"Aku dikhianati oleh Wakil Jenderal Latif pada tahun itu. Setelah lolos dari maut, aku menyelidiki dan akhirnya menemukan keterkaitannya dengan mantan gubernur Kota Ginta. Jadi, aku langsung memerintahkan penangkapan seluruh keluarganya.""Awalnya aku berniat memancingnya keluar dari persembunyian, tapi nggak kusangka ada yang memanfaatkan celah. Keluarga mantan gubernur Kota Ginta ada 18 orang dan semuanya telah dihabisi.""Apa ...?" Anggi benar-benar terkejut.Luis memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. "Mantan gubernur Kota Ginta itu juga nggak bersih. Dia sepupu Wakil Jenderal Latif dan mereka berhubungan erat. Karena itu, aku nggak terus menyelidikinya.""Siapa sangka, dia selama ini bersembunyi dan kini tiba-tiba muncul untuk mengajukan laporan terhadapku.""Untung laporan ini sampai ke tanganmu ...."Luis tersenyum pahit. "Nggak, laporan ini diserahkan langsung oleh Pangeran Aneksasi kepada Ayahanda. Setelah membacanya, Ayahanda murka."Kini, dalam pikirannya masih terg
"Mungkin kamu benar. Ada hal-hal yang memang nggak bisa dipaksakan untuk bertahan." Aska tersenyum, lalu berbalik dan berjalan menuju arah kamar tamu.Pati semakin tak mengerti apa maksud dari semua yang dikatakan oleh tuannya.Keesokan harinya, Cahyo menerima kedatangan Luis dan Anggi."Penyakit Tuan Aska nggak bisa disembuhkan." Cahyo melirik sekilas ke arah Anggi. Teringat bahwa Aska tak ingin dirinya ikut campur, dia pun tak menjelaskan lebih lanjut."Benar-benar nggak ada cara?" tanya Luis dengan suara tegang.Cahyo hanya menatap Anggi, lalu mengulang kalimat yang hampir sama dengan yang dikatakannya kepada Aska semalam. "Biarkanlah segalanya mengalir sebagaimana mestinya."Luis merasa bingung. Sudah menempuh perjalanan jauh ke Kuil Awan, tetapi tidak membawa hasil apa pun. Apakah mereka harus kembali begitu saja?Anggi pun menyuruh Luis keluar lebih dulu. Dia ingin berbicara dengan Cahyo secara pribadi. Dia lalu berterus terang soal hubungan keseimbangan tubuh antara dirinya dan
Cahyo menatap Aska dan tersenyum tenang. Dia menuangkan secangkir teh untuknya. "Silakan dicicipi."Aska mengangguk berterima kasih, mengangkat cangkir, dan menyeruputnya. Rasanya pahit di awal, tetapi beberapa saat kemudian terasa manis di tenggorokan."Hukum alam yang diikuti manusia, segala sesuatu di dunia berjalan menurutnya, meskipun sering tak bisa dipahami oleh manusia. Bersyukur membawa keberuntungan dan keberuntungan itu akan berlipat ganda." Cahyo menatap Aska. "Tuan mengernyit, apakah ada kebimbangan?"Aska tersenyum getir. "Aku khawatir bahkan Master pun tak bisa meredakan kebingunganku." Mungkinkan balasan takdir ini bisa ditanggung oleh manusia?Kehidupan yang rasanya lebih menyakitkan daripada kematian. Namun, dia tetap tak bisa memilih mati. Setiap hari bagaikan jatuh ke dasar gua es, dingin menembus tulang.Cahyo tertawa ringan.Aska memandangnya. "Maaf telah mengganggu malam-malam. Mohon besok Master sampaikan kepada Putra Mahkota agar nggak perlu lagi mencarikan tab
Pati melirik ke arah tuannya.Aska mengangguk pelan, lalu Pati mengikuti biksu muda keluar. Hingga akhirnya, pintu gubuk kecil tertutup rapat.Cahaya dari lilin di dalam ruangan bergetar pelan. Bayangan bergoyang, kadang terang kadang gelap. Aska hampir tak bisa melihat jelas wajah biksu tua itu, hanya bisa melihatnya duduk di atas alas duduk meditasi, lalu dengan santai menunjuk ke alas duduk di samping. "Silakan duduk."Aska memberi hormat, lalu duduk."Aku dengar Master Cahyo bukan hanya paham dalam ajaran Buddha, tapi juga memiliki ilmu pengobatan yang hebat. Boleh aku minta untuk diperiksa?" Aska langsung ke pokok pembicaraan.Dia tahu dirinya menderita karena serangan balik takdir, sesuatu yang tak bisa disembuhkan oleh siapa pun.Namun, manusia selalu punya harapan. Terlebih lagi, kemampuannya dalam meramal dan menghitung nasib pun sudah sangat lemah. Maka, dia menaruh harapannya pada Cahyo.Cahyo tersenyum tipis, sorot matanya tampak lembut. Namun, jika diperhatikan lama-lama,
"Baik, aku mengerti."Mengenai sikap Anggi yang memperlakukan Aska seperti keluarga sendiri, Anggi merasa dirinya agak berlebihan.Saat ini, suara ayam berkokok mengingatkan mereka bahwa hari sudah hampir subuh.Keesokan paginya, Anggi terbangun dalam dekapan hangat Luis. Luis menatap Anggi yang perlahan membuka matanya dengan tatapan penuh kasih sayang. Ekspresinya culas seperti kucing kecil yang menggemaskan."Suamiku libur hari ini?""Ya."Tak heran semalam Luis begitu lepas dan baru membiarkannya tidur saat ayam berkokok.Setelah mandi, Luis memanggil Torus membawa sarapan ke paviliun utama. Anggi segera berkata, "Bawa ke ruang makan saja, panggil Tuan Aska juga."Luis spontan bertanya, "Kalian harus makan pagi, siang, dan malam bersama setiap hari?"Anggi menyuruh Mina, Torus, dan yang lainnya pergi. Kemudian, dia meraih wajah Luis dan duduk kembali di pangkuannya. "Suami mulai cemburu lagi?""Gigi ...." Luis tampak sedikit canggung. "Kamu tahu kamu adalah segalanya bagiku.""Tent
Pati berdiri terpaku di tempat. Jangankan Luis, pria mana pun di dunia ini pasti tak senang melihat istri mereka bersama pria lain setiap hari."Jadi, harus bagaimana? Kalau Tuan berpisah dengan Putri Mahkota, hidup Tuan pasti akan lebih buruk dari kematian." Pati mulai cemas.Aska hanya tersenyum tipis. Beberapa hal memang tidak bisa dihindari.Mungkin jika hari itu benar-benar tiba, satu-satunya pilihan adalah menjauh dari tempat ini. Toh dia telah mengorbankan segalanya untuk mengubah nasib Anggi, bukan agar dia menderita, melainkan agar dia bisa hidup bahagia."Tuan masih bisa tersenyum? Padahal saya sudah panik setengah mati!" Pati mengerutkan kening. Saking gugupnya, gerak-geriknya sampai menjadi canggung.Aska memandangnya. Kalau tidak tersenyum, harus menangis? Namun, menangis juga tidak akan mengubah apa pun.Di sisi lain, Luis dan Anggi sudah kembali ke paviliun utama. Seperti biasa, Luis mulai membaca laporan, sementara Anggi sibuk dengan bordirannya.Luis berhenti sejenak.