Share

Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib
Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib
Penulis: Ummi

Bab 1

Penulis: Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-14 11:20:26

“Jangan bunuh ibuku!”

Di tengah-tengah kobaran api yang melahap hampir seluruh badan kapal pesiar yang tengah berada di tengah laut, seorang bocah lelaki berdiri berhadap-hadapan dengan seorang pria bertopeng misterius.

“Bocah tengik! Kamu pikir orang sepertimu bisa melawanku?!”

Pria bertopeng itu mendengus, menatap Bima dengan senyum penuh olokan. Tangannya kini menjambak rambut wanita yang Bima panggil ibu.

“Bunuh bocah itu!”

Sekelompok orang dengan penampilan yang sama lantas berjalan ke arah Bima yang hanya mematung dengan gemetar.

“Brengsek! Jangan sentuh anakku bajingan!”

Plak!

“Diam! Atau tubuhmu akan dijadikan santapan anak buahku—setelah mereka membunuh anakmu lebih dulu! Hahaha!”

Mendapati ibunya ditampar, Bima tersentak.

“Lepaskan tanganmu dari Ibu—”

“Bima! Lari Nak!”

Teriakan ibunya seketika membuat Bima sadar. Sekali lagi, ia menatap mata ibunya yang penuh permohonan.

I—ibu! Maafkan aku!

“Jangan lari bocah!”

Teriakan orang-orang itu menggema tatkala Bima berlari tak tentu arah.

Sampai akhirnya ia terpojok di ujung dek kapal. Di hadapannya, terbentang laut berwarna hitam di tengahnya gelapnya malam.

“Hai bocah, mau lari ke mana? Tamat riwayatmu!”

Tanpa berpikir Panjang, Bima memanjat pembatas di dek itu dan seketika menceburkan diri.

Ombak membuat tubuhnya tenggelam sedikit demi sedikit.

A—aku anak yang tidak berguna!

Bima bisa merasakan air mulai masuk ke paru-parunya.

Ibu! Ibu! Ibu!

Byur!

Gelombang hitam itu menelannya. Tubuhnya terombang-ambing, dingin menusuk tulang, hingga ia tak lagi tahu apakah dirinya hidup atau mati.

“Bi… ma… lari, Nak…”

Suara ibunya bergema di kepalanya, semakin jauh, semakin samar.

Lalu… Byur!!

Tubuhnya basah kuyup, tapi anehnya terasa hangat, tidak asin.

“Hahhh!”

Bima terlonjak, matanya terbuka lebar. Bukan laut, bukan api, bukan wajah ibunya. Yang ada hanya atap bambu reyot, bau obat-obatan tajam menusuk hidung, dan seorang perempuan renta berdiri dengan ember kosong di tangannya.

“Mau tidur sampai kapan kamu bocah sialan!?”

Seorang Perempuan renta kini berada di hadapan Bima, menatapnya dengan tajam dengan tangannya yang bersiap melempar ember ke arahnya jika Bima tak segera berdiri.

Nenek Badar, ahli beladiri yang menguasai racun. Keberadaannya pernah mengguncang dunia. Ada banyak pengusaha aliran hitam yang ingin merekrutnya. Ada banyak ahli beladiri yang ingin menjadi muridnya. Ketika ia berada di puncak karirnya, ia menghilang bagai ditelan bumi.

“Nek! Bu—bukankah hari ini aku libur Latihan?!”

Nenek Badar mendengus. Ia meletakkan ember itu ke bawah seraya mendekat ke arah Bima.

“Usiamu kini sudah 18 tahun, Bima…”

Bima mengernyit, “Lalu, kenapa Nek? Nenek mau mencarikanku istri?! Hahaha-”

Plak!

Sebuah hantaman mendarat di kepala Bima. "Aduh! Sakit Nek..."

"Itu untuk perkataan bodohmu barusan...”

Bima hendak tertawa, karena memang ia selama ini sering bercanda dengan nenek itu.

Namun, kali ini Nenek Badar tak membalas candaannya.

“Kamu harus lekas pergi dari sini, Bima…”

Bima menatap nenek Badar dengan bingung, “Ne—nenek mengusirku?”

"Aku tidak mengusirmu, tapi bukankah mimpi itu datang lagi? Kamu harus mendapatkan keadilan pada hidupmu.”

Bima tersentak. Bayangan wajah orang tuanya kembali menyeruak di benaknya. Tangannya mengepal, urat-urat menegang, rahangnya terkunci keras.

Pria itu… sosok yang menghabisi ibunya. Dia masih ingat jelas bagaimana tangan berdarah itu merobek hidupnya sambil perlahan membuka topeng hitamnya.

Dan sebelum tubuhnya terhempas ke laut, pandangan Bima sempat terkunci pada wajah itu—penuh bekas luka, dengan sepasang mata hijau yang dingin bagai racun.

Wajah terkutuk yang tak akan pernah bisa dia lupakan.

"Nenek, jika aku pergi bagaimana denganmu? Tubuhmu yang tua itu apa bisa hidup tanpa bantuan-"

Nenek Badar mengangkat tangannya lagi, Bima sangat hapal gerakan itu. Gerakan yang siap memukul dirinya. Jadi ia lari sebelum Nenek Badar berhasil memukulnya.

"Mau kemana kamu bocah?!"

"Tentu saja lari!"

"Awas kamu!! Beraninya mengejekku!" teriak Nenek Badar sembari mengacungkan tongkat di tangannya.

Bima sudah lari menjauh ke arah bibir pantai, pandangannya terlempar jauh menatap lautan yang tak berujung. Jauh di seberang sana, ada pembunuh yang telah menghancurkan keluarganya. Wajah yang tadi sempat tersenyum kini dipenuhi kilat amarah yang membara.

"Sampai ke ujung dunia pun, aku pasti akan menemukan kalian!" gumam Bima dengan tangan terkepal kuat.

~~~~

Tiga hari kemudian, perahu kayu sederhana buatan Bima membelah ombak menuju daratan. Bekal makanan sudah menipis, air tawar tinggal seteguk. Tapi semangat pemuda 18 tahun itu membara, akhirnya dia bisa mencari keadilan untuk kedua orang tuanya.

Pelabuhan Pandaran menyambut dengan hiruk pikuk khas kota besar. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, kendaraan bermotor berlalu-lalang, dan aroma polusi bercampur ikan asin menyeruak ke hidung Bima yang terbiasa dengan udara segar pulau.

"Hei, bocah! Kapal kamu ini mau diparkir di mana?" seorang petugas pelabuhan berperut buncit mendekati Bima yang baru saja menambatkan perahunya.

"Eh... maaf, Paman. Aku baru saja sampai. Terserah saja parkirnya di mana Paman."

"Bayar dulu baru bisa parkir."

Bima mengecek kantong celananya. Kosong. Dompet? Tidak punya. Kartu kredit? Apalagi itu?

"Paman, aku tidak punya uang sekarang. Perahunya aku jual saja!" Bima mengangguk yakin, ia begitu percaya diri kalau perahu buatannya akan dibeli. Tapi-

"Kamu sudah gila, perahumu ini tidak berguna! Bayar sekarang atau perahumu diangkut!" Petugas itu melipat tangan di depan dada.

"Haish! Ya sudah, Paman angkut saja," sahut Bima sembari berlalu pergi dengan acuh. Selama ini dia hidup dari hasil hutan, berburu, dan meramu. Uang adalah konsep asing baginya saat ini.

Kaki telanjang Bima menginjak aspal jalanan Pandaran untuk pertama kali. Bau knalpot membuatnya pusing, suara klakson menyakitkan telinga.

Tapi yang paling membuatnya frustrasi adalah kenyataan bahwa dia tidak punya sepeser pun uang untuk bertahan hidup di kota besar ini.

Kruyuukkk!! Cacing di dalam perut mulai meminta jatah, tanda Bima sudah lapar. Pemuda itu mengelus perutnya dengan sabar.

"Tidak bisa begini, aku harus cari cara untuk mendapatkan uang! Tapi bagaimana caranya?" Bima terduduk lesu di trotoar yang ramai. Menatap langit sore Pandaran yang mulai gelap. Kota besar ini ternyata lebih kejam dari yang dibayangkannya.

"Lepaskan aku!!" Hingga perhatian Bima teralihkan, ketika ia melihat seorang wanita dibawa paksa oleh beberapa laki-laki berjas hitam, masuk ke rumah hiburan malam.

"Tolong-uhm!!" Sesaat wanita itu bertatapan dengan Bima dan memohon pertolongannya.

Diam!! Jangan berontak!! Dia hanya pengemis, kamu pikir dia bisa membantumu?" kekeh salah satu pria yang membawa wanita muda itu. Suaranya menggelegar penuh penghinaan.

Wanita berambut panjang itu masih memberontak, matanya menatap Bima dengan penuh harapan. Ia berharap Bima bisa menolongnya.

"Paman, lepaskan dia." Bima berkata dengan santai, bangkit dari posisi duduknya di trotoar.

Para pria dengan setelan jas hitam itu tertawa meremehkan Bima. Yang paling depan, seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di dagu, melangkah maju.

"Jangan ikut campur, kerjakan saja apa yang menjadi urusanmu, Pengemis!"

"Pengemis? Hei gadis," Bima menunjuk wanita yang ditangkap itu. "Kalau aku menolongmu. Apa kamu akan membayarku?"

"Menolongnya, memangnya kamu mampu bocah? Kamu tidak sadar dengan situasinya sekarang?!" ujar pria itu mengejek, 2 pria berjas hitam segera mengepung Bima.

Tapi Bima tidak peduli, ia kembali bertanya pada gadis itu. "Bagaimana, apa kamu setuju membayarku?"

“Tunggu apalagi! Cepat bantu aku!” ucap gadis tersebut seraya mengangguk keras-keras.

"Bagus! Karena dia setuju. Sekarang, kalian boleh menyerangku bersamaan!" tantang Bima.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Queen_Cha
Setelah sekian lama akhirnya othor muncul jugaa......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 9

