Home / Rumah Tangga / Pembalasan Dendam Istri Lugu / BAB 3| PERI KECIL ITU PERGI

Share

BAB 3| PERI KECIL ITU PERGI

Author: Wini Latte
last update Huling Na-update: 2023-02-20 12:21:52

“Flo, ayo makan lebih banyak. Wajahmu pucat sekali.” Sakha menghela napas, menatap Flora khawatir. “Sudah seminggu kamu seperti ini. Sebenarnya bibimu mengatakan apa hingga membuatmu begini, Flo?”

Pertanyaan Sakha sama sekali tidak mengalihkan pandangan Flora dari bubur ayam yang sejak tadi terus diaduknya tanpa minat. Sorot mata, raut wajah, semuanya terlihat hampa. Setengah nyawa Flora seperti dicerabut dengan paksa.

“Apa ... eh, apa bibimu mengatakan yang tidak-tidak mengenai ayahmu? Atau ibumu?” Hati-hati Sakha melontarkan pertanyaan sensitif itu, khawatir menyinggung perasaan istrinya.

Flora mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sakha tanpa ekspresi, lantas berucap, “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kurang enak badan.”

Selain seperti kehilangan semangat, yang membuat Sakha semakin khawatir adalah perubahan sikap Flora yang menjadi dingin terhadapnya. “Ayo kita ke dokter kalau begitu.”

“Kamu mau membawaku ke dokter terbaik?” Flora melemparkan pertanyaan disertai seringan tipis.

“Ya, tentu saja!” Sakha menimpalinya dengan semangat. “Aku tahu dokter terbaik di sini.”

Flora spontan tertawa mendengarnya—tawa pertama seminggu terakhir. Sakha mengembuskan napas lega, mengira jika suasana hati Flora sudah membaik. Yang tidak dia ketahui, Flora tengah tertawa muak. Dia baru tahu jika suaminya amat tidak tahu malu.

“Tidak perlu, Mas. Aku mungkin akan merasa semakin buruk jika bertemu dokter terbaik-mu itu.” Flora meletakkan sendok di samping mangkuk bubur, dia telah selesai makan. “Kamu sebaiknya berangkat sekarang. Ada rapat, bukan?”

“Ah, ya ....” Sakha bangkit berdiri, berjalan mendekat ke arah Flora, hendak mencium keningnya. “Aku—” Perkataan Sakha terhenti ketika Flora memalingkan wajahnya, seperti tidak mau disentuhnya.

“Pergi saja, Mas. Aku benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak baik sekarang.”

“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Flo. Aku akan segera kembali.” Akhirnya Sakha hanya mengusap rambut Flora, berderap keluar rumah menuju mobil sedannya.

Sepeninggal Sakha, Flora mengeluarkan perasaan yang ditahannya. Napasnya tersengal dan dadanya terasa sangat sesak. Flora menutup wajahnya dengan telapak tangan, sebelum akhirnya isakan pelan mengisi keheningan di ruang makan kecil itu.

Seminggu berlalu semenjak dia menemukan bukti pertama perselingkuhan suaminya, bukti-bukti lain yang selama ini tidak disadarinya mulai berdatangan. Kemeja yang terkena noda lipstik, potongan kuku palsu yang terselip di jok mobil, juga setruk belanja pakaian wanita di tas kerja Sakha. Semuanya sangat dekat, namun Flora terlalu abai sebelumnya.

Flora tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah bertahan adalah jalan terbaik? Atau justru berpisah menjadi obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka hatinya. Pertanyaan tanpa jawaban itu selalu berakhir dengan tangisan pilu dan rasa sakit tak tertahankan. Takdir menyiksanya dengan cara yang paling kejam.

Setengah jam larut dalam kesedihan, Flora menyeka pipinya. Dia harus mencari udara segar.

Dan saat Flora bangkit berdiri, tiba-tiba perut bagian bawahnya nyeri dan kram luar biasa. Flora merintih merasakan ribuan pisau seperti tengah menyayat perut. Tiga detik, cairan merah mengalir di kedua kaki Flora. Terus turun hingga membasahi lantai.

Tangan Flora bergetar hebat, sebelum akhirnya menggapai ponsel di meja makan, menekan nomor darurat.

***

Sejauh mata memandang, warna putih mendominasi. Bau obat-obatan tercium pekat. Cairan infus menetes dalam tempo lambat. Di luar ruangan terlihat kesibukannya dari kaca kecil di pintu, perawat dan dokter hilir mudik mengurus pasien.

