“Aku benar-benar serius soal ini.” Ben memberi penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. Kedua mata rubahnya menatap tajam. Gurat kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Seseorang telah membunuh anakku. Sebaiknya kalian melakukan penyelidikan kembali.”
Seorang polisi yang sedang cukup baik untuk mendengarkan keluhan Ben sedari tadi lantas menarik napas dalam. Ujung lintingan kertas yang terjepit di antara bibirnya sedikit menyala dan terbakar. Ia mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Ben. “Kamu pikir hanya kamu, ayah yang kehilangan anaknya di kota ini? Berhenti membuang-buang waktu kami dan tuntaskan kesedihanmu sendiri. Jangan sembarangan mengarang cerita atau hidupmu akan jauh lebih buruk dari ini.”“Hanya satu kali lagi saja! Pastikan semuanya lewat kamera pengawas, satu kali lagi.” Di titik ini, Ben tidak lagi mementingkan harga dirinya lagi. Ia akan memohon dan berlutut jika diperlukan. “Jika kalian benar-benar tidak menemukan apa pun yang mencurigakan,“Kenapa dia belum datang? Sudah jam berapa ini?” Seorang pria bertubuh tinggi dan besar bertanya dengan mulut penuh makanan. Tangan kirinya memegang sebuah ayam goreng tepung sementara tangan kanannya mencengkeram roti lapis daging. Ia terus melahap keduanya dengan rakus seolah-olah tengah dikejar waktu untuk menghabiskan seluruh tumpukan makanan yang ada di atas meja di hadapannya. “Aku sampai melewatkan jam makan malam hanya karena menunggu bocah tengik itu. Sampai kapan aku harus memakan semua camilan ringan ini?”“Ma-maafkan kami, Bos. Sebentar lagi dia pasti datang. Sepertinya dia harus mengambil jalan memutar karena polisi belakangan ini sering patroli di sekitar sini,” jawab seorang pria lainnya yang memiliki tubuh jauh lebih pendek. Sosoknya terlihat mungil saat ia menunduk sambil bergetar ketakutan di hadapan sang bos yang masih saja mengunyah.“Bilang padanya kita tidak punya banyak waktu. Kalau sampai 5 menit ke depan dia belum juga membawa barang itu ke
“Berani bayar berapa?” tanya seorang gadis dengan rambut pirang menjuntai hingga hampir mencapai pinggangnya. Riasannya di wajahnya sangat tebal, tetapi begitu cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Bibirnya terlihat semakin berisi dan merekah oleh lipstik merah cerah yang digunakannya. “Kamu tidak terlihat seperti orang yang berdompet tebal.”Mata rubah Ben menatap gadis itu tajam. Tubuhnya yang tinggi berdiri tegap tepat di hadapan sang gadis. Jarak di antara mereka begitu dekat hingga Ben harus berbicara sambil sedikit menunduk. “Lakukan saja tugasmu. Jangan khawatir soal uang. Aku bukan pria yang memanfaatkan perempuan dengan tidak bertanggung jawab.”“Apa kau dengar kata-katamu sendiri? Biar bagaimanapun, memanfaatkan seseorang bukanlah tindakan seorang pria sejati,” ucap gadis itu sambil mengedipkan satu mata. Suaranya juga terdengar lebih serak dan menggoda.“Ini darurat. Aku tidak bisa melakukannya sendirian.” Ben sama sekali tidak terlihat terpengaruh oleh sikap gadis itu.
