LOGIN"Akting yang luar biasa, prok...prok...prok...!" Dama bertepuk tangan tanpa melepaskan pandangannya dari sosok Hasa.
Tubuh Hasa menegang, dia menatap sekeliling. Dalam hati ia bicara 'padahal cuma ingin bicara, tapi mengapa harus di tempat seperti ini.' "Bagaimana kalau kita wujudkan kehamilanmu malam ini?" "A-apa?" Hasa terkejut bukan main. "Cih!" Dama tersenyum tapi sama sekali tidak manis. Sedangkan Hasa nyalinya semakin menciut. Dalam hati dia menyesali keputusannya malam ini. Yang ingin dilakukannya adalah keluar dari tempat ini, tapi itu sepertinya mustahil karena dia sudah membangkitkan amarah seorang Dama dengan cara mempermalukannya di pesta. "Huh, tempat ini panas, bagaimana kalau kita bicara di luar saja, udaranya lebih terbuka, hehe..." Hasa mengipas-ngipaskan tangannya berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. Akting Hasa terlalu mudah ditebak, Dama mengambil remot AC lalu menurunkan suhunya ke yang paling rendah. Sontak Hasa menyilangkan tangannya di dada karena sangat dingin. 'Gagal.' Dalam hati Hasa. "Eghm.. eghm.., tenggorokanku kering, boleh aku keluar untuk mengambil air minum?" Cara kedua. Tiba-tiba bel berbunyi, Dama melangkah ke pintu, seorang pelayan membawa nampan berisi dua gelas kosong, es batu juga sebotol minuman. Hasa tau pasti itu adalah anggur. 'Gagal lagi.' Rasanya ia ingin menangis saat ini. Dama tak membiarkan pelayan itu masuk, dia sendiri yang membawa nampannya ke dalam lalu meletakkan minuman itu di atas meja. Dama juga menuangkan isinya ke dalam gelas. "Maaf! Sebenarnya aku tidak meminum alkohol," kata Hasa berupaya untuk menolak. Dama mengambil satu gelas, ia bersandar di sofa setelah menyesap sedikit minumannya. Ekspresi Hasa sudah tak karuan sungguh hatinya sudah ketar-ketir saat ini. Dama menggulir handphonenya setelah mendapatkan pesan masuk dari Stephanie sekretarisnya. Setelah membaca semua informasi tentang Hasa sampai kenapa dia bisa masuk ke dalam pesta, senyum smirk timbul di bibirnya. Kini dia menatap Hasa dengan tajam. "Duduk!" perintahnya. Hasa bergerak sangat pelan dan hati-hati, dia memilih sofa yang paling jauh dari Dama. Hasa salah besar karena berpikir mudah untuk membicarakan rencananya dengan Dama. "Minum!" perintah Dama lagi. "A-aku tidak biasa minum anggur," kata Hasa masih menolak. "Baiklah, kalau begitu kita langsung saja," ucap Dama, dia melepas jasnya lalu melonggarkan dasinya. Mata Hasa sampai melotot, lalu selanjutnya Dama membuka bagian atas kancing kemejanya. Jantung Hasa sudah tidak terkendali, ketakutannya luar biasa, dengan cepat dia menurut. "I-iya, aku akan minum." Hasa segera mengambil gelas dan meneguk isinya sedikit. "Jika ingin bicara denganku, habiskan isi gelas itu." Hasa tidak bisa berkutik, mau tidak mau dia segera menyesapnya hingga tandas, setelah itu kepalanya menggeleng pusing, matanya berkedip-kedip. Hasa tidak sekuat orang-orang, dia lemah terhadap alkohol meski ini bukan kali pertamanya minum, karena Morena sering memaksanya untuk minum. Bahkan Hasa pernah hampir diperkosa saat pulang menemani Morena minum. Saat itu Morena memintanya untuk turun membeli sesuatu, saat dia kembali mobil telah pergi. Hasa berjalan mencari taksi saat itulah ada tiga preman jalanan