Masuk"Tunggu di sini sebentar," ujar Bima, setelah mengatakan itu ia mendongak ke sana kemari. Melompati bangunan dengan begitu mudah hingga akhirnya ia kembali.
"Aku menemukan tempat untuk menawar racunmu." Bima kemudian menggendong Irene dengan begitu mudah, wanita itu kembali melingkarkan tangannya ke leher Bima. Sangat terasa pas ketika tubuh mereka bersentuhan, Irene merasa saat ini pipinya sedang merona karena wajahnya begitu dekat dengan wajah Bima. Bahkan napas hangat Bima yang terasa di pundaknya membuat tubuhnya memanas. 'Ahhhh... apa yang terjadi pada tubuhku?' batin Irene. Jika diperhatikan pemuda ini sangat tampan, garis rahangnya terukir sempurna, hidungnya pas, alisnya tebal, tatapan matanya teduh dan bisa memerangkapmu tanpa disadari. 'Astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan, apa aku benar-benar terkena racun?' batin Irene. Tubuhnya mulai terasa panas, bukan panas seperti biasa, panas yang membuatnya ingin disentuh. Tapi ... Irene mencoba menahannya sekuat tenaga. Hingga, kini mereka sudah sampai di bangunan kosong yang nampaknya ditinggalkan. Bima mendudukkan Irene dengan hati-hati. "Aku pergi sebentar , dan kamu pasti juga lapar. Aku cari makanan serta beberapa selimut untuk tidur, sepertinya akan turun hujan malam ini." Irene mengangguk, "Bima ...." "Ya?" Bima menoleh. "Terima kasih ...." Bima mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya, kemudian segera keluar dari jendela kaca geser yang menjadi pintu mereka. Bima tak tahu, saat ini Irene mulai merasa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Seperti ada gemercik yang berdetak di bagian intinya. Irene meringkuk di sudut bangunan kosong itu, Irene mulai berhalusinasi dinding di sekitarnya mengejek kesendiriannya. Napasnya tersengal, dadanya mulai naik turun dengan cepat dan pikirannya dipenuhi bayangan samar, serta sentuhan lembut dan aroma maskulin yang hangat. "Bima ...," desisnya mencoba menggapai sekitarnya. Tapi Irene menggeleng cepat, seolah menyadarkan dirinya sendiri. 'Ini seperti bukan aku,' gumamnya di dalam hati, Irene menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih. Irene mencoba fokus pada suara di luar, menekan tangannya ke lantai dingin, tapi gejolak itu tak mau reda. "Shhh ...." Tubuh Irene bergetar, keringat tipis membasahi lehernya dan hasrat itu seperti binatang liar, memaksa ia membayangkan pelukan yang tidak seharusnya. Irene kemudian bangkit dan berjalan mondar-mandir, kedua tangannya memeluk diri sendiri seolah berusaha menahan badai itu. "Shhh ...." 'Bertahanlah Irene, ini hanya sedikit perasaan tidak nyaman. Bima akan kembali,' ujarnya lagi di dalam hati, mencoba meyakinkan diri. Tapi semakin lama semakin kuat, jantungnya berdegup kencang, seperti drum perang yang memanggil dan ia pun jatuh berlutut. "Haah ...." Napasnya menjadi erangan pelan, hingga ketika tak lagi menahan kuasa tubuhnya merosot ke lantai. Matanya dalam keadaan setengah terpejam, tubuhnya melengkung karena hasrat yang tidak terkendali. "Tolong ... siapa pun," desisnya dengan erangan pelan. Pintu jendela bergeser pelan dan Bima muncul dengan membawa kantong kain berisi roti, buah, botol air dan selimut tebal yang ia curi dari rumah terdekat. "Irene, aku kembali. Lihat apa yang aku dapatkan-," kata-katanya terhenti saat Irene langsung melompat ke arahnya. Memeluk pinggang Bima dengan erat dan tubuhnya menempel seperti magnet. "Bima! Tolong ... aku tak tahan lagi," desis Irene, suaranya bergetar, tangannya mencengkram baju Bima seolah takut dilepas. "Racun ini ... panasnya membakarku, aku butuh bantuanmu. Tolong! Selamatkan aku." Bima membeku sejenak, merasakan getaran tubuh Irene yang panas menjalar ke dirinya. Ia meletakkan barangnya dengan hati-hati, tangan yang lain memegang bahu Irene dengan lembut. "Irene, tenang. Aku ada di sini. Aku tahu cara mengobati racun perangsang ini tanpa ... menodai kamu. Aku mahir soal racun, percayalah." Irene menggeleng, airmata mengalir di pipinya, tubuhnya dengan lembut menggesek pelan dada Bima. "Shh... Racun