LOGINHasa melangkah masuk, degup jantungnya berpacu kencang. Musik jazz mengalun lembut, para tamu bergaun mahal saling bercengkerama. Matanya liar mencari sosok yang jadi tujuannya.
Di sofa merah yang tak jauh dari Hasa, duduk dua orang pria muda yang paling mencolok di antara semuanya. Mereka cukup menyita perhatian terutama bagi kaum wanita, tapi semuanya menjaga jarak tidak ada yang berani duduk mendekat. Hasa ingat dari foto yang dia cari bahwa dua orang itu adalah tuan muda dari keluarga Huston. Hasa lalu melangkah anggun mendekati sofa. Ia meraih dua gelas minuman dari pelayan yang lewat, lalu dengan berani menaruhnya di meja mereka. Tanpa basa-basi, ia duduk tepat di sisi Dama, putra tertua dari keluarga Huston, sebuah tindakan yang tak seorang pun berani lakukan sejak tadi. "Selamat malam calon suamiku!" ucapnya lantang. Ucapan itu sukses membuat dua kakak beradik Huston menoleh bersamaan. Banyak mata yang membelalak tak percaya. Wajah mereka berubah tegang, semua benar-benar penasaran pada wanita nekat yang kini duduk persis di samping Dama Huston. Akan seperti apa nasibnya? Satu Minggu yang Lalu "Tuan, ada berita tentang pertunangan keluarga Huston dan Halyas," ucap Stephanie, sekretaris Dama, sambil menyerahkan tablet dengan kedua tangan. Suaranya hati-hati, seolah tahu sang bos tidak suka dengan gosip semacam itu. Dama menerima, jemarinya yang panjang dan tegas menggulir layar. Gambar di layar membuat rahangnya sedikit mengeras. "Hapus saja," katanya dingin, tanpa ekspresi berarti. "Tapi berita itu menimbulkan komentar positif atas tuduhan mereka tentang Tuan yang selama ini menyimpang," ujar Stephanie, memberanikan diri. "Benarkah?" Dama mengangkat alis, suaranya pelan namun penuh tekanan. "Ya. Lagi pula, Halyas ini tidak terkenal, perusahaan mereka jauh di bawah Huston Holding." Dama terdiam beberapa detik, pandangannya kosong menembus layar tablet seakan sedang menimbang risiko dan keuntungan. "Baiklah, biarkan saja," katanya akhirnya. Kembali ke pesta Lampu kristal yang berkilauan memantul di bola mata Dama. Ia menatap Hasa yang duduk terlalu dekat dengannya. Tatapannya menusuk dingin, seolah mencoba menelanjangi jati diri gadis itu. Dari caranya berbicara, jelas wanita di hadapannya berbeda dengan sosok yang ditunjukkan Stephanie di berita. Dama tak butuh waktu lama untuk menyimpulkan bahwa Hasa adalah seorang 'penipu.' Bukan pertama kalinya wanita asing datang padanya, mengaku-ngaku punya hubungan ujung-ujungnya ingin menjebak. Hasa mengulurkan tangannya, senyum tipis menghias bibirnya meski sorot matanya menyiratkan ketegangan. Ia mencoba memberi kesan resmi, sopan, padahal dalam dadanya jantung berdentam tak karuan. Banyak yang ternganga, tak percaya wanita itu berani sejauh ini. Sesuai dugaan mereka, Dama hanya memberi isyarat mata. Seorang pria berbadan tegap, berjas hitam, segera mendekat. Tangannya keras mencengkeram pergelangan Hasa lalu menariknya menjauh. "Lepas!" Hasa berontak, suaranya memecah musik pesta. "Anda merusak ketenangan tuan kami," kata pengawal itu dengan nada dingin. "Silakan menjauh atau..." "Acara ini bukan milik pribadi, aku juga berhak ada di pesta