Jimmy terdiam dengan kening berkerut. Kalau dipikir-pikir surat elektronik yang Jimmy terima sebelumnya juga dari perusahaan teman dekat William. “Bagaimana kalau kamu tukar pertanyaannya?” celetuk William masih denagn ekspresinya yang datar. “Maksud Anda?” “Seperti.... Apa William benar-benar kehilangan ingatannya?” Jimmy sontak tertegun ia tidak bisa berkata-kata. William tidak perlu menyatakan lebih banyak fakta lebih lanjut tentang ingatannya karena rasanya Jimmy sudah dengan jelas mengetahui jawabannya saat ini. “Aku hanya pura-pura Jimmy,” imbuh William seraya melangkah lebih jauh ke dalam ruko kosong itu. Hening, Jimmy tidak menjawab apa-apa, wajahnya tampak bingung. Namun tentu saja William pasti memiliki alasan mengapa dia melakukan hal itu. “Mengapa Anda melakukannya?” akhirnya Jimmy bisa meluapkan rasa penasarannya. Namun di satu sisi entah mengapa Jimmy merasa takut untuk mendengar jawaban dari William. Seolah William sedan
“Lalu bagaimana dengan Olivia?” pertanyaan lain yang Jimmy tidak siap untuk mendengar jawabannya. “Dia sedang merencanakan sesuatu untukku.” William tahu apa yang Olivia sedang rencanakan untuknya. Saat mengetahui hal itu William sempat berkali-kali menolak percaya pada kenyataan yang menimpanya. Namun akhirnya William bisa menerimanya. William mengalihkan pandangannya pada Jimmy, pria itu tampak tertekan dengan semua kenyataan yang baru saja ia terima saat ini. Terutama kenyataan tentang Olivia yang itu paasti paling mengusiknya. “Maaf aku memecatmu waktu itu, tapi rasanya itu keputusan yang tepat yang bisa aku lakukan,” ucap William, “Sepertinya kamu jadi sasaran empuk untuk menjebakku atau bisa jadi mereka tidak mau kamu berada di dekatku.” Jimmy memandangin William, “Dengan sendiri Anda bisa menjadi lemah,” imbuh Jimmy yang langsung di balas anggukan oleh William.“Jim, aku butuh bantuamu, karena itu aku menceritakan semua ini. Aku tidak tahu a
'Sidik jari yang terdapat pada senjata pembunuhan saudari Selena Anastasya, cocok dengan sidik jari tersangka William Savero.'Untaian kalimat dalam berkas kasus pembunuhan Selena terus terbayang begitu jelas dalam benak Olivia. Olivia meringkuk di atas sofa ruang kerja William.Dia menangis histeris sulit menerima kenyataan pahit yang kini harus ia hadapi. Bagaimana mungkin pria yang sangat ia cintai ternyata adalah seseorang yang telah merenggut nyawa kakaknya sendiri?“Liv! Apa yang terjadi?” sahut William dengan panik seraya memeluk Olivia saat menemukan istrinya menangis tersedu-sedu di ruang kerjanya.“Apa kamu tahu tentang keluargaku?” celetuk Olivia dengan patah-patah.William tidak menjawab, raut wajahnya perlahan berubah.“Apa kamu tahu kalau aku memiliki kakak perempuan bernama Selena Anastasya?” desak Olivia dengan suaranya yang purau.“Aku….”Belum sempat William merampungkan ucapannya Olivia sudah mengangkat gawainya yang berpendar menunjukkan sebuah foto berkas pembunuh
Penampilan Olivia sungguh acak-acakkan. Wajahnya penuh lebam dan luka, rambutnya berantakan, pakaiannya begitu lusuh.Daniel membanting ponsel yang baru saja digunakannya lalu ia hancurkan ponsel tersebut hingga berkeping-keping.“Kau tahu mengapa ayahmu tidak memberikan perusahaan itu padamu? Karena perusahaan akan hancur ditanganmu,” cibir Olivia dengan suara parau.Plak!Satu tamparan mendarat di wajah Olivia, pria bertopeng di hadapannya terlihat marah walaupun yang tampak hanya bola matanya.“Dasar jalang! Berani-beraninya kau meremehkan seorang Daniel. Kita tunggu saja apa kalian masih bisa mengucapkan salam perpisahan dengan damai, semua tergantung padanya. Lebih baik kau berdoa supaya pria bodoh itu bisa memilihmu.”Beberapa saat kemudian, pintu berhasil didobrak jatuh hingga berdebam kencang di lantai. Terlihat bayangan William dengan sorot matanya yang tajam menatap pria bertopeng itu dengan penuh amarah. William berlari dan siap melesatkan tinjunya.Pria itu terlambat untuk
