Share

Bab 3

"Assalamualaikum ...."

Terdengar suara salam dari depan rumahku. Aku yang baru selesai mandi dan berganti pakaian segera bergegas menuju ke depan. Aku menoleh ke arah jam dinding besar yang terpasang di ruang tengah rumahku. Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku bingung, siapa orang yang bertamu ke rumahku sepagi ini?

Jika dipikir, aku juga baru menempati rumah ini malam tadi. Aku juga belum sempat bertemu dengan tetangga sekitar rumah, kecuali keluarga Mas Wijaya.

"Waalaikumsalam ...," jawabku, setelah pintu ruang tamu terbuka.

Aku sedikit tersentak dan terkejut, sebab yang datang bertamu sepagi ini adalah Mas Wijaya. Aku tak menyangka, pria yang berstatus mantan suamiku itu datang ke rumahku sepagi ini. Jujur saja, aku sedikit merasa takut. Sebab, aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini. Suasana pagi ini juga tampak sepi. Tak kulihat ada orang yang berlalu-lalang di depan rumah.

Mas Wijaya berulang kali memandangku dari atas hingga bawah. Membuat aku merasa sangat risih dibuatnya. Apalagi, aku hanya memakai daster pendek selutut dengan rambut basah yang belum sempat aku keringkan. Tak kusangka, mantan suamiku ini ternyata mata keranjang. Bertahun-tahun aku hidup dengannya dulu, ternyata beginilah sifat asli sebenarnya.

"Mas Wijaya, ada apa?" tanyaku mengerutkan kening. Entah ada keperluan apa Mas Wijaya bertandang ke rumahku sepagi ini.

"A-aku ingin ketemu kamu, Al. Eh, maksud aku, apa kamu perlu sesuatu? Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa minta tolong sama aku."

Aku menghela nafas berat, tak sangka Mas Wijaya ternyata seagresif ini padaku. Bahkan, ia tak memikirkan bagaimana perasaan istrinya jika sampai tahu ia datang ke rumahku. Aku yakin, Lastri tak tahu jika suaminya ini sudah berada di rumahku sepagi ini.

"Maaf, Mas, untuk saat ini, aku belum butuh apa-apa," jawabku semanis mungkin. Meskipun, aku sangat muak melihat wajahnya.

"Kamu udah sarapan belum, Al? Kalau mau, nanti aku belikan. Jadi, kamu gak perlu repot-repot masak."

"Gak perlu, Mas. Nanti aku bisa beli sendiri," tolakku.

"Hmm ... Al, kok kamu gak nyuruh aku masuk sih? Aku capek loh berdiri di sini," ucap Mas Wijaya dengan nada sok lembut.

Mendengar ucapan Mas Wijaya, tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri. Perasaanku menjadi tak enak, aku takut, Mas Wijaya berbuat macam-macam padaku jika sampai aku mengijinkan ia masuk ke dalam rumah. Apalagi melihat tatapan mesum Mas Wijaya padaku. Aku harus mencari cara agar ia tak masuk ke dalam rumahku. Aku juga tak mau membuat ia tersinggung dan malah menjauhiku. Bisa gagal semua rencanaku jika ia tak mau dekat denganku.

"Al, kamu sekarang cantik banget. Kulit kamu juga sangat putih. Tubuh kamu juga sudah langsing dan gak gendut seperti dulu. Aku jadi nyesel udah pisah sama kamu, Al," ucap Mas Wijaya dengan wajah terlihat lesu.

Pria yang berstatus mantan suamiku ini memang otakku sudah tak waras. Bisa-bisanya, ia berbicara seperti itu setelah apa yang ia lakukan padaku dulu. Hanya karena aku berubah jadi cantik, dengan mudahnya ia bilang menyesal. Itu artinya, ia hanya memandang diri ini hanya karena penampilan fisik semata.

Tak ingatkah dia, saat dulu sering menghinaku karena aku tak pernah merawat diri. Ia juga tak segan-segan mencaci-maki diriku karena badan yang mulai gemuk setelah menikah dengannya.

Ia tak tahu saja, bagaimana perjuanganku untuk bisa berubah menjadi cantik dan langsing seperti ini. Semua ini aku lakukan tentu saja karena aku ingin membalas sakit hatiku padanya.

"Iya, Mas, terima kasih untuk pujiannya," ucapku memaksakan senyum.

"Al, aku masuk ya? Aku pengen ngobrol sama kamu."

"Tapi, Mas ...."

Ucapanku menggantung ketika melihat wajah murka Lastri yang baru keluar dari rumahnya dan melotot tajam ke arahku. Ia langsung berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Mas Wijaya!" teriak Lastri dengan wajah merah padam. Terlihat jelas ia sangat marah saat ini.