ini," potong Hasa, suaranya lantang meski getar ketakutan terselip. "Tuan Dama terganggu. Apa Anda tahu artinya?" Tatapan pengawal itu tajam, intimidasi jelas terpancar. Lutut Hasa hampir melemah, tapi ia bertahan. Ia tak bisa mundur sebelum bicara dengan Dama Huston. Suasana pesta mendadak menegang. Banyak mata beralih memperhatikan keributan kecil itu. Dama dan Willy sama-sama mengeras rahangnya, rasa jengkel jelas tampak. Dama segera beranjak, bermaksud meninggalkan meja. "Sayang, kau mau pergi ke mana?" Hasa tiba-tiba merangkul tangan Dama, tanpa malu. Dama menoleh, wajahnya tampak jijik. Ia mencoba melepaskan, tapi Hasa menempel erat, lalu berbisik di telinganya, suaranya lirih namun tajam. "Perlakukan aku dengan baik jika tidak mau nama baikmu hancur." Dama terhenti sejenak. Ucapan itu mengejutkannya, meski wajahnya tetap datar. "Aku punya sesuatu yang akan menghebohkan dunia. Jika kau tidak mau hal itu terjadi, bawa aku bersamamu," bisik Hasa lagi, semakin berani. "Wah, berani sekali wanita itu? Apa dia tidak takut mati?" komentar salah satu tamu, cukup keras hingga terdengar orang di sekitarnya. Hasa menggertakkan gigi, rasa gentar berkelebat, tapi ia tak mundur. Pengawal tadi sudah bergerak lagi, mencengkeram lengannya kasar. "Dama sayang, jangan begini, kasihan bayi kita," teriak Hasa sengaja. Dalam sekejap pesta itu berubah gaduh. Bisik-bisik berhamburan. "Wah, ternyata gosip itu benar." "Dama huston akan segera menikah?" "Bahkan wanitanya sudah mengandung?" "Berita besar yang akan menggemparkan media." Wajah Dama menegang, urat di pelipisnya muncul. Ia menatap Hasa yang kini berair mata, tubuhnya bergetar seakan benar-benar akan runtuh. "Tolong jangan marah. Aku... aku minta maaf karena tidak bisa menuruti keinginanmu. Ini bayi kita bersama. Dia-dia pasti ingin melihat kedua orang tuanya di dunia, hiks… hiks…" Suara Hasa pecah, air matanya menetes deras, menimbulkan rasa iba bagi banyak orang yang menyaksikan. "Frank, bawa perempuan ini!" Dama mendesis, suaranya keras menahan amarah. Ia dipermalukan di depan khalayak, dan itu tak bisa lagi ditoleransi. Hasa tersedu, meraih tangan Dama sebelum dibawa. "Sayang," pintanya parau. Tangan itu ditepis keras. Tubuh Hasa terlempar hingga jatuh ke lantai. Suara dentuman tubuhnya membuat para tamu berteriak. "Awww, perutnya...." "Dasar tidak punya hati!" "Dia tega mendorong wanita yang sedang mengandung bayinya!" "Ya Tuhan, apa gunanya ketampanannya itu?" "Dia memang tampan dan kaya, tapi sayang tidak punya hati. Kasihan sekali wanita itu." Dama merasa telinganya panas, begitu pula Willy. Semua komentar buruk memenuhi telinga, membuat pengawal yang tadi menarik Hasa jadi serba salah. "Bawa perempuan itu sebelum semuanya bertambah kacau," bisik Willy, mendekat ke telinga kakaknya. "Kau!" Dama menyipitkan mata, jelas tidak menyukai saran dari adik yang hanya beda satu tahun darinya itu. "Selesaikan di tempat tertutup, sebelum hal ini sampai di telinga Ayah," Willy menegaskan lalu beranjak pergi, meninggalkan kakaknya yang tengah diliputi amarah. Dama memberi kode pada Frank. Dengan cepat Hasa diseret, sementara Dama dan Willy keluar dari pesta lewat arah