Share

Uang Tunai 50 Miliar

Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan.

“Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry.

Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini.

“Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—”

“Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph.

Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah.

Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu.

Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan.

Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga.

Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan.

Mereka adalah para pengawal tambahan yang ditugaskan untuk melindungi kawasan ini, menjadi pelapis para satpam yang berjaga di gerbang depan.

Di sampingnya, sebuah tas jinjing besar berwarna hitam yang menggelembung.

Saat pintu rumah terbuka dan tiga orang pria muncul, Morgan mengarahkan pandangannya ke sana. Dilihatnya ketiga orang itu tercengang.

“Apa-apaan ini?! Kau… berani-beraninya kau mengacau di rumahku, Bajingan!” hardik Henry.

Setelah bertahun-tahun, Morgan kembali berhadapan dengan ayah mertuanya yang arogan ini.

Tapi jika dulu dia hanya akan menunduk dan diam saja dihardik seperti itu, kali ini tidak.

“Di mana Agnes? Aku datang untuk membawanya. Kita telah sepakat, kan, Joseph?” ujar Morgan.

Henry mengerutkan kening dan menatap Joseph.

Joseph memang tak mengatakan apa pun soal kesepakatannya dengan Morgan di rumah sakit tadi, sebab baginya kesepakatan konyol itu hanya omong-kosong.

Lagi pula, si pengambil keputusan di Keluarga Wistara bukanlah dia, melainkan Henry.

“Aku tak tahu omong-kosong apa yang kau maksud. Aku tak ingat pernah bersepakat dengan sampah sepertimu,” ucap Henry kemudian, menatap Morgan kembali.

“Yang kulihat sekarang, kau menghajar orang-orangku, di rumahku. Ini pelanggaran privasi! Jangan harap kau bisa pergi begitu saja!” sambungnya.

Morgan memicingkan mata. Dia sudah bisa menebak kalau jadinya akan seperti ini.

Dia pun menatap Joseph dengan dingin. Kakak iparnya itu langsung tercekat, seolah-olah dia melihat hantu.

“Baiklah. Seharusnya aku tahu kalau satu-satunya orang yang bisa dipegang omongannya di keluarga ini adalah kau, Ayah Mertua,” ucap Morgan, sinis.

“Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan? Aku akan memberikan kepada kalian apa yang sedang kalian butuhkan. Sebagai gantinya, biarkan aku membawa Agnes. Aku akan mengobatinya dan merawatnya,” sambungnya.

Mendengar itu, Henry langsung tertawa terbahak-bahak.

“Kau tahu apa yang saat ini kami butuhkan, hah? Suntikan dana untuk perusahaan. Dan kau tahu besarannya berapa? 50 miliar! Memangnya kau pikir kau punya uang sebanyak itu? Orang miskin sepertimu… bahkan 5 juta saja saat ini belum tentu kau punya!” cecarnya.

Menanggapinya, Morgan hanya tersenyum kecut.

Dia tahu saat ini Keluarga Wistara sedang membutuhkan 50 miliar. Kris telah memberitahunya hal ini dalam perjalanan ke Rumah Sakit P.

Dan dia telah menyiapkan uang itu.

“Cuma 50 miliar? Oke, akan kuberi kalian 50 miliar. Tapi kalian harus berjanji, di detik kalian mendapatkan uang itu, di detik itu pula aku bisa membawa Agnes. Oke?”

Kali ini apa yang dikatakan Morgan membuat Henry terdiam. Dia mendelik. Menurutnya Morgan hanya membual dan lama-lama dia muak juga dengan bualan menantunya ini.

“Berhenti bermain-main denganku, Morgan! Kau mungkin bisa menghajar para pengawalku, tapi jangan lupa, setelah apa yang kau lakukan ini aku bisa kembali menjebloskanmu ke penjara. Jangan remehkan pengaruh Keluarga Wistara di kota ini!” ancam Henry.

“Betul kata Papa. Kalau kau pikir kau begitu hebat karena bisa melumpuhkan orang-orang ini, kau salah. Dunia ini tak semudah yang kau bayangkan, Morgan. Dan kau harus ingat, kau ini hanya mantan narapidana. Jangankan punya uang 50 miliar, kau bisa mendapatkan pekerjaan setelah ini saja itu sudah keajaiban. Sadari posisimu, Sialan!” timpal Robert.

