekspresinya tampak dingin dan datar, tapi Sera melihat ada rasa sepi yang terpancar dari sorot mata pria itu.

Sera ingin menenangkannya, atau mungkin memeluknya sambil mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Hingga tanpa sadar, tangan Sera terulur, menyentuh tangan Raven dan perlahan menggenggamnya.

Raven tersentak. Dia menunduk menatap tangan mereka. Lalu menatap wajah Sera lagi.

“Apa yang kamu lakukan, Sera?”

Sera menelan saliva, lalu memberanikan diri berkata, “Saya cuma ingin menenangkan Bapak.”

“Apa?”

“Saya rasa, perasaan Bapak saat ini sedang kacau. Sejujurnya saya nggak tahu bagaimana cara menyenangkan hati Pak Raven, tapi saya berharap perasaan Bapak jadi jauh lebih tenang.”

Mendengar kata-kata perempuan berusia 25 tahun itu, Raven terdiam cukup lama.

Sera tertegun saat menyadari tatapan Raven melembut. Itu seperti tatapan yang Sera dapatkan ketika mereka sedang berada di atas ranjang. Jantung Sera kembali berdebar-debar.

Namun sepertinya itu hanya ilusi. Karena kini tatapan Raven terlihat tajam. Sangat tajam, hingga Sera merasa tatapan itu seperti belati yang menusuk jantungnya. Raven tiba-tiba menepis tangan Sera dengan kasar, seolah-olah tak ingin disentuh wanita itu.

“Kamu pikir siapa dirimu sampai berani melakukan ini terhadap saya?” tanya Raven, dingin.

“A-Apa?”

Raven tersenyum sinis. “Jangan sampai lupa apa posisimu di rumah ini. Kamu hanya seorang pembantu yang kebetulan bisa menghangatkan ranjang saya. Jadi jangan pernah berpikir kamu bisa lebih dari itu.”

Sera tercenung. Kata-kata Raven berhasil menamparnya. Dia mencengkeram kemeja di depan dada dengan kuat, hingga jarinya memutih.

“Dan satu hal lagi.” Raven menjejalkan kedua tangan ke saku celana. “Saya memanggil Dokter Andre untuk memeriksamu bukan karena saya peduli padamu. Jadi jangan terlalu percaya diri. Saya melakukannya karena saya butuh tubuh kamu. Bukan kamu.”

Sera menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sampai warnanya memucat. Dadanya berdenyut nyeri. Seharusnya dia sadar akan hal itu. Seharusnya… Sera tidak terbawa perasaan.

Lalu detik itu juga, Sera meninggalkan kamar itu dengan langkah cepat agar Raven tidak melihat matanya yang memerah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   5. Kasta yang Berbeda

    Ponsel Sera bergetar di dalam saku rok spannya. Dia terpaksa menghentikan aktifitasnya untuk melihat siapa yang menelepon.Saat melihat nama ayahnya terpampang di layar, Sera menghela napas berat dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku.Dia enggan mengangkat panggilan dari pria yang selalu berhasil menghancurkan hatinya itu.Tak ingin mood-nya terganggu, Sera kembali melanjutkan aktifitasnya. Menyirami tanaman daun mint yang tumbuh subur di dalam pot.Setelah disiram, daun mint itu langsung mengeluarkan aroma segar yang tercium di udara. Sera terpaku sejenak. Aroma mint itu hampir sama dengan aroma yang menguar dari Raven saat pria itu menciumnya.Sera mengembuskan napas kasar. Lalu menggeleng, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari benaknya.Bagaimanapun juga, kata-kata Raven yang menyakitkan malam itu membuat Sera tak ingin berhadapan dengannya lagi.“Kira-kira hari ini Pak Raven pulang nggak, ya? Kalau pulang, ‘kan, saya bisa nyediain makan malam yang lebih banyak,” ucap M

