LOGINSehari setelah pesta musim semi yang berubah menjadi aib, suasana kerajaan Aethelgard Silvanus mendadak tegang. Para pelayan bicara setengah berbisik, seolah takut. Kabar tentang “gadis rakyat yang berani menjerat sang putra mahkota” sudah menyebar ke seluruh penjuru kota.Di pasar, para pedagang menatap satu sama lain dengan pandangan campur aduk.“Katanya gadis itu bernama Audina, ya?” tanya seorang penjual roti.“Benar. Aku sering melihatnya menjual bunga di depan taman istana,” jawab yang lain.“Kasihan, anak itu baik. Tak pantas dipermalukan seperti itu.”rakyat selalu melihat bahkan ketika istana berusaha menutup rapat pintunya.Sementara itu, di ruang kerjanya yang dipenuhi dokumen, Pangeran Jagatra duduk sendiri di depan meja kayu besar. Wajahnya tampak pucat, kantung matanya gelap menandakan bahwa ia tak tidur semalaman. Di depannya, selembar surat laporan tentang “insiden pesta musim semi” tergeletak.Ia menatap surat itu lama, lalu meremasnya perlahan.“Semua orang bicara t
Musim semi tiba lebih cepat tahun ini. Udara terasa manis dengan aroma bunga sakura yang mulai bermekaran di seluruh taman istana. Bagi rakyat, ini pertanda keberkahan. Tapi bagi keluarga kerajaan, ini berarti satu hal: pesta tahunan untuk merayakan datangnya musim baru ajang di mana setiap mata mengamati, setiap senyum bisa berarti ancaman.Balai Agung sudah berubah menjadi lautan warna. Tirai sutra merah muda tergantung di langit-langit, musik lembut mengalun, dan meja panjang dipenuhi hidangan terbaik dari empat wilayah kerajaan. Para bangsawan berdatangan dengan pakaian mewah, saling menyapa, saling menilai seperti biasa.Di antara kerumunan itu, Pangeran Kaesar tampak seperti bintang. Ia mengenakan mantel biru tua berhias bordir emas, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan senyumnya seolah diciptakan untuk memikat semua orang.“Pangeran Kaesar tampak semakin matang,” bisik salah satu bangsawan perempuan sambil tersipu.“Tak heran Ratu Elean begitu menyayanginya.”Sementara itu,
Udara pagi di taman kerajaan terasa segar setelah hujan semalam. Embun masih menempel di dedaunan membuat suasana pagi itu terasa damai. Namun bagi Audina, kedamaian itu semu.Ia berdiri di depan kandang kuda, menatap seekor kuda putih yang tengah memakan rumput dengan tenang.Kuda itu bukan miliknya, tapi ia merawatnya setiap pagi sejak dua minggu lalu sejak Pangeran Jagatra diam-diam menitipkan kuda itu padanya.“Namanya Arvian,” kata Jagatra waktu itu, dengan nada yang lembut tapi matanya menyimpan banyak beban. “Kalau kau merasa kesepian, pergilah ke kandang ini. Arvian akan mengenalimu.”Sejak hari itu, Audina selalu datang. Ia tak tahu kenapa, tapi setiap kali ia menyisir surai kuda putih itu, hatinya terasa lebih ringan seolah sebagian beban yang menyesakkan dadanya ikut terangkat.“Aku tahu, kau merindukannya juga, ya?” gumam Audina sambil tersenyum kecil pada Arvian. “Tuanmu itu keras kepala. Tapi hatinya baik.”Kuda itu meringkik pelan, seakan mengiyakan.Audina terkekeh kec
Istana pagi itu tampak damai. Burung-burung beterbangan di halaman, para pelayan sibuk menata bunga segar di setiap sudut.Pangeran Kaesar melangkah dengan langkah ringan ke ruang makan utama. Jubah biru tuanya menjuntai sempurna, dan senyum di wajahnya terlihat seperti cermin ketenangan. Tapi di balik mata itu, ada sesuatu yang lain: waspada… dan sedikit curiga.Ia sudah mendengar bisik-bisik semalam. Bahwa Jagatra, kakaknya yang selama ini tampak pasrah, mulai bergerak lagi.Kaesar tidak bodoh. Ia tahu saat air yang tenang mulai beriak, pasti ada batu besar yang dilempar ke dalamnya.“Selamat pagi, Kakanda,” sapa Kaesar dengan nada ramah saat melihat Jagatra sudah duduk lebih dulu di meja makan.Jagatra mengangkat pandangannya perlahan. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pagi, Kaesar.”Senyum itu terasa aneh bagi Kaesar terlalu tenang, terlalu datar.Biasanya, Jagatra menghindari kontak mata, atau sekadar membalas seadanya. Tapi pagi itu, ada sesuatu yang berbeda dari cara kakaknya m
Fajar belum sepenuhnya muncul ketika Jagatra duduk di ruang kerjanya, ia ditemani cahaya lilin yang tinggal separuh. Di atas meja, ada lembar-lembar laporan dari pengawal istana yang berserakan tapi yang membuatnya terdiam adalah sehelai kertas kecil dengan segel yang sudah dirusak.Surat tanpa nama. Dikirim entah dari siapa.Hanya satu kalimat di dalamnya:> “Kebenaran tentang fitnah itu tidak sejauh yang kau kira, Yang Mulia. Carilah di antara mereka yang tersenyum paling manis.”Jagatra menatap tulisan itu lama, jantungnya berdegup kencang.Ia sudah lama belajar mengenali tipu muslihat, tapi kali ini… kata-kata itu terasa berbeda.Ada nada tantangan di sana seolah seseorang ingin ia ikut bermain dalam permainan berbahaya ini.Andrew masuk dengan langkah pelan sambil membawa sepoci teh hangat.“Apa anda belum tidur sama sekali pangeran?” tanya Andrew dengan nada khawatir.Jagatra tidak langsung menjawab. Ia hanya menyerahkan surat itu.Andrew membacanya dengan cepat, lalu menatap Ja
Langkah Jagatra bergema di lorong istana yang panjang dan sepi. Setiap dentuman tumitnya terdengar sangat nyaring di lorong itu.Percakapan dengan ibunya terus berputar di kepalanya.“Tahta tidak membutuhkan hati.”“Wanita yang tidak memberi keuntungan bagi kerajaan.”“Keadilan ditentukan oleh siapa yang duduk di atas takhta.”Jagatra berhenti di depan balkon besar yang menghadap ke halaman istana. Angin malam menyapu rambutnya pelan. Ia menatap langit, tapi bintang-bintang malam itu terasa redup tak seperti biasanya, seolah-olah bintang itu tahu jika pikirannya saat ini sedang kacau.“Apakah selama ini… aku hanya boneka kerajaan yang dipoles?” gumam Jagatra pelan."Apa aku ada hanya untuk dijadikan boneka yang bisa dipermainkan sepuasnya? apa aku tidak boleh bahagia dengan caraku sendiri?"Jagatra mengepalkan tangannya di atas pagar batu. Ada rasa marah tapi lebih dari itu, ada rasa hampa. Rasa bahwa tak peduli seberapa keras ia mencoba menjadi baik… istana selalu menuntutnya untuk