'Sidik jari yang terdapat pada senjata pembunuhan saudari Selena Anastasya, cocok dengan sidik jari tersangka William Savero.'
Untaian kalimat dalam berkas kasus pembunuhan Selena terus terbayang begitu jelas dalam benak Olivia. Olivia meringkuk di atas sofa ruang kerja William.
Dia menangis histeris sulit menerima kenyataan pahit yang kini harus ia hadapi. Bagaimana mungkin pria yang sangat ia cintai ternyata adalah seseorang yang telah merenggut nyawa kakaknya sendiri?
“Liv! Apa yang terjadi?” sahut William dengan panik seraya memeluk Olivia saat menemukan istrinya menangis tersedu-sedu di ruang kerjanya.
“Apa kamu tahu tentang keluargaku?” celetuk Olivia dengan patah-patah.
William tidak menjawab, raut wajahnya perlahan berubah.
“Apa kamu tahu kalau aku memiliki kakak perempuan bernama Selena Anastasya?” desak Olivia dengan suaranya yang purau.
“Aku….”
Belum sempat William merampungkan ucapannya Olivia sudah mengangkat gawainya yang berpendar menunjukkan sebuah foto berkas pembunuhan Selena. Olivia mendapatkan berkas itu ketika pagi tadi ia mengunjungi kantor polisi, hendak menemui Raka. Saat Olivia melihat berkas itu ia diam-diam membaca dan memfoto berkas kasus tersebut.
“Apa benar kamu membunuhnya?” tanya Olivia dengan suara tercekat.
William terbelalak, ketakutan terpancar dari kedua bola matanya, lalu perlahan ia menunduk dan air mata pun jatuh membasahi wajahnya.
“Maafkan aku Liv….”
Seketika dunia Olivia hancur dalam sekejap mata. Amarah, kecewa, rasa bersalah bercampur aduk hingga membuat Olivia merasa mual.
“Sejak kapan kamu mengetahuinya?!” pekik Olivia seraya memukul dada William berkali-kali.
“Liv, aku baru mengingat tragedi itu dan mengetahui bahwa kamu memiliki hubungan dengan Selena belum lama ini dan sungguh aku tidak berniat sama sekali untuk menyembunyikannya darimu.”
“Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?! Kenapa kamu diam saja?!”
“Aku akan menjelaskan semuanya padamu… tapi tidak dalam waktu dekat ini, maafkan aku,” balas William dengan penuh penyesalan.
Kening Olivia sontak berkerut, lalu dengan kasar ia menepiskan genggaman William pada kedua tangannya dan menatap pria itu dengan sinis.
“Jadi kamu berniat untuk bersembunyi lebih lama? Dan tidak ingin menyerahkan diri?” cibir Olivia tidak percaya bahwa William tega melakukan hal ini padanya.
William menggeleng dengan cepat, “Bukan begitu Liv, aku akan menyerahkan diriku, aku berjanji akan menebus kesalahanku tapi aku mohon beri aku waktu sampai alih kekuasaan perusahaan selesai.”
William berlutut memohon pada Olivia agar ia bisa mengerti situasinya. Namun sikap dan ucapan William malah semakin mematahkan hati Olivia. Padahal William adalah satu-satunya orang yang Olivia percaya, tetapi bahkan kekuasaan bisa membutakan pria itu.
“Aku pikir kamu berbeda Will, aku pikir kamu pria yang penuh tanggung jawab tapi ternyata kamu sama saja!” ucap Olivia dengan kecewa seraya melangkah mundur perlahan menjauhi William, ia tidak ingin William menyentuh tubuhnya walau secuil pun.
“Aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semua ini satu persatu….”
“Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku?! Kenapa kamu sangat egois Will!” tukas Olivia dengan putus asa.
“Ini satu-satunya kesempatanku untuk mengambil alih perusahaan demi Ibuku. Aku mohon Liv, setelah semua urusanku selesai aku berjanji akan menyerahkan diriku pada polisi.”
William terus berulutut di hadapan Olivia dan memohon-mohon meminta pengertian wanita itu, tetapi tidak berhasil, hati Olivia sudah terlanjur hancur. Pikiran Olivia begitu kalut, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan pedang saat mengetahui dan menghadapi sikap suaminya itu.
“Perusahaan, perusahaan! Bagaimana mungkin kamu masih memikirkan tentang perusahaan di saat seperti ini? Apa kamu pikir Ibumu akan tetap bangga padamu di alam sana setelah tahu kalau anaknya adalah seorang pembunuh?”