"Apa sih, Las? Manggil pakai teriak-teriak, aku gak budek tau!" omel Mas Wijaya.

Aku terpelongo melihat sikap Mas Wijaya yang sama sekali tak ada rasa takut pada istrinya itu. Wajah Mas Wijaya juga tampak biasa saja, seolah ia tak takut jika Lastri akan marah padanya.

"Kamu yang apa-apaan, Mas! Pagi-pagi udah datang ke rumah janda gatel ini!" omel Lastri tak kalah sengit.

Aku tersenyum miring, melihat ekspresi wajah Lastri yang terlihat sangat cemburu. Terlihat jelas bahwa ia takut Mas Wijaya berpaling padaku. Semoga saja, karena itu yang aku harapkan sebenarnya.

"Kamu kalau ngomong jangan sembarang ya, Las!" kata Mas Wijaya yang seolah membelaku.

"Kamu ini keracunan apa sih, Mas? Kenapa kamu bisa jadi berubah gini? Atau jangan-jangan, kamu kena pelet sama janda gatel ini!" ucap Lastri sambil menunjuk wajahku.

"Pelet apa sih, Las. Ngaco aja kamu ini kalau ngomong," kata Mas Wijaya.

"Eh, Alma! Aku tahu, kamu pasti punya rencana busuk buat memikat Mas Wijaya. Aku yakin, kamu pakai pelet biar Mas Wijaya suka dan mau kembali samu kamu kan?!" bentak Lastri sengit. Nafas Lastri terlihat tersengal-sengal karena menahan emosi.

Aku tersenyum miring menanggapi ocehan Lastri. Karena apa yang ia katakan tak sepenuhnya salah. Melihat kemarahan Lastri, aku jadi semakin bersemangat membuat ia semakin menderita. Ia sendiri bisa menikah dengan Mas Wijaya dengan cara licik, kenapa aku tidak? Meskipun, tak ada sedikitpun niatku untuk kembali menikah dengan Mas Wijaya.

Aku hanya ingin Mas Wijaya bertekuk lutut padaku, dan mengambil semua hakku yang ia ambil dengan cara licik. Setelah itu, tentu saja aku akan membuangnya. Sama seperti saat ia membuangku dulu. Menurutku, mereka berdua memang pasangan yang sangat cocok, sebab sama-sama memiliki sifat yang licik.

"Aku gak ada niat seperti yang kamu tuduhkan, Las. Lagipula, kenapa kamu harus takut Mas Wijaya berpaling dari aku?" ucapku, membela diri.

"Dasar janda gatel! Aku gak akan biarkan kamu merebut Mas Wijaya dari aku!" Lastri hampir saja menerjang diriku, jika saja Mas Wijaya tak kalah cepat menghadang tubuh istrinya itu.

"Tutup mulut kotor kamu itu, Las! Kamu gak punya kaca di rumah? Sebelum ngatain aku, harusnya kamu sadar diri!" ucapku tak terima.

"Dasar wanita jalang! Lepas, Mas, aku mau beri pelajaran untuk wanita yang sudah menggoda suamiku!"

Mas Wijaya masih memegangi tubuh Lastri yang terlihat memberontak karena amarahnya semakin meledak.

"Mas, cepat bawa pulang istri kamu itu! Pagi-pagi sudah bikin keributan di rumah aku!" kataku pada Mas Wijaya.

"Kamu ini malu-maluin aku aja, Las! Ayo pulang!" ucap Mas Wijaya menarik kasar tangan Lastri.

"Malu-maluin? Kamu yang sudah mempermalukan aku, Mas! Keterlaluan kamu. Bisa-bisanya kamu lebih belain janda gatel itu dibanding istri kamu sendiri!" oceh Lastri sambil berjalan ditarik oleh Mas Wijaya.

Berbagai umpatan dan cacian Lastri tujukan padaku. Suara teriakan Lastri yang menggelegar di pagi hari yang masih terasa sunyi ini mengundang perhatian warga sekitar rumah kami. Semua warga sekitar terlihat berbondong-bondong keluar dari rumah mereka dan melihat kejadian ini. Pun dengan Ibu mertua yang rumahnya terletak tepat di samping rumah Mas Wijaya dan Lastri.

Aku segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Tak lupa, aku mengunci pintu juga. Aku takut, Mas Wijaya kembali datang ke rumahku dan berbuat macam-macam padaku. Sepertinya, aku harus segera mencari asisten rumah tangga untuk menemaniku tinggal di rumah ini.

Aku tersenyum sinis, baru sehari tinggal di sini saja, sudah banyak keributan antara Mas Wijaya dan Lastri. Kita lihat saja, apakah hubungan mereka akan baik-baik saja, atau tidak? Sebab, aku akan pastikan, mereka tak akan hidup dengan bahagia.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status