Share

Sudah Terlambat untuk Menyesal

“Jangan bertindak bodoh! Buang senjata dan angkat tangan kalian kalau kalian masih ingin hidup!”

Kalimat bernada mengancam itu dilontarkan oleh Kris. Dia dan pasukannya bergerak serempak mendekati orang-orangnya Joseph.

Tentu saja, para polisi berpangkat rendah itu tak menduga mereka akan berurusan dengan tentara. Bukankah mereka hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh atasan mereka?

Dan kenapa juga puluhan tentara ini bisa ada di situ, menodongkan senjata kepada mereka seolah-olah mereka telah melakukan sesuatu hal buruk yang menyinggung institusi militer?

Situasi ini tak masuk akal, kecuali….

‘Jangan-jangan… apakah orang yang kamu keroyok ini… sebenarnya… seorang jenderal?’ gumam si polisi yang tadi beberapa kali berteriak itu.

Dia langsung menoleh ke mobil, menatap Morgan dengan mata membulat.

Tiba-tiba saja sosok Morgan yang duduk tenang di mobil itu kini membuatnya ketakutan.

Dan saat dia melihat Morgan menyeringai, dia merasakan sesuatu seperti baru saja menancap di jantungnya. Sakit dan ngilu.

Dor! Dor! Dor! Dor!

“Kalian tak mendengar apa yang kukatakan barusan? Jangan menguji kesabaranku!” teriak Kris. Baru saja dia melepaskan serentetan tembakan lagi ke udara.

Kali ini, polisi-polisi berpakaian preman itu terlihat panik.

Mereka saling menatap satu sama lain, seperti berbagi rasa takut, lalu satu persatu dari mereka menjatuhkan senjata dan mengangkat tangan.

Tak ada seorang pun yang berani bersuara, padahal mereka sama-sama heran dan penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Amankan mereka semua!” perintah Kris.

Langsung saja, tentara-tentara tersebut mengamankan polisi-polisi yang masih kebingungan itu.

Polisi-polisi itu tak punya nyali untuk melawan. Mereka tahu mereka bukan hanya kalah jumlah, tapi juga kalah kualitas.

Hanya dengan sekilas saja melihat, siapa pun akan tahu bahwa tentara-tentara ini dipimpin oleh sosok yang jauh lebih terlatih dan profesional ketimbang si polisi yang tadi dipanggil ‘Bos’ itu.

Dan kepada si polisi yang dipanggil ‘Bos’, yang kini tepat berada di hadapannya, Kris melepaskan sebuah tamparan keras.

Plak!!

Saking kerasnya tamparan tersebut, si polisi sampai terhuyung-huyung beberapa saat.

Tetapi dia masih beruntung. Jika saja yang menamparnya adalah Morgan, sudah pasti dia akan kehilangan sebagian giginya.

Bukan tak mungkin dia akan pingsan saat itu juga.

“Kalian tahu kesalahan kalian apa, hah? Kalian telah mengusik seseorang yang sangat penting di militer! Kalian patut bersyukur karena kalian masih dibiarkan hidup!”

Suara Kris lumayan menggelegar, membuat si Bos dan polisi-polisi lainnya menundukkan pandangan. Muka mereka mendadak pucat.

Di titik inilah, pintu mobil dinasnya Joseph terbuka. Morgan yang sedari tadi bertahan di mobil akhirnya keluar juga.

“Dewa Perang, Anda baik-baik saja? Mohon maafkan keterlambatan kami,” ucap Kris, membungkuk begitu rendah.

Morgan mendecih kesal. Bukan karena Kris dan pasukannya datang terlambat, tapi karena baru saja Kris membocorkan identitasnya di hadapan polisi-polisi itu.

Kini polisi-polisi itu menatap Morgan dengan ketakutan yang terbayang kuat di mata mereka. Wajah mereka menjadi jauh lebih pucat lagi.

“D-dewa Perang…? K-kau… Dewa Perang…?” gumam si Bos, sambil menunjuk ke arah Morgan.

Bugh!

Kris langsung meninju perutnya dengan kuat, membuat pria itu muntah darah.

Kedua matanya memutih dan dia pun ambruk seperti samsak yang rantainya terputus.

“Siapa pun yang berani-beraninya bersikap kurang ajar di hadapan Dewa Perang, bersiaplah untuk menerima hukuman berat dariku! Kalian dengar itu, hah?!” ucap Kris, lantang.

Tentu saja polisi-polisi itu tak berani menjawab. Mereka hanya bisa menunduk saking takutnya.

“Kris. Itu, kan, namamu?” tanya Morgan, menatap Kris yang tengah memunggunginya.

