Share

Bab 2

last update Last Updated: 2024-01-15 18:00:08

"Kok kamu malah jadi marahin aku sih, Mas!" Lastri bicara dengan nada tinggi. Wajahnya merah, mungkin ia merasa malu sekaligus marah.

Wanita mana yang tak malu diperlakukan kasar seperti itu oleh suaminya sendiri? Dan yang lebih menyakitkan, di depan mantan istri suaminya yaitu diriku. Aku tetap berusaha setenang mungkin menyaksikan drama ini.

"Lastri! Kamu ini apa-apaan sih? Sama suami kok gak ada sopan-sopannya. Ngomong pakai teriak-teriak. Gak malu kamu!" Kini giliran mantan Ibu mertua yang memarahi Lastri. Bertambah merah padam saja wajah Lastri saat ini. Apalagi, mantan Ibu mertua bicara dengan nada ketus.

"Kok Ibu malah jadi ikut-ikutan Mas Wijaya sih? Ibu gak ingat, bukankah, Ibu dulu sangat membenci Alma?!"

"Jaga mulut kamu ya, Lastri! Jadi perempuan kok bawel banget. Suka-suka Ibu dong. Sana masuk!" Ibu berkata dengan marah dan malah mengusir Lastri untuk masuk ke dalam rumah.

"Keterlaluan! Kenapa kalian jadi bersikap begini hanya gara-gara kedatangan wanita tak tahu malu ini?" ucap Lastri tak terima.

"Siapa maksud kamu yang tak tahu malu?" Aku bertanya dengan ekspresi dingin.

"Ya jelas kamu lah, Al! Kamu pikir, sebutan apa yang pantas untuk wanita yang sudah diusir dan diceraikan? Dan dengan percaya dirinya, kamu datang kembali kemari. Itu namanya, kamu wanita tak tahu malu!" Lastri bicara dengan wajah penuh kemurkaan.

"Dengar ya, Lastri, aku datang kemari bukan untuk bertemu dengan kalian. Asal kamu tahu, mulai hari ini, aku akan tinggal di rumah itu!" ucapku tegas dan menunjuk rumah yang telah aku beli.

Wajah Lastri tampak sangat terkejut. Pun dengan Mas Wijaya dan juga Ibunya. Juga Mbak Rosi yang kini sudah berada diantara kami. Mereka semua terlihat saling pandang dengan wajah penuh tanya.

"Jadi, kamu pemilik baru rumah itu, Al?" tanya mantan Ibu mertua yang wajahnya masih terlihat terkejut.

"Benar sekali, Bu, rumah itu sudah aku beli. Mulai sekarang, kita akan sering-sering bertemu," jawabku semanis mungkin.

Mas Wijaya terlihat termenung, pun dengan Mbak Rosi setelah mendengar jawaban dariku.

"Udah gak waras kamu, Al! Bisa-bisanya, kamu tinggal berhadapan dengan rumah kami!" ucap Lastri.

"Aku masih waras kok. Kamu terlalu berlebihan, Las."

"Lalu, apa maksud kamu tinggal di depan rumah kami? Kamu sengaja ya, mau mengganggu rumah tangga aku dan Mas Wijaya?!"

"Lastri! Bisa gak sih kamu itu diam. Dari tadi marah-marah terus!" cebik Mas Wijaya.

"Mas—"

"Udah, ayo masuk!" potong Mas Wijaya cepat dan menarik tangan Lastri untuk masuk ke dalam rumah.

Mata Lastri masih melotot tajam menatapku, meskipun ia berjalan mengikuti tarikan tangan Mas Wijaya. Aku merasa senang melihat tingkah Lastri yang seperti cacing kepanasan itu.

"Alma, aku gak nyangka sekarang kamu bisa sesukses ini. Kamu bisa punya mobil dan juga rumah bagus. Memang kamu kerja apa? Bukankah, Ibu kamu cuma petani miskin?" tanya Mbak Rosi seperti penasaran. Tapi tetap saja, pertanyaan itu terdengar seperti hinaan untukku, terutama untuk Ibuku.

