MasukRaven berdiri di depan jendela besar. Menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca. Di luar, langit sudah berubah gelap.Kedua tangan Raven tersembunyi di saku celana dengan rahang mengeras.Percakapannya dengan Sera tadi terus memenuhi pikirannya.Raut muka Sera yang tiba-tiba berubah sendu dengan sorot mata terluka saat pergi, membuat dada Raven terasa sesak dan nyeri.Memang benar, Sera dan kedua adiknya berada di resort ini karena skenario yang Raven ciptakan.Raven ingin memberikan kemewahan pada wanita itu, dan membuatnya terus berada dalam jangkauan matanya.Namun ternyata… untuk pertama kalinya semua yang biasa Raven anggap sebagai solusi, terdengar seperti kesalahan.Raven mengembuskan napas kasar. Melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul 18.45.Pada saat yang sama, Raven mendengar keributan di luar sana, seperti dua anak perempuan yang sedang panik.Semula Raven akan mengabaikannya, tapi saat mengenali suara itu milik Rania dan Salsa, Raven secara spontan menajamkan pendenga
Sera duduk termenung di balkon kamar.Udara dingin merayap pelan, menyentuh kulit sekaligus perasaannya, seakan berusaha membekukan nyeri yang sejak tadi berdenyut di dalam dada.Kata-kata Raven tadi membuat dunia Sera nyaris runtuh. Sera tahu, Raven tidak mungkin tertarik padanya dan pria itu tak akan pernah memilihnya.Namun, mendengar pengakuan langsung dari mulut Raven rasanya jauh lebih menyakitkan.“Kak Sera!” seru Rania dan Salsa sambil berlari menghampiri Sera.Sera mengerjapkan matanya berkali-kali, untuk menghalau air mata yang menggenang.Lalu dia menoleh dan berusaha menarik sudut-sudut bibirnya ke atas.“Ada apa? Kalian kelihatan senang banget,” komentar Sera.“Kak, ayo kita main sepeda!” Salsa berseru riang sambil menarik satu tangan kakaknya.“Main sepeda? Memangnya ada sepedanya?”“Ada!” Rania yang menjawab, tak kalah antusias dari Salsa. “Resort nyediain sepeda buat para tamunya.”Sera seketika terdiam. Bagaimana jika kedua adiknya tahu bahwa sebenarnya keberuntungan
Sera masuk ke kamar dan mendapati kedua adiknya tengah duduk di sofa sambil menatap ke ponsel di genggaman Rania.“Lagi apa kalian?” tanya Sera.“Mau ngasih review di Maps resort ini, Kak,” jawab Rania, “aku langsung kasih bintang lima, soalnya pelayanan mereka bagus banget.”Sera tersenyum kecil lalu duduk di tepian ranjang sambil mengikat rambut panjangnya.“Kak Rania, lihat. Ternyata resort ini punya Maheswara Corp!” seru Salsa, yang membuat Sera seketika menoleh pada mereka berdua.“Maheswara Corp?” tanya Sera dengan mata sedikit membulat. Itu ‘kan perusahaan yang dipimpin Raven.“Hm!” Salsa mengangguk. “Pantas aja fasilitasnya sultan banget!”Sera seketika terdiam, seakan tubuhnya lupa bagaimana cara bernapas.“Emangnya kamu tahu Maheswara Corp itu perusahaan apa?” Rania balik bertanya.“Tahu dong. Pak Ridwan di sekolah aku suka bahas perusahaan ini. Katanya ini salah satu perusahaan besar, yang sangat berpengaruh di perekonomian Indonesia.”Sera segera mengeluarkan ponsel dan me
Kehadiran Raven di meja makan sempat membuat suasana terasa canggung.Tapi Sera berhasil mencairkan suasana dengan mengajak ngobrol Rania dan Salsa.Sedangkan Raven tak bersuara, dia menikmati makanannya dengan tenang.Namun diam-diam Raven memperhatikan interaksi Sera dan kedua adiknya. Obrolan ringan mereka membuat rasa hangat mengalir di dalam dada Raven.Raven merasa ingin berada di meja makan ini lebih lama.Padahal semua makanan di atas meja itu sudah menjadi makanannya sehari-hari, tetapi entah kenapa saat ini rasanya berbeda. Terasa lebih… lezat.“Kapan akan berziarah?” Raven akhirnya bersuara setelah cukup lama dia bungkam.“Rencananya besok pagi, Pak,” jawab Sera.Raven mengangguk samar.Lalu suasana kembali hening.Sera melahap makanannya lagi dengan tenang, tapi ketenangannya terusik ketika sikunya dengan siku Raven tanpa sengaja saling menyentuh.Sera menahan napas. Lalu menunduk.Sedangkan Raven hanya berdehem pelan sekali.“Ah, aku baru ingat,” cicit Salsa, memecah kehe
“A-Apa yang Bapak lakukan di sini?”Sera tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Menatap Raven dengan tatapan tak percaya.Raven mengerjap tenang. Tidak terlihat sedikit pun keterkejutan dalam wajahnya. Sera tidak heran, karena Raven adalah pria paling datar yang jarang sekali menunjukkan emosi.“Saya ada urusan pekerjaan,” jawab Raven seraya menatap Sera.“Oh? Kebetulan sekali.” Sera bergumam. Lalu menarik napas panjang untuk menghalau debaran di dalam dadanya yang tiba-tiba menyerang.Rania dan Salsa menyapa Raven dengan sopan tanpa diminta. Salsa tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar menatap Raven. Sedangkan Rania hanya tersenyum tipis.Raven menanggapi mereka dengan deheman yang sangat pelan sambil mengangguk samar.“Masuklah,” kata Raven, sebelum kemudian mengeluarkan ponsel dari kantong celana dan menerima panggilan masuk dari seseorang.Sera mengangguk dan memperhatikan kepergian Raven dengan kening yang berkerut semakin dalam.Ini kebetulan yang sangat di luar dugaan,
Sera dan kedua adiknya tiba di Bandung setelah melakukan perjalanan selama tiga jam.Mereka disambut oleh langit mendung dan udara sejuk ketika turun dari kereta api.Salsa yang tubuhnya digerogoti penyakit itu tampak ceria dan berjalan sambil melompat-lompat kecil, seolah-olah dia adalah orang paling sehat di antara mereka.Sedangkan Rania terlihat lebih kalem dan dewasa.Sera menggiring mereka menuju pintu keluar stasiun.“Ibu bakal sedih nggak ya kita datang tanpa ayah lagi?” celetuk Salsa, membuat Rania seketika melotot padanya.“Bisa nggak sih kamu nggak usah bahas-bahas laki-laki nggak bertanggung jawab itu?”“Rania.” Sera menegur dengan penuh kelembutan, agar adiknya itu tidak berbicara sembarangan tentang ayah mereka.Rania sedikit cemberut. “Habisnya Rania kesel,” gerutunya, “mana pernah ayah peduli sama mendiang ibu? Jangankan sama ibu yang udah nggak ada, sama kita aja ayah nggak pernah peduli.”Salsa ikut cemberut, merasa bersalah karena dia yang pertama kali menyinggung s







