Henry dan kedua anak lelakinya berjalan menuju halaman depan.
“Apa maksudnya ini? Bukankah tadi kau bilang kau sudah menyingkirkannya, Joseph? Ataukah itu hanya bualanmu?” tanya Henry.
Joseph bingung harus menjawabnya seperti apa. Jujur saja, dia pun terkejut dengan kedatangan Morgan ini.
“Aku sudah memerintahkan anak-anak buahku untuk menghabisinya, Pa. Mestinya mereka membuang mayatnya ke hutan atau ke—”
“Faktanya dia ke sini! Si sampah itu ke sini!” Henry memotong penjelasan Joseph.
Jelas sekali, suasana hati Henry sedang sangat buruk, dan Joseph hanya membuatnya lebih parah.
Robert, yang lebih cerdik dari adiknya, memilih untuk tak mengatakan apa pun dulu.
Dia sibuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak buahnya Joseph itu menghajar Morgan.
…
Sementara itu di luar, di halaman depan rumah Keluarga Wistara, Morgan berdiri layaknya tokoh utama di sebuah film laga.
Di sekitarnya pria-pria bepakaian serbahitam terbaring dan meringis kesakitan.
Mereka adalah para pengawal tambahan yang ditugaskan untuk melindungi kawasan ini, menjadi pelapis para satpam yang berjaga di gerbang depan.
Di sampingnya, sebuah tas jinjing besar berwarna hitam yang menggelembung.
Saat pintu rumah terbuka dan tiga orang pria muncul, Morgan mengarahkan pandangannya ke sana. Dilihatnya ketiga orang itu tercengang.
“Apa-apaan ini?! Kau… berani-beraninya kau mengacau di rumahku, Bajingan!” hardik Henry.
Setelah bertahun-tahun, Morgan kembali berhadapan dengan ayah mertuanya yang arogan ini.
Tapi jika dulu dia hanya akan menunduk dan diam saja dihardik seperti itu, kali ini tidak.
“Di mana Agnes? Aku datang untuk membawanya. Kita telah sepakat, kan, Joseph?” ujar Morgan.
Henry mengerutkan kening dan menatap Joseph.
Joseph memang tak mengatakan apa pun soal kesepakatannya dengan Morgan di rumah sakit tadi, sebab baginya kesepakatan konyol itu hanya omong-kosong.
Lagi pula, si pengambil keputusan di Keluarga Wistara bukanlah dia, melainkan Henry.
“Aku tak tahu omong-kosong apa yang kau maksud. Aku tak ingat pernah bersepakat dengan sampah sepertimu,” ucap Henry kemudian, menatap Morgan kembali.
“Yang kulihat sekarang, kau menghajar orang-orangku, di rumahku. Ini pelanggaran privasi! Jangan harap kau bisa pergi begitu saja!” sambungnya.
Morgan memicingkan mata. Dia sudah bisa menebak kalau jadinya akan seperti ini.
Dia pun menatap Joseph dengan dingin. Kakak iparnya itu langsung tercekat, seolah-olah dia melihat hantu.
“Baiklah. Seharusnya aku tahu kalau satu-satunya orang yang bisa dipegang omongannya di keluarga ini adalah kau, Ayah Mertua,” ucap Morgan, sinis.
“Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan? Aku akan memberikan kepada kalian apa yang sedang kalian butuhkan. Sebagai gantinya, biarkan aku membawa Agnes. Aku akan mengobatinya dan merawatnya,” sambungnya.
Mendengar itu, Henry langsung tertawa terbahak-bahak.
“Kau tahu apa yang saat ini kami butuhkan, hah? Suntikan dana untuk perusahaan. Dan kau tahu besarannya berapa? 50 miliar! Memangnya kau pikir kau punya uang sebanyak itu? Orang miskin sepertimu… bahkan 5 juta saja saat ini belum tentu kau punya!” cecarnya.
Menanggapinya, Morgan hanya tersenyum kecut.
Dia tahu saat ini Keluarga Wistara sedang membutuhkan 50 miliar. Kris telah memberitahunya hal ini dalam perjalanan ke Rumah Sakit P.
Dan dia telah menyiapkan uang itu.
“Cuma 50 miliar? Oke, akan kuberi kalian 50 miliar. Tapi kalian harus berjanji, di detik kalian mendapatkan uang itu, di detik itu pula aku bisa membawa Agnes. Oke?”
Kali ini apa yang dikatakan Morgan membuat Henry terdiam. Dia mendelik. Menurutnya Morgan hanya membual dan lama-lama dia muak juga dengan bualan menantunya ini.
“Berhenti bermain-main denganku, Morgan! Kau mungkin bisa menghajar para pengawalku, tapi jangan lupa, setelah apa yang kau lakukan ini aku bisa kembali menjebloskanmu ke penjara. Jangan remehkan pengaruh Keluarga Wistara di kota ini!” ancam Henry.
“Betul kata Papa. Kalau kau pikir kau begitu hebat karena bisa melumpuhkan orang-orang ini, kau salah. Dunia ini tak semudah yang kau bayangkan, Morgan. Dan kau harus ingat, kau ini hanya mantan narapidana. Jangankan punya uang 50 miliar, kau bisa mendapatkan pekerjaan setelah ini saja itu sudah keajaiban. Sadari posisimu, Sialan!” timpal Robert.
Morgan terkekeh. Dua orang ini, mereka bertingkah seolah-olah mereka tahu betul Morgan saat ini seperti apa.
“Katakanlah aku bisa memberi kalian uang 50 miliar yang kalian butuhkan itu. Bagaimana dengan tawaranku tadi? Kalian berjanji akan membiarkanku membawa Agnes?” tanya Morgan.
Wajah Henry langsung memerah. Dia pun mendengus seperti banteng.
“Oke! Kalau kau memang punya uang sebanyak itu, tunjukkan padaku! Baru setelah itu kita bicara soal tawaran dan kesepakatan!” kata Henry.
Morgan tersenyum miring. Dia lalu mengambil tas jinjing di dekatnya itu.
Dengan tegap dan penuh percaya diri, Morgan melangkah ke depan membawa tas jinjingnya itu.
Setelah jarak antara dia dan ayah mertuanya hanya tiga meter, dia lemparkan tas tersebut.
“Uang yang kalian butuhkan ada situ. Hitung saja kalau kalian mau,” ucapnya.
Hening sejenak, Robert kemudian tertawa.
“Heh, kau pikir kami percaya tas yang kau lempar ini berisi 50 miliar rupiah? Kau pikir berapa banyak lembaran uang yang dibutuhkan untuk mencapai 50 miliar? Kau bisa menghitung tidak, hah?” cibir Robert.
“Orang ini sudah gila. Baru juga keluar dari penjara, dia bertingkah seolah-olah dia punya uang tunai sebanyak itu. Aku berani bertaruh, paling juga tas jinjing ini isinya baju-baju kotor dan sampah-sampah. Cocok buat sampah seperti dia!” timpal Joseph.
Henry mendengus. Apa yang dikatakan dua anaknya itu ada benarnya. Mana mungkin mantan narapidana yang baru saja bebas seperti Morgan punya uang sebanyak itu.
Lagipula, kalaupun isinya benar lembaran uang kertas, memangnya jumlahnya mencapai 50 miliar?
Butuh lima puluh ribu lembar seratus ribuan mencapai 50 miliar rupiah!
Lembaran sebanyak itu tak mungkin cukup dimasukkan ke tas jinjing di hadapannya!
‘Dasar pembual!’ pikirnya.
Ketika dia menatap Morgan lagi, sorot matanya memancarkan kemarahan.
“Berhenti membuang-buang waktuku! Kau masih punya kesempatan untuk angkat kaki sekarang juga. Kalau tidak, akan kutelepon polisi dan kulaporkan kau atas tuduhan memasuki ruang pribadiku tanpa izin!” hardik Henry.
Tetapi Morgan, di hadapannya, malah menghela napas seolah menyepelekan mereka.
“Kalau kalian tak mau membuka tas jinjing ini, biar aku yang buka,” ujarnya.
Langsung saja dia mendekati tas jinjing tersebut dan berjongkok.
Uang ini telah dia siapkan secara teliti oleh pihak bank sebelum dia meluncur ke tempat ini.
Saking tak biasanya penarikan tunai dalam jumlah sebanyak itu, pihak bank tadi sampai memperlakukannya seakan-akan dia nasabah terpenting yang mereka miliki.
“Ayo cepat buka! Cepat tunjukkan kepada kami kalau isi tas ini memang uang!” ucap Robert.
“Kalau sampai isinya memang uang, dan jumlahnya benar 50 miliar, kau boleh menamparku seratus kali!” ujar Joseph.
Morgan yang akan menarik retsleting tas jinjing itu mengambil jeda, menatap Joseph dengan mata memicing.
“Aku pegang kata-katamu, Joseph. Kali ini tak akan kubiarkan kau mengelak,” katanya.
Barulah setelah itu dia membuka retsleting tas jinjingnya, dan seketika itu juga lembaran-lembaran uang berhamburan keluar.
Joseph sampai mundur dua langkah saking terkejutnya.
…
“Bagaimana? Kalian lihat sendiri, kan? Tas ini isinya benar-benar uang,” sindir Morgan. Ketiga pria di hadapannya itu tak sanggup bicara. Untuk beberapa saat, kata-kata seperti tercerabut dari lidah mereka. Tapi kemudian Robert dan Joseph angkat bicara. “Itu pasti uang mainan, kan?” “Ah ya, pasti uang mainan. Atau uang palsu. Tak mungkin si miskin ini punya uang 50 miliar!” Morgan berdecih. Dia lalu meraup segepok uang dari tas jinjingnya itu, berdiri, lantas menyodorkannya ke Henry. “Sepertinya kaulah satu-satunya orang waras di hadapanku saat ini, Ayah Mertua. Bagaimana kalau kau periksa keaslian uang ini?” ujarnya. Henry menatap Morgan dengan dingin. Dia lalu menerima segepok uang tersebut. Dan saat mengeceknya, dia terbelalak. “Ini…. dolar…?” Ya, lembaran-lembaran itu memang dalam dolar. Morgan sengaja meminta itu ke pihak bank supaya semua lembarannya bisa masuk ke tas jinjing yang dibawanya itu. “Apa, Pa? Dolar? Dolar palsu maksudnya?” celetuk Joseph. “Diam kau, Josep
Tommy, Walikota Kota HK, sedang menonton acara lawak favoritnya ketika tadi Henry meneleponnya. Dia yang semula tertawa-tawa, langsung menunjukkan muka jengah. Henry adalah salah satu orang yang punya peran penting dalam naiknya karier politik Tommy. Bahwa dia bisa menjadi Walikota Kota HK seperti sekarang, sebagian besar karena dukungan gencar dari Henry pada saat pilkada tiga tahun lalu. Dan dia tahu, jika tiba-tiba teman lamanya itu menghubunginya, itu artinya dia punya permintaan. Dan siapa yang menduga, permintaannya itu ternyata begitu rumit. “Sialan kau, Henry! Berani-beraninya kau menempatkanku dalam posisi ini!” gerutunya. Dilemparkannya bungkus rokok di tangannya ke dinding. Batang-batang rokok itu berceceran di lantai. Awalnya, Tommy tak mengendus masalah apa pun. Henry hanya memintanya untuk meringkus seorang pria yang membawa anak bungsunya. Namun, masalah itu baru terendus setelah asistennya Tommy yang juga seorang peretas ulung melakukan penelusuran terhadap pri
Morgan balas menatap pria itu dengan garang. Mobil ini adalah hadiah dari Jenderal Yudha atas prestasinya selama di militer, dan baru saja pria itu merusaknya. Dia harus merasakan akibatnya! Morgan pun membuka pintu mobil dan mendorongnya kuat-kuat. Gedebuk! “Argh!” Pintu itu menghantam si pria yang membawa pemukul bisbol, membuatnya tersungkur. “Kau tunggu di sini saja, ya. Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil. Oke?” Morgan mengatakannya sambil menatap Agnes dengan cemas. Istrinya itu mengangguk. Morgan lantas mematikan mesin mobil, mencabut kunci, keluar dan langsung menguncinya. “Bajingan kau! Rasakan ini!” Si pria yang tadi tersungkur itu telah kembali berdiri dan kini mengayunkan pemukul bisbolnya ke arah Morgan, menyasar kepalanya. Morgan menangkis pemukul bisbol itu dengan mudahnya, membuatnya terpelanting jauh. Si pria yang mencari gara-gara dengannya itu tampak terkejut, tak mengira Morgan sekuat itu. Dan sebelum sempat dia melakukan apa-apa, Morgan men
Morgan mengecek suhu tubuh dan denyut nadi Agnes. “Agnes, kau demam!” ucapnya. Mendapati Agnes tak juga berhenti menggigil dan menggigiti jari-jemarinya, Morgan memutuskan untuk membawa istrinya itu pulang. Makan malam dibatalkan. Saat ini yang menjadi fokusnya adalah membuat istrinya itu kembali merasa nyaman. … Sekitar satu jam kemudian, di kamar yang ditempati Agnes beberapa hari terakhir… Sekarang Agnes sudah tenang, sedang terbaring memejamkan mata dengan kain kompres menempel di keningnya. Tadi setibanya mereka di rumah tersebut, Morgan sampai harus mengalirkan energi murninya ke tubuh Agnes. Rupanya, apa yang dilihatnya di jalan tadi itu membangkitkan traumanya. Seerhananya begini: gara-gara insiden penculikan dan penyekapan yang pernah dialaminya itu, otaknya merekam segala bentuk kekerasan fisik sebagai bahaya. Meskipun kekerasan fisik itu dialami oleh orang lain, tetap saja otaknya mengira kalau bahaya itu mengancamnya. Tubuhnya bereaksi secara spontan. Agnes bahka
Morgan sungguh tak mengerti apa yang terjadi pada Agnes. Apa pun yang dia katakan, apa pun yang coba dia lakukan, tampaknya salah di mata istrinya itu. Dia pun terpaksa membiarkan istrinya itu sendirian, meski sesungguhnya dia cemas. ‘Kenapa tiba-tiba jadi begini? Memangnya apa yang salah?’ pikirnya, gelisah. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, perasaannya sungguh tak enak. Setelah si content creator mantan tentara yang direkomendasikan Yudha itu datang untuk bekerja, Moran menitipkan Agnes padanya. Dia sendiri menuju ke kantor pusat Charta Group, sesuai saran Yudha. Meski datang untuk urusan bisnis penting, Morgan hanya mengenakan celana jeans dan kaus oblong. Itu memang setelan pakaian favoritnya. Dia tak nyaman jika harus mengenakan setelan kantoran yang kaku. Namun tentu, penampilannya ini membuat orang-orang yang melihatnya menyepelekannya. "Ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya seorang wanita di meja resepsionis. "Aku ingin bertemu dengan Felisia. Di lantai ber
“Bu Felisia… pria ini…” Jika Felisia saja sampai membungkuk hormat di hadapan Morgan, maka sangat mungkin Morgan sebenarnya bukan orang biasa. Menyadar hal itu, Alex langsung merasa dirinya dalam bahaya. Felisia menegakkan punggungnya, menatap Alex dan si resepsionis. “Kalian berdua, beri salam kepada Tuan Morgan. Beliau adalah pemilik Charta Group yang baru,” katanya. “Apa?!” kata kedua orang itu, serentak. Morgan menatap mereka bergantian, mendapati ketakutan di mata kedua orang itu. Lalu tiba-tiba Alex mendekat ke arahnya dan bersujud tepat di depan kakinya. “Tolong maafkan kebodohan saya, Tuan Morgan! Saya sudah melakukan sesuatu yang tak semestinya kepada Anda! Tolong biarkan saya tetap bekerja di sini!” katanya. Alex tentu teringat kata-kata Morgan tadi, bahwa ini adalah hari terakhirnya di Charta Group. Dan dia kini cemas. Bagaimana jika itu sampai terjadi? Dia telanjur menjanjikan kepada pacarnya untuk membelikan wanita itu tiga unit sport car yang total harganya 10
Morgan segera menjauh dari jendela. Dia membawa Felisia bersamanya. “Aku akan mengeluarkan peluru yang bersarang di bahumu. Bertahanlah,” katanya. Dia lalu mengaktifkan energi murninya dan memusatkannya di tangannya. Dengan fokus tinggi, dia membedah luka tembak itu dan memasukkan dua jarinya ke sana. Felisia berteriak kesakitan, tapi hanya sebentar saja. Tak sampai lima detik, Morgan sudah berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Yang dilakukan Morgan kemudian adalah menghentikan pendarahan dan menutupi luka. Dia pun melakukannya dengan cepat. Kali ini Felisia hanya sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” tanya Morgan, setelah selesai menutupi luka tembaknya Felisia. Felisia mengangguk. Matanya memancarkan ketakjuban. Bagaimana tidak? Morgan baru saja melakukan sesuatu yang menurutnya mustahil. Bahkan dokter bedah berpengalaman lulusan luar negeri pun belum tentu bisa melakukannya secepat itu, seefisien itu. “Kau bisa berjalan? Kita sebaiknya keluar dari ruangan ini,” kata M
Morgan menatap pria yang tengah duduk di mejanya itu dalam diam. Setelah meneguk minuman dalam gelasnya, pria itu berdiri dan balas menatap Morgan sambil menyeringai. Morgan telah menghajar lebih dari lima puluh anak buahnya di ruang utama bar tadi, tapi pria ini seperti tak sedikit pun peduli pada hal tersebut. “Ya, akulah Berry Si Serigala. Kau datang untuk menantangku bertarung?” kata pria itu, berdiri dan menyeringai. Morgan malas menanggapi kata-katanya. Sekarang setelah memastikan kalau pria inilah memang yang dicarinya, dia tak perlu mengatakan apa pun lagi. Biar tinjunya yang bicara. “Kenapa? Kau belum mau memulai?” tanya Berry, memberi isyarat kepada Morgan untuk maju. Dari gestur yang ditunjukkannya, pria itu tampaknya meremehkan Morgan. Tak seperti anak-anak buahnya, Berry tak sedikit pun terlihat cemas atau ketakutan berhadapan dengan Morgan. “Kau tahu, anak-anak buahku yang kau ampuni itu mengatakan kalau kau sangat kuat. Tadinya kupikir mereka berlebihan, tapi se