perangsang? Aku merasa seperti akan meledak! Bima ... lakukan apa saja, asal berhenti!" Bima menghela napas dalam, matanya teduh tapi fokus. Ia membawa Irene dan membentangkan kain untuknya. "Aku pasti akan mengobatimu. Sekarang duduklah dan pegang tanganku, Irene." Mereka duduk berhadapan, saling memegang tangan dengan jemari yang saling terkait, dan sensasi hangat langsung mengalir. "Ah ... Bima, itu ... terasa aneh," gumam Irene, matanya memejam saat energi Mana Bima mulai berdenyut di bawah kulitnya. Seperti arus listrik lembut yang menyusup ke pori-porinya. Tubuh Irene merespon, pinggulnya bergoyang pelan tanpa ia sadari, napasnya semakin cepat. "Lebih dalam ... tolong, jangan berhenti!" pintanya. Bima menutup matanya, berkonsentrasi penuh, telapak tangannya kemudian menekan perut Irene dengan pelan, mengirimkan gelombang energi Mana yang berputar melawan racun di dalam tubuh Irene. "Fokus padaku, Irene. Tarik napas yang dalam ... hembuskan perlahan. Racun ini seperti kabut hitam di nadi meridianmu, aku bersihkan sekarang." Tubuh mereka semakin dekat, Irene tak bisa menahan gairahnya lagi, tubuhnya pun condong maju, keningnya menempel di bahu Bima, erangan pelan kembali lolos dari bibirnya. "Bima ... rasanya hangat sekali, aku tak kuat, rasanya seperti api yang kamu redam, tapi ... oh, itu membuatku ingin lebih!" "Sshhh, tahan sedikit lagi," bisik Bima. Tapi Irene nampak tak peduli, ia mencengkram kerah baju Bima, menarik pemuda itu mendekat dan menciumnya. "Uhmp! Bima ...," desisnya. "Uhmm! Irene, ja-ngan." Bima tersentak, gadis didepannya terlihat liar, menggoda dan menggairahkan. Seolah meminta untuk dilahap olehnya. Glek! Bima menelan ludah, seumur hidupnya ia tak pernah berinteraksi dengan wanita seperti ini. Tapi jelas ia hanya seorang lelaki, sesuatu yang keras menonjol di bawah sama. Membuat Bima tak punya pilihan selain menuruti kehendak Irene. Terlebih pria mana yang akan menolak wanita seperti Irene, ia memiliki wajah yang cantik, tubuhnya berisi di tempat yang pas, atas-bawah, terlihat amat menggoda. Bahkan tanpa sadar Bima meremas bagian paling sensitifnya, membuat Irene semakin terbakar gairah. "Bima... sentuh aku lebih jauh." Irene merona, wajah meronanya terlihat lebih cantik saat ini, wanita itu kembali mendekat, menciumnya lebih dalam. Tangannya menjelajah, memimpin permainan. Di saat itulah Bima kembali menyerap racun yang ada di tubuh Irene dari bibirnya. "Ah... Bima!" ~~~~ Irene terbangun dari tidurnya pagi itu, begitu bangun ia melihat sosok tampan yang tidur begitu pulas, tanpa pakaian, dadanya terlihat berotot dengan beberapa luka di sana. Tanpa sadar telunjuk Irene menelusuri garis rahang wajah Bima. "Irene, tidak baik menyentuh di saat aku sedang tidur." Irene tersentak ketika Bima membuka matanya, memergokinya menyentuh seperti itu. Membuat harga dirinya terinjak, belum pernah ia seperti ini pada pemuda lain. "A-aku bukan menyentuhmu, aku ingin membangunkanmu!" elak Irene dan bangun secara tiba-tiba, tapi tubuhnya terasa sakit. "Akh!!" pekiknya. Bima tertawa polos seperti mengejek, "Apa tubuhmu terasa sakit? Ini karena kamu begitu liar tadi ma-!" Plak!! Irene tanpa sadar menampar Bima, pemuda itu terlihat terkejut. "Jangan katakan hal menjijikkan itu!! Aku akan membayarmu! Ini hanya hubungan satu malam, jangan berharap lebih!" Bima tersenyum kecut, memangnya apa yang bisa ia harapkan dari wanita ini. Sudah ditolong malah berkata kasar. "Baiklah, kalau begitu aku harap kamu membayarku mahal."Irene menggoncang tangan Bima, memberi pemuda itu tatapan tajam, agar ia tidak menuruti kehendak Joni dan anak buahnya. Bima tersenyum, menunduk sebentar. "Kamu bisa mengendarai mobil Irene?" Irene tercengang, entah mengapa ia sepertinya bisa membaca isi hati Bima. Jadi Irene mengangguk pelan. "Apa yang kalian bisikkan?" tanya Joni, ia menyipitkan mata curiga sembari memberi beberapa lembar uang kepada Bima. "Tidak perlu tau," sahut Bima, ia mengambil uang dan meraih tangan Irene turun dari bus. Begitu mereka semua keluar, para penumpang bisa bernapas lega. Tak ada yang tidak tahu. geng Black Panther cabang kota Pandaran, semua anak buahnya memiliki ciri khas dengan tato cakar di tubuh. Semua yang pernah melihat keganasan mereka, tak ada yang berani mencari masalah. Bahkan sekedar menatap mata geng tersebut. "Malang sekali mereka," ujar salah satu penhmpang begitu melihat Bima dan Irene sudah di luar bus. "Entah apa yang mereka perbuat hingga dicari oleh geng ga
