Se connecterSera keluar dari rumah Raven dengan perasaan campur aduk dan tubuh lelah. Amplop berisi uang pemberian Raven dia sembunyikan di dalam saku cardigan. Ya, dia mengesampingkan harga dirinya, karena kenyataannya dia memang membutuhkan uang itu.
Hujan masih turun dengan deras. Sera merapatkan cardigannya dan berdiri cukup lama di beranda samping.
Kamar ART ada di bagian belakang, terpisah dari rumah mewah ini. Setidaknya tubuh Sera akan basah kuyup ketika menyeberangi taman menuju kamarnya.
Sebenarnya di dalam ada payung, tapi Sera terlalu enggan kembali ke dalam rumah majikannya. Yang ingin dia lakukan saat ini hanya membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Sera sempat berjongkok, karena lututnya terlalu lemas untuk menopang berat tubuhnya. Pada saat yang sama dia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah.
Sera tertegun. Dia hapal betul siapa pemilik mobil tersebut. Celine Adisty, istri Raven Lucien Maheswara yang baru saja pulang.
Sesaat kemudian Sera mendengar suara pintu rumah yang dibuka dari luar. Dari balik dinding kaca, Sera melihat lampu ruang tamu di dalam sana menyala dan Celine berjalan dengan anggun menaiki tangga, menuju kamar utama.
Celine merupakan sosok perempuan cantik dan sempurna. Dia memiliki segalanya. Bahkan Sera pikir, Celine tidak memiliki cela apapun. Hal itu membuat Sera semakin merasa bersalah pada wanita itu.
“Maaf.” Sera bergumam tanpa sadar.
Sebagai seorang wanita, Sera mengerti betapa sakitnya ketika pasangan sendiri memiliki hubungan terlarang dengan wanita lain di belakangnya. Dan Sera merasa dirinya benar-benar buruk, tidak memiliki harga diri karena hadir sebagai orang ketiga dalam pernikahan majikannya. Meski hubungannya dengan Raven tidak berlandaskan cinta, tetap saja itu bentuk pengkhianatan.
Sera masuk ke kamarnya dengan badan sedikit basah kuyup. Setelah mandi dengan air hangat, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Beberapa tanda merah di leher mengingatkannya pada sosok Raven.
Mata Sera terpejam sejenak sambil mengepalkan tangan. Berusaha mengenyahkan perasaan terkutuk itu dari dalam hatinya. Bagaimanapun, dia tidak boleh terbawa perasaan dalam hubungan ini.
Pukul lima pagi keesokan harinya, Sera sudah berada di rumah Raven dengan kemeja putih dan rok hitam selutut yang membalut tubuh semampainya. Sementara rambutnya yang panjang dikuncir kuda. Tadi dia sempat kesulitan menutupi tanda merah di lehernya menggunakan alat make up seadanya.
Sera melakukan tugasnya seperti biasa sebelum kedua majikannya bangun. Tepat pukul tujuh, Sera membantu Ratna menyiapkan sarapan.
“Kamu sakit?” tanya Ratna, yang mengenakan seragam yang sama dengan Sera dan apron abu-abu.
“Nggak, Mbak. Aku baik-baik aja, kok,” dusta Sera sambil membawa makanan ke meja makan.
“Baik-baik aja gimana? Itu wajah kamu pucat begitu.” Ratna menghela napas pelan. “Kalau kamu sakit, jangan sungkan minta izin sama Pak Raven buat istirahat sehari.”
Sera tersenyum. Ratna memang baik dan perhatian. Dia sudah menganggap Ratna seperti ibu sendiri.
“Aku cuma sedikit lelah, Mbak. Tapi Mbak percaya deh, aku baik-baik aja.” Sera berusaha menenangkan, walau dia tak yakin tubuhnya akan baik-baik saja.
Akhir-akhir ini Sera kurang istirahat. Siang dia sibuk bekerja. Dan malam yang seharusnya dia gunakan untuk istirahat, justru dia habiskan di kamar majikannya. Sehingga setiap harinya Sera hanya tidur sekitar 4 jam, itupun jika dia bisa tidur nyenyak.
Tekanan batin dari ayahnya, kondisi kesehatan adiknya dan hubungan terlarang yang dia jalani menjadi penyebab turunnya berat badan Sera akhir-akhir ini.