Selama ini, mereka hanya tahu bahwa Ibuku adalah seorang petani miskin. Wajar saja, sebab Ibu hanya tinggal di pedesaan dengan rumah yang sangat sederhana. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya Ibu memilik beberapa hektar sawah peninggalan almarhum Bapak.

"Satu tahun ini, aku bekerja di kota, Mbak. Dan sekarang, aku mau membuka usaha toko di sini saja," jawabku masih tetap tenang.

"Jadi, kamu mau buka toko di sini?"

"Iya, Mbak," jawabku.

Mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi saling pandang mendengar jawaban dariku.

"Aku permisi dulu, Bu, Mbak. Aku lelah sekali. Aku pulang dulu," pamitku dengan senyuman manis pada mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi. Sudah cukup kejutan hari ini untuk mereka semua.

"I-iya, Al," jawab mantan Ibu mertua yang terlihat tersadar seperti melamun.

Aku segera berjalan menuju rumahku dan membuka pintu pagar. Setelah pintu pagar terbuka, aku memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi masih terlihat berdiri di depan rumah, mereka terlihat saling bisik seolah sedang berbicara sesuatu. Aku yakin, mereka saat ini pasti sedang membicarakan diriku.

Aku masuk ke dalam rumah berukuran cukup besar yang aku beli. Ada sebuah bangunan toko yang berada tepat di depan rumahku yang masih menyambung dengan rumah ini. Pemilik sebelumnya memang memiliki usaha toko sembako. Itulah usaha yang akan aku geluti setelah tinggal di sini. Aku juga sudah membeli semua isi toko pemilik sebelumnya. Dengan begitu, aku bisa langsung membuka toko itu tanpa perlu repot-repot berbelanja banyak.

Aku merebahkan diri diatas tempat tidur berukuran besar yang ternyata sangat empuk dan juga nyaman. Untungnya, sebelum aku menempati rumah ini, aku sudah menyuruh orang untuk membersihkan rumah ini. Semua perabotan rumah juga sudah tersedia. Aku hanya tinggal membawa pakaian dan keperluan kecil lainnya.

Aku benar-benar merasa sangat puas hari ini. Kemarahan Lastri hari ini membuat aku cukup senang. Dan lucunya, Mas Wijaya dan mantan Ibu mertua sama sekali tak membelanya.

Aku jadi teringat akan luka yang pernah mereka torehkan di hatiku satu tahun yang lalu. Aku yang baru pulang dari luar negri karena bekerja sebagai TKW harus menelan rasa sakit setelah mengetahui Mas Wijaya telah menikah lagi. Rumah yang mereka tempati saat ini, adalah hasil keringatku selama bekerja di luar negri.

Aku tak bisa mengambil hak milik rumah itu karena rumah itu dibangun di atas tanah milik mantan Ibu mertua. Selain itu, Mas Wijaya juga telah membangun sebuah toko grosir besar dari hasilku bekerja di luar negri selama tiga tahun. Tetapi, Mas Wijaya sama sekali tak mau mengembalikan uangku dan malah mengusir sekaligus menceraikan aku.

Dan yang membuat hati ini bertambah sakit, Mas Wijaya dan Lastri nyatanya telah memiliki seorang anak dari hasil perselingkuhan mereka. Ibu mertua dan Mbak Rosi kakak iparku sama sekali tak membela diriku. Justru, mereka malah mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri.

Mereka juga ikut mengusirku dari rumah itu dengan dalih aku belum bisa memberikan keturunan selama lima tahun pernikahan. Aku yang saat itu memang sangat lemah dan tak memiliki siapapun di sini untuk menguatkan ku akhirnya memilih untuk pergi dan pulang ke rumah Ibuku.

Sebelum aku memutuskan untuk bekerja di luar negri, Mas Wijaya dan keluarganya hidup dengan pas-pasan. Tapi setelah aku berhasil menaikkan derajat keluarga mereka, justru sakit yang aku dapatkan.

