MasukWajah pria bertubuh kekar itu memerah, matanya berkilat marah. "Kurang ajar!! Kamu pikir bisa dengan mudah menghadapi kami, hah?!" bentaknya pada Bima.
Tanpa peringatan, dia mengeluarkan pisau belati dari balik jasnya. Mata dinginnya menatap Bima dengan tatapan membunuh. Tapi Bima lagi-lagi memberikan senyum mengejek seolah ia tidak memiliki rasa takut. "Bocah kurang ajar! Beraninya kamu ikut campur, akan kuberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan!" "Kalau begitu coba ajarkan padaku," Bima tersenyum mengejek, tangannya memberi tanda agar pria itu maju. Pria itu melesat maju, pisau belatinya berkilat mengarah ke dada Bima. Gerakan yang terlatih, bukan gerakan preman jalanan biasa. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semua orang tercengang. Wush! Bima dalam satu gerakan cepat yang hampir tidak terlihat mata, membuat pisau belati di tangan pria itu terjatuh ke aspal dengan bunyi dentingan keras. Dalam waktu bersamaan, tangannya yang lain menekan titik saraf di pergelangan si penyerang. KRAK! Suara tulang patah menggema. Pria bertubuh kekar itu meraung kesakitan, tangannya menggantung lemah. "AAARGHH! Tanganku!" "Ketua!!" teriak kedua anak buahnya tadi. "Lepaskan dia." Suara Bima tetap tenang, tapi ada aura mengerikan yang mulai menguar dari tubuhnya. Pria itu menahan sakit, nafasnya tersengal-sengal. Matanya menatap Bima dengan campuran ketakutan dan kemarahan. "Dengar, bocah ... wanita ini bukan orang sembarangan!" desisnya. "Kedua orangtua wanita ini berhutang lima miliar rupiah pada organisasi kami. Mereka sudah melarikan diri dan meninggalkan hutang. Wanita ini adalah bayaran untuk pelunasan hutang mereka!" Wanita muda itu menangis semakin keras. "Bohong!! Tolong ... kumohon ... aku tidak tahu apa-apa tentang hutang orangtuaku..." Rahang Bima mengeras. Darahnya mulai mendidih mendengar penjelasan itu. Aura kekuatan yang tidak biasa mulai menguar dari tubuhnya, membuat udara di sekitar terasa berat dan mencekam. "Aku bilang, lepaskan dia!" Kali ini suaranya menggelegar, mata tajamnya menyala dengan kemarahan yang sulit dipendamnya. Lantai aspal di bawah kakinya mulai terlihat retak halus. Beberapa pria berjas hitam itu mundur selangkah, merasakan hawa dingin yang aneh. "Dasar bocah sombong! Kalian dengar?!" Pria dengan tangan patah itu berteriak kalap. "Panggil semua penjaga! SEKARANG!" Suara peluit bergema. Dalam hitungan detik, pintu rumah hiburan malam itu terbuka lebar. Para penjaga berbadan kekar keluar berbondong-bondong, masing-masing membawa senjata, ada yang tongkat baseball, pisau, bahkan ada yang membawa rantai besi. Satu, lima, sepuluh... lima belas orang kini mengepung Bima dalam formasi lingkaran yang rapi. Mereka bukan preman jalanan biasa, gerakan dan postur mereka menunjukkan latihan militer. "Bocah, kamu sudah terlalu jauh ikut campur!" teriak si pemimpin yang tangannya masih berdarah. "Habisi dia!" Bima menyeringai. Senyuman tipis yang sama sekali tidak menunjukkan ketakutan. Lima belas orang? Dia sering menghadapi kawanan serigala lapar di Pulau Kematian yang jauh lebih ganas dan cerdas. Belum lagi ketika dia harus melawan beruang raksasa atau ular python sepanjang sepuluh meter. Manusia-manusia di depannya bukanlah ancaman. "Kalian yakin ingin melakukan ini?" Bima bertanya sambil meregangkan otot-ototnya dengan santai. "Masih ada waktu untuk mundur." "Dasar bocah sombong! Serang!" Lima belas penjaga itu menyerbu bersamaan dari segala arah. Tongkat baseball dan pisau berkilat di bawah lampu jalanan. Tapi bagi Bima, dunia seolah bergerak dalam slow motion. Langkah pertama - dia melompat tinggi, kakinya menendang wajah dua penjaga sekaligus. Kedua pria itu terlempar dan pingsan sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Langkah kedua - Bima berputar di udara, sikunya menghantam tulang rusuk penjaga ketiga. Bunyi tulang retak terdengar jelas. Langkah ketiga - dia mendarat dengan kaki kanan menghentakkan tanah, gelombang kejut kecil membuat tiga penjaga yang mendekat terjatuh. Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, separuh dari lima belas penjaga sudah tersungkur. "Apa-apaan ini?!" jerit si pemimpin. "Dia bukan manusia biasa!" Delapan penjaga yang masih berdiri mulai ragu. Mereka melihat rekan-rekan mereka yang sudah tidak sadarkan diri dengan luka-luka parah. "Kalian masih mau lanjut?" Bima berdiri tegak di tengah lingkaran, nafasnya bahkan tidak terengah-engah. Yang tersisa mundur perlahan, ketakutan tertulis jelas di wajah mereka. "Sekarang," Bima menoleh ke pria yang tangannya patah, "lepaskan wanita itu." Tanpa banyak kata, si pemimpin memberi isyarat pada dua anak buahnya yang masih memegang wanita muda itu. Mereka langsung melepaskannya dan mundur. Wanita itu berlari ke arah Bima dalam keadaan masih terisak. "Te... terima kasih..." lirihnya. Bima mengangguk pelan. "Kamu tidak apa-apa?" "Ya... aku baik-baik saja. Aku Irene." "Bima." Pemuda itu tersenyum tipis. "Anak muda, aku beritahu... meski kamu telah menyelamatkannya, kamu tidak akan bisa membantunya. Gadis itu, sudah diberi racun. Ia akan mati kalau tidak bertemu Tuan Kevin," ujar pria yang tangannya telah Bima patahkan. "Racun? Kapan kalian memberiku racun?!" Gadis itu terkejut bukan main, matanya membulat sempurna dengan tubuh yang bergetar. Pria dengan tangan patah itu menyeringai, "kamu tidak perlu tahu, yang jelas ini cara kami agar penghutang tidak kabur sesuka hatinya." Bima hanya tersenyum tipis. "Jadi maksud kalian, pria bernama Kevin ini memiliki penawarnya?" "Tentu saja, penawarnya hanya dimiliki oleh Tuan Kevin. Jadi tindakanmu ini hanya sia-sia belaka. Dalam 12 jam dia tidak diberi penawar, maka ia akan mati." Bima menatap wanita itu dalam, "apa kamu percaya padaku?" tanya Bima pada Irene. Gadis itu menatapnya dengan tubuh bergetar dan mengangguk pelan, "aku tidak punya pilihan, tolong selamatkan aku... aku masih ingin hidup." Bima tersenyum, sebelum akhirnya menatap si pemimpin beserta pasukannya. "Baiklah, kalau begitu aku akan merebut penawar racunnya-!" "Tidak perlu bersusah payah, aku sudah melihat aksimu dari lantai atas." Sebuah suara menggema diiringi beberapa langkah kaki di belakangnya. Kevin, 35 tahun. Salah satu perwakilan organisasi Black Panther cabang kota Pandaran. Terlihat tenang dengan langkah yang pasti, bersama beberapa anak buahnya yang mengikuti di belakangnya. "Dan perlu kamu tahu, wanita itu tidak akan bisa sembuh selain menggunakan penawar dariku. Racun itu akan menghancurkan jaringan syarafnya jika tidak segera diobati," sambungnya lagi dengan seringai kejam di wajahnya. "Jadi baiknya kamu serahkan saja dia padaku." "Menarik, kalau begitu mari kita bertaruh." Bima menggendong Irene dalam satu kali hentakkan. Wajah Irene seketika merona karena sentuhan yang tidak biasa. Biasanya ia tidak sesensitif ini, tapi kali ini sedikit sentuhan dari Bima membuat tubuhnya memanas. 'Sialan! Racun apa yang mereka berikan?!' batin Irene, napasnya mulai tersengal dengan panas menjalar di seluruh tubuh. Irene melingkarkan kedua tangannya di leher Bima, mereka menjauh dari Kevin dan anak buahnya. "Bos, apa aku perlu mengejarnya?" tanya Joni, preman yang tadi Bima patahkan tangannya. Kevin menyeringai, "ada yang harus kamu urus lebih dulu ketimbang pemuda itu, saat ini Bos Besar sedang mencari keberadaan dari murid Tabib Badar. Tabib Legenda yang menguasai racun, ada yang melihat perahu berangkat dari pulau kematian." "Kita harus menemukan keberadaan muridnya lebih dulu, sebelum orang lain menemukannya. Lagipula, aku punya rencana sendiri untuk wanita itu."Irene menggoncang tangan Bima, memberi pemuda itu tatapan tajam, agar ia tidak menuruti kehendak Joni dan anak buahnya. Bima tersenyum, menunduk sebentar. "Kamu bisa mengendarai mobil Irene?" Irene tercengang, entah mengapa ia sepertinya bisa membaca isi hati Bima. Jadi Irene mengangguk pelan. "Apa yang kalian bisikkan?" tanya Joni, ia menyipitkan mata curiga sembari memberi beberapa lembar uang kepada Bima. "Tidak perlu tau," sahut Bima, ia mengambil uang dan meraih tangan Irene turun dari bus. Begitu mereka semua keluar, para penumpang bisa bernapas lega. Tak ada yang tidak tahu. geng Black Panther cabang kota Pandaran, semua anak buahnya memiliki ciri khas dengan tato cakar di tubuh. Semua yang pernah melihat keganasan mereka, tak ada yang berani mencari masalah. Bahkan sekedar menatap mata geng tersebut. "Malang sekali mereka," ujar salah satu penhmpang begitu melihat Bima dan Irene sudah di luar bus. "Entah apa yang mereka perbuat hingga dicari oleh geng ga
