"Kok kamu malah jadi marahin aku sih, Mas!" Lastri bicara dengan nada tinggi. Wajahnya merah, mungkin ia merasa malu sekaligus marah.
Wanita mana yang tak malu diperlakukan kasar seperti itu oleh suaminya sendiri? Dan yang lebih menyakitkan, di depan mantan istri suaminya yaitu diriku. Aku tetap berusaha setenang mungkin menyaksikan drama ini."Lastri! Kamu ini apa-apaan sih? Sama suami kok gak ada sopan-sopannya. Ngomong pakai teriak-teriak. Gak malu kamu!" Kini giliran mantan Ibu mertua yang memarahi Lastri. Bertambah merah padam saja wajah Lastri saat ini. Apalagi, mantan Ibu mertua bicara dengan nada ketus."Kok Ibu malah jadi ikut-ikutan Mas Wijaya sih? Ibu gak ingat, bukankah, Ibu dulu sangat membenci Alma?!""Jaga mulut kamu ya, Lastri! Jadi perempuan kok bawel banget. Suka-suka Ibu dong. Sana masuk!" Ibu berkata dengan marah dan malah mengusir Lastri untuk masuk ke dalam rumah."Keterlaluan! Kenapa kalian jadi bersikap begini hanya gara-gara kedatangan wanita tak tahu malu ini?" ucap Lastri tak terima."Siapa maksud kamu yang tak tahu malu?" Aku bertanya dengan ekspresi dingin."Ya jelas kamu lah, Al! Kamu pikir, sebutan apa yang pantas untuk wanita yang sudah diusir dan diceraikan? Dan dengan percaya dirinya, kamu datang kembali kemari. Itu namanya, kamu wanita tak tahu malu!" Lastri bicara dengan wajah penuh kemurkaan."Dengar ya, Lastri, aku datang kemari bukan untuk bertemu dengan kalian. Asal kamu tahu, mulai hari ini, aku akan tinggal di rumah itu!" ucapku tegas dan menunjuk rumah yang telah aku beli.Wajah Lastri tampak sangat terkejut. Pun dengan Mas Wijaya dan juga Ibunya. Juga Mbak Rosi yang kini sudah berada diantara kami. Mereka semua terlihat saling pandang dengan wajah penuh tanya."Jadi, kamu pemilik baru rumah itu, Al?" tanya mantan Ibu mertua yang wajahnya masih terlihat terkejut."Benar sekali, Bu, rumah itu sudah aku beli. Mulai sekarang, kita akan sering-sering bertemu," jawabku semanis mungkin.Mas Wijaya terlihat termenung, pun dengan Mbak Rosi setelah mendengar jawaban dariku."Udah gak waras kamu, Al! Bisa-bisanya, kamu tinggal berhadapan dengan rumah kami!" ucap Lastri."Aku masih waras kok. Kamu terlalu berlebihan, Las.""Lalu, apa maksud kamu tinggal di depan rumah kami? Kamu sengaja ya, mau mengganggu rumah tangga aku dan Mas Wijaya?!""Lastri! Bisa gak sih kamu itu diam. Dari tadi marah-marah terus!" cebik Mas Wijaya."Mas—""Udah, ayo masuk!" potong Mas Wijaya cepat dan menarik tangan Lastri untuk masuk ke dalam rumah.Mata Lastri masih melotot tajam menatapku, meskipun ia berjalan mengikuti tarikan tangan Mas Wijaya. Aku merasa senang melihat tingkah Lastri yang seperti cacing kepanasan itu."Alma, aku gak nyangka sekarang kamu bisa sesukses ini. Kamu bisa punya mobil dan juga rumah bagus. Memang kamu kerja apa? Bukankah, Ibu kamu cuma petani miskin?" tanya Mbak Rosi seperti penasaran. Tapi tetap saja, pertanyaan itu terdengar seperti hinaan untukku, terutama untuk Ibuku.Selama ini, mereka hanya tahu bahwa Ibuku adalah seorang petani miskin. Wajar saja, sebab Ibu hanya tinggal di pedesaan dengan rumah yang sangat sederhana. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya Ibu memilik beberapa hektar sawah peninggalan almarhum Bapak."Satu tahun ini, aku bekerja di kota, Mbak. Dan sekarang, aku mau membuka usaha toko di sini saja," jawabku masih tetap tenang."Jadi, kamu mau buka toko di sini?""Iya, Mbak," jawabku.Mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi saling pandang mendengar jawaban dariku."Aku permisi dulu, Bu, Mbak. Aku lelah sekali. Aku pulang dulu," pamitku dengan senyuman manis pada mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi. Sudah cukup kejutan hari ini untuk mereka semua."I-iya, Al," jawab mantan Ibu mertua yang terlihat tersadar seperti melamun.Aku segera berjalan menuju rumahku dan membuka pintu pagar. Setelah pintu pagar terbuka, aku memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Mantan Ibu mertua dan Mbak Rosi masih terlihat berdiri di depan rumah, mereka terlihat saling bisik seolah sedang berbicara sesuatu. Aku yakin, mereka saat ini pasti sedang membicarakan diriku.Aku masuk ke dalam rumah berukuran cukup besar yang aku beli. Ada sebuah bangunan toko yang berada tepat di depan rumahku yang masih menyambung dengan rumah ini. Pemilik sebelumnya memang memiliki usaha toko sembako. Itulah usaha yang akan aku geluti setelah tinggal di sini. Aku juga sudah membeli semua isi toko pemilik sebelumnya. Dengan begitu, aku bisa langsung membuka toko itu tanpa perlu repot-repot berbelanja banyak.Aku merebahkan diri diatas tempat tidur berukuran besar yang ternyata sangat empuk dan juga nyaman. Untungnya, sebelum aku menempati rumah ini, aku sudah menyuruh orang untuk membersihkan rumah ini. Semua perabotan rumah juga sudah tersedia. Aku hanya tinggal membawa pakaian dan keperluan kecil lainnya.Aku benar-benar merasa sangat puas hari ini. Kemarahan Lastri hari ini membuat aku cukup senang. Dan lucunya, Mas Wijaya dan mantan Ibu mertua sama sekali tak membelanya.Aku jadi teringat akan luka yang pernah mereka torehkan di hatiku satu tahun yang lalu. Aku yang baru pulang dari luar negri karena bekerja sebagai TKW harus menelan rasa sakit setelah mengetahui Mas Wijaya telah menikah lagi. Rumah yang mereka tempati saat ini, adalah hasil keringatku selama bekerja di luar negri.Aku tak bisa mengambil hak milik rumah itu karena rumah itu dibangun di atas tanah milik mantan Ibu mertua. Selain itu, Mas Wijaya juga telah membangun sebuah toko grosir besar dari hasilku bekerja di luar negri selama tiga tahun. Tetapi, Mas Wijaya sama sekali tak mau mengembalikan uangku dan malah mengusir sekaligus menceraikan aku.Dan yang membuat hati ini bertambah sakit, Mas Wijaya dan Lastri nyatanya telah memiliki seorang anak dari hasil perselingkuhan mereka. Ibu mertua dan Mbak Rosi kakak iparku sama sekali tak membela diriku. Justru, mereka malah mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri.Mereka juga ikut mengusirku dari rumah itu dengan dalih aku belum bisa memberikan keturunan selama lima tahun pernikahan. Aku yang saat itu memang sangat lemah dan tak memiliki siapapun di sini untuk menguatkan ku akhirnya memilih untuk pergi dan pulang ke rumah Ibuku.Sebelum aku memutuskan untuk bekerja di luar negri, Mas Wijaya dan keluarganya hidup dengan pas-pasan. Tapi setelah aku berhasil menaikkan derajat keluarga mereka, justru sakit yang aku dapatkan.Setetes air mata jatuh dari sudut mataku, mengingat setiap rasa sakit dan luka hati yang pernah mereka torehkan untukku. Aku masih ingat, bagaimana senyum kemenangan, hinaan dan juga ejekan Lastri saat aku di usir satu tahun yang lalu. Aku berjanji, senyum ejekan dan hinaan itu akan berubah dengan tangisan.******"Assalamualaikum ...."Terdengar suara salam dari depan rumahku. Aku yang baru selesai mandi dan berganti pakaian segera bergegas menuju ke depan. Aku menoleh ke arah jam dinding besar yang terpasang di ruang tengah rumahku. Waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Aku bingung, siapa orang yang bertamu ke rumahku sepagi ini?Jika dipikir, aku juga baru menempati rumah ini malam tadi. Aku juga belum sempat bertemu dengan tetangga sekitar rumah, kecuali keluarga Mas Wijaya."Waalaikumsalam ...," jawabku, setelah pintu ruang tamu terbuka.Aku sedikit tersentak dan terkejut, sebab yang datang bertamu sepagi ini adalah Mas Wijaya. Aku tak menyangka, pria yang berstatus mantan suamiku itu datang ke rumahku sepagi ini. Jujur saja, aku sedikit merasa takut. Sebab, aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini. Suasana pagi ini juga tampak sepi. Tak kulihat ada orang yang berlalu-lalang di depan rumah.Mas Wijaya berulang kali memandangku dari atas hingga bawah. Membuat aku merasa sangat risih
Aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengeringkan rambut yang masih basah. Kejadian pagi ini benar-benar membuat kepala ini sedikit sakit. Meskipun aku senang melihat keributan antara Mas Wijaya dan Lastri, tapi aku juga merasa malu karena pagi ini aku harus menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar rumahku. Ini semua terjadi karena kecerobohanku yang lupa mengunci pintu pagar rumah.Bagaimanapun juga, aku harus menjaga nama baikku di kampung ini. Aku yakin, saat ini aku pasti sedang menjadi pusat pergunjingan warga sekitar. Apalagi, warga sekitar rumahku pasti tahu betul bahwa aku adalah mantan istri Mas Wijaya.Maka dari itu, aku harus tetap menjaga nama yang selama ini tak pernah tercoreng sekalipun. Sebab selama menikah dengan Mas Wijaya dulu, aku tak pernah membuat masalah apapun di kampung ini.Sebelum memulai usaha membuka toko sembako, aku harus segera mencari asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah sekaligus menemaniku di rumah ini. Jika perlu, hari ini jug
Aku memandang sebuah spanduk besar yang terpasang tepat di depan pintu masuk toko grosir Mas Wijaya. Tertera nama toko grosir ini—Grosir Wijaya. Dari luar toko aku bisa melihat betapa banyaknya isi di dalam toko tersebut. Kardus-kardus yang berisi kebutuhan pokok memenuhi dalam toko hingga sampai batas pintu masuk.Aku berjalan dengan santai memasuki area toko grosir itu. Setelah masuk, aku sedikit terpukau sebab dalam toko ini ternyata jauh lebih luas dibandingkan dilihat dari luar. Mungkin, banyaknya barang yang memadati isi toko ini membuat toko ini nampak sempit.Aku melihat Mas Wijaya sedang sibuk di meja kasir membantu karyawannya yang seorang wanita untuk melayani pembeli yang sepertinya sedang membayar barang belanjaan. Saking sibuknya, Mas Wijaya sepertinya tak menyadari kehadiranku di sini."Cari apa, Mbak?" tanya seorang karyawan pria dengan ramah padaku."Oh, saya mau belanja barang-barang sembako untuk isi toko, Mas," jawabku."Apa Mbak punya catatan barang-barang apa saj
Dengan wajah merah padam penuh kemurkaan, Lastri berjalan tergopoh-gopoh menggendong anaknya menghampiri kami. Yang membuatku miris, Lastri datang ke toko grosir Mas Wijaya hanya menggunakan baju daster yang terlihat tak enak di pandang mata.Pantas saja Mas Wijaya mudah berpaling pada wanita lain, sebab Lastri tak bisa merawat diri. Melihat penampilan Lastri, aku jadi berkaca pada diriku sendiri saat masih menjadi istri Mas Wijaya dulu. Sebab seperti itulah penampilanku dulu.Wajar saja jika aku dulu tak bisa merawat diri, sebab Mas Wijaya hanya seorang pengangguran. Aku tak memiliki banyak uang untuk membeli kebutuhan pribadi. Jangankan untuk kebutuhan pribadi, untuk makan saja kami susah. Itulah mengapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi bekerja ke luar negeri.Sebenarnya, Ibuku melarang keras aku untuk bekerja di luar negeri dan menyuruhku untuk menjual sebagian sawah milik Ibu. Tapi aku menolak, aku tak ingin menjadi beban untuk Ibuku. Apalagi kalau sampai Ibu mertuaku tahu Ibuk