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   4. Hanya Butuh Tubuhmu

    “Pak, apa yang mau Bapak lakukan?”Bodoh. Seharusnya Sera tidak perlu bertanya. Seharusnya dia tahu apa yang akan Raven lakukan ketika pria itu membawanya ke kamar ini. Kamar bernuansa abu-abu yang setiap sudutnya mengingatkan Sera pada sentuhan-sentuhan panas majikannya.Namun, apakah Raven akan melakukannya di saat dia baru saja bertengkar dengan istrinya? Segila itukah pria itu? Sera sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Raven saat ini.Raven tidak menjawab. Pria berusia 33 tahun itu menutup pintu dengan kasar dan menguncinya dengan tangan yang terbebas, sementara tangan yang lainnya masih mencengkeram pergelangan tangan Sera.Napas Raven memburu. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. Dia memenjarakan Sera di dinding, hingga Sera meringis kesakitan ketika punggungnya membentur dinding itu.“Saya membutuhkanmu sekarang.”Sera sudah bisa menebak kalimat itu akan terlontar dari mulut Raven, tapi tetap saja Sera terhenyak mendengarnya.“Ta-tapi saya–”Suara Sera tertelan b

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   3. Sebuah Fakta

    Suasana di meja makan mendadak terasa hening dan dingin. Raven hanya diam, menatap Celine tanpa ekspresi. Celine balas menatap Raven seakan menuntut jawaban.Sementara itu, tangan Sera semakin bergetar. Bagaimana kalau nyonya rumah ini mengetahui hubungan terlarang Sera dengan Raven? Apa yang akan Celine lakukan? Celine pasti marah dan kecewa padanya.Gugup dan takut kini menguasai diri Sera, tangannya seolah kehilangan tenaga. Hingga….Prang!Piring dalam genggamannya tiba-tiba terjatuh ke lantai, menghasilkan suara yang memekakkan telinga. Pecah. Buah-buahannya berhamburan.Celine berjengit kaget dan sontak menatap Sera dengan mata sedikit membulat. Suaranya terdengar halus saat berkata, “Ah… rupanya selain lemah, kamu juga ceroboh. Menarik sekali. Pelayan macam apa yang suamiku pekerjakan ini?” Celine sempat melirik Raven sejenak.Lembut dan halus, tapi kalimat itu terdengar menohok.“Ma-Maaf, Bu. Lain kali saya akan berhati-hati,” ucap Sera, lalu dia berjongkok dan mengumpulkan se

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   2. Daya Tarik Baru

    Sera keluar dari rumah Raven dengan perasaan campur aduk dan tubuh lelah. Amplop berisi uang pemberian Raven dia sembunyikan di dalam saku cardigan. Ya, dia mengesampingkan harga dirinya, karena kenyataannya dia memang membutuhkan uang itu.Hujan masih turun dengan deras. Sera merapatkan cardigannya dan berdiri cukup lama di beranda samping.Kamar ART ada di bagian belakang, terpisah dari rumah mewah ini. Setidaknya tubuh Sera akan basah kuyup ketika menyeberangi taman menuju kamarnya.Sebenarnya di dalam ada payung, tapi Sera terlalu enggan kembali ke dalam rumah majikannya. Yang ingin dia lakukan saat ini hanya membaringkan tubuhnya di atas kasur.Sera sempat berjongkok, karena lututnya terlalu lemas untuk menopang berat tubuhnya. Pada saat yang sama dia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.Sera tertegun. Dia hapal betul siapa pemilik mobil tersebut. Celine Adisty, istri Raven Lucien Maheswara yang baru saja pulang.Sesaat kemudian Sera mendengar suara pintu ruma

  • Pelukan Sang Majikan di Malam Hari   1. Malam yang Panjang

    Sera benci bagaimana tubuhnya berkhianat. Tubuhnya menikmati setiap hentakan pria yang seharusnya dia jauhi. Namun di balik desahan yang lolos, hatinya terasa hancur. Karena Sera tahu, setelah semuanya usai, hanya amplop berisi uang yang akan menunggu di meja.Di luar, hujan turun dengan deras. Suara gemericiknya mampu meredam desahan dan geraman rendah yang saling bersahutan di dalam kamar mewah itu.Kamar yang telah menjadi saksi bisu bagaimana luka dan gairah bertemu dalam tubuh seorang wanita yang dipaksa tunduk pada takdir.“Kenapa melamun?”Suara berat itu terdengar di sela-sela napas yang memburu, seiringan dengan gerakan Raven yang tiba-tiba terhenti, yang mampu mengeluarkan Sera dari lamunan singkatnya.Satu tangan lebar Raven bergerak menyentuh dagu Sera hingga mata mereka saling bersitatap. Sementara satu tangannya yang lain masih mengunci kedua pergelangan tangan Sera di atas kepala.“Saat saya menyentuhmu, kamu hanya boleh memikirkan saya. Mengerti?”Suara Raven terdengar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status