Share

Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat
Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat
Author: Azitung

Kita putus

Author: Azitung
last update Last Updated: 2025-10-24 08:08:18

"Aku ingin kita putus," ucap Don, suaranya terdengar datar. Dia baru saja duduk di hadapan kekasihnya, Hasa.

Di luar jendela kaca, petir menggelegar hebat, seakan mewakili hati gadis cantik yang duduk di hadapannya. Sudah tiga puluh menit Hasa menunggunya, mereka berjanji menghabiskan sore ini bersama, Don datang, namun yang terjadi adalah mala petaka.

"Sepolar Group gagal produksi dan mengalami kerugian, butuh dana besar untuk memulihkannya, orang tuaku ingin aku menikahi gadis pewaris dari keluarga kaya, bukan anak adopsi sepertimu," lanjut Don, membuat batin Hasa teriris.

Hasa menunduk, jemarinya meremas ujung roknya sampai kusut. Matanya berkaca-kaca, bibirnya tertutup seolah tak bisa bersuara. Bunyi deras hujan di luar jendela menyatu dengan dadanya yang terasa sesak.

Dia memang anak yang di adopsi dari panti asuhan oleh keluarga Halyas. Sebagai anak pungut Hasa sudah diberitahu bahwa dia tidak akan mewarisi harta keluarga Halyas sedikitpun, selain hanya diberi pendidikan saja.

"Kuminta lupakan waktu dua tahun kita, barang yang pernah kuberikan padamu anggap saja sebagai kenang-kenangan." Don beranjak ingin pergi, namun Hasa segera menahan tangannya.

"Tunggu," kata Hasa, bulir bening jatuh di kedua sisi pipinya yang sudah memerah sejak tadi.

"Alasanku sudah jelas, orang tuaku tidak menyukaimu, kau tidak menguntungkan untuk keluarga kami."

"Tapi kita saling mencintai, Don." Hasa menahan tangan Don berharap laki-laki itu tidak meninggalkannya.

"Orang kaya menilai segalanya dengan uang, tidak perlu cinta untuk mendapatkannya." Don menghentikan kalimatnya.

"Kau pernah bilang padaku status tidak akan mempengaruhi hubungan kita."

"Karena aku pikir kau putri kandung keluarga Halyas, selain itu... Halyas hanya perusahaan kecil, dan itu tidak akan mampu menopang Sepolar," ucap Don meremehkan Halyas lalu melepaskan pegangan tangan Hasa. "Jangan pernah menghubungiku ataupun menemuiku lagi."

Hasa terduduk di lantai menyaksikan punggung Don yang semakin menjauh. Tak peduli tatapan beberapa orang. Pria itu berjalan menembus hujan lalu masuk ke dalam mobilnya, dari balik dinding kaca Hasa melihat seorang wanita muda telah menunggunya.

Hasa memutuskan untuk pulang, langkah kakinya pelan, menyusuri trotoar yang basah. Rintik hujan jatuh tanpa henti, menyatu dengan air mata yang tak lagi ia sembunyikan. Setiap tetes yang mengenai wajahnya seolah menghapus sisa-sisa senyum yang pernah ia miliki ketika bersama, Don.

Dunia tampak kabur, bukan karena hujan, tapi karena pandangannya yang buram oleh duka. Dia tak peduli basah, karena yang sesungguhnya tenggelam bukan tubuhnya, tapi hatinya.

Dengan langkah gontai, tasnya menyeret tanah yang becek. Satu bulan yang lalu Don bilang akan melamarnya, menjadikannya istri satu-satunya, akan melimpahkan seluruh cintanya, tapi nyatanya.... Setelah di angkat setinggi-tingginya, dia dihempaskan sampai ke jurang.

Saat membuka pintu utama rumah Halyas, suara adiknya langsung menyambar.

"Pergi sana! Kamu sudah tidak dibutuhkan lagi di rumah ini," ujar Morena pada kakak angkatnya, Hasa. Suaranya melengking, penuh kebencian yang seakan menampar wajah Hasa.

Pluk!

Tas berukuran besar terhempas ke lantai, membuat karpet persia bergeser dari tempatnya.

Morena berdiri di sisi pintu dengan dada terangkat congkak, bibirnya melengkung sinis. Di sebelahnya, Sarah, ibunya menyilangkan tangan di dada sambil menatap Hasa dengan tatapan penuh ejekan, seakan menikmati penderitaan gadis itu.

"Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah ini, dan jangan pernah datang lagi," ucap Sarah dengan nada dingin.

Kenangan pahit menyeruak di kepala Hasa. Ia teringat saat berusia tujuh tahun, dibawa masuk ke rumah ini dengan janji manis akan punya keluarga baru. Morena dulu merengek minta teman bermain, tapi nyatanya Hasa bukan hanya teman melainkan dijadikan pesuruh, lebih tepatnya seperti babu yang harus siap menerima perintah. Setiap kali ia melawan, Sarah akan memarahinya habis-habisan.