“Oh? Selamat pagi, Pak,” sapa Ratna, yang membuat punggung Sera seketika berubah menegang.
“Ya. Pagi.”
Suara itu… membuat Sera mematung. Suaranya terdengar dingin dan datar.
Sera sempat melirik jam dinding, masih pukul tujuh lewat sepuluh menit. Tumben Raven sudah turun, pikirnya. Sebab biasanya Raven baru akan turun bersama istrinya pukul tujuh lewat tiga puluh menit.
Sera memutar badan menghadap pria itu. Sesaat pandangan mereka bertemu. Tatapan pria itu terasa dingin dan menusuk, membuat Sera sadar di mana posisinya saat ini. Tidak ada tatapan lembut yang hanya akan Sera dapatkan ketika mereka berada di atas ranjang.
“Selamat pagi, Pak Raven. Apa Bapak mau minum kopi?” tawar Sera sambil menundukkan sedikit pandangannya.
“Ya.” Raven menarik kursi utama di meja makan dan duduk di sana.
“Baik. Mohon tunggu sebentar.”
Sera bergegas membuat kopi tanpa gula kesukaan majikannya. Sementara pria yang menjabat sebagai CEO Maheswara Corp itu mulai tenggelam dengan berita terbaru pada tabletnya. Penampilannya sudah rapi dengan setelan jas hitam dan rambut yang disisir rapi ke belakang.
Dengan rambut seperti itu, Raven terlihat lebih dewasa dan berkarisma. Sedangkan ketika rambutnya acak-acakkan pada malam hari, dia terkesan liar, berbahaya, tapi juga memikat.
Sera membawa secangkir kopi panas ke hadapan Raven. Aroma aftershave yang menguar dari pria itu mengingatkan Sera pada setiap ciuman panasnya. Sera menggertakkan gigi sejenak, mengutuk diri sendiri karena tak seharusnya mengingat hal itu di saat seperti ini.
“Silahkan, Pak.” Sera mendadak gugup.
Raven masih menatap iPad, tangannya hendak meraih cangkir kopi yang baru saja diletakkan Sera, tapi jemarinya justru malah bersentuhan dengan punggung tangan wanita itu.
Sera tersentak.
Raven seketika mendongak hingga pandangan mereka bertemu.
Sera mendadak lupa bagaimana caranya bernapas ketika jari telunjuk Raven menyentuh punggung tangannya. Sentuhan itu mengingatkan Sera pada setiap sentuhan panas Raven di malam hari.
Sementara tatapan Raven tertuju pada wajah Sera, dingin dan datar, tapi penuh selidik. Seolah tengah meneliti wajah Sera yang pucat.
Di saat seperti ini, Sera benci pada tubuhnya sendiri. Tak seharusnya jantungnya berdebar-debar karena tatapan itu.
Namun suara high heels yang beradu dengan lantai membuat Sera tersentak. Buru-buru Sera menarik kembali tangannya dan berlalu ke dapur.
“Mama sudah bilang ke kamu kalau nanti sore kita diundang makan malam?” tanya Celine yang kini sedang menghampiri meja makan.
Dengan tenang, Raven menyeruput kopi. Lalu menjawab dingin, “Ya.”
“Gimana menurut kamu?” Celine duduk di salah satu kursi di samping Raven. “Apa perlu kita datang?”
“Tentu saja,” jawab Raven tanpa menatap Celine. “Aku tidak mungkin melewatkan undangan orang tuaku.”
“Boleh aku nggak datang kali ini?”
Mata Raven bergerak, menatap Celine tanpa ekspresi. “Kenapa?”
Celine mendesah panjang. “Aku sedang sibuk di kantor,” jawabnya, “lagi pula aku sudah bisa menebak, yang ingin mereka bahas cuma meminta kita agar memberi mereka cucu. Aku sudah bosan dengan permintaan seperti itu.”
Tak ada riak apapun di wajah Raven. Tatapan mata coklat pria itu bergeser ke arah dapur yang tak bersekat.
Sera yang kebetulan sedang melirik Raven, seketika melarikan pandangannya ke arah lain ketika pria itu menatapnya tajam.
“Kamu harus datang,” ucap Raven sembari menatap Celine kembali. “Hargailah orang tuaku. Bagaimanapun juga kamu menantu kesayangan mereka.”