menghampirinya. Hasa diganggu, dia mencoba minta tolong tapi malam itu sepi dan hujan pun mulai turun, Hasa berusaha mempertahankan dirinya, dia berlari tapi ketiga orang itu mengejarnya, sampai sebuah mobil nyaris menabraknya. Pemilik mobil itu adalah Don, dia menyelamatkan Hasa dari ketiga preman itu dan mengantarkannya pulang. Di situlah awal mula perkenalan mereka dan mulai menjalin hubungan hingga ketahap pacaran. "Gadis lemah, tapi ku akui nyalimu cukup berani," ucap Dama. "Hei, kau bilang apa?" Hasa berteriak karena dia sudah mabuk. "Dasar lemah," ulang Dama dengan tatapan mengejek. Tiba-tiba Hasa bangkit, dia berjalan sempoyongan ke arah Dama. Dia menunduk menatap wajah Dama, lalu jarinya menyentil bibir Dama. "Berani sekali mulutmu mengatakan aku lemah. Ck." Dama sampai tidak bisa berkutik karena jarak wajah mereka yang terlalu dekat, sampai-sampai jakunnya terlihat naik turun. Pluk Hasa terjatuh ke dalam pelukan Dama. Posisi mereka cukup intim membuat jantung Dama berdetak tak karuan. Untuk beberapa saat dia terdiam sampai terdengar suara mengorok dari bibir Hasa. Dama memindahkannya ke atas tempat tidur. Dia menyelimuti Hasa, setelah itu Dama kembali minum. Dia mengambil botol lalu membaca komposisinya. "Aneh, padahal kandungan alkohol ini tidak tinggi." tapi segelas saja mampu menumbangkan gadis yang sudah beramempermalukannya itu di pesta. ___ Hal yang paling menghebohkan pun terjadi pagi ini. Berita tentang Dama Huston dan gadis misterius muncul di berita, dengan cepat menyebar hingga jutaan penonton. Dama Huston akan segera menikah. Sepertinya bukan gadis yang ada dalam berita. Calon istrinya sedang mengandung. Huston akan memiliki menantu. Dan yang paling gong adalah foto Dama saat memasuki hotel, lalu foto Hasa, foto saat Dama memasuki pintu kamar president suite dan ketika Hasa di antar oleh Frank ke pintu yang sama. Di kediaman Huston, Willy sedang tertawa terbahak-bahak, di sampingnya Nenek Mori tersenyum setelah menyesap tehnya. "Bagaimana nenek, aku melakukannya dengan baik bukan?" Ternyata foto itu adalah ulahnya. Di lorong kamar president suite tidak ada siapapun. Sedangkan Willy pemilik kamar di sebelah kamar kakaknya. "Willy, nenek rasa ini pasti salah, karena wanita yang dijodohkan dengan Dama tidak seperti itu wajahnya," ucap Nenek Mori masih menatap foto itu dengan kaca matanya. "Nenek bilang Halyas hanya punya satu putri. Aku sudah mencari tahu tentang gadis itu, dan benar dia dari keluarga Halyas." Willy yakin dia berkata benar. ___ Di kediaman Halyas ternyata jauh lebih heboh. Di mana saat ini dada Morena memanas, foto Hasa dan Dama di tempat yang sama telah membakar nalurinya. "Ini tidak bisa dibiarkan, kenapa dia bisa bersama Dama? Aku saja belum pernah bicara dengan laki-laki itu." Nafasnya naik turun tak beraturan. Dalam sekejap panick attack menyerangnya. Sarah sendiri pun bingung, kenapa anak adopsinya itu bisa mengenal Dama yang notabenenya adalah dari keluarga terpandang nomor satu di kota itu. Sedangkan Hasa selama ini jarang bergaul, hari-harinya hanya disibukkan dengan guci. "Ibu lakukan sesuatu, cepat suruh Hasa datang!" Tak ada lagi sisa ketenangan di dada Morena, yang ada hanya rasa ingin menerkam Hasa saat ini. Mereka segera