Kris cepat-cepat balik badan dan berkata, “Betul, Dewa Perang. Saya Kris. Sekali lagi mohon maaf karena kami terlambat…”

Morgan mengangkat tangan kanannya, sehingga Kris pun berhenti bicara.

“Soal aku adalah Dewa Perang, sebaiknya cukup segelintir orang saja di kota ini yang perlu tahu itu. Lain kali kau harus lebih berhat-hati,” tegur Morgan.

Kris langsung menyadari kekeliruannya. Dia pun membungkuk lebih rendah lagi.

“Saya telah melakukan kesalahan. Saya akan menerima hukuman apa pun yang Anda berikan kepada saya.”

“Dan terkait polisi-polisi korup ini, saya akan mengurusnya.”

“Tak seorang pun dari mereka akan membocorkan identitas Anda sebagai Dewa Perang kepada siapa pun.”

Morgan mengangguk-angguk. Sikap profesional dan penuh tanggung jawab yang ditunjukkan Kris sudah cukup baginya.

Dia pun tidak punya niat untuk memberi Kris hukuman.

Lagipula, seperti yang dikatakan Yudha, saat ini Kris adalah asistennya, orang yang bisa dia andalkan untuk mewujudkan rencana-rencananya.

Kali ini Kris telah berinsiatif untuk membantunya keluar dari situasi tak menyenangkan tadi. Morgan harus mengapresiasi itu.

Sehingga, alih-alih menghukumnya, menurutnya justru lebih tepat kalau dia memberi Kris ucapan terima kasih.

“Sudahlah. Tak perlu membungkuk lama-lama. Hukuman dariku ya teguran barusan. Sekarang, yang penting kau pastikan orang-orang ini tak akan berulah lagi,” kata Morgan.

“Siap, Dewa Perang!” tanggap Kris, setelah kembali berdiri tegak.

Morgan mendesis, berkata, “Sepertinya kau pun harus berhenti memanggilku dengan sebutan itu, terutama saat kita berada di depan orang lain. Mulai sekarang kau panggil aku dengan namaku saja. Perlakukan aku seolah-olah kita setara. Kau mengerti?”

“Mengerti, Dewa Perang… Maksud saya Morgan…”

Morgan terkekeh. Entah apa alasan Yudha memerintahkan Kris untuk menjadi asistennya, tapi dia mulai menyukainya.

“Ya sudah, sekarang kau urus polisi-polisi ini. Aku ada urusan di tempat lain,” ujar Morgan, berjalan meninggalkan Kris.

Tetapi Kris mengikutinya.

“Emm… Morgan, tidakkah sebaiknya beberapa anak buahku kutugaskan untuk mengawalmu?” tanya Kris.

Terasa sekali kalau dia masih canggung menggunakan cara bicara seperti itu kepada Sang Dewa Perang.

“Aku tak butuh itu. Kalian fokus saja mengurus polisi-polisi ini. Lagi pula, apa yang akan kuurus ini adalah urusan keluarga. Orang luar dilarang terlibat,” jawab Morgan, menggeleng.

Kris langsung mengerti. Dia pun berhenti melangkah, membiarkan Morgan melangkahkan kakinya ke mana pun dia mau.

Menggunakan taksi, Morgan tiba di depan Rumah Sakit P.

Ada dua alasan kenapa dia kembali ke situ.

Pertama, mobilnya terparkir di sana. Kedua, dia ingin memastikan kalau istrinya jadi dipindahkan ke ruang VVVIP.

Namun, saat Morgan tiba di ruangan di mana istrinya tadi dirawat, dia mendapati ruangan itu kosong. Tak ada siapa pun di sana.

‘Ah, mungkin sudah dipindahkan ke ruang VVVIP,’ pikirnya.

Dia pun bergerak mencari-cari sesosok suster yang bisa dia tanyai. Dan kebetulan, si suster yang tadi muncul dan berjalan ke arahnya.

“Tuan Morgan… ada yang perlu saya sampaikan…”

Dari raut muka si suster, Morgan bisa menebak kalau apa yang perlu disampaikannya itu bukanlah hal baik.

“Ke mana istriku? Sudah dipindahkan ke ruang VVVIP?” tanya Morgan.

Si suster tak langsung menjawab. Dia membuka mulutnya hanya untuk menutupnya lagi.

Lalu, terlihat dia menggigit bibir bawahnya.

“Nona Agnes tidak jadi dipindahkan ke ruang VVVIP, Tuan. Sekitar lima belas menit yang lalu pihak keluarga membawanya pulang.”

“Apa?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status