“Jangan bunuh mereka! Kita bawa saja para pria itu ke markas bersama gadis ini! Tony pasti akan sangat senang mendapat lebih banyak samsak tinju untuknya bermain-main!”Susah payah Ben mempertahankan fokusnya untuk mendengar semua suara di sekitar. Posisinya yang tengah terikat kuat, serta kepalanya yang ditutup dengan karung membuatnya sedikit kesulitan bahkan untuk sekadar menarik napas, tetapi ia harus tetap menangkap sebanyak mungkin informasi yang diperlukan.Jeritan Candice tidak lagi terdengar, mungkin gadis itu telah jatuh pingsan, sama halnya dengan Sander dan Abrar yang sepertinya mulai kehilangan kesadaran setelah dipukuli oleh para penyerang. Ben sendiri merasakan sakit di sekujur tubuh. Namun, tekad kuat membuatnya masih bisa berdiri dengan tegak.Ia tidak tahu siapa yang baru saja mencegah
“Itu dia. Dia pasti bosnya,” gumam Ben sebelum akhirnya ia berteriak. “Hei, kau! Bakpao goreng! Berhenti di sana!”Dengan percaya diri Ben bersiap untuk berlari menghampiri pria gendut yang ia duga sebagai pemimpin dari para penjahat di tempat ini. Sepenuhnya lupa bahwa dirinya sedang dikepung oleh banyak pria yang memegang berbagai senjata. Sebagian pria yang berada di depannya langsung menghadang, masing-masing membentangkan tangannya hingga hampir tidak ada celah untuk Ben lewat. Hal ini justru membuat Ben semakin menyeringai.“Kalau kalian bertingkah seperti ini, berarti benar, pria jelek itu adalah Tony, bos kalian.” Ben mengusap kepalanya sendiri sambil menarik napas panjang. Sementara itu, Tony yang berdiri beberapa meter di depannya tampak berusaha untuk terlihat percaya diri dengan menegakkan tubuh. Sayangnya, kedua
Ben meringis pelan merasakan tenggorokannya seolah-olah terbakar, tetapi tangannya terus saja menuangkan cairan memabukkan ke dalam gelas untuk ia tenggak sampai habis. Kepalanya berdenyut dengan menyakitkan, menjerit memintanya untuk segera berhenti. Begitu pula dengan kelopak matanya yang terasa berat. Namun, tidak ada satu pun hal yang mampu menghentikan Ben. Ia telah bertekad untuk menelan habis seluruh rasa kecewanya bersamaan dengan minuman yang menguras isi dompetnya itu.“Jadi, kamu benar-benar tidak bisa menemukan Abrar?” tanya Ben dengan pengucapan yang tidak jelas. Suaranya terdengar seperti seseorang yang tengah mengulum permen. Sander sampai harus memintanya mengulang ucapannya berkali-kali. “Hah! Detektif swasta terpercaya apanya? Dia hanya seorang penipu! Kenapa Thalia bisa mengenal orang sepertinya?”“Mungkin karena
“Jangan dimakan dulu!”Teriakan salah satu pengasuh itu otomatis membuat Ben tersentak. Terburu-buru ia membuka bingkisan miliknya, wajahnya merengut seketika saat melihat bintik-bintik hijau yang menghiasi sepotong roti.Ben kembali merogoh ke dalam kantong kertas itu, mengambil sebatang coklat, sebungkus keripik, dan wafer. Semua camilan itu dalam keadaan yang tidak pantas. Coklatnya telah meleleh hingga tidak lagi berbentuk segi empat yang rapi, sementara bungkusan keripik serta wafer terlihat sobek di beberapa bagian. Ada pula sebotol susu yang sudah berubah warna menjadi lebih gelap serta menggumpal. Bau masam menyeruak ke luar. Tanpa ragu Ben melempar semua makanan itu ke sembarang arah.“Tega sekali! Bisa-bisanya mereka memberikan makanan seperti ini kepada anak-anak!” Terdengar para p
“Kamu di mana? Begitu hari sedikit lebih terang, aku akan pergi menemuimu!” Thalia masih berbicara meski tidak satu kali pun Ben menanggapi. Pria itu tidak kunjung mampu mengatakan sepatah kata pun karena tidak tahu apa yang telah ia katakan kepada mantan istrinya itu.Untuk pertama kalinya, Ben menyadari betapa berbahayanya mabuk-mabukan hingga tidak sadarkan diri. Mungkin akan lebih baik jika ia meminum obat tidur secukupnya lalu melewatkan malam hari dengan tenang tanpa melakukan hal yang tidak akan ia ingat di pagi hari.Sayangnya, semua sudah terlanjur terjadi. Tampaknya dalam keadaan tidak sadar pun Ben telah berhasil menumpahkan seluruh keluh kesahnya kepada sang mantan istri, kini ia harus mencari cara untuk membereskan semuanya agar tidak terlalu merusak hubungan yang masih tersisa di antara mereka.
“Uang dari mana? Cepat katakan! Kamu, kan, cuma tukang ikan! Tidak mungkin kamu mampu membeli rumah ini!” Elina terus menuntut Ben sambil melangkah maju, menyudutkan sang mantan menantu. “Tadi aku juga lihat mobil mewah di garasi! Bagaimana kamu bisa jadi sekaya ini dalam waktu singkat? Apa yang telah kamu lakukan?!”“Tenang dulu, Elina.” Kedua tangan Ben terulur ke depan dengan kaku. Ragu apakah ia boleh menyentuh wanita di depannya atau tidak. Sementara itu, Thalia juga tidak bisa berbuat apa pun untuk menghentikan tingkah ibunya yang agresif.“Bagaimana aku bisa tenang? Sebenarnya apa tujuanmu memanggil anakku? Apa kamu berniat untuk menggodanya lagi dengan semua harta kotormu ini?”“Sama sekali tidak! Ada kesalahpahaman di sini,” sanggah Ben cepat. Seki