Flora duduk di salah satu ranjang rumah sakit. Wajahnya amat pucat, matanya sayu, seolah dia hanya seonggok tubuh tanpa nyawa. Sudah tujuh jam dia seperti itu sejak keluar dari ruangan UGD, dipindahkan ke ruang rawat inap. Penjelasan dari dokter wanita paruh baya sudah ratusan kali terngiang di benaknya.

“Usia kandungan empat minggu. Trimester pertama. Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, kami menemukan adanya masalah pada plasenta. Stres berlebih yang berkepanjangan menjadi pemicunya. Meskipun stres biasanya menjadi masalah untuk janin saat kandungan mulai memasuki trimester kedua, kita tidak boleh mengabaikan bahwa stres bisa memicu munculnya hormon kortikoliberin. Tingginya hormon ini bisa memengaruhi aktivitas sel matosit di dalam rahim dan membuat sel mengeluarkan triptase, bahan kimia berbahaya—”

Flora tidak lagi mendengarkan penjelasan dokter saat itu karena dia sudah meraung penuh kepiluan, mencoba menampik fakta yang baru saja dia dapatkan. Hamil? Empat minggu? Malang sekali nasib anaknya. Orangtuanya bahkan tidak tahu jika dia diam-diam tumbuh di dalam rahim ibunya. Peri kecil itu pergi bahkan sebelum Flora mengelusnya dengan sayang, bilang betapa dia beruntung memilikinya, menjanjikan masa depan yang indah saat dia akhirnya bisa menatap dunia.

Kini Flora tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang tersisa. Tidak lagi ada alasan baginya untuk melanjutkan hidup. Semuanya hilang, lenyap. Dia telah tiba di dasar lembah gulita. Dingin, gelap, dan tidak ada kehidupan di dalamnya.

Getaran ponsel di atas meja—yang entah sudah keberapa—akhirnya berhasil membuat Flora menoleh. Dia meraih ponselnya pelan, menemukan nama seseorang yang tertera di layar.

“Flora! Akhirnya .... Nak, Ayah masuk rumah sakit. Jantungnya kambuh. Ibu sudah menghubungi Sakha, tetapi ponselnya mati.”

Suara ibu mertua Flora terdengar sangat cemas di seberang sana. Wajah Flora masih tidak berubah meskipun baru saja mendengar kabar buruk tentang kondisi ayah mertuanya.

“Ya .... Flora akan cari Mas Sakha.” Flora membalas dengan suara lemah dan hampir tanpa nada, amat datar.

“Terima kasih, terima kasih, Flora. Ibu tunggu di rumah sakit biasa.”

Setelah menjawab singkat, Flora memutus panggilan telepon. Dia mencabut selang infus di tangannya, lantas berjalan ke bagian administrasi. Petugas berseru melarang ketika Flora mengatakan keinginannya untuk kembali ke rumah sekarang juga, bilang jika kemungkinan akan terjadi pandarahan lagi. Namun Flora tidak peduli, dia menyerahkan kartu kredit, lantas berderap pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

Saatnya dia menemui sumber kehancurannya.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
flow_kaar
Sedih banget jadi flora. Semoga keguguran ini buat dia bangkit..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 38| UCAPAN SELAMAT TINGGAL

    Nadine berada di mejanya, sedang fokus pada layar komputer ketika Flora mendorong cepat pintu studio. Mata perempuan itu terbelalak seiring ia yang spontan bangkit berdiri dengan punggung menegak. Gesturnya menjadi waspada.“Kairo—di mana dia?” Flora langsung bertanya, keadaan saat ini mendesak, ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi.“Eh, saya akan menanyakan dulu—”“Aku akan ke atas.” Tanpa menunggu persetujuan Nadine terlebih dahulu, Flora berderap ke arah tangga lantai dua.“Tidak bisa begitu!” Nadine nyaris melompat untuk menghentikan. Ia tergopoh berlari untuk menghalangi, merentangkan tangannya di depan Flora.Flora baru ingin membuka mulut ketika suara dari belakang sana menghentikannya, juga membuat Nadine menoleh.“Biarkan dia, Nadine.” Kairo berdiri di anak tangga paling bawah, memakai pakaian santai, dan melemparkan tatapan tajam pada Flora. “Kamu boleh pulang. Aku akan selesaikan sisanya.”Dari air muka Nadine, bisa Flora pastikan perempuan itu agak kurang setuju. Ia men

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 37| RAHASIA YANG TERKUAK

    Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 36| PENAWARAN

    ‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 35| PENGHAKIMAN DALAM SENYAP

    “Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 34| PERMAINAN DALAM SAMBUNGAN TELEPON

    Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt

  • Pembalasan Dendam Istri Lugu   BAB 33| MENARI SEPERTI IBLIS

    Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status