Morgan terkekeh. Dua orang ini, mereka bertingkah seolah-olah mereka tahu betul Morgan saat ini seperti apa.

“Katakanlah aku bisa memberi kalian uang 50 miliar yang kalian butuhkan itu. Bagaimana dengan tawaranku tadi? Kalian berjanji akan membiarkanku membawa Agnes?” tanya Morgan.

Wajah Henry langsung memerah. Dia pun mendengus seperti banteng.

“Oke! Kalau kau memang punya uang sebanyak itu, tunjukkan padaku! Baru setelah itu kita bicara soal tawaran dan kesepakatan!” kata Henry.

Morgan tersenyum miring. Dia lalu mengambil tas jinjing di dekatnya itu.

Dengan tegap dan penuh percaya diri, Morgan melangkah ke depan membawa tas jinjingnya itu.

Setelah jarak antara dia dan ayah mertuanya hanya tiga meter, dia lemparkan tas tersebut.

“Uang yang kalian butuhkan ada situ. Hitung saja kalau kalian mau,” ucapnya.

Hening sejenak, Robert kemudian tertawa.

“Heh, kau pikir kami percaya tas yang kau lempar ini berisi 50 miliar rupiah? Kau pikir berapa banyak lembaran uang yang dibutuhkan untuk mencapai 50 miliar? Kau bisa menghitung tidak, hah?” cibir Robert.

“Orang ini sudah gila. Baru juga keluar dari penjara, dia bertingkah seolah-olah dia punya uang tunai sebanyak itu. Aku berani bertaruh, paling juga tas jinjing ini isinya baju-baju kotor dan sampah-sampah. Cocok buat sampah seperti dia!” timpal Joseph.

Henry mendengus. Apa yang dikatakan dua anaknya itu ada benarnya. Mana mungkin mantan narapidana yang baru saja bebas seperti Morgan punya uang sebanyak itu.

Lagipula, kalaupun isinya benar lembaran uang kertas, memangnya jumlahnya mencapai 50 miliar?

Butuh lima puluh ribu lembar seratus ribuan mencapai 50 miliar rupiah!

Lembaran sebanyak itu tak mungkin cukup dimasukkan ke tas jinjing di hadapannya!

‘Dasar pembual!’ pikirnya.

Ketika dia menatap Morgan lagi, sorot matanya memancarkan kemarahan.

“Berhenti membuang-buang waktuku! Kau masih punya kesempatan untuk angkat kaki sekarang juga. Kalau tidak, akan kutelepon polisi dan kulaporkan kau atas tuduhan memasuki ruang pribadiku tanpa izin!” hardik Henry.

Tetapi Morgan, di hadapannya, malah menghela napas seolah menyepelekan mereka.

“Kalau kalian tak mau membuka tas jinjing ini, biar aku yang buka,” ujarnya.

Langsung saja dia mendekati tas jinjing tersebut dan berjongkok.

Uang ini telah dia siapkan secara teliti oleh pihak bank sebelum dia meluncur ke tempat ini.

Saking tak biasanya penarikan tunai dalam jumlah sebanyak itu, pihak bank tadi sampai memperlakukannya seakan-akan dia nasabah terpenting yang mereka miliki.

“Ayo cepat buka! Cepat tunjukkan kepada kami kalau isi tas ini memang uang!” ucap Robert.

“Kalau sampai isinya memang uang, dan jumlahnya benar 50 miliar, kau boleh menamparku seratus kali!” ujar Joseph.

Morgan yang akan menarik retsleting tas jinjing itu mengambil jeda, menatap Joseph dengan mata memicing.

“Aku pegang kata-katamu, Joseph. Kali ini tak akan kubiarkan kau mengelak,” katanya.

Barulah setelah itu dia membuka retsleting tas jinjingnya, dan seketika itu juga lembaran-lembaran uang berhamburan keluar.

Joseph sampai mundur dua langkah saking terkejutnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Datuk Abd Azis
lanjutkan karya mu pak/bu saya suka karya ini
goodnovel comment avatar
Sul Lasmi
bagus alur ceritanya,jangan mililai orang dari luarnya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status