“Kamu masih berani melawan!”Saat berbicara, Damar mengangkat tangannya lagi dan hampir menampar Kahar untuk yang ketiga kalinya. Namun, Abista segera mengulurkan tangan untuk menghentikannya. “Cukup, Ayah.”Abista mendorong Kahar ke samping, lalu melirik Damar dan berkata dengan acuh tak acuh, “Mau gimana pun kamu berpura-pura, reputasi Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan memang sudah sebusuk seperti kotoran di tangga ini.”Seusai berbicara, Abista pun melangkah melewati kotoran-kotoran itu dan naik ke kereta kuda dengan ekspresi datar.Kahar tidak menyangka Abista berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Ucapan itu jauh lebih keterlaluan daripada dalihannya tadi. Saat ini, ekspresi ayah mereka sudah sangat kelam.Pada akhirnya, Damar juga berjalan keluar seperti Abista dan tetap menghadiri rapat istana meskipun tercium aroma samar kotoran dari tubuhnya. Mengenai Kahar dan Ranjana, Damar mengurung mereka di rumah untuk sementara. Setelah pulang nanti, dia akan lanjut memberi pelajara
Di pagi-pagi buta sebelum Kahar dan Ranjana bangun, Damar sudah menyeret mereka turun dari tempat tidur.“Ada apa, Ayah?”“Hk! Dingin sekali! Ayah, kamu biarkan dulu aku pakai bajuku!”“Pakai baju? Mau pakai baju apa lagi kamu? Kalian sudah permalukan seluruh Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan!”Damar mendorong Kahar dan Ranjana keluar. Ketika tiba di depan gerbang kediaman, mereka terlebih dahulu melihat Abista yang berdiri di depan pintu.“Kak, kenapa kamu juga ada di sini? Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” tanya Kahar yang masih tidak tahu apa yang terjadi.Abista melirik Kahar dan Ranjana, lalu berkata dengan acuh tak acuh, “Sebaiknya kalian keluar sendiri dan melihatnya.”Ketika Abista berbicara, Kahar dan Ranjana samar-samar mencium semacam aroma busuk.“Aroma apa ini?”Kahar berjalan keluar sambil menutupi hidungnya. Begitu mendongak, matanya langsung membelalak dan dipenuhi dengan amarah.“Ini ulah siapa! Siapa yang sudah bosan hidup hingga berani menyiram kediaman kita deng
“Ranjana, getah akar pohon mati yang kamu berikan benar-benar bisa hancurkan ladang Syakia sampai dia nggak bisa lagi menanam apa pun di sana?”“Tentu saja.” Ranjana mendongak dan berkata dengan bangga, “Getah itu kutemukan dari kitab racun Raja Racun Tabib Hantu. Nggak ada banyak orang yang tahu soal itu. Selain Raja Racun Tabib Hantu yang turun tangan sendiri, nggak akan ada orang yang bisa selamatkan ladang obat Syakia.”Setelah mendengar hal itu, Kahar seketika merasa tenang.“Baguslah kalau begitu. Ini akan jadi pelajaran yang baik bagi Syakia. Kali ini, yang kita racuni itu ladang obatnya, bukan dia. Meski dia bisa tebak itu perbuatan kita, dia juga nggak akan bisa lakukan apa-apa terhadap kita. Lagian, meski hal ini tersebar, kita tetap bisa kendalikan dampaknya,” ujar Kahar sambil tersenyum penuh peremehan.Ranjana juga tersenyum tipis. “Dia nggak akan berani ngapa-ngapain. Dia bahkan mungkin datang memohon pada kita demi selamatkan ladang obatnya di Paviliun Awana itu. Nanti,
Yanto adalah mantan kepala Keluarga Kuncoro. Dia tentu saja sangat peka dalam beberapa hal dan menyadari apa kira-kira yang dipikirkan Syakia. Pada hari Syakia hendak kembali ke Kuil Bulani, dia menyerahkan sesuatu pada Syakia.“Nona, aku lahir dan dibesarkan di Keluarga Kuncoro. Meski harus mati, aku juga mau mati demi keturunan Keluarga Kuncoro. Jadi, aku harap Nona terima barang ini. Berikanlah aku sebuah kesempatan dan biarkanlah aku mati demi Nona.”Yanto memang sudah tua. Namun, memangnya kenapa meskipun begitu? Dia masih bisa memberikan kesempatan bagi dirinya untuk hidup sekali lagi demi Keluarga Kuncoro dan juga Syakia.Syakia melihat surat perjanjian penjualan diri yang disodorkan Yanto kepadanya, lalu bertanya, “Paman, kamu sudah berpikir dengan jelas?”Yanto menoleh untuk melihat Paviliun Awana dan kerinduan pun muncul di sepasang matanya. Kemudian, dia kembali memandang Syakia dengan tatapan yang digunakannya untuk memandang kakeknya Syakia dulu.Yanto menjawab dengan seri