Aku mematut diri di depan cermin. Wajah putih glowing, hidung mancung dan dagu yang sedikit lancip, menambah sempurnanya paras dan bentuk wajah ini. Belum lagi, leher jenjang dan tubuh langsing membuat aku semakin percaya diri. Tapi merawat tubuh hingga seperti ini tidaklah mudah. Aku butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan tubuh seideal ini. Aku bahkan sampai harus jatuh sakit karena menjalani diet ketat. Mungkin jika tak ingat ambisiku untuk bisa langsing, aku tak akan melakukan diet itu.Dulu, saat aku masih menjadi istri Mas Wijaya, jangankan merawat diri, ingin makan enak saja aku tak pernah bisa. Jika ingin makan enak, aku harus pulang dulu ke rumah ibuku. Itupun harus menempuh perjalanan jauh dari kampung ini. Aku masih ingat jelas, bagaimana menderitanya diriku saat menjadi istri Mas Wijaya. Setiap hari, aku hanya makan lauk pauk seadanya. Sambal terasi dan ikan asin adalah menu andalanku. Meskipun tak pernah makan enak, anehnya, tubuhku semakin bertambah gemuk. Mungkin kare
Lastri langsung memukul lengan Mas Wijaya karena aksinya meyapaku. Lalu menarik kasar tangan Mas Wijaya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa dengan jelas mendengarnya. Wajar saja, istri mana yang tak marah bila suaminya malah menyapa wanita lain di depan istrinya sendiri. Bahkan, keberadaan Lastri seolah tak dianggap oleh Mas Wijaya.Aku segera menutup rolling door toko dan segera masuk untuk mandi dan membersihkan diri. Aku sedikit bingung dengan hubungan rumah tangga Lastri dan Mas Wijaya. Aku merasa, hubungan mereka memang tak harmonis. Aku pikir, selama ini mereka hidup bahagia. Tapi nyatanya tidak, bisa jadi itu memang sebuah karma yang Tuhan berikan untuk mereka karena pernah mendzolimi aku."Bu Alma, makan malam udah siap," kata Nana yang berpapasan denganku."Iya, Na. Nanti saja kita makan bersama setelah sholat magrib. Aku mau mandi dulu.""Iya, Bu."Aku bergegas masuk ke dal
Aku tersenyum miring melihat layar ponselku yang masih menampilkan nominal uang yang baru saja ditranfer oleh Mas Wijaya. Meskipun nominal uang ini belum sebanding dengan uang yang sudah ia ambil dariku, tapi ini sudah cukup lumayan. Setidaknya, ini awal yang baik. Aku akan pastikan, akan ada uang-uang yang lainnya yang akan aku dapatkan dari Mas Wijaya.Setelah semua uangku yang pernah diambil oleh Mas Wijaya sudah terkumpul semuanya, barulah aku akan pergi meninggalkannya. Aku jadi tak sabar, melihat reaksi Mas Wijaya seandainya ia tahu rencana licikku ini. Agar ia juga merasakan, bagaimana rasa sakit yang pernah aku rasakan dulu.Sebuah notif pesan masuk dalam ponselku. Ternyata pesan itu dari Mas Wijaya.["Al, aku udah kirim uangnya ke nomor rekening kamu.] Isi pesan dari Mas Wijaya. Benar dugaanku, uang masuk itu memang dari Mas Wijaya.["Terima kasih, Mas."] balasku. Aku menutup ponselku kembali dan memasukkannya dalam kecil yang aku bawa.Aku kembali berjalan ke area pasar yang
"Nana, Nana ...!" panggilku berulang kali. Tapi tak ada jawaban dari Nana.Aku berjalan menuju ruang makan, makanan untuk sarapan sudah tersaji di meja makan. Dapur juga sudah terlihat bersih dan rapi. Tak ada tumpukan cucian piring dan bekas perabot untuk memasak. Lantai rumah juga sudah bersih dan juga wangi seperti habis dipel. Lalu, kemana perginya Nana?Aku mendesah kesal, harusnya saat ini aku sudah siap untuk membuka toko. Jika Nana tak ada, siapa yang akan membantuku menurunkan barang belanjaan di mobil yang lumayan banyak? Aku sedikit khawatir dengan kepergian Nana. Entahlah, pikiran-pikiran buruk tiba-tiba membuat hati ini gusar.Aku berjalan menuju kamar Nana, ingin memastikan bahwa Nana tak pergi dari rumah. Sebab itulah yang aku pikirkan saat ini. Aku membuka lemari baju Nana. Semua baju Nana masih tersusun rapi di sana. Aku bernapas lega, ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Mungkin saja saat ini Nana hanya keluar rumah sebentar. Sepertinya, pemikiranku terlalu berlebi