“Liv….”
“Cukup Will, aku tidak mau dengar alasanmu dan jangan temui aku sampai kamu bersedia untuk menyerahkan diri ke kantor polisi!” Olivia menepiskan genggaman William dengan kasar lalu bergegas angkat kaki dari rumah mewah William.
William tidak bisa mencegah kepergian Olivia dan bersimpuh tidak berdaya menyesali perbuatannya di masa lalu.
Olivia melangkah dengan gontai menyusuri jalanan sepi menuju rumah lama miliknya. Linangan air mata memenuhi kedua pipinya menyuarakan seluruh kepedihan yang menyayat di dalam hatinya.
Olivia pikir ia dan William adalah pasangan yang sempurna tanpa celah seperti apa yang dikatakan orang-orang tentang mereka. Olivia melupakan kenyataan bahwa tidak ada hubungan yang sempurna antara manusia di dunia ini dan kebohongan akan selalu terselip pula di dalamnya.
Tetapi apa harus rahasia yang William sembunyikan dari Olivia adalah sebuah kenyataan bahwa pria yang Olivia cintai itu adalah pembunuh kakaknya di masa lalu?
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” isak Olivia, ia merasa bersalah karena mencintai seseorang yang telah merenggut nyawa Selena.
Dengan tatapan yang kosong Olivia memandang langit biru di atas sana. Hingga sebuah mobil hitam berhenti di hadapan Olivia dan membuyarkan lamunannya. Tanpa memberi Olivia waktu untuk berpikir, seorang pria bertopeng dari dalam mobil itu tiba-tiba menarik Olivia masuk ke dalam mobil.
“Tolong….”
Baru satu kali Olivia menjerit mulutnya sudah dibekap oleh pria itu. Olivia meronta-ronta berusaha melakukan perlawanan tetapi kekuatan pria itu lebih besar darinya. Dengan mudah pria bertopeng itu menggotong Olivia dan memasukkannya dengan paksa ke dalam mobil.
***
“Olivia tidak ada Pak,” seru Jimmy – asisten William – ia sudah mencari Olivia keseluruh tempat yang memungkinkan, tetapi nihil. Olivia seolah lenyap bagai ditelan bumi tanpa bekas.
William begitu kalut mencemaskan istrinya yang menghilang begitu saja sejak tadi sore setelah bertengkar dengannya. Walaupun Olivia meminta William untuk tidak menemuinya tetapi pria itu mengkhawatirkannya karena itu William segera menyusul Olivia, tetapi William malah tidak menemukan istrinya di rumah lamanya.
“Apa kamu sudah menghubungi semua temannya?” tanya William dengan panik.
“Tidak ada satu pun dari mereka yang bertemu dengan Olivia hari ini, Pak.”
Disaat yang bersamaan ponsel William berdering tanda panggilan masuk, dari nomor tidak dikenal. Tanpa banyak berpikir William segera mengangkatnya dan seketika saja William terbelalak, wajahnya memucat saat mendengar suara di ujung sana.
“Aaaaa! Kau tidak akan mendapatkan… Aaaa!!!”
“Hai, Will, kamu pasti tahu dengan jelas suara siapa itu, kan.”
William tercekat, dadanya terasa sesak. Suara wanita dan pria di ujung sana amat familiar di telinga William, ‘Tidak salah lagi, ini suara Daniel dan Olivia… sial!’ batin William
“Kau tahu apa yang aku inginkan Will jadi datanglah ke gedung biru sendirian. Kalau kau datang bersama polisi atau bersama kacungmu itu aku tidak akan segan untuk langsung menyakiti istri tercintamu ini,” seru Daniel seraya terkekeh.
“Jangan Will, aku mohon….”
Panggilan terputus, William mengeratkan jari-jarinya hingga memerah dan bergetar. Matanya yang selalu hangat memicing tajam mengutuk Daniel dari kejauhan.
“…. ini jebakan,” isak Olivia yang kini tubuhnya terikat di sebuah kursi kayu di dalam gedung tua terbengkalai.
Penampilan Olivia sungguh acak-acakkan. Wajahnya penuh lebam dan luka, rambutnya berantakan, pakaiannya begitu lusuh.Daniel membanting ponsel yang baru saja digunakannya lalu ia hancurkan ponsel tersebut hingga berkeping-keping.“Kau tahu mengapa ayahmu tidak memberikan perusahaan itu padamu? Karena perusahaan akan hancur ditanganmu,” cibir Olivia dengan suara parau.Plak!Satu tamparan mendarat di wajah Olivia, pria bertopeng di hadapannya terlihat marah walaupun yang tampak hanya bola matanya.“Dasar jalang! Berani-beraninya kau meremehkan seorang Daniel. Kita tunggu saja apa kalian masih bisa mengucapkan salam perpisahan dengan damai, semua tergantung padanya. Lebih baik kau berdoa supaya pria bodoh itu bisa memilihmu.”Beberapa saat kemudian, pintu berhasil didobrak jatuh hingga berdebam kencang di lantai. Terlihat bayangan William dengan sorot matanya yang tajam menatap pria bertopeng itu dengan penuh amarah. William berlari dan siap melesatkan tinjunya.Pria itu terlambat untuk
“Aku akan melindungimu sampai akhir Liv.”Olivia pikir ucapan William waktu itu hanya sebuah bualan atau godaan semata, tetapi ternyata pria itu bersungguh-sungguh pada ucapannya.Olivia memeluk lututnya dan menatap kosong nisan di hadapannya. Hati dan pikirannya begitu kalut, rasa bersalah, kecewa, amarah dan dendam bergejolak dalam hatinya hingga membuatnya terasa sesak.“Kak kenapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demiku dan harus membuatku semakin merasa bersalah padamu?” isak Olivia dengan lemah.Olivia meremas kalung dengan liontin bulan yang menggantung di lehernya lalu menyeka air matanya dan beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah sakit.Begitu tiba di sebuah ruang rawat terlihat William yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sudah dua minggu matanya sempurna tertutup. Rentetan kejadian mengerikan dua minggu lalu kembali terputar dalam benak Olivia.Olivia menggenggam tangan William dengan erat, matanya mulai berair menatap suaminya.“Will, sampai kapan kamu akan tert
Olivia semakin meringkuk terpojok ketakutan di sudut ruangan dengan menutup kedua telingannya rapat-rapat seolah tidak mau mendengar suara Daniel sedikit pun.“Pergi dari sini atau perlu aku panggil satpam untuk mengusirmu!” pekik William dengan garang seraya menatap Daniel dengan tajam.“Kau tidak perlu repot-repot aku bisa pergi sendiri dan sampai jumpa lagi dalam waktu dekat.” Daniel menyeringai namun entah mengapa sorot matanya malah mengarah kepada Olivia, lalu ia pergi dengan tenang seolah tidak menciptakan keributan sama sekali.William mengeratkan jemari tangannya, menahan gejolak kemarahan yang terasa meluap-luap pada Daniel. Lalu dengan hati-hati William membantu Olivia untuk bangkit dan mendudukannya di sofa.Tubuh Olivia masih bergetar, matanya tertutup rapat, kedua tangannya masih menyumbat masing-masing lubang telinganya.Hati William mendadak terasa seperti diremas-remas, dengan pilu ia tatap wajah Olivia lalu ia rengkuh tubuh wanita itu dengan erat.“Apa yang pernah di
“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya William dengan tatapan intimidasinya yang tajam.“Apa maksudmu, aku tidak mengerti?” balas Olivia dengan suara bergetar.William mendengus, “Aku mencari tahu informasi tentang kalung ini. Kalung ini adalah edisi terbatas, hanya ada satu set dengan gelangnya dan dibeli atas namaku delapan tahun yang lalu. Jelas aku melihatmu memakainya, tapi kamu masih mengelak. Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?”Olivia menggigit bibirnya, semuanya sudah terlambat. Padahal belum 24 jam ia menjalankan rencananya tetapi William sudah menangkap basahnya.Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Olivia pun menunduk lesu, dan kembali menangis dengan pilu.“Aku minta maaf Will, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapimu dengan kondisimu yang seperti ini. Aku hanya takut kamu tidak akan bisa mencintaiku seperti sebelumnya karena kamu tidak memiliki ingatan apa pun tentangku.”William pun melunak, ia menurunkan kedua tangannya dan kembali menatap Olivia de
“Will, aku bawakan makan siang untukmu,” seru Olivia dari balik pintu ruangan seraya mengangkat sebuah tas kecil berisi makan siang dengan antusias. Wajah William yang sebelumnya terlipat karena lelah membaca dokumen-dokumen pekerjaan di atas meja seketika berseri saat beradu pandang dengan istrinya itu. William pun bangkit dari kursinya, ia langsung menarik Olivia masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Olivia tersentak untuk sesaat karena tidak menduganya sama sekali tapi sedetik kemudian ia terkekeh sambil memukul dada bidang William. Sudah satu minggu sejak William kembali bekerja. Setelah keluar dari rumah sakit pria itu sudah tidak sabar ingin segera bekerja padahal Olivia berulang kali memintanya untuk beristirahat hingga William pulih sepenuhnya. Tetapi sikap keras kepala pria itu tidak bisa Olivia hentikan sama sekali.“Ayo makan siang bersama,” ujar Olivia.Namun alih-alih menjawab William malah merebut tas kecil berisi makan siang digenggaman Oli
‘Semua sudah siap tinggal menunggu waktu untuk eksekusi.’ Isi pesan dari kontak bernama Si Eksekutor.Bersamaan dengan Olivia selesai membaca pesan tersebut terdengar ketukan yang berasal dari kaca jendela mobilnya. Olivia langsung menurunkan kaca mobilnya dan terlihat Jimmy yang kini tengah berdiri menunggunya. “Masuklah,” perintah Olivia.“Kamu memilih tempat yang sepi untuk bertemu, aku kira kita akan berbicara di sini.”“Kalau ada karyawan William yang tidak sengaja lewat sini bagaimana? Semua tempat tidak ada yang aman."Jimmy pun mengalah lalu dengan berat hati masuk ke dalam mobil Olivia seraya memberikan secangkir kopi macchiato hangat pada Olivia dan menaruh kopi cappuccino miliknya lalu membiarkan wanita itu membawa dirinya pergi entah kemana. 20 menit perjalanan tidak ada pembicaraan. Jimmy yang terlihat kalut masih sibuk dengan pikirannya, menimbang-nimbang kalimat yang tepat untuk mengatakan unek-unek dalam hatinya. Sedangkan Olivia memilih untuk diam menunggu dan bers
“Aahh...,” Olivia meringis menahan sakit di pergelangan tangannya yang memerah akibat cekalan Jimmy. Olivia menoleh sekilas ke arah Jimmy, pria itu masih terkapar tak sadarkan diri sejak satu jam yang lalu. Lalu dengan lemah Olivia melangkah menuju meja makan di area dapur. Rambut Olivia masih berantakan bahkan pakaiannya cukup kacau. Binar dikedua bola mata Olivia sirna kemudian dengan perasaan dongkol Olivia meremas cangkir kopi yang terbuat dari plastik itu dan melemparnya ke tempat sampah. ‘Semua ini tidak ada dalam rencana dan pasti ada sesuatu di dalam kopi yang Jimmy minum.’Di saat yang bersamaan suara mobil tiba-tiba terdengar memasuki halaman rumah Olivia. Olivia mengerutkan keningnya lalu menyingkap gorden di area ruang depan dan terlihat mobil William di sana. Olivia mengalihkan padangannya kembali ke arah Jimmy. Sepertinya Olivia tahu bagaimana cara memanfaatkan kekacauan ini agar ia tidak dirugikan. Dengan tampilannya yang acak-acakan Olivia bergegas berjalan menuju
Olivia mengeratkan jemarinya dan menggigit bibir bawahnya. “Aku harus mencegah William menjawab kuis itu.”Olivia pun segera menghubungi William tetapi pria itu tidak mengangkatnya bahkan di layar yang menampilkan video William secara langsung tidak terlihat William menerima sebuah panggilan telepon darinya.“Daniel sialan dia meretas semuanya!”Tanpa membuang banyak waktu Olivia langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pergi menuju lokasi William. Sepanjang perjalanan Olivia terus berusaha menghubungi William tetapi nihil. Akhirnya Olivia beralih menghubungi Jimmy karena Olivia yakin ia bisa menghubunginya.“Ayo Jimmy angkatlah!”Alih-alih mendengar suara pria itu Olivia malah menerima suara dari operator. Berulang kali Olivia coba namun hasilnya tetap sama. Dengan kesal Olivia memukul kemudi mobilnya.“Ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa menghubungi Jimmy juga?!” rutuk Olivia.Sesaat kemudian notifikasi kembali muncul, dengan cepat Olivia membukannya dan membagi pandangannya ant