Di mata Morgan, apa yang dikatakan si suster sangat tak masuk akal.
Tak jadi dipindahkan? Bagaimana bisa? Bukankah tawaran untuk memindahkan istrinya ke ruang rawat inap VVVIP datang dari direktur rumah sakit sendiri?
Dan apa maksudnya pula istrinya itu dibawa pulang? Siapa pun yang melihat Agnes akan tahu kalau wanita itu kondisinya masih sangat lemah.
“Apa maksudnya ini? Jelaskan padaku!” pinta Morgan.
Si suster pun mulai menuturkan apa yang diketahuinya.
Jadi, alasan kenapa Keluarga Wistara memaksa membawa Agnes pulan adalah karena mereka tak mau mengeluarkan biaya lebih untuk pengobatan dan perawatan Agnes.
Karena Agnes sudah siuman, mereka berpikir bisa melanjutkan pengobatan di rumah saja.
Dan rupanya ide ini datang dari Herman. Tadi si suster sempat melihat Herman menemui keluarga pasien dan bicara panjang lebar dengan mereka.
“Dokter Herman meyakinkan keluarga pasien bahwa dia akan lanjut mengobati dan merawat pasien meski pasien telah berada di rumah. Keluarga pasien menyambut niat Dokter Herman ini sebab mereka begitu percaya padanya,” ujar si suster.
Herman tampaknya ingin menyelamatkan muka di hadapan Keluarga Wistara yang sudah menjadi kliennya selama belasan tahun.
Jika dia tak lagi diizinkan untuk menangani Agnes di rumah sakit, dia bisa melakukannya di kediaman Keluarga Wistara.
Harus diakui, itu langkah yang cerdik. Tetapi langkah yang diambil Herman ini membuat Mogan semakin buruk menilainya.
“Bagaimana dengan Direktur? Dia biarkan istriku dibawa pulang? Bukankah aku sudah menitipkan istriku padanya?” tanya Morgan.
“Soal itu… Anda mungkin sebaiknya tanyakan kepada orangnya langsung saja. Tapi dari yang saya dengar, beliau sepertinya mendapat desakan dari Dewan Komisaris rumah sakit,” jawab si suster.
“Desakan apa?”
“Desakan untuk membiarkan keluarga pasien membawa pasien pulang. Dan terkait hal ini…”
“Kenapa? Ada apa lagi?”
“Ada yang menduga kalau Dokter Herman menghubungi salah satu komisaris. Entah apa yang dikatakannya, tapi setelah itu Dewan Komisaris seperti menyudutkan Direktur.”
Benar yang dikatakan si suster. Dengan kariernya yang malang melintang dan prestasinya yang yahud sebagai dokter, Herman diberi semacam akses istimewa ke Dewan Komisaris Rumah Sakit P.
Dan mudah ditebak, suaranya cenderung akan didengarkan oleh Dewan Komisaris, paling tidak satu saja di antaranya.
Herman memanfaatkan celah ini untuk mengamankan posisinya, sekaligus melemahkan kewenangan Vivi.
Morgan semakin muak kepada Herman. Ketika waktunya tiba, dia akan memberi dokter congkak itu pelajaran.
Setelah si suster menjelaskan semua hal yang perlu diketahui Morgan, Morgan berterima kasih padanya lalu pergi.
Sempat terpikir olehnya untuk menemui Direktur Rumah Sakit P di ruangannya, meminta penjelasan yang lebih mendetail. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, dia bisa melakukannya nanti.
Morgan pun turun dengan lift. Ketika pintu lift terbuka dan dia hendak keluar, dia melihat Herman.
Sorot mata Herman langsung berubah jadi penuh amarah.
“Tuan Martin, ini dia si kriminal yang saya maksud. Anda bisa lihat sendiri, penampilannya saja seperti preman! Bu Direktur jelas melakukan kesalahan ketika dia memperlakukan orang ini seolah-olah dia sosok yang perlu dihormati!” kata Herman.
Martin, seorang pria berambut putih yang berdiri tepat di samping Herman, adalah anggota Dewan Komisaris Rumah Sakit P. Dialah yang tadi dihubungi Herman.
Karena satu dan lain hal, Herman punya hubungan baik dengan Martin. Sedangkan di Dewan Komisaris sendiri, Martin merupakan salah satu anggota yang punya pengaruh besar dan dominan.
