Share

BAB 3| PERI KECIL ITU PERGI

“Flo, ayo makan lebih banyak. Wajahmu pucat sekali.” Sakha menghela napas, menatap Flora khawatir. “Sudah seminggu kamu seperti ini. Sebenarnya bibimu mengatakan apa hingga membuatmu begini, Flo?”

Pertanyaan Sakha sama sekali tidak mengalihkan pandangan Flora dari bubur ayam yang sejak tadi terus diaduknya tanpa minat. Sorot mata, raut wajah, semuanya terlihat hampa. Setengah nyawa Flora seperti dicerabut dengan paksa.

“Apa ... eh, apa bibimu mengatakan yang tidak-tidak mengenai ayahmu? Atau ibumu?” Hati-hati Sakha melontarkan pertanyaan sensitif itu, khawatir menyinggung perasaan istrinya.

Flora mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sakha tanpa ekspresi, lantas berucap, “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kurang enak badan.”

Selain seperti kehilangan semangat, yang membuat Sakha semakin khawatir adalah perubahan sikap Flora yang menjadi dingin terhadapnya. “Ayo kita ke dokter kalau begitu.”

“Kamu mau membawaku ke dokter terbaik?” Flora melemparkan pertanyaan disertai seringan tipis.

“Ya, tentu saja!” Sakha menimpalinya dengan semangat. “Aku tahu dokter terbaik di sini.”

Flora spontan tertawa mendengarnya—tawa pertama seminggu terakhir. Sakha mengembuskan napas lega, mengira jika suasana hati Flora sudah membaik. Yang tidak dia ketahui, Flora tengah tertawa muak. Dia baru tahu jika suaminya amat tidak tahu malu.

“Tidak perlu, Mas. Aku mungkin akan merasa semakin buruk jika bertemu dokter terbaik-mu itu.” Flora meletakkan sendok di samping mangkuk bubur, dia telah selesai makan. “Kamu sebaiknya berangkat sekarang. Ada rapat, bukan?”

“Ah, ya ....” Sakha bangkit berdiri, berjalan mendekat ke arah Flora, hendak mencium keningnya. “Aku—” Perkataan Sakha terhenti ketika Flora memalingkan wajahnya, seperti tidak mau disentuhnya.

“Pergi saja, Mas. Aku benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak baik sekarang.”

“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Flo. Aku akan segera kembali.” Akhirnya Sakha hanya mengusap rambut Flora, berderap keluar rumah menuju mobil sedannya.

Sepeninggal Sakha, Flora mengeluarkan perasaan yang ditahannya. Napasnya tersengal dan dadanya terasa sangat sesak. Flora menutup wajahnya dengan telapak tangan, sebelum akhirnya isakan pelan mengisi keheningan di ruang makan kecil itu.

Seminggu berlalu semenjak dia menemukan bukti pertama perselingkuhan suaminya, bukti-bukti lain yang selama ini tidak disadarinya mulai berdatangan. Kemeja yang terkena noda lipstik, potongan kuku palsu yang terselip di jok mobil, juga setruk belanja pakaian wanita di tas kerja Sakha. Semuanya sangat dekat, namun Flora terlalu abai sebelumnya.

Flora tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah bertahan adalah jalan terbaik? Atau justru berpisah menjadi obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka hatinya. Pertanyaan tanpa jawaban itu selalu berakhir dengan tangisan pilu dan rasa sakit tak tertahankan. Takdir menyiksanya dengan cara yang paling kejam.

Setengah jam larut dalam kesedihan, Flora menyeka pipinya. Dia harus mencari udara segar.

Dan saat Flora bangkit berdiri, tiba-tiba perut bagian bawahnya nyeri dan kram luar biasa. Flora merintih merasakan ribuan pisau seperti tengah menyayat perut. Tiga detik, cairan merah mengalir di kedua kaki Flora. Terus turun hingga membasahi lantai.

Tangan Flora bergetar hebat, sebelum akhirnya menggapai ponsel di meja makan, menekan nomor darurat.

***

Sejauh mata memandang, warna putih mendominasi. Bau obat-obatan tercium pekat. Cairan infus menetes dalam tempo lambat. Di luar ruangan terlihat kesibukannya dari kaca kecil di pintu, perawat dan dokter hilir mudik mengurus pasien.

Flora duduk di salah satu ranjang rumah sakit. Wajahnya amat pucat, matanya sayu, seolah dia hanya seonggok tubuh tanpa nyawa. Sudah tujuh jam dia seperti itu sejak keluar dari ruangan UGD, dipindahkan ke ruang rawat inap. Penjelasan dari dokter wanita paruh baya sudah ratusan kali terngiang di benaknya.

“Usia kandungan empat minggu. Trimester pertama. Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, kami menemukan adanya masalah pada plasenta. Stres berlebih yang berkepanjangan menjadi pemicunya. Meskipun stres biasanya menjadi masalah untuk janin saat kandungan mulai memasuki trimester kedua, kita tidak boleh mengabaikan bahwa stres bisa memicu munculnya hormon kortikoliberin. Tingginya hormon ini bisa memengaruhi aktivitas sel matosit di dalam rahim dan membuat sel mengeluarkan triptase, bahan kimia berbahaya—”

Flora tidak lagi mendengarkan penjelasan dokter saat itu karena dia sudah meraung penuh kepiluan, mencoba menampik fakta yang baru saja dia dapatkan. Hamil? Empat minggu? Malang sekali nasib anaknya. Orangtuanya bahkan tidak tahu jika dia diam-diam tumbuh di dalam rahim ibunya. Peri kecil itu pergi bahkan sebelum Flora mengelusnya dengan sayang, bilang betapa dia beruntung memilikinya, menjanjikan masa depan yang indah saat dia akhirnya bisa menatap dunia.

Kini Flora tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang tersisa. Tidak lagi ada alasan baginya untuk melanjutkan hidup. Semuanya hilang, lenyap. Dia telah tiba di dasar lembah gulita. Dingin, gelap, dan tidak ada kehidupan di dalamnya.

Getaran ponsel di atas meja—yang entah sudah keberapa—akhirnya berhasil membuat Flora menoleh. Dia meraih ponselnya pelan, menemukan nama seseorang yang tertera di layar.

“Flora! Akhirnya .... Nak, Ayah masuk rumah sakit. Jantungnya kambuh. Ibu sudah menghubungi Sakha, tetapi ponselnya mati.”

Suara ibu mertua Flora terdengar sangat cemas di seberang sana. Wajah Flora masih tidak berubah meskipun baru saja mendengar kabar buruk tentang kondisi ayah mertuanya.

“Ya .... Flora akan cari Mas Sakha.” Flora membalas dengan suara lemah dan hampir tanpa nada, amat datar.

“Terima kasih, terima kasih, Flora. Ibu tunggu di rumah sakit biasa.”

Setelah menjawab singkat, Flora memutus panggilan telepon. Dia mencabut selang infus di tangannya, lantas berjalan ke bagian administrasi. Petugas berseru melarang ketika Flora mengatakan keinginannya untuk kembali ke rumah sekarang juga, bilang jika kemungkinan akan terjadi pandarahan lagi. Namun Flora tidak peduli, dia menyerahkan kartu kredit, lantas berderap pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

Saatnya dia menemui sumber kehancurannya.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
flow_kaar
Sedih banget jadi flora. Semoga keguguran ini buat dia bangkit..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status