menghubungi nomor Hasa. ___ Suara handphone di dalam tas mengusik tidur seorang gadis yang tampak polos di atas tempat tidur. Di sisi ranjang Dama terlihat berdiri dan sudah dalam keadaan rapi. Hasa membuka matanya perlahan lalu menguap lebar. Seolah dirinya berada di tempat tidurnya pribadi tanpa ada orang lain di sana. Sinar terang menembus tirai. "Ahh, sepertinya aku kesiangan, pasti Rene sudah pergi ke rumah sakit," ucapnya lalu mengedarkan pandangan. "Hah, si-siapa kau?" Matanya membelalak sempurna saat sosok Dama berdiri sedang menatapnya. Pikiran Hasa langsung mengarah pada kejadian tadi malam, dia di pesta lalu ke hotel, minum dan.... Sontak jantungnya berdegup kencang, Hasa mengintip ke dalam selimut, gaunnya masih lengkap seperti tadi malam. Tangannya terulur meraba bagian sensitifnya, tapi Hasa tidak merasakan keanehan, selain hanya ingin pipis saja. "Sudah ingat?" tanya Dama. Pria itu mengancingkan lengan kemejanya, bajunya sudah berganti dari yang tadi malam. Hasa jadi tidak enak hati. "Terima kasih karena tidak menyentuhku!" katanya. "Tidak akan selesai dengan kata terima kasih, karena kau sudah mempermalukanku, aku akan melakukan sesuatu padamu," kata Dama. Hasa ingin meminta maaf, tapi lidahnya kelu. "Bi-bisakah kau melupakan kejadian itu?" Hasa mengatupkan kedua tangannya. Wajahnya yang imut membuat Dama tak ingin cepat berpaling. "Bersihkan dirimu, setelah itu kita bicara," kata Dama lalu berjalan ke arah balkon.Sebelum Hasa pergi meninggalkan kamar hotel, mereka berjanji akan bertemu dua hari lagi, untuk membahas perjanjian yang berisi syarat dari Hasa dan Dama.Dia tidak pulang ke rumah Rene, melainkan ke rumah tempatnya membuat guci. Selama ini Hasa punya rumah kecil di pinggir kota, rumah yang sengaja disewa untuk pekerjaannya. Suasana hatinya sedikit membaik hingga membuatnya ingin kembali membentuk tanah liat itu. Tapi, sebelum itu Hasa membeli makanan instan dan camilan untuk bekalnya sampai sore hari.Baru saja mendudukkan diri di kursi kayu, suara pintu dibuka paksa dari luar terdengar. Hasa terperanjat, dia tau siapa yang datang. Sarah masuk dengan mata menyala marah, dia langsung menghampiri Hasa dan melayangkan tangannya ke udara, dengan cepat Hasa menahannya. Lalu mata mereka bertemu tajam.Sarah heran, tidak biasanya Hasa seperti ini, menghindari pukulannya, biasanya dia hanya pasrah dan tidak punya keberanian untuk melawan ataupun membalas tatapannya. Ada perubahan pada dir
Hasa bangkit, dia mendapati paperbag di sampingnya, isinya sepaket pakaian wanita lengkap. Dia mandi dan mengganti baju. Cukup pas di tubuhnya dan yang membuat Hasa heran, baju ini sesuai dengan seleranya. Jeans yang tidak sempit juga kaos oblong longgar, kesehariannya memang menyukai pakaian casual seperti itu.Dama sudah menunggunya di meja yang sudah terisi oleh menu sarapan pagi. Hasa duduk menghampirinya."Sekretarisku tidak tau jenis make up yang biasa kau gunakan," ucap Dama."Ti- tidak apa-apa, aku-aku lebih suka seperti ini," kata Hasa. Dia merasa Dama terlihat berbeda, tidak semenakutkan yang diberitakan oleh orang-orang."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Dama. Tangannya belum menyentuh sarapan, rasa penasarannya jauh lebih tinggi setelah tau asal-usul Hasa.Hasa sempat ragu tapi tetap saja menjawab. "Aku ingin kau menikahi ku.""Kau bukan bagian dari keluarga Halyas, memangnya apa yang bisa kau berikan padaku?"Hasa menatap heran. "Kau tau kalau aku bukan anak kandung k