Kini Martin menatap Morgan dengan tatapan meremehkan. Dia memindai Morgan dari atas ke bawah seperti memindai barang rongsokan.
“Aku tak tahu apa yang kau rencanakan, Anak Muda, tapi kalau kau berpikir kau bisa berbuat seenak jidatmu di rumah sakit ini, kau keliru.”
“Sebagai salah satu Rumah Sakit P terbaik di kota ini, kami menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi pengunjung, dan aku akan menjaganya tetap seperti itu.”
Begitu Martin berkata. Morgan sudah keluar dari lift, tapi dia malas meladeni mereka.
Memang, dia sudah bertekad untuk memberi Herman pelajaran, tetapi momennya belum tiba.
Saat ini yang menjadi fokusnya adalah meluncur ke kediaman Keluarga Wistara untuk mengambil Agnes.
Maka, alih-alih menanggapi peringatan Martin, Morgan hanya melengos dan pergi meninggalkan mereka begitu saja.
Tingkahnya ini jelas membuat Herman dan Martin jengah.
“Kurang ajar! Tak tahu etika sekali kau, Anak Muda!” bentak Martin, membuat orang-orang di lobi menoleh ke arahnya.
“Anda lihat sendiri tingkah dia, Tuan Martin. Bajingan tengik ini merasa dirinya hebat. Dia bahkan berani mengabaikan pria terhormat seperti Anda!” Herman memanas-manasi.
“Apa yang barusan dilakukannya semakin menunjukkan kalau dia memang kriminal. Dan meskipun dia telah bebas, bagiku tetap saja dia kriminal. Bahkan aku berani bertaruh, tak lama lagi dia akan kembali mendekam di penjara karena melakukan pencurian atau tindakan kriminal lainnya,” sambungnya.
Morgan sebenarnya benar-benar tak ingin meladeni kedua orang itu, tetapi apa yang baru saja diucapkan Herman membuatnya jengah juga.
Berhenti melangkah, dia kemudian menoleh dan memutar tubuhnya 45 derajat.
Dia lesakkan sebuah tatapan dingin ke arah Herman.
Herman mundur selangkah. Tiba-tiba saja, dia merasa suhu ruangan lebih dingin beberapa derajat.
“Lain kali ketika kita bertemu, itu akan menjadi hari terakhirmu sebagai dokter,” ucap Morgan, dingin.
Wajah Herman mendadak pucat. Morgan mendecih lantas melanjutkan langkahnya.
Martin sempat kembali berteriak-teriak mengancamnya, tetapi dia tak peduli.
…
Sementara itu di kediaman Keluarga Wistara, malam harinya…
Rombongan yang membawa pulang Agnes telah tiba sekitar beberapa jam yang lalu.
Kini, anggota-anggota keluarga inti sedang berkumpul di ruang makan, menyantap hidangan makan malam sambil membahas kemunculan Morgan yang mengejutkan mereka.
“Saat ini dia terlihat jauh berbeda. Seakan-akan, ketika dia keluar dari penjara, di saat itu juga dia terlahir kembali. Tapi yang namanya sampah ya tetap sampah. Dan untunglah aku sudah menyingkirkannya,” kata Joseph.
“Menyingkirkannya? Maksudmu kau membunuhnya?” tanya Henry, ayahnya Joseph, pemimpin Keluarga Wistara saat ini.
“Tenang saja, Pa. Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku agar si sampah itu terkesan dikeroyok preman. Kita aman. Tak akan ada yang bisa mengendus keterlibatan Keluarga Wistara,” tanggap Joseph.
Henry mengangguk-angguk. “Bagus kalau begitu,” ujarnya.
Joseph lalu menatap Robert dan kakaknya itu mengangkat sebelah alisnya.
Dua bersaudara ini kemudian saling melempar senyum miring. Mereka memang telah terbiasa melakukan hal jahat seperti ini.
“Lantas, apa yang akan kita lakukan dengan Agnes? Dia memang sudah siuman, tapi kulit wajahnya hancur begitu. Tak mungkin lagi ada orang kaya yang mau menikah dengannya,” cetus Riana, istrinya Robert.
