Share

BAB 2| PANGGILAN BERSELIMUT LUKA

Tangan Sakha meraba dinding, mencari sakelar lampu setibanya di rumah. Sedetik, ruang tamu memperlihatkan wujudnya ketika lampu besar yang menggantung di langit-langit ruangan memancarkan sinarnya. Mata Sakha menyapu ke segala penjuru, kesunyian di rumah itu memberi kesan tidak adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Berapa kali pun dia memanggil nama istrinya, tetap tidak ada jawaban.

Menyerah, menerka jika Flora sedang ada urusan di luar, Sakha dengan langkah gontai mulai menaiki anak tangga. Di lantai dua, sekali lagi Sakha menekan sakelar lampu.

Byar!

Ruangan terang seketika, juga Sakha yang terlonjak dari tempatnya berdiri, berseru tertahan. Lihatlah, di pojok ruangan, Flora berjongkok dengan kepala tertunduk dalam. Lengannya menopang kepalanya yang seakan tenggelam. Tidak bergerak, pun terlihat amat suram.

“Flo ...? Hei, ada apa?” Perlahan Sakha mendekati istrinya, berusaha menyentuh pundaknya hingga sebuah pergerakan dari Flora membuatnya tersentak. Flora menghindari sentuhan tangannya.

Untuk beberapa saat, ruangan itu diselimuti keheningan ganjil. Sakha yang membeku dan Flora yang membuang muka.

“Apa ... apa bibimu berulah lagi, Flo?” Suara Sakha merobek hening sekaligus mengutarakan salah satu dari banyak pertanyaan yang bergumul di pikirannya.

Tidak langsung ada jawaban. Flora masih bergeming di tempatnya, menimbang banyak hal, lantas berucap parau, “Ya ....”

Terdengar helaan napas lega dari Sakha. Dia ternyata tidak membuat kesalahan yang membuat sikap Flora terhadapnya berubah. “Apa lagi yang dia minta sekarang? Uang? Perhiasan? Biar aku yang mengurusnya.”

Tanpa pernah Sakha ketahui, Flora tertawa hambar tanpa suara mendengar ucapannya. Memaki diri sendiri karena memilih tidak percaya suaminya memiliki wanita lain.

Pasti milik salah satu rekannya yang tidak sangaja terselip di kopernya. Pasti milik tamu hotel yang tertinggal dan tidak sengaja terbawa suaminya. Atau lingerie itu hadiah untuknya, meski ganjil sekali. Apa pun itu, Flora mencoba untuk mengelabuhi pikirannya sendiri.

“Hei, tidak perlu menangis lagi, Flo. Aku di sini sekarang. Kamu akan baik-baik saja, akan selalu baik-baik saja.” Sakha perlahan merengkuh Flora dalam dekapannya. Kali ini Flora tidak menghindar, namun wajahnya tanpa ekspresi, kehilangan rona yang selalu menghiasinya.

Meskipun membohongi diri sedemikian rupa, Flora tahu jika dirinya tidak akan bisa utuh seperti dulu lagi.

***

Drttt ....

Getaran ponsel di atas nakas membuat Flora seketika terjaga. Dia bergeming dari posisi tidurnya, membelakangi Sakha dengan jantung yang berpacu. Jam yang berdiri di meja samping Flora masih menunjukkan dini hari.

Dua kali getar panjang, terdengar lenguhan pelan Sakha, tidurnya terganggu oleh suara itu. Flora dapat merasakan ada pergerakan kecil, Sakha beranjak duduk, lantas melangkah sepelan mungkin keluar kamar.

Flora meremas ujung selimut, tiba-tiba hatinya diliputi kekhawatiran yang teramat mencekam. Bagaimana jika Sakha benar-benar menelepon wanita itu? Bagaimana jika dia tidak mempunyai alasan untuk membohongi diri sendiri lagi? Bagaimana jika kebahagiaan yang selama ini dirangkainya akan lenyap bersama dirinya yang patah? Pertanyaan-pertanyaan itu mendatangkan deraan batin yang menghunus dalam.

Namun rasa penasaran yang teramat membawa Flora berjalan tanpa suara keluar kamar. Dia menyapukan pandangan dan menajamkan telinganya, hingga akhirnya siluet Sakha yang tengah berada di balkon rumah tertangkap matanya. Ragu, Flora berjalan mendekat, bersembunyi di belakang jendela.

“Kamu yakin tidak hamil, ‘kan?”

Deg!

Tangan Flora yang dingin kini bergetar, juga lehernya yang terasa tercekik. Segera Flora membekap mulutnya dengan telapak tangan ketika napasnya mulai menderu.

“Tunggu sebentar. Mual dan pusing, ya? Apa karena abalone yang kita makan kemarin lusa? Aku ingat rasa abalone itu agak sedikit aneh.”

Kemarin lusa? Flora tersenyum pahit. Benar, seseorang yang ditelepon Sakha itu kemarin ikut bersamanya dalam perjalanan bisnis. Mungkin juga pemilik lingerie merah. Rasa-rasanya lantai yang dipijak Flora menancapkan duri-duri, menembus kulitnya.

“Aduh, bagaimana, ya?” Sakha mengacak rambutnya, masih berbicara setengah berbisik. “Apa tidak bisa ditahan sampai pagi hari? Setidaknya satu atau dua jam sebelum jadwalku berangkat kerja. Istriku masih tidur, dia akan mempertanyakan banyak hal jika menyadari aku tidak ada di rumah.”

Flora masih berdiri di sana, mengatur napasnya agar kembali normal.

“Astaga! Kamu mulai lagi? Sudah kubilang berapa kali. Kamu selalu menjadi yang terpenting, tidak di bawah istriku atau orangtuaku. Hei, sepertinya aku sudah mengatakannya ribuan kali, bukan?”

Tangan Flora bergerak meremas ujung baju tidurnya. Tatapan matanya nanar. Kini, alasan untuk menipu diri sendiri sudah tak bersisa. Flora telah menemukan jawabannya.

“Baiklah, baiklah. Aku ke sana sekarang. Ayo kita pergi ke dokter terbaik di kota ini.”

Saat Sakha berbalik, Flora sudah tidak ada di sana. Dia telah pergi sebelum sempat mendengar ucapan sayang Sakha kepada seseorang di seberang sana. Flora meringkuk di balik selimut, menatap bulan yang tengah menabur cahaya lewat celah sempit jendela kamarnya.

Dia menangis, menginginkan seluruh rasa sakit itu luruh bersama bening air yang turun dari matanya. Badannya bergetar hebat kala kenangan bersama Sakha seperti dibentangkan di depan muka. Semua hal membahagiakan itu terasa menyesakkan sekarang, merenggut semua mimpi yang disulamnya dengan sepenuh hati.

***

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
flow_kaar
Sesuai judul ya flora terlalu lugu. Kalo aku udah ku gampar laki macam sakha. Semoga setelah ini flora sadar..
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status