Share

Bab 2 Pertumpahan Darah dan Ingatan Masa Lalu

Penampilan Olivia sungguh acak-acakkan. Wajahnya penuh lebam dan luka, rambutnya berantakan, pakaiannya begitu lusuh.

Daniel membanting ponsel yang baru saja digunakannya lalu ia hancurkan ponsel tersebut hingga berkeping-keping.

“Kau tahu mengapa ayahmu tidak memberikan perusahaan itu padamu? Karena perusahaan akan hancur ditanganmu,” cibir Olivia dengan suara parau.

Plak!

Satu tamparan mendarat di wajah Olivia, pria bertopeng di hadapannya terlihat marah walaupun yang tampak hanya bola matanya.

“Dasar jalang! Berani-beraninya kau meremehkan seorang Daniel. Kita tunggu saja apa kalian masih bisa mengucapkan salam perpisahan dengan damai, semua tergantung padanya. Lebih baik kau berdoa supaya pria bodoh itu bisa memilihmu.”

Beberapa saat kemudian, pintu berhasil didobrak jatuh hingga berdebam kencang di lantai. Terlihat bayangan William dengan sorot matanya yang tajam menatap pria bertopeng itu dengan penuh amarah. William berlari dan siap melesatkan tinjunya.

Pria itu terlambat untuk menghindar. Satu pukulan berhasil mengenai wajahnya hingga pria itu tersungkur di lantai.

“Aku sudah bilang urusan kita tidak ada hubungannya dengan Olivia,” pekik William, napasnya memburu kencang, tangannya kembali terkepal di udara bersiap melepaskan tinju kedua.

Namun kali ini Daniel berhasil menangkisnya lalu dengan cepat membalikkan serangan.

Tubuh William terpental ke belakang hingga membentur lemari kayu reyot dan menumpahkan seluruh benda diatasnya. William yang tidak sempat berdiri tertimpa berbagai macam benda dari lemari itu.

Olivia menjerit histeris, ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan di tangan, tubuh dan kakinya, tetapi sia-sia, bahkan tenaganya sudah hampir habis. Ini benar-benar penyiksaan.

“Daniel hentikan!!!”

Daniel tidak menggubris sama sekali dan terus melancarkan serangan pada William hingga William terdesak.

Dengan air mata yang mulai menitik dari pelupuk matanya, Olivia terus berusaha melepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Olivia terus menggesek-gesek tali pengikat itu pada bagian kursi yang patah hingga melukai pergelangan tangannya.

“Aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkan perusahaan darimu dan cara baik sudah aku lakukan, kita sudah membuat kesepakatan tapi kau sendiri yang tidak menepatinya.” Daniel berjongkok di hadapan William yang kini tersungkur tak berdaya. “Aku tidak punya pilihan, kau sendiri yang memintaku melakukannya dengan rencana terburukku.”

Seringai kembali tersungging di wajah Daniel, lalu sebelah tangannya merogoh pisau yang sudah ia persiapkan. Daniel melesatkan pisau tersebut dengan cepat ke arah William tetapi sebuah kursi terlebih dahulu melayang dan menghantam tubuhnya dengan keras hingga kursi itu patah tak berbentuk.

“Sialan!” pekik Daniel yang kini tersungkur dan menjatuhkan pisau yang dipegangnnya.

Olivia melemparkan patahan kursi yang tersisa di tangannya dan langsung mengambil pisau di lantai lalu mendekati William dengan wajah cemas.

“Seharusnya kamu tidak datang Will, maafkan aku,” ujar Olivia tersedu-sedu, seraya membantu William untuk bangkit.

“Ini semua salahku Liv,” ucap William penuh penyesalan.

Darah segar mengalir di sudut bibir William, rambutnya acak-acakan, tubuhnya terbalut debu. Dengan susah payah William berusaha bangkit.

Namun belum sepenuhnya William bangkit Daniel yang diam-diam mendekati mereka langsung mengunci tubuh Olivia dan menggenggam kuat salah satu tangan Olivia yang menggenggam pisau.

William sontak terperanjat, tetapi baru saja ia melangkah Daniel langsunung mengarahkan dengan paksa pisau di tangan Olivia ke leher wanita itu sendiri.

Olivia merasakan tulang jari dan telapak tangannya remuk karena genggaman kuat Daniel. Olivia bahkan tidak bisa melepaskan pisau di tangannya sendiri.

“Pilihalah perusahaan atau nyawa kalian berdua?” ancam Daniel.

“Jangan tertipu Will, apa pun pilihanmu dia tetap akan menghabisi….”

“Tutup mulutmu atau pisau ini akan menorobos lehermu!”

William terdesak, ia tidak bisa menyerahkan perusahaan demi janji yang dia buat kepada mendiang Ibunya, tetapi nyawa Olivia dalam bahaya.

“Kalian ini sangat merepotkan.”

Tanpa memberi waktu William untuk berpikir sebilah mata pisau tiba-tiba menembus perut William. William terbelalak tidak menduganya sama sekali begitu pun dengan Olivia yang kini berdiri di hadapan William beserta pisau digenggamannya yang telah merobek jaringan tubuh suaminya itu.

Olivia sontak menjerit histeris, tubuhnya bergetar hebat, sekuat tenaga ia berusaha menahan agar pisau itu tidak menusuk lebih dalam ke dalam tubuh William, tetapi Daniel terus mendorongnya. Olivia tidak bisa menahan kekuatan pria itu dan hanya bisa menangis menatap William dengan rasa bersalah.

Daniel terkekeh, “Hei bukankah seharusnya kamu menusuknya lebih dalam dan membalaskan dendammu atas kematian kakakmu. Berterima kasihlah padaku karena aku telah membantumu melakukannya.”

“AAA! Tidak… Daniel hentikan aku mohon, aku tidak menginginkannya...,” isak Olivia.

“Jadi kamu memaafkannya? Bukankah mata harus dibalas dengan mata? Kalau begitu ucapkan kalau kau memaafkannya selagi ada kesempatan sebelum aku renggut nyawa kalian berdua” seru Daniel seraya tertawa seperti orang gila.

Olivia menggeleng dengan keras tangannya sudah tidak kuat lagi menahan bilah pisau. William bisa merasakan pisau digenggaman Olivia merobek jaringan kulitnya semakin dalam. Lalu sekelebat ingatan kelam 8 tahun lalu yang terkubur begitu lama dalam benak William mulai terlihat semakin jelas.

Situasi ini, tetesan darah yang terus mengalir deras keluar dari perutnya, sama seperti yang Selena alami 8 tahun lalu. “Daniel, kau….”

Daniel menghempaskan tubuh Olivia ke sudut ruangan lalu menarik pisau yang tertancap di perut William.

“Haruskan pisau ini aku tancapkan pada tubuhnya juga?” Daniel menyeringai lalu menoleh pada Olivia yang kini bersimpuh tidak berdaya dengan darah yang membalut tangannya.

Daniel melangkah menuju Olivia dengan pisau berlumur darah ditangannya. Dengan sisa tenaga yang William miliki, ia memegangi kaki Daniel dan memeluknya dengan kuat agar pria itu tidak bisa bergerak.

“Olivia, cepat pergi!”

Olivia menoleh dengan ketakutan yang terpancar dari kedua bola matanya. Sialnya tubuh Olivia tidak bisa bergerak dan malah bergetar semakin hebat ketika melihat darah yang mengalir dari tubuh William mulai memenuhi lantai di sekitarnya.

“Sangat menjijikan, kau lihat, ini akibat jika kau mengaggungkan cinta, kau hanya akan menjadi lemah dan bodoh. Jika kau hanya fokus pada dirimu sendiri, kau tidak perlu memikirkan keselamatan orang lain.” Daniel menatap jijik William juga Olivia.

Tanpa ampun Daniel memukuli William, Daniel bahkan meraih sebuah pipa besi di dekatnya dan menghantamkan benda itu sekuat tenaga pada tubuh William berkali-kali.

Namun, William tidak ingin menyerah walaupun dia sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi, ia akan melindungi Olivia meskipun nyawa yang akan menjadi bayarannya.

“Olivia sadarlah! Cepat pergi!” pinta William dengan suaranya yang mulai melemah.

“Mati saja kalau begitu, supaya aku tidak perlu susah payah bersaing denganmu lagi.”

Daniel menghantamkan pipa besi itu tepat di kepala William hingga cengkraman William pada kakinya melemah. Melihat William sudah mendekati ajalnya tawa Daniel menggema memenuhi ruangan.

Pandangan William semakin kabur, kesadarannya perlahan lenyap, namun hatinya tiba-tiba berdenyut seolah baru menyadari sesuatu saat telinganya menangkap suara pria bertopeng itu. “Tidak, dia bukan Daniel….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status