“Ya, itu juga yang ingin kutanyakan. Dengan kondisinya yang seperti itu, bagaimana dia bisa berguna untuk kita? Bukankah kita masih butuh kucuran dana untuk menyelamatkan perusahaan keluarga? Apakah benar Arman masih mau menikahinya dengan kondisinya yang menyedihkan itu?” sahut Livia, istrinya Joseph.
Sedari dulu, mereka berdua ini memang membenci Agnes.
Bukan hanya karena Agnes memiliki kecantikan yang levelnya jauh di atas mereka, tapi juga karena semasa Bobby Wistara hidup Agnes benar-benar diperlakukan kakek tua itu sebagai cucu kesayangannya.
Riana dan Livia, sementara itu, kerap dijudesi oleh Bobby Wistara karena pemikiran mereka yang materialistis.
“Soal itu kita pikirkan nanti. Yang jelas, kita harus mendapatkan investor secepat mungkin. Dan dengan kondisinya yang sekarang, Agnes memang tak berguna. Kita tak bisa berharap apa pun padanya. Kalianlah, sebagai gantinya, yang harus melakukan apa pun untuk mendapatkan uang itu,” kata Henry.
Meskipun Agnes adalah anaknya, Henry tak pernah benar-benar menyayanginya.
Salah satu alasannya adalah karena Agnes wanita, dan di matanya wanita adalah spesies yang secara kapasitas berada di bawah pria.
Henry lebih menyukai anak-anak lelakinya yang dinilainya memiliki kecakapan untuk melanjutkan bisnis keluarga, ketimbang Agnes yang lebih dikenal oleh orang-orang karena kecantikannya.
Dan ketika insiden penculikan dan penyekapan itu membuat kecantikan Agnes sirna, jujur saja, kini Henry sebenarnya tak tahu hal apalagi yang bisa dia andalkan dari anak bungsunya itu.
Kecuali… jika rumor itu benar bahwa Arman masih berniat menikahi Agnes… mungkin Keluarga Wistara masih akan mendapatkan kucuran dana segar itu.
Meskipun begitu, melihat kondisi Agnes yang memprihatinkan, besar kemungkinan kucuran dana tersebut jumlahnya jauh di bawah yang mereka harapkan.
Sungguh menyebalkan, tapi apa memangnya gunanya seorang wanita yang wajahnya dipenuhi luka bakar?
Begitu Henry berpikir.
“Jadi, apakah di antara kalian semua ada yang punya ide segar? Katakan padaku, apa yang bisa kita coba lakukan untuk mendapatkan investor dalam waktu seminggu?”
Ditanya seperti itu oleh Henry, kedua anak lelakinya dan istri-istri mereka langsung menundukkan pandangan. Tak satu pun dari mereka bersuara.
Tadinya, Robert dan Joseph percaya diri kalau Arman, sebagai anak tunggal salah satu konglomerat terkaya di negeri ini, akan kembali menggelontorkan uang yang besar untuk perusahaan Keluarga Wistara.
Meskipun jumlahnya mungkin tak sesuai dengan ekspektasi mereka, paling tidak mereka bisa menggunakannya untuk membayar utang Wistara Group sekian persennya.
Sialnya, tadi Morgan menampar Arman dua kali. Robert dan Joseph pun khawatir kalau Arman akan batal mengucurkan dana.
Joseph telah mencoba menghubungi Arman beberapa kali, tetapi Arman belum juga merespons.
Kini, mereka kebingungan. Sekilas mereka saling pandang, lantas kembali menyantap hidangan makan siang masing-masing.
“Tak ada yang punya ide? Apakah kalian setakberguna ini?!” hardik Henry, membuat keempat orang itu berhenti mengunyah.
Tak satu pun dari mereka berani menatap Henry.
Di titik inilah, terdengar langkah-langkah kaki.
Henry menoleh, mendapati salah satu pelayan pribadi Keluarga Wistara menghampirinya.
“Mohon maaf mengganggu makan malam Anda, Tuan Besar, tapi di luar ada seseorang yang memaksa untuk bertemu dengan Anda. Para satpam sudah mencoba mengusirnya, tetapi dia berhasil menerobos masuk,” kata si pelayan.
Henry mengernyitkan kening. “Sialan! Berani-beraninya dia mengacau di rumahku! Siapa dia?” tanyanya.