Mereka bergegas menuju terminal. Dengan uang tersisa, mereka membeli dua tiket bus dan sedikit bekal untuk perjalanan dua hari. Bus jurusan Pandaran-Verox sudah hampir penuh ketika mereka naik. Bima dan Irene mendapat kursi di barisan tengah, dekat jendela. "Akhirnya aku bisa pulang," Irene menghela napas lega sambil bersandar di kursi. Bima hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela. Kota Pandaran mulai gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal menuju jalan raya. Irene perlahan tertidur di sebelah Bima, kelelahan setelah seharian berjualan. Bima tetap terjaga, pikirannya melayang. Kota Verox, salah satu kota terbesar di negara ini. Di sana pasti banyak informasi yang bisa dia gali tentang organisasi kriminal yang membunuh ibunya. Tanpa Irene ketahui, kota Verox memang sejak awal menjadi tujuan Bima. Mengantar wanita itu pulang hanya kebetulan yang menguntungkan. Bus melaju di jalan raya yang sepi. Sudah hampi
Kerumunan orang seketika mengikuti perintahnya. Ada aura lain yang menguar dari tubuh Bima saat ini, aura yang membuat siapa pun merinding. Bima menusuk jarinya, bukan darah segar yang keluar, melainkan darah hitam pekat, namun tidak memiliki amis darah pada umumnya. Bukan! Darah Bima tidak memiliki bau sama sekali. Bima menekan dan hendak meneteskan darahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tahan pria paruh baya itu. "Waktu berjalan, Paman yakin ingin menghalangiku?" Pria paruh baya itu terlihat takut, apa pilihannya tepat mempercayai Bima? Hingga akhirnya mengangguk, dan Bima kembali meneteskan darahnya ke mulut si kakek. Sekitar 3 tetes darah saja. Tubuh kakek itu mulai bergetar. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya yang tadinya pucat mulai berubah kemerahan. "Apa yang telah kamu lakukan?!" anak kakek itu hendak maju lagi, tapi Irene menahannya. "Jangan ganggu dia!" bentak Irene. Entah kenapa, meski Irene sendiri tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan kalau Bima
"Siapa saja, tolong!!" Teriakan itu kembali memecah keramaian pasar sore. Seorang pria paruh baya nampak tergopoh-gopoh sembari menyangga tubuh seorang kakek yang hampir terjatuh. Bima yang baru saja memasukkan uang hasil jualannya ke saku celana, menoleh. Irene yang sudah bersiap untuk pergi juga ikut berhenti. "Bima, kita harus per-" "Tunggu sebentar," potong Bima, matanya tajam menatap kakek yang tersangga itu. Ada yang aneh dengan raut wajah pria tua itu. Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa orang berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. "Tolong! Ayahku tiba-tiba tidak sadarkan diri! Apa ada dokter di sini?!" pria paruh baya itu menatap sekeliling dengan panik. Bodoh sekali ia mengikuti perintah ayahnya untuk pergi berdua saja, ayahnya terlalu keras kepala, mencari murid Tabib Badar di tempat seperti ini, tanpa pengawasan, benar-benar ceroboh. Bahkan mereka meminta supir untuk menjauh tadi. Saat itu Bima melangkah maju. Irene seketika menarik lengan baju
Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima. "Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon. "Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini." Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik. Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun. "Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata. "Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan." "Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan." Beberapa orang lain mulai berkumpu
Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu. "Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu







