Share

Bab 2

"Kok kamu malah jadi marahin aku sih, Mas!" Lastri bicara dengan nada tinggi. Wajahnya merah, mungkin ia merasa malu sekaligus marah.

Wanita mana yang tak malu diperlakukan kasar seperti itu oleh suaminya sendiri? Dan yang lebih menyakitkan, di depan mantan istri suaminya yaitu diriku. Aku tetap berusaha setenang mungkin menyaksikan drama ini.

"Lastri! Kamu ini apa-apaan sih? Sama suami kok gak ada sopan-sopannya. Ngomong pakai teriak-teriak. Gak malu kamu!" Kini giliran mantan Ibu mertua yang memarahi Lastri. Bertambah merah padam saja wajah Lastri saat ini. Apalagi, mantan Ibu mertua bicara dengan nada ketus.

"Kok Ibu malah jadi ikut-ikutan Mas Wijaya sih? Ibu gak ingat, bukankah, Ibu dulu sangat membenci Alma?!"

"Jaga mulut kamu ya, Lastri! Jadi perempuan kok bawel banget. Suka-suka Ibu dong. Sana masuk!" Ibu berkata dengan marah dan malah mengusir Lastri untuk masuk ke dalam rumah.

"Keterlaluan! Kenapa kalian jadi bersikap begini hanya gara-gara kedatangan wanita tak tahu malu ini?" ucap Lastri tak terima.

"Siapa maksud kamu yang tak tahu malu?" Aku bertanya dengan ekspresi dingin.

"Ya jelas kamu lah, Al! Kamu pikir, sebutan apa yang pantas untuk wanita yang sudah diusir dan diceraikan? Dan dengan percaya dirinya, kamu datang kembali kemari. Itu namanya, kamu wanita tak tahu malu!" Lastri bicara dengan wajah penuh kemurkaan.

"Dengar ya, Lastri, aku datang kemari bukan untuk bertemu dengan kalian. Asal kamu tahu, mulai hari ini, aku akan tinggal di rumah itu!" ucapku tegas dan menunjuk rumah yang telah aku beli.

Wajah Lastri tampak sangat terkejut. Pun dengan Mas Wijaya dan juga Ibunya. Juga Mbak Rosi yang kini sudah berada diantara kami. Mereka semua terlihat saling pandang dengan wajah penuh tanya.

"Jadi, kamu pemilik baru rumah itu, Al?" tanya mantan Ibu mertua yang wajahnya masih terlihat terkejut.

"Benar sekali, Bu, rumah itu sudah aku beli. Mulai sekarang, kita akan sering-sering bertemu," jawabku semanis mungkin.

Mas Wijaya terlihat termenung, pun dengan Mbak Rosi setelah mendengar jawaban dariku.

"Udah gak waras kamu, Al! Bisa-bisanya, kamu tinggal berhadapan dengan rumah kami!" ucap Lastri.

"Aku masih waras kok. Kamu terlalu berlebihan, Las."

"Lalu, apa maksud kamu tinggal di depan rumah kami? Kamu sengaja ya, mau mengganggu rumah tangga aku dan Mas Wijaya?!"

"Lastri! Bisa gak sih kamu itu diam. Dari tadi marah-marah terus!" cebik Mas Wijaya.

"Mas—"

"Udah, ayo masuk!" potong Mas Wijaya cepat dan menarik tangan Lastri untuk masuk ke dalam rumah.

Mata Lastri masih melotot tajam menatapku, meskipun ia berjalan mengikuti tarikan tangan Mas Wijaya. Aku merasa senang melihat tingkah Lastri yang seperti cacing kepanasan itu.

"Alma, aku gak nyangka sekarang kamu bisa sesukses ini. Kamu bisa punya mobil dan juga rumah bagus. Memang kamu kerja apa? Bukankah, Ibu kamu cuma petani miskin?" tanya Mbak Rosi seperti penasaran. Tapi tetap saja, pertanyaan itu terdengar seperti hinaan untukku, terutama untuk Ibuku.

Selama ini, mereka hanya tahu bahwa Ibuku adalah seorang petani miskin. Wajar saja, sebab Ibu hanya tinggal di pedesaan dengan rumah yang sangat sederhana. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya Ibu memilik beberapa hektar sawah peninggalan almarhum Bapak.

"Satu tahun ini, aku bekerja di kota, Mbak. Dan sekarang, aku mau membuka usaha toko di sini saja," jawabku masih tetap tenang.

"Jadi, kamu mau buka toko di sini?"

"Iya, Mbak," jawabku.

Mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi saling pandang mendengar jawaban dariku.

"Aku permisi dulu, Bu, Mbak. Aku lelah sekali. Aku pulang dulu," pamitku dengan senyuman manis pada mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi. Sudah cukup kejutan hari ini untuk mereka semua.

"I-iya, Al," jawab mantan Ibu mertua yang terlihat tersadar seperti melamun.

Aku segera berjalan menuju rumahku dan membuka pintu pagar. Setelah pintu pagar terbuka, aku memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi masih terlihat berdiri di depan rumah, mereka terlihat saling bisik seolah sedang berbicara sesuatu. Aku yakin, mereka saat ini pasti sedang membicarakan diriku.

Aku masuk ke dalam rumah berukuran cukup besar yang aku beli. Ada sebuah bangunan toko yang berada tepat di depan rumahku yang masih menyambung dengan rumah ini. Pemilik sebelumnya memang memiliki usaha toko sembako. Itulah usaha yang akan aku geluti setelah tinggal di sini. Aku juga sudah membeli semua isi toko pemilik sebelumnya. Dengan begitu, aku bisa langsung membuka toko itu tanpa perlu repot-repot berbelanja banyak.

Aku merebahkan diri diatas tempat tidur berukuran besar yang ternyata sangat empuk dan juga nyaman. Untungnya, sebelum aku menempati rumah ini, aku sudah menyuruh orang untuk membersihkan rumah ini. Semua perabotan rumah juga sudah tersedia. Aku hanya tinggal membawa pakaian dan keperluan kecil lainnya.

Aku benar-benar merasa sangat puas hari ini. Kemarahan Lastri hari ini membuat aku cukup senang. Dan lucunya, Mas Wijaya dan mantan Ibu mertua sama sekali tak membelanya.

Aku jadi teringat akan luka yang pernah mereka torehkan di hatiku satu tahun yang lalu. Aku yang baru pulang dari luar negri karena bekerja sebagai TKW harus menelan rasa sakit setelah mengetahui Mas Wijaya telah menikah lagi. Rumah yang mereka tempati saat ini, adalah hasil keringatku selama bekerja di luar negri.

Aku tak bisa mengambil hak milik rumah itu karena rumah itu dibangun di atas tanah milik mantan Ibu mertua. Selain itu, Mas Wijaya juga telah membangun sebuah toko grosir besar dari hasilku bekerja di luar negri selama tiga tahun. Tetapi, Mas Wijaya sama sekali tak mau mengembalikan uangku dan malah mengusir sekaligus menceraikan aku.

Dan yang membuat hati ini bertambah sakit, Mas Wijaya dan Lastri nyatanya telah memiliki seorang anak dari hasil perselingkuhan mereka. Ibu mertua dan Mbak Rosi kakak iparku sama sekali tak membela diriku. Justru, mereka malah mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri.

Mereka juga ikut mengusirku dari rumah itu dengan dalih aku belum bisa memberikan keturunan selama lima tahun pernikahan. Aku yang saat itu memang sangat lemah dan tak memiliki siapapun di sini untuk menguatkan ku akhirnya memilih untuk pergi dan pulang ke rumah Ibuku.

Sebelum aku memutuskan untuk bekerja di luar negri, Mas Wijaya dan keluarganya hidup dengan pas-pasan. Tapi setelah aku berhasil menaikkan derajat keluarga mereka, justru sakit yang aku dapatkan.

Setetes air mata jatuh dari sudut mataku, mengingat setiap rasa sakit dan luka hati yang pernah mereka torehkan untukku. Aku masih ingat, bagaimana senyum kemenangan, hinaan dan juga ejekan Lastri saat aku di usir satu tahun yang lalu. Aku berjanji, senyum ejekan dan hinaan itu akan berubah dengan tangisan.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status