Kalau sudah bicara dingin seperti itu, Celine tidak bisa membantah lagi. Dia akhirnya terpaksa mengiyakan ucapan Raven.
Sera menghampiri meja makan sambil membawa sepiring buah-buahan yang telah dia kupas dan menjadi potongan kecil. Dia sama sekali tidak berani menatap Celine.
Setiap kali berhadapan dengan wanita cantik dan elegan itu, hati Sera selalu dihantam perasaan bersalah yang terus menggerogotinya.
Celine sempat melirik Sera sesaat. Lalu menatap suaminya. “Aku penasaran, kenapa akhir-akhir ini kamu selalu pulang lebih awal ke rumah?”
Jantung Sera terasa seakan berhenti berdetak sesaat kala mendengar pertanyaan itu. Piring dalam genggamannya tiba-tiba bergetar.
Kenapa Celine bertanya seperti itu? Apa dia mencurigai sesuatu?
Raven yang akan menyeruput kopinya lagi, seketika berhenti dan melirik Celine. “Apa itu masalah?”
“Menurutku itu cukup aneh. Kamu berubah sekarang.” Dia mendengus pelan seraya menarik satu sudut bibirnya. “Kamu yang biasanya selalu pulang larut malam, atau bahkan menginap di kantor, tiba-tiba sering pulang lebih awal. Apa rumah ini sekarang punya daya tarik baru bagimu?”
***
Sera merasakan suasana di antara mereka semakin mencekam dan tegang. Aura kelam yang terpancar dari Raven membuat Sera diserang rasa gugup dan takut.Meski Raven tidak bicara langsung padanya, tetapi Sera sadar bahwa pria itu tengah menyuruhnya agar menjauhi Bastian.Dan sebelum semuanya menjadi kacau, Sera cepat-cepat berkata dengan terbata, “B-Bastian, A-Aku mau… ke toilet dulu. Permisi.”Tanpa menunggu respons dari Bastian, detik itu juga Sera pergi meninggalkan dua pria itu dengan langkah tergesa-gesa.Tetapi Sera merasakan tatapan Raven menusuk punggungnya, membuat Sera ingin segera menghilang dari sana.Setelah keluar dari paviliun, dia berpegangan pada pilar besar sambil berusaha mengatur napasnya, mencoba menghilangkan perasaan yang sejak tadi bergumul di dalam dadanya.Sera sama sekali tidak menduga bahwa Raven akan menghampirinya di tempat seramai ini. Padahal tidak hanya ada Celine, tetapi keluarga besarnya pun hadir di pesta ini.Meskipun gelagat Raven yang tenang dan data
Celine melihat kepergian Raven. Kemudian dia pamit pada tiga wanita di hadapannya. Senyuman anggun terlukis di bibir Celine saat dia menghampiri sepupu suaminya itu.“Sepertinya obrolan kalian sangat menyenangkan barusan,” ucap Celine.Gerald membalas senyuman Celine seraya menatap wanita itu dengan lekat. “Ya… cukup menyenangkan,” katanya, “walaupun sikapnya selalu dingin, tapi aku sudah memakluminya.”Gerald mengambil dua gelas wine dari waitress yang melintas di hadapan mereka, lalu menyerahkan salah satunya pada Celine.“Terima kasih.” Celine menerimanya, lalu menyesap wine itu dengan perlahan-lahan. Setelah menelan minumannya, dia berkata, “Kalau wanita lain yang jadi istrinya, aku yakin sekali dia nggak akan bertahan di sisi pria dingin seperti itu.”“Kamu memang wanita yang luar biasa.” Gerald tersenyum kecil, tetapi senyumannya tak mampu menyembunyikan rasa perih yang tergambar dalam sorot matanya. “Lihatlah, di ruangan ini nggak ada yang bisa mengalahkan kecantikanmu. Kamu sa