Mereka bergegas menuju terminal. Dengan uang tersisa, mereka membeli dua tiket bus dan sedikit bekal untuk perjalanan dua hari. Bus jurusan Pandaran-Verox sudah hampir penuh ketika mereka naik. Bima dan Irene mendapat kursi di barisan tengah, dekat jendela. "Akhirnya aku bisa pulang," Irene menghela napas lega sambil bersandar di kursi. Bima hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela. Kota Pandaran mulai gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal menuju jalan raya. Irene perlahan tertidur di sebelah Bima, kelelahan setelah seharian berjualan. Bima tetap terjaga, pikirannya melayang. Kota Verox, salah satu kota terbesar di negara ini. Di sana pasti banyak informasi yang bisa dia gali tentang organisasi kriminal yang membunuh ibunya. Tanpa Irene ketahui, kota Verox memang sejak awal menjadi tujuan Bima. Mengantar wanita itu pulang hanya kebetulan yang menguntungkan. Bus melaju di jalan raya yang sepi. Sudah hampi
Kerumunan orang seketika mengikuti perintahnya. Ada aura lain yang menguar dari tubuh Bima saat ini, aura yang membuat siapa pun merinding. Bima menusuk jarinya, bukan darah segar yang keluar, melainkan darah hitam pekat, namun tidak memiliki amis darah pada umumnya. Bukan! Darah Bima tidak memiliki bau sama sekali. Bima menekan dan hendak meneteskan darahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tahan pria paruh baya itu. "Waktu berjalan, Paman yakin ingin menghalangiku?" Pria paruh baya itu terlihat takut, apa pilihannya tepat mempercayai Bima? Hingga akhirnya mengangguk, dan Bima kembali meneteskan darahnya ke mulut si kakek. Sekitar 3 tetes darah saja. Tubuh kakek itu mulai bergetar. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya yang tadinya pucat mulai berubah kemerahan. "Apa yang telah kamu lakukan?!" anak kakek itu hendak maju lagi, tapi Irene menahannya. "Jangan ganggu dia!" bentak Irene. Entah kenapa, meski Irene sendiri tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan kalau Bima
"Siapa saja, tolong!!" Teriakan itu kembali memecah keramaian pasar sore. Seorang pria paruh baya nampak tergopoh-gopoh sembari menyangga tubuh seorang kakek yang hampir terjatuh. Bima yang baru saja memasukkan uang hasil jualannya ke saku celana, menoleh. Irene yang sudah bersiap untuk pergi juga ikut berhenti. "Bima, kita harus per-" "Tunggu sebentar," potong Bima, matanya tajam menatap kakek yang tersangga itu. Ada yang aneh dengan raut wajah pria tua itu. Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa orang berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. "Tolong! Ayahku tiba-tiba tidak sadarkan diri! Apa ada dokter di sini?!" pria paruh baya itu menatap sekeliling dengan panik. Bodoh sekali ia mengikuti perintah ayahnya untuk pergi berdua saja, ayahnya terlalu keras kepala, mencari murid Tabib Badar di tempat seperti ini, tanpa pengawasan, benar-benar ceroboh. Bahkan mereka meminta supir untuk menjauh tadi. Saat itu Bima melangkah maju. Irene seketika menarik lengan baju
Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima. "Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon. "Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini." Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik. Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun. "Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata. "Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan." "Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan." Beberapa orang lain mulai berkumpu
Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu. "Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu







