INICIAR SESIÓNSeorang auditor jenius abad ke-21, Alesha Naraya, terhempas ke abad ke-14—ke jantung kerajaan terbesar Noesantara: Majapahti. Ia terpaksa menyamar sebagai seorang pemuda untuk bertahan hidup. Penyamaran itu menyeretnya ke gerbang menuju kekuasaan, dan perlahan namanya melekat dengan sosok legendaris: Mahapatih Gaja Mada. Ia terjebak antara ambisi, rahasia, dan cinta terlarang pada Sang Raja, Arya Wuruk.
Ver másSore itu langit Majapahti dipenuhi cahaya tembaga, matahari condong ke barat, memantulkan sinarnya di dinding-dinding bata merah keraton. Gemuruh langkah prajurit, suara gonggongan anjing penjaga, serta bau dupa yang terbakar di pendapa bercampur jadi satu, menyelimuti suasana.
Di antara hiruk pikuk itu, sosok yang dinanti banyak mata akhirnya muncul—Mahapatih Gaja Mada. Tubuhnya tegak, langkahnya panjang dan mantap. Setiap kali ia melintasi lorong keraton, para dayang buru-buru menundukkan wajah hingga hampir mencium tanah. Namun di balik sikap hormat itu, tatapan-tatapan mencuri tetap terlontar, berusaha merekam sosok yang begitu berbeda dari para rakryan lain yang sudah menua. Mahapatih selalu berpakaian tertutup. Jubah panjang, kain berlapis, bahkan cadar yang menutupi setengah wajahnya. Di kala prajurit lain terbiasa bertelanjang dada atau hanya mengenakan pakaian tanpa lengan, ia tampil asing—misterius, hampir tak tersentuh. Rumor pun merebak. Ada yang berbisik bahwa ia menutup tubuhnya karena penuh bekas luka pertempuran. Ada pula yang percaya wajahnya cacat parah, sehingga tak pantas ditampakkan. Tetapi yang lebih sering mereka bicarakan justru sebaliknya—bahwa sepasang mata tajam yang bersinar dari balik penutup itu terlalu indah, kulit dahinya yang putih bersih terlalu memukau, sehingga membuat siapa pun bergetar hanya dengan sekali tatap. Tak ada yang berani mengucapkan keras-keras, tapi satu hal sudah lama beredar di keraton: Mahapatih Gaja Mada bukan manusia biasa. Ketika ia tiba di Dalem Mahapatih—kediaman pribadinya yang sunyi di sudut keraton—senja sudah semakin merayap. Para abdi membungkuk, lalu mundur tanpa suara, meninggalkan sang patih seorang diri. Hanya ketika pintu kayu berat itu tertutup rapat, barulah Mahapatih membuka cadarnya. Nafas panjang diembuskannya, seperti melepas beban. Kulit pucatnya tersibak, keringat halus membasahi pelipisnya setelah seharian rapat perang dan mendengar laporan dari utusan berbagai daerah. Tak ada seorang pun yang tahu, di balik pintu itu, betapa berat kehidupan yang dijalaninya. Ia—yang bagi semua orang adalah sosok paling perkasa setelah raja—sering kali merasa tubuhnya sendiri adalah penjara. Dengan gerakan lambat, ia melepaskan jubah panjangnya. Kain itu jatuh berderes di lantai, menyingkap tubuh ramping yang selalu berusaha disamarkan. Tangannya gemetar ketika ia mulai membuka balutan kain yang melilit dadanya. Lilitan itu ketat, menekan, menyiksa, tetapi harus ia lakukan setiap hari agar rahasia terbesar dalam hidupnya tetap tersembunyi. Karena di balik nama besar Mahapatih Gaja Mada, sesungguhnya tersembunyi seorang perempuan: Alesha Naraya—seorang perempuan dari abad ke-21, seorang auditor muda, jenius di balik layar kantor pencakar langit Sura bay. Hidupnya nyaris sempurna: karier menanjak, gaji besar, masa depan menjanjikan. Hingga satu malam, sebuah kecelakaan kecil mengubah segalanya. Ia terlempar jauh ke masa lampau, ke abad 14 pada masa Kerajaan Majapahti dibawah kepemimpinan raja Arya Wuruk. Namun sore itu, ia tidak benar-benar sendirian. Di sudut ruangan yang remang, sesosok bayangan berdiri diam, mengamatinya tanpa bersuara. Tatapannya tajam, bibirnya melengkung samar, seolah menunggu saat yang tepat. Ketika balutan kain itu melonggar, menyingkap lekuk tubuh yang selama ini terbungkus rapat, Alesha terhenti. Ada rasa lega bercampur getir setiap kali rahasianya hampir terbuka—tetapi kali ini, rasa lain menyusup. Nalurinya bergetar, seolah ada mata asing yang sedang menelanjangi dirinya. Perlahan, ia menoleh. Dan benar. Di sana, berdiri