“Dia bilang namanya Morgan, Tuan Besar,” jawab si pelayan.
Dalam sekejap, rahang Henry mengeras. Dia lalu menatap kedua anak lelakinya dengan sorot mata seorang raja yang marah.
“Kalian berdua, ikut aku keluar!”
…
Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan. “Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry. Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini. “Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—” “Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph. Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah. Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu. Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan. … Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga. Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan. Mereka adalah par
“Bagaimana? Kalian lihat sendiri, kan? Tas ini isinya benar-benar uang,” sindir Morgan. Ketiga pria di hadapannya itu tak sanggup bicara. Untuk beberapa saat, kata-kata seperti tercerabut dari lidah mereka. Tapi kemudian Robert dan Joseph angkat bicara. “Itu pasti uang mainan, kan?” “Ah ya, pasti uang mainan. Atau uang palsu. Tak mungkin si miskin ini punya uang 50 miliar!” Morgan berdecih. Dia lalu meraup segepok uang dari tas jinjingnya itu, berdiri, lantas menyodorkannya ke Henry. “Sepertinya kaulah satu-satunya orang waras di hadapanku saat ini, Ayah Mertua. Bagaimana kalau kau periksa keaslian uang ini?” ujarnya. Henry menatap Morgan dengan dingin. Dia lalu menerima segepok uang tersebut. Dan saat mengeceknya, dia terbelalak. “Ini…. dolar…?” Ya, lembaran-lembaran itu memang dalam dolar. Morgan sengaja meminta itu ke pihak bank supaya semua lembarannya bisa masuk ke tas jinjing yang dibawanya itu. “Apa, Pa? Dolar? Dolar palsu maksudnya?” celetuk Joseph. “Diam kau, Josep
Tommy, Walikota Kota HK, sedang menonton acara lawak favoritnya ketika tadi Henry meneleponnya. Dia yang semula tertawa-tawa, langsung menunjukkan muka jengah. Henry adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam naiknya karier politik Tommy. Bahwa dia bisa menjadi Walikota Kota HK seperti sekarang, sebagian besar karena dukungan gencar dari Henry pada saat pilkada tiga tahun lalu. Dan dia tahu, jika tiba-tiba teman lamanya itu menghubunginya, itu artinya dia punya permintaan. Dan siapa yang menduga, permintaannya itu ternyata begitu rumit. “Sialan kau, Henry! Berani-beraninya kau menempatkanku dalam posisi ini!” gerutunya. Dilemparkannya bungkus rokok di tangannya ke dinding. Batang-batang rokok itu berceceran di lantai. Awalnya, Tommy tak mengendus masalah apa pun. Henry hanya memintanya untuk meringkus seorang pria yang membawa anak bungsunya. Namun, masalah itu baru terendus setelah asistennya Tommy yang juga seorang peretas ulung melakukan penelusuran terhadap pri
Morgan balas menatap pria itu dengan garang. Mobil ini adalah hadiah dari Jenderal Yudha atas prestasinya selama di militer, dan baru saja pria itu merusaknya. Dia harus merasakan akibatnya! Morgan pun membuka pintu mobil dan mendorongnya kuat-kuat. Gedebuk! “Argh!” Pintu itu menghantam si pria yang membawa pemukul bisbol, membuatnya tersungkur. “Kau tunggu di sini saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil. Oke?” Morgan mengatakannya sambil menatap Agnes dengan cemas. Istrinya itu mengangguk. Morgan lantas mematikan mesin mobil, mencabut kunci, keluar dan langsung menguncinya. “Bajingan kau! Rasakan ini!” Si pria yang tadi tersungkur itu telah kembali berdiri dan kini mengayunkan pemukul bisbolnya ke arah Morgan, menyasar kepalanya. Morgan menangkis pemukul bisbol itu dengan mudahnya, membuatnya terpelanting jauh. Si pria yang mencari gara-gara dengannya itu tampak terkejut, tak mengira Morgan sekuat itu. Dan sebelum sempat dia melakukan apa-apa, Morgan men