berbeda. Satu mobil membawa Hasa, satu lagi membawa Dama menuju hotel keluarga. "Mau dibawa ke mana aku?" suara Hasa bergetar, matanya terbelalak. Ia tahu reputasi Dama yang terkenal dingin, dia tak segan menyingkirkan siapa pun. Bayangan buruk memenuhi kepalanya, akan dibunuhkah dia? atau dibuang entah ke mana? Perjalanan singkat berakhir di sebuah hotel mewah tak jauh dari tempat pesta. Frank berjalan tegap, Hasa mengikuti dengan langkah ragu. Mereka masuk ke lift, menuju lantai tujuh. Detak jantung Hasa berpacu seiring angka digital di atas pintu lift berganti. Ting. Pintu terbuka, lorong hening dengan karpet merah menyambut mereka. Frank berjalan sampai berhenti di depan pintu nomor tujuh president suite. Ia membuka pintu, memberi isyarat agar Hasa masuk. Udara di dalam kamar berbeda. Sejuk, tapi menyesakkan. Lampu gantung mewah memancarkan cahaya keemasan, tapi hawa yang menyelimuti justru membuat bulu kuduk Hasa berdiri. Tubuhnya seketika menegang saat melihat Dama sudah berdiri di dalam, menunggunya. Sorot mata lelaki itu tajam, seperti pisau terhunus. "Sudah terlambat untuk menyesal," ucap Dama, nadanya rendah, tapi cukup untuk membuat nyali Hasa menciut. Frank mendorong tubuh Hasa masuk, pintu menutup rapat dari luar. Kini hanya ada mereka berdua, dan atmosfir yang semakin mencekam.Sebelum Hasa pergi meninggalkan kamar hotel, mereka berjanji akan bertemu dua hari lagi, untuk membahas perjanjian yang berisi syarat dari Hasa dan Dama.Dia tidak pulang ke rumah Rene, melainkan ke rumah tempatnya membuat guci. Selama ini Hasa punya rumah kecil di pinggir kota, rumah yang sengaja disewa untuk pekerjaannya. Suasana hatinya sedikit membaik hingga membuatnya ingin kembali membentuk tanah liat itu. Tapi, sebelum itu Hasa membeli makanan instan dan camilan untuk bekalnya sampai sore hari.Baru saja mendudukkan diri di kursi kayu, suara pintu dibuka paksa dari luar terdengar. Hasa terperanjat, dia tau siapa yang datang. Sarah masuk dengan mata menyala marah, dia langsung menghampiri Hasa dan melayangkan tangannya ke udara, dengan cepat Hasa menahannya. Lalu mata mereka bertemu tajam.Sarah heran, tidak biasanya Hasa seperti ini, menghindari pukulannya, biasanya dia hanya pasrah dan tidak punya keberanian untuk melawan ataupun membalas tatapannya. Ada perubahan pada dir
Hasa bangkit, dia mendapati paperbag di sampingnya, isinya sepaket pakaian wanita lengkap. Dia mandi dan mengganti baju. Cukup pas di tubuhnya dan yang membuat Hasa heran, baju ini sesuai dengan seleranya. Jeans yang tidak sempit juga kaos oblong longgar, kesehariannya memang menyukai pakaian casual seperti itu.Dama sudah menunggunya di meja yang sudah terisi oleh menu sarapan pagi. Hasa duduk menghampirinya."Sekretarisku tidak tau jenis make up yang biasa kau gunakan," ucap Dama."Ti- tidak apa-apa, aku-aku lebih suka seperti ini," kata Hasa. Dia merasa Dama terlihat berbeda, tidak semenakutkan yang diberitakan oleh orang-orang."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Dama. Tangannya belum menyentuh sarapan, rasa penasarannya jauh lebih tinggi setelah tau asal-usul Hasa.Hasa sempat ragu tapi tetap saja menjawab. "Aku ingin kau menikahi ku.""Kau bukan bagian dari keluarga Halyas, memangnya apa yang bisa kau berikan padaku?"Hasa menatap heran. "Kau tau kalau aku bukan anak kandung k
"Akting yang luar biasa, prok...prok...prok...!" Dama bertepuk tangan tanpa melepaskan pandangannya dari sosok Hasa.Tubuh Hasa menegang, dia menatap sekeliling. Dalam hati ia bicara 'padahal cuma ingin bicara, tapi mengapa harus di tempat seperti ini.'"Bagaimana kalau kita wujudkan kehamilanmu malam ini?""A-apa?" Hasa terkejut bukan main."Cih!" Dama tersenyum tapi sama sekali tidak manis.Sedangkan Hasa nyalinya semakin menciut. Dalam hati dia menyesali keputusannya malam ini. Yang ingin dilakukannya adalah keluar dari tempat ini, tapi itu sepertinya mustahil karena dia sudah membangkitkan amarah seorang Dama dengan cara mempermalukannya di pesta."Huh, tempat ini panas, bagaimana kalau kita bicara di luar saja, udaranya lebih terbuka, hehe..." Hasa mengipas-ngipaskan tangannya berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya.Akting Hasa terlalu mudah ditebak, Dama mengambil remot AC lalu menurunkan suhunya ke yang paling rendah. Sontak Hasa menyilangkan tangannya di dada karena sang
Hasa melangkah masuk, degup jantungnya berpacu kencang. Musik jazz mengalun lembut, para tamu bergaun mahal saling bercengkerama. Matanya liar mencari sosok yang jadi tujuannya.Di sofa merah yang tak jauh dari Hasa, duduk dua orang pria muda yang paling mencolok di antara semuanya. Mereka cukup menyita perhatian terutama bagi kaum wanita, tapi semuanya menjaga jarak tidak ada yang berani duduk mendekat.Hasa ingat dari foto yang dia cari bahwa dua orang itu adalah tuan muda dari keluarga Huston. Hasa lalu melangkah anggun mendekati sofa. Ia meraih dua gelas minuman dari pelayan yang lewat, lalu dengan berani menaruhnya di meja mereka.Tanpa basa-basi, ia duduk tepat di sisi Dama, putra tertua dari keluarga Huston, sebuah tindakan yang tak seorang pun berani lakukan sejak tadi."Selamat malam calon suamiku!" ucapnya lantang.Ucapan itu sukses membuat dua kakak beradik Huston menoleh bersamaan. Banyak mata yang membelalak tak percaya. Wajah mereka berubah tegang, semua benar-benar pena
"Aku ingin kita putus," ucap Don, suaranya terdengar datar. Dia baru saja duduk di hadapan kekasihnya, Hasa.Di luar jendela kaca, petir menggelegar hebat, seakan mewakili hati gadis cantik yang duduk di hadapannya. Sudah tiga puluh menit Hasa menunggunya, mereka berjanji menghabiskan sore ini bersama, Don datang, namun yang terjadi adalah mala petaka."Sepolar Group gagal produksi dan mengalami kerugian, butuh dana besar untuk memulihkannya, orang tuaku ingin aku menikahi gadis pewaris dari keluarga kaya, bukan anak adopsi sepertimu," lanjut Don, membuat batin Hasa teriris.Hasa menunduk, jemarinya meremas ujung roknya sampai kusut. Matanya berkaca-kaca, bibirnya tertutup seolah tak bisa bersuara. Bunyi deras hujan di luar jendela menyatu dengan dadanya yang terasa sesak.Dia memang anak yang di adopsi dari panti asuhan oleh keluarga Halyas. Sebagai anak pungut Hasa sudah diberitahu bahwa dia tidak akan mewarisi harta keluarga Halyas sedikitpun, selain hanya diberi pendidikan saja."