“Aku akan melindungimu sampai akhir Liv.”Olivia pikir ucapan William waktu itu hanya sebuah bualan atau godaan semata, tetapi ternyata pria itu bersungguh-sungguh pada ucapannya.Olivia memeluk lututnya dan menatap kosong nisan di hadapannya. Hati dan pikirannya begitu kalut, rasa bersalah, kecewa, amarah dan dendam bergejolak dalam hatinya hingga membuatnya terasa sesak.“Kak kenapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demiku dan harus membuatku semakin merasa bersalah padamu?” isak Olivia dengan lemah.Olivia meremas kalung dengan liontin bulan yang menggantung di lehernya lalu menyeka air matanya dan beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah sakit.Begitu tiba di sebuah ruang rawat terlihat William yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sudah dua minggu matanya sempurna tertutup. Rentetan kejadian mengerikan dua minggu lalu kembali terputar dalam benak Olivia.Olivia menggenggam tangan William dengan erat, matanya mulai berair menatap suaminya.“Will, sampai kapan kamu akan tert
Olivia semakin meringkuk terpojok ketakutan di sudut ruangan dengan menutup kedua telingannya rapat-rapat seolah tidak mau mendengar suara Daniel sedikit pun.“Pergi dari sini atau perlu aku panggil satpam untuk mengusirmu!” pekik William dengan garang seraya menatap Daniel dengan tajam.“Kau tidak perlu repot-repot aku bisa pergi sendiri dan sampai jumpa lagi dalam waktu dekat.” Daniel menyeringai namun entah mengapa sorot matanya malah mengarah kepada Olivia, lalu ia pergi dengan tenang seolah tidak menciptakan keributan sama sekali.William mengeratkan jemari tangannya, menahan gejolak kemarahan yang terasa meluap-luap pada Daniel. Lalu dengan hati-hati William membantu Olivia untuk bangkit dan mendudukannya di sofa.Tubuh Olivia masih bergetar, matanya tertutup rapat, kedua tangannya masih menyumbat masing-masing lubang telinganya.Hati William mendadak terasa seperti diremas-remas, dengan pilu ia tatap wajah Olivia lalu ia rengkuh tubuh wanita itu dengan erat.“Apa yang pernah di
“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya William dengan tatapan intimidasinya yang tajam.“Apa maksudmu, aku tidak mengerti?” balas Olivia dengan suara bergetar.William mendengus, “Aku mencari tahu informasi tentang kalung ini. Kalung ini adalah edisi terbatas, hanya ada satu set dengan gelangnya dan dibeli atas namaku delapan tahun yang lalu. Jelas aku melihatmu memakainya, tapi kamu masih mengelak. Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?”Olivia menggigit bibirnya, semuanya sudah terlambat. Padahal belum 24 jam ia menjalankan rencananya tetapi William sudah menangkap basahnya.Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Olivia pun menunduk lesu, dan kembali menangis dengan pilu.“Aku minta maaf Will, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapimu dengan kondisimu yang seperti ini. Aku hanya takut kamu tidak akan bisa mencintaiku seperti sebelumnya karena kamu tidak memiliki ingatan apa pun tentangku.”William pun melunak, ia menurunkan kedua tangannya dan kembali menatap Olivia de
“Will, aku bawakan makan siang untukmu,” seru Olivia dari balik pintu ruangan seraya mengangkat sebuah tas kecil berisi makan siang dengan antusias. Wajah William yang sebelumnya terlipat karena lelah membaca dokumen-dokumen pekerjaan di atas meja seketika berseri saat beradu pandang dengan istrinya itu. William pun bangkit dari kursinya, ia langsung menarik Olivia masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu ruangan rapat-rapat. Olivia tersentak untuk sesaat karena tidak menduganya sama sekali tapi sedetik kemudian ia terkekeh sambil memukul dada bidang William. Sudah satu minggu sejak William kembali bekerja. Setelah keluar dari rumah sakit pria itu sudah tidak sabar ingin segera bekerja padahal Olivia berulang kali memintanya untuk beristirahat hingga William pulih sepenuhnya. Tetapi sikap keras kepala pria itu tidak bisa Olivia hentikan sama sekali.“Ayo makan siang bersama,” ujar Olivia.Namun alih-alih menjawab William malah merebut tas kecil berisi makan siang digenggaman Oli