Morgan mengecek suhu tubuh dan denyut nadi Agnes. “Agnes, kau demam!” ucapnya. Mendapati Agnes tak juga berhenti menggigil dan menggigiti jari-jemarinya, Morgan memutuskan untuk membawa istrinya itu pulang. Makan malam dibatalkan. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah membuat istrinya itu kembali merasa nyaman. … Sekitar satu jam kemudian, di kamar yang ditempati Agnes beberapa hari terakhir… Sekarang Agnes sudah tenang, sedang terbaring memejamkan mata dengan kain kompres menempel di keningnya. Tadi setibanya mereka di rumah tersebut, Morgan sampai harus mengalirkan energi murninya ke tubuh Agnes. Rupanya, apa yang dilihatnya di jalan tadi itu membangkitkan traumanya. Seerhananya begini: gara-gara insiden penculikan dan penyekapan yang pernah dialaminya itu, otaknya merekam segala bentuk kekerasan fisik sebagai bahaya. Meskipun kekerasan fisik itu dialami oleh orang lain, tetap saja otaknya mengira kalau bahaya itu mengancamnya. Tubuhnya bereaksi secara spontan. Agnes bahka
Morgan sungguh tak mengerti apa yang terjadi pada Agnes. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang coba dia lakukan, tampaknya salah di mata istrinya itu. Dia pun terpaksa membiarkan istrinya itu sendirian, meski sesungguhnya dia cemas. ‘Kenapa tiba-tiba jadi begini? Memangnya apa yang salah?’ pikirnya, gelisah. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, perasaannya sungguh tak enak. Setelah si content creator mantan tentara yang direkomendasikan Yudha itu datang untuk bekerja, Moran menitipkan Agnes padanya. Dia sendiri menuju ke kantor pusat Charta Group, sesuai saran Yudha. Meski datang untuk urusan bisnis penting, Morgan hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong. Itu memang setelan pakaian favoritnya. Dia tak nyaman jika harus mengenakan setelan kantoran yang kaku. Namun tentu, penampilannya ini membuat orang-orang yang melihatnya menyepelekannya. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya seorang wanita di meja resepsionis. "Aku ingin bertemu dengan Felisia. Di lantai ber
“Bu Felisia… pria ini…” Jika Felisia saja sampai membungkuk hormat di hadapan Morgan, maka sangat mungkin Morgan sebenarnya bukan orang biasa. Menyadar hal itu, Alex langsung merasa dirinya dalam bahaya. Felisia menegakkan punggungnya, menatap Alex dan si resepsionis. “Kalian berdua, beri salam kepada Tuan Morgan. Beliau adalah pemilik Charta Group yang baru,” katanya. “Apa?!” kata kedua orang itu, serentak. Morgan menatap mereka bergantian, mendapati ketakutan di mata kedua orang itu. Lalu tiba-tiba Alex mendekat ke arahnya dan bersujud tepat di depan kakinya. “Tolong maafkan kebodohan saya, Tuan Morgan! Saya sudah melakukan sesuatu yang tak semestinya kepada Anda! Tolong biarkan saya tetap bekerja di sini!” katanya. Alex tentu teringat kata-kata Morgan tadi, bahwa ini adalah hari terakhirnya di Charta Group. Dan dia kini cemas. Bagaimana jika itu sampai terjadi? Dia telanjur menjanjikan kepada pacarnya untuk membelikan wanita itu tiga unit sport car yang total harganya 10
Morgan segera menjauh dari jendela. Dia membawa Felisia bersamanya. “Aku akan mengeluarkan peluru yang bersarang di bahumu. Bertahanlah,” katanya. Dia lalu mengaktifkan energi murninya dan memusatkannya di tangannya. Dengan fokus tinggi, dia membedah luka tembak itu dan memasukkan dua jarinya ke sana. Felisia berteriak kesakitan, tapi hanya sebentar saja. Tak sampai lima detik, Morgan sudah berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Yang dilakukan Morgan kemudian adalah menghentikan pendarahan dan menutupi luka. Dia pun melakukannya dengan cepat. Kali ini Felisia hanya sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” tanya Morgan, setelah selesai menutupi luka tembaknya Felisia. Felisia mengangguk. Matanya memancarkan ketakjuban. Bagaimana tidak? Morgan baru saja melakukan sesuatu yang menurutnya mustahil. Bahkan dokter bedah berpengalaman lulusan luar negeri pun belum tentu bisa melakukannya secepat itu, seefisien itu. “Kau bisa berjalan? Kita sebaiknya keluar dari ruangan ini,” kata M