"Akting yang luar biasa, prok...prok...prok...!" Dama bertepuk tangan tanpa melepaskan pandangannya dari sosok Hasa.Tubuh Hasa menegang, dia menatap sekeliling. Dalam hati ia bicara 'padahal cuma ingin bicara, tapi mengapa harus di tempat seperti ini.'"Bagaimana kalau kita wujudkan kehamilanmu malam ini?""A-apa?" Hasa terkejut bukan main."Cih!" Dama tersenyum tapi sama sekali tidak manis.Sedangkan Hasa nyalinya semakin menciut. Dalam hati dia menyesali keputusannya malam ini. Yang ingin dilakukannya adalah keluar dari tempat ini, tapi itu sepertinya mustahil karena dia sudah membangkitkan amarah seorang Dama dengan cara mempermalukannya di pesta."Huh, tempat ini panas, bagaimana kalau kita bicara di luar saja, udaranya lebih terbuka, hehe..." Hasa mengipas-ngipaskan tangannya berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya.Akting Hasa terlalu mudah ditebak, Dama mengambil remot AC lalu menurunkan suhunya ke yang paling rendah. Sontak Hasa menyilangkan tangannya di dada karena sang
Hasa melangkah masuk, degup jantungnya berpacu kencang. Musik jazz mengalun lembut, para tamu bergaun mahal saling bercengkerama. Matanya liar mencari sosok yang jadi tujuannya.Di sofa merah yang tak jauh dari Hasa, duduk dua orang pria muda yang paling mencolok di antara semuanya. Mereka cukup menyita perhatian terutama bagi kaum wanita, tapi semuanya menjaga jarak tidak ada yang berani duduk mendekat.Hasa ingat dari foto yang dia cari bahwa dua orang itu adalah tuan muda dari keluarga Huston. Hasa lalu melangkah anggun mendekati sofa. Ia meraih dua gelas minuman dari pelayan yang lewat, lalu dengan berani menaruhnya di meja mereka.Tanpa basa-basi, ia duduk tepat di sisi Dama, putra tertua dari keluarga Huston, sebuah tindakan yang tak seorang pun berani lakukan sejak tadi."Selamat malam calon suamiku!" ucapnya lantang.Ucapan itu sukses membuat dua kakak beradik Huston menoleh bersamaan. Banyak mata yang membelalak tak percaya. Wajah mereka berubah tegang, semua benar-benar pena
"Aku ingin kita putus," ucap Don, suaranya terdengar datar. Dia baru saja duduk di hadapan kekasihnya, Hasa.Di luar jendela kaca, petir menggelegar hebat, seakan mewakili hati gadis cantik yang duduk di hadapannya. Sudah tiga puluh menit Hasa menunggunya, mereka berjanji menghabiskan sore ini bersama, Don datang, namun yang terjadi adalah mala petaka."Sepolar Group gagal produksi dan mengalami kerugian, butuh dana besar untuk memulihkannya, orang tuaku ingin aku menikahi gadis pewaris dari keluarga kaya, bukan anak adopsi sepertimu," lanjut Don, membuat batin Hasa teriris.Hasa menunduk, jemarinya meremas ujung roknya sampai kusut. Matanya berkaca-kaca, bibirnya tertutup seolah tak bisa bersuara. Bunyi deras hujan di luar jendela menyatu dengan dadanya yang terasa sesak.Dia memang anak yang di adopsi dari panti asuhan oleh keluarga Halyas. Sebagai anak pungut Hasa sudah diberitahu bahwa dia tidak akan mewarisi harta keluarga Halyas sedikitpun, selain hanya diberi pendidikan saja."