    Irene menggoncang tangan Bima, memberi pemuda itu tatapan tajam, agar ia tidak menuruti kehendak Joni dan anak buahnya. Bima tersenyum, menunduk sebentar. "Kamu bisa mengendarai mobil Irene?" Irene tercengang, entah mengapa ia sepertinya bisa membaca isi hati Bima. Jadi Irene mengangguk pelan. "Apa yang kalian bisikkan?" tanya Joni, ia menyipitkan mata curiga sembari memberi beberapa lembar uang kepada Bima. "Tidak perlu tau," sahut Bima, ia mengambil uang dan meraih tangan Irene turun dari bus. Begitu mereka semua keluar, para penumpang bisa bernapas lega. Tak ada yang tidak tahu. geng Black Panther cabang kota Pandaran, semua anak buahnya memiliki ciri khas dengan tato cakar di tubuh. Semua yang pernah melihat keganasan mereka, tak ada yang berani mencari masalah. Bahkan sekedar menatap mata geng tersebut. "Malang sekali mereka," ujar salah satu penhmpang begitu melihat Bima dan Irene sudah di luar bus. "Entah apa yang mereka perbuat hingga dicari oleh geng ga

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 8

    Mereka bergegas menuju terminal. Dengan uang tersisa, mereka membeli dua tiket bus dan sedikit bekal untuk perjalanan dua hari. Bus jurusan Pandaran-Verox sudah hampir penuh ketika mereka naik. Bima dan Irene mendapat kursi di barisan tengah, dekat jendela. "Akhirnya aku bisa pulang," Irene menghela napas lega sambil bersandar di kursi. Bima hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela. Kota Pandaran mulai gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal menuju jalan raya. Irene perlahan tertidur di sebelah Bima, kelelahan setelah seharian berjualan. Bima tetap terjaga, pikirannya melayang. Kota Verox, salah satu kota terbesar di negara ini. Di sana pasti banyak informasi yang bisa dia gali tentang organisasi kriminal yang membunuh ibunya. Tanpa Irene ketahui, kota Verox memang sejak awal menjadi tujuan Bima. Mengantar wanita itu pulang hanya kebetulan yang menguntungkan. Bus melaju di jalan raya yang sepi. Sudah hampi

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 7

    Kerumunan orang seketika mengikuti perintahnya. Ada aura lain yang menguar dari tubuh Bima saat ini, aura yang membuat siapa pun merinding. Bima menusuk jarinya, bukan darah segar yang keluar, melainkan darah hitam pekat, namun tidak memiliki amis darah pada umumnya. Bukan! Darah Bima tidak memiliki bau sama sekali. Bima menekan dan hendak meneteskan darahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tahan pria paruh baya itu. "Waktu berjalan, Paman yakin ingin menghalangiku?" Pria paruh baya itu terlihat takut, apa pilihannya tepat mempercayai Bima? Hingga akhirnya mengangguk, dan Bima kembali meneteskan darahnya ke mulut si kakek. Sekitar 3 tetes darah saja. Tubuh kakek itu mulai bergetar. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya yang tadinya pucat mulai berubah kemerahan. "Apa yang telah kamu lakukan?!" anak kakek itu hendak maju lagi, tapi Irene menahannya. "Jangan ganggu dia!" bentak Irene. Entah kenapa, meski Irene sendiri tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan kalau Bima

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 6

    "Siapa saja, tolong!!" Teriakan itu kembali memecah keramaian pasar sore. Seorang pria paruh baya nampak tergopoh-gopoh sembari menyangga tubuh seorang kakek yang hampir terjatuh. Bima yang baru saja memasukkan uang hasil jualannya ke saku celana, menoleh. Irene yang sudah bersiap untuk pergi juga ikut berhenti. "Bima, kita harus per-" "Tunggu sebentar," potong Bima, matanya tajam menatap kakek yang tersangga itu. Ada yang aneh dengan raut wajah pria tua itu. Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa orang berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. "Tolong! Ayahku tiba-tiba tidak sadarkan diri! Apa ada dokter di sini?!" pria paruh baya itu menatap sekeliling dengan panik. Bodoh sekali ia mengikuti perintah ayahnya untuk pergi berdua saja, ayahnya terlalu keras kepala, mencari murid Tabib Badar di tempat seperti ini, tanpa pengawasan, benar-benar ceroboh. Bahkan mereka meminta supir untuk menjauh tadi. Saat itu Bima melangkah maju. Irene seketika menarik lengan baju

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 5

    Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima. "Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon. "Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini." Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik. Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun. "Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata. "Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan." "Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan." Beberapa orang lain mulai berkumpu

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 4

    Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu. "Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status