Syakia sudah berjanji untuk memberikan semua obat herbal yang ditanam di Paviliun Awana kepada Adika. Obat herbal ini awalnya akan dibagikan kepada Pasukan Bendera Hitam yang terluka atau cacat karena berperang demi Dinasti Minggana selama bertahun-tahun. Sekarang, sebagian besar tanaman yang sudah ditanam selama sebulan malah dihancurkan oleh sekelompok orang ini. Mereka bahkan juga meracuni ladangnya. Mana mungkin Syakia diam saja dalam menghadapi kekejaman seperti ini?Syakia tidak akan mengampuni dalang di balik insiden ini maupun sekelompok penjahat di depannya.“Paman Yanto, layanilah mereka dengan ‘baik’.”Yanto tidak menyangka Syakia memiliki sisi seperti ini. Dia awalnya mengira Syakia yang selama ini terlihat lembut dan baik hati sangat mirip dengan Anggreni. Tak disangka, di balik kelembutan Syakia, tersembunyi juga sisi yang tegas dan kejam seperti ini. Dia sangat mirip dengan kakeknya dulu!Sepasang mata Yanto langsung berbinar. Dia menatap Syakia dengan tatapan membara,
“Kalau begitu, Paman Yanto tolong aturkan orang-orang untuk melakukan semua itu mulai besok. Maaf harus merepotkan Paman selama beberapa hari ke depan.”“Nggak repot kok. Ini cuma hal sepele. Hanya saja, orang-orang yang menaruh racun masih belum tertangkap. Kalau kita sudah selesaikan masalah ini, orang-orang itu mungkin akan datang lagi.”Syakia tentu saja mengetahui hal ini. Dia pun tersenyum tipis dan menjawab, “Paman Yanto nggak usah khawatir. Paman aturkan saja orang-orang untuk memulihkan tanah ini besok. Malam ini, orang-orang itu akan tertangkap.”...Malam ini.Pada malam yang larut, sekelompok orang yang masing-masing membawa sebuah ember kayu menghindari orang-orang yang sedang berpatroli dan diam-diam menyelinap ke Paviliun Awana.“Kak Eka, kemarin, kita sudah siram ladang sisi barat. Yang sisi selatan juga sudah ada beberapa yang kita siram. Apa malam ini kita perlu ganti tempat dan pergi ke sisi barat atau utara?”“Boleh juga. Kalau begitu, kita pergi dulu ke sisi barat.
“Apa orang-orang itu sudah tertangkap?”“Beberapa orang yang datang di hari pertama sudah tertangkap. Tapi, beberapa hari kemudian, muncul lagi sekelompok orang yang baru. Selain itu, mereka juga makin hati-hati dan sangat licik. Yang meracuni ladang obat itu mereka.”Syakia bertanya, “Ada orang yang kena dampaknya?”Yanto menggeleng. “Mereka sepertinya cuma menargeti ladang obat kita. Jadi, nggak ada dampak besar bagi orang-orang.”Syakia mencibir, “Kalau ada orang yang keracunan, masalah ini nggak akan sesederhana itu.”Setelah memahami situasinya, Syakia memberi perintah, “Maaf merepotkan Paman Yanto. Berhubung ini masih pagi, aku mau pergi lihat keadaan di Paviliun Awana.”Shanti kebetulan juga ada di tempat. Setelah mendengar ucapan Syakia, dia pun berkata, “Aku akan ikut bersama kalian.”“Aku juga! Aku juga mau ikut!” seru Eira sambil buru-buru mengangkat tangannya.Setelah keluar dari Kuil Bulani, terdapat sebuah kereta kuda sederhana yang sudah menunggu. Ini adalah pesan Syakia
Adika tidak menyangka Syakia masih mengingat hal ini, juga sudah memisahkan ladang obat itu untuknya. Dia sangat terharu. Mana mungkin dia tidak jatuh cinta pada Syakia yang begitu baik? Hanya saja, apa yang dikatakan Laras juga benar. Kalau ada orang yang mengetahui pikiran Adika yang seperti ini, itu bisa merusak praktik biksuni dan reputasi Syakia. Hal ini sangatlah tidak bermoral. Jadi, Adika hanya bisa menyembunyikan perasaan ini dengan hati-hati.Tanpa Laras, rombongan ini sama sekali tidak terpengaruh. Tidak lama kemudian, mereka pun mulai melanjutkan perjalanan.Dua hari kemudian, rombongan yang pergi ke Lukati pun kembali ke ibu kota. Kepulangan mereka kali ini berbeda dari sebelumnya. Kali ini, Kaisar yang memimpin para pejabat untuk menunggu di tembok kota demi menyambut mereka. Pasukannya begitu besar hingga Syakia merasa terkejut.Setelahnya, Syakia baru tahu bahwa kabar dari Lukati sudah tersebar hingga ke ibu kota. Setelah berhasil memohon hujan untuk mengakhiri kekeri
Keadaan di dalam hutan menjadi hening untuk sejenak. Kemudian, baru terdengar tawa mengejek yang rendah.“Yang kamu bilang benar. Aku memang nggak layak.” Adika memasang tampang dingin dan melanjutkan, “Tapi, kamu lebih nggak layak lagi. Kamu mau pakai informasi orang itu untuk paksa aku? Sayangnya, aku nggak akan masuk jebakanmu.”Seusai berbicara, Adika langsung mengangkat tangannya. Beberapa prajurit Pasukan Bendera Hitam pun segera muncul dan mengepung Laras.Laras sontak merasa terkejut. Firasat buruk juga mulai menyelimuti hatinya. “Mau apa kamu?”Adika menjawab dengan dingin, “Kamu seharusnya berterima kasih dengan baik pada Sahana. Kalau bukan demi dia, aku sudah penggal kepalamu dari awal.”Seusai berbicara, Adika berbalik dan memberi perintah, “Bawa dia pergi, lalu ikat dia dengan baik sebelum serahkan dia pada Bupati Nugraha. Suruh Bupati Nugraha awasi dia dengan baik. Selama dia nggak mati, terserah bagaimana Bupati Nugraha mau menghukumnya. Tapi, kalau orangnya sampai kabu