Setetes air mata jatuh dari sudut mataku, mengingat setiap rasa sakit dan luka hati yang pernah mereka torehkan untukku. Aku masih ingat, bagaimana senyum kemenangan, hinaan dan juga ejekan Lastri saat aku di usir satu tahun yang lalu. Aku berjanji, senyum ejekan dan hinaan itu akan berubah dengan tangisan.

******

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 47

    "Permisi, Mas, maaf numpang tanya," kataku pada seorang pria yang baru turun dari motor yang ia kendarai. Pria itu memarkirkan motornya di depan kost-kostan ini."Iya, Mas, tanya apa ya?""Apa Mas tinggal di kostan ini?""Iya, Mas, saya tinggal di sini," jawabnya."Saya mau tanya, siapa yang menghuni kost-an lantai dua yang pintunya nomor empat itu?" tunjukku ke atas."Oh, nomor 4 ya? Kamar itu sih dihuni sama Ferdy, Mas. Kebetulan dia teman kuliah saya," jawabnya."Teman kuliah?""Iya, Mas, dia kuliah bareng saya. Tapi beda jurusan. Mas ada urusan apa sama Ferdy?" tanyanya seolah penasaran."Gak ada, Mas. Kebetulan dia mirip saudara saya. Namanya juga sama. Kalau boleh tahu, dia tinggal sama siapa ya, Mas?" jawabku beralasan dan bertanya."Dia tinggal sendiri kok. Tapi ... sekarang dia lagi sama pacarnya, Mas," jawabnya sambil menggaruk kepala yang sepertinya tak gatal."Pacar?""Iya, Mas. Jadi kalau nanti Mas ketemu Ferdy jangan kaget. Ya udah ya, Mas, saya mau masuk dulu. Masih ada

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 46

    Aku masih memperhatikan Lastri dan pria yang naik motor bersamanya. Terlihat mereka begitu akrab. Seperti orang yang sudah kenal sangat lama. Anak kami Zea juga sepertinya begitu mengenal pria itu. Terlihat saat ini Zea berganti posisi dari duduk lalu berdiri dan berpegangan pada pundak pria itu. Sedangkan Lastri memegangi tubuh Zea. Jika dipikir, tak mungkin juga pria itu saudara Lastri. Sebab, aku tak pernah melihat pria itu sebelumnya.Ketika lampu hijau mulai menyala, semua kendaraan mulai melaju ke arah lurus. Begitu juga motor yang dikendarai oleh Lastri dan pria asing itu. Aku sendiri langsung tancap gas untuk mengikuti mereka. Aku tak ingin kehilangan jejak mereka. Apa lagi, mereka pergi membawa anakku Zea. Aku ingin tahu, siapa pria itu sebenarnya. Berbagai pikiran buruk langsung melintas di kepalaku.Untung saja, pria itu mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang. Dengan begitu, aku bisa mengikuti mereka dengan mudah. Apa lagi, melihat arus lalu lintas yang cukup padat s

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 45

    Pagi ini, aku terbangun dengan kepala sedikit berat. Sebab, aku hampir tak bisa tidur semalaman. Mbak Rossi semalam kembali mengamuk. Hingga membuat aku dan Ibu tak bisa beristirahat dengan tenang. Setelah Mbak Rossi diberi obat penenang, ia akhirnya tertidur. Tetapi setelah Mbak Rossi tertidur, justru malah Ibu yang tak tidur karena menangis semalaman. Berulangkali aku mencoba menenangkan Ibu, tapi Ibu tetap saja menangis.Aku merasa keadaan Mbak Rossi benar-benar sudah parah. Jiwa Mbak Rossi benar-benar sudah terguncang. Semalam, Mbak Rossi berteriak-teriak menyebut nama Adit. Seolah Mbak Rossi ingin Adit ada di sini bersamanya. Jujur saja, aku sangat muak ketika mendengar Mbak Rossi menyebut Nama Adit. Entah apa lagi yang Mbak Rossi harapkan dari pria brengsek itu.Ketika aku telah selesai mandi dan berganti pakaian, aku mendapatkan sebuah pesan dari Alma. Pucuk dicinta, tanpa perlu aku mendekati Alma, ia malah lebih dulu mengirim pesan padaku. Tetapi, aku sedikit terkejut ketika m