seorang lelaki—tinggi, berwibawa, dengan sorot mata yang ia kenal lebih dari siapa pun. Senyum samar menghiasi wajahnya, senyum yang tak seharusnya ia lihat di ruang pribadinya. Seketika Alesha tersentak, tubuhnya menegang. “Astaga… Arya!” serunya, suaranya pecah di udara senja. Belum sempat ia menutupi dirinya kembali, lelaki itu melangkah cepat. Dalam sekejap, ia meraih Alesha dari belakang, memeluknya erat, seakan takut sosok itu akan lenyap jika dilepas barang sedetik. Sementara di luar, langit Majapahti gelap perlahan, menyembunyikan rahasia paling berbahaya yang pernah ada di dalam tembok keraton. Pelukan itu bukan hanya mengungkap rahasia Alesha, tetapi juga menandai awal dari permainan berbahaya: cinta, kekuasaan, dan sejarah yang tak boleh berubah. Arya Wuruk menahan pelukan eratnya sejenak, merasakan tubuh Alesha yang masih bergetar. Setelah beberapa lama, Alesha menepuk lengannya, berusaha melepaskan diri. “Kapan paduka kembali? Mengagetkan saja,” ucap Alesha, nadanya setengah kesal, setengah lega. Arya Wuruk tersenyum, menundukkan wajahnya hingga matanya sejajar dengan mata Alesha yang masih diliputi resah. “Aku merindukanmu, Lêshā,” bisiknya lembut. “Namun yang lebih mengusikku ialah… mengapa setiap kali engkau pulang ke Dalem ini, selalu kudapati engkau menghela napas panjang, seakan dunia hendak runtuh di atas bahumu?” Alesha menunduk, jemarinya meraba balutan kain yang masih menekan dadanya. “Bagaimana mungkin aku tak menghela napas? Sehari-hari dada ini sesak, terhimpit kain berlapis-lapis. Nafasku sendiri pun terasa asing bagiku.” Arya mengusap lembut pundaknya, suaranya tenang, seperti hendak menidurkan keresahan. “Mau bagaimana lagi? Bukankah penyamaran ini satu-satunya jalan agar engkau dapat berperan di singgasana dan gelanggang? Jika penat melanda, aku bisa menjadikanmu putri bangsawan. Tinggal dalam balairung, dengan dayang-dayang setia menuruti titahmu.” Alesha menegakkan kepala, menatapnya dengan sorot penuh perlawanan. “Menjadi putri bangsawan dan hanya duduk seharian di rumah? Menunggu hari demi hari tanpa arti? Aku bisa mati bosan, Arya. Hidupku telah terikat dengan medan siasat, bukan kasur empuk atau kerisauan gaun.” Seulas senyum tersungging di wajah Arya. Ia menunduk, mengecup pelipis Alesha dengan lembut, seolah ingin menenangkan api yang membara dalam dirinya. “Lalu bagaimana jika hamba katakan, kita punya perkara baru?” tanyanya dengan nada hampir bercanda. Alesha mengerutkan kening. “Perkara apa lagi?” Arya menahan tawa kecil, namun sorot matanya penuh makna. “Beberapa rakryan telah datang kepadaku. Mereka hendak meminangkan putri-putrinya untuk dinikahkan dengan Mahapatih Gaja Mada.” Alesha sontak tertegun. Wajahnya memucat, seolah darahnya berhenti mengalir. “Apa?” bisiknya, napasnya tercekat. Arya mencoba meredakan, tetapi tawa kecil justru lolos dari bibirnya. “Aku tahu, lucu adanya. Mereka pikir Gaja Mada hanyalah lelaki perkasa yang pantas menjadi menantu.” Namun bagi Alesha, ini bukan kelucuan. Jantungnya berdegup kencang, rahangnya mengeras. “Bagaimana mungkin aku bisa menolak lamaran itu tanpa membuka rahasia? Aku bukan lelaki, Arya. Tidak mungkin aku membongkar penyamaranku hanya demi menolak seorang gadis bangsawan. Sekali terbuka, tamatlah sudah riwayatku—juga riwayatmu.” Ruangan mendadak hening, hanya suara napas mereka yang terdengar. Senja di luar hampir padam, meninggalkan bayangan panjang di dinding Dalem Mahapatih. Arya Wuruk menatapnya lekat-lekat, kali ini tanpa senyum. “Maka di sinilah ujian kita bermula, Lêshā. Rahasiamu adalah rahasia keraton. Dan rahasia itu kini terancam oleh tangan-tangan yang bahkan tidak tahu apa yang mereka usik.”Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga
Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da
Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se
"ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia
Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr
Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comentarios