Bastian menatap Sera tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar.“Sebenarnya aku datang ke sini untuk mewakili ayahku yang nggak bisa hadir,” ucap Bastian, “ngomong-ngomong kamu jadi tamu Tuan Prabu juga? Waah… ini kebetulan sekali. Pantas saja aku merasa bersemangat datang ke sini.” Bastian terkekeh-kekeh.Sera berdiri di hadapan Bastian. “Majikan aku adalah cucunya Tuan Prabu. Dan malam ini Tuan Prabu mengundang seluruh pekerja di keluarga besarnya untuk datang ke acara ini.”Bastian mengangguk-anggukkan kepalanya.“Oh, kenalkan ini teman-temanku.” Sera lalu mengenalkan Ratna dan Ayu pada Bastian.Bastian tersenyum dan mengenalkan dirinya pada mereka sebagai teman dekat Sera.Ayu terpana melihat ketampanan Bastian, pipinya tersipu malu saat Bastian menjabat tangannya. Dan dengan malu-malu Ayu menyebutkan namanya.“Sera, kok kamu nggak bilang-bilang punya teman seganteng ini?” bisik Ayu.Ratna langsung menyenggol lengannya. “Jangan genit.”Ayu memanyunkan bibirnya, da
Sera menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu terbit senyuman kecil di bibirnya.Gaun hitam yang melekat di tubuhnya itu tampak cantik. Itu gaun sederhana berlapis chiffon yang jatuh lembut dengan tinggi di bawah lutut.Bagian bahunya terbuka, dan di bagian pinggang pita panjang yang diikat rapi, mempertegas siluet rampingnya.Gaun yang tidak terlalu mencolok. Sehingga Sera cukup percaya diri mengenakannya. Sera sengaja memilih pakaian tersebut dari beberapa pakaian pemberian Raven, untuk dikenakan di acara ulang tahun Tuan Prabu hari ini.Kaki jenjangnya dibalut high heels berstrap tipis. Sementara tas kecil dengan rantai emas menggantung manis di tangannya.Itu heels dan tas pemberian Raven. Kemarin Sera tiba-tiba mendapat kiriman paket dari pengirim tak dikenal.Paket itu berisi heels yang sesuai ukuran kaki Sera dan tas kecil model sederhana. Ada secarik kertas dalam paket tersebut, yang menunjukkan bahwa pengirimnya adalah Raven.‘Gunakan ini besok. Jangan mempermalukan Kakek.’P
Tubuh Sera seketika menegang ketika bibir Raven menempel pada bibirnya. Napasnya tertahan dan Sera merasakan dunia di sekitar mereka terhenti sesaat. Matanya terbelalak. Bisa dia rasakan Raven memagut bibir atasnya dengan lembut. Namun, kesadaran seketika menghampiri Sera. Detik itu juga Sera menjauhkan wajahnya dari Raven hingga tautan bibir mereka terlepas. Mata Sera mengerjap-ngerjap cepat. “A-Apa yang Bapak lakukan?” tanyanya terbata-bata dengan pipi memanas, dia melirik ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang menyaksikan tindakan Raven barusan. “Bapak lupa kita ada di mana?” Tak ada riak di wajah Raven. Pria itu menatap manik mata Sera dengan lekat. “Jangan coba-coba menggoda saya lagi,” bisiknya dengan suara berat tanpa menghiraukan ucapan Sera. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan kalau kamu mengulanginya.” “Sudah saya bilang saya tidak menggoda Bapak,” protes Sera sebelum meneguk air minumnya untuk meredakan gemuruh di dalam dadanya. Raven kembali duduk da
Sera keluar dari ruang ganti setelah selesai mencoba lebih dari lima pakaian yang berbeda. Dia menghampiri Raven yang masih duduk di sofa, lalu menyerahkan semua pakaian itu kepada pegawai butik. “Saya pilih yang ini saja, Pak,” kata Sera sambil menunjuk pakaian yang paling sederhana. “Saya rasa ini yang paling cocok untuk saya.” Mendengar ucapan Sera, pegawai butik itu menatap Raven. Raven balas menatapnya sekilas sambil mengangguk singkat. Sera yang memperhatikan interaksi mereka sama sekali tidak mencurigai apapun. Namun ketika Raven telah membayar di kasir dan membawa paper bag besar ke hadapannya, Sera baru menyadari bahwa pria itu memborong semua pakaian yang tadi Sera coba. Sera tertegun. “Pak, ini terlalu berlebihan,” protes Sera, “saya tidak membutuhkan pakaian mewah sebanyak ini. Satu saja cukup.” Raven menatap manik mata Sera lama. Lalu menjawab datar, “Kamu tidak perlu butuh. Saya yang memutuskan apa yang harus kamu pakai.” Sera terdiam, pelan-pelan meremas uju