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 44

    POV WijayaAku mencoba menghubungi nomor Lastri. Tapi sialnya, nomor ponsel Lastri tak aktif dan tak bisa dihubungi. Entah kemana perginya istri tak berguna itu. Aku benar-benar sangat kesal padanya. Lihat saja, jika sampai ia pulang nanti, aku akan memberinya pelajaran. Selama ini, aku terlalu memberikan kebebasan untuk Lastri. Hingga ia bisa bertingkah sesuka hatinya. Dan kini, aku tak akan membiarkan Lastri bersikap semaunya sendiri. Sudah cukup rasa sabarku padanya! Lihat saja, jika aku bertemu dengannya nanti, aku akan memarahinya habis-habisan. Bila perlu, aku akan menceraikannya secara langsung. Agar ia sadar, hidupnya tak akan ada artinya tanpa diriku. Jika dipikir, memiliki seorang istri seperti Lastri tak ada untungnya untukku. Yang ada, uangku semakin habis terkuras untuk memenuhi keinginannya yang entah untuk apa. Rasanya, aku benar-benar menyesal menikah dengannya."Bu, Aminah. Saya minta tolong sama Ibu. Saya titip keponakan saya —Vira di rumah Ibu dulu. Soalnya, di rum

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 43

    Aku segera berjalan menuju mobilku. Aku harus segera pulang. Aku harus mencari bukti lain tentang Nana dan Mas Adit. Aku yakin, Mas Adit dan Alma memiliki niat terselubung padaku. Apa lagi mengingat kejadian saat ia mencoba masuk ke dalam kamarku.Aku merasa diriku begitu bodoh karena terlalu percaya pada Nana. Bahkan pernah ada niat untuk menganggap Nana sebagai anakku sendiri. Tapi nyatanya, aku malah memasukkan orang yang salah ke dalam rumahku. Mungkin, aku harus meminta pertanggungjawaban pada Rumi, sebab ia lah yang awalnya membawa Nana masuk ke rumahku.Ting!Sebuah pesan masuk ketika aku baru mulai menghidupkan mesin mobil. Aku segera meraih tas kecil yang berada di dasbor mobil untuk mengambil ponsel. Ternyata, ada sebuah pesan masuk dari Mas Wijaya.["Al, uangnya sudah aku transfer barusan.] Isi pesan dari Mas Wijaya.Aku langsung membuka aplikasi m-banking milikku untuk mengecek saldo rekening. Ternyata benar, uang seratus juta rupiah yang aku minta pada Mas Wijaya telah me

  • Pembalasan Berkelas untuk Mantan Suami Culas   Bab 42

    Setelah ibunya Nana cukup tenang, polisi menyuruh mereka semua untuk duduk. Sepertinya, polisi akan mengintrogasi mereka. Aku tak melihat ada tanda-tanda kehadiran keluarga Mas Adit. Mungkin, mereka sedang sibuk mengurus Mbak Rossi di rumah sakit. Setelah kami memberikan bukti yang cukup, aku bersama Bu RT dan Pak RT memutuskan untuk pulang ke rumah. Polisi bilang, kami akan dipanggil kembali untuk dijadikan saksi dalam kasus ini jika sudah tiba waktunya. Sebenarnya, aku ingin berbicara dengan orang tua Nana sebentar. Tetapi, melihat situasi dan kondisi sepertinya tak memungkinkan.Sebelumnya, polisi memberikan pilihan pada kami untuk melanjutkan kasus ini atau diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Tetapi, aku dan Pak RT tetap bersikukuh untuk melanjutkan kasus ini. Aku tak rela jika Mas Adit bisa berkeliaran dengan bebas. Setelah ini, aku juga akan mencari bukti-bukti lainnya untuk memberatkan hukuman Mas Adit. Setelah sampai di rumah nanti, aku akan masuk ke dalam kamar Nana.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status