Tak jarang tangannya menghantam tubuh mungil Hasa, hingga memar biru menghiasi kulit. Bahkan untuk makan pun ia sering hanya kebagian sisa, membuat tubuhnya ringkih dan kurus.

Prak!

Pintu ditutup rapat lalu dikunci dari dalam, meninggalkan Hasa terpaku di beranda. Udara malam yang dingin menampar wajahnya, seolah ikut mengusirnya.

"Jangan ada yang membukakan pintu pada jalang itu! Jika kalian melanggarnya, siap-siap dipecat dari rumah ini!" suara Sarah menggema, menusuk hati Hasa hingga ke lubuk terdalam.

Hasa meraih tasnya dengan tangan gemetar, lalu melangkah gontai meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka.

Hasa berjalan di trotoar, memeluk erat tasnya seakan itu satu-satunya sisa yang ia miliki. Tatapannya kosong, namun air mata kini mengering. Yang tersisa di mata itu adalah pantulan api dingin.

Ia akhirnya menemui Rene, temannya yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit besar. Harapan tipis tergambar di matanya.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Rene, suaranya lembut. Hanya dia yang tau penderitaan Hasa selama ini.

"Aku tidak bisa berpikir, Don mencampakkanku, lalu keluargaku mengusirku dari rumah." Tatapan Hasa lurus ke depan, api di matanya mulai membara, dengan suaranya yang getir. "Hidup ini tidak adil bagiku. Kupikir setelah diadopsi aku akan bahagia karena memiliki keluarga. Tapi nyatanya aku selalu menderita, dimusuhi, bahkan tidak hanya sekali mereka mencoba melenyapkanku." Isakannya kini penuh kebencian.

Rasanya seperti ditikam tanpa darah.

Semua kenangan yang dulu hangat kini terasa menjijikkan. Ia memutar ulang setiap kata manis yang dulu membuatnya percaya, dan kini dirinya baru menyadari bahwa semuanya hanyalah jebakan halus untuk membuatnya tunduk. Hasa tak tahu mana yang lebih menyakitkan pengkhianatan itu sendiri, atau kenyataan bahwa ia begitu mudah dibodohi oleh cinta.

Rene menariknya dalam pelukan, memberikan kehangatan agar Hasa sanggup menghadapi cobaan besar yang tengah menghantam hidupnya.

"Aku di adopsi hanya untuk dimanfaatkan. Aku... aku ingin membalas mereka." Bohong jika Hasa tidak punya dendam setelah disakiti bertubi-tubi.

Kini dia memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Semua yang pernah ia lakukan tidak pernah berarti apa-apa bagi orang-orang yang disayanginya.

Ia menatap ke luar jendela, hujan turun mulai pelan, mirip dengan hatinya yang remuk tapi masih berusaha tenang.

Mungkin ia terlalu percaya. Mungkin ia terlalu baik. Tapi bagaimana caranya menyesali kebaikan sendiri?

"Lakukan hal-hal yang baik maka kebaikan akan menghampirimu," Hasa berbisik pahit. "Sepertinya kiasan itu tidak berlaku untukku."

Rene menggenggam tangan Hasa erat, mencoba menyalurkan kekuatan pada sahabatnya itu. "Padahal Morena akan menikah, tapi kenapa mereka tega?"

Hasa tersentak, matanya melebar. "Menikah?"

"Kau belum baca beritanya? Perjodohan antara keluarga Huston dan Halyas. Di berita dituliskan bahwa wanitanya adalah Morena, sedangkan lelakinya belum jelas, karena keluarga Huston punya dua anak lelaki."

Kata-kata itu menyalakan obor dalam benak Hasa. Perencanaan balas dendamnya kini memiliki target dan jalan. Dengan penuh tekad, ia menoleh pada Rene. “Ren, mau bantu aku?”

Rene mengangguk tanpa bertanya.

"Bantu aku mencari cara untuk bisa bertemu dengan anak keluarga Huston."

"Apa itu penting?"

"Ya, tiba-tiba aku punya rencana."

"Jangan berpikir untuk balas dendam, cukup jalani hidupmu yang baru."

"Apa aku harus membiarkan mereka hidup tenang? Dua puluh tahun aku menderita, dijadikan babu, lalu dibuang. Ini tidak adil. Aku akan balaskan sakit hatiku selama ini,” ucap Hasa, suaranya kini kembali datar, seolah ia telah mematikan emosinya.

Rene menghela napas pendek. "Tapi tidak semudah itu, Has. Keluarga Huston dikelilingi oleh orang-orang yang kompeten, waktunya dihabiskan untuk bekerja dan mereka dijaga ketat. Tidak sembarang orang bisa mendekat."

"Ayolah, di balik kesempurnaan mereka, aku yakin mereka juga manusia biasa seperti kita." Senyum tipis Hasa terlihat dingin.

Rene hanya bisa menghela napas. "Kau ini…"

Dua hari kemudian, Hasa dan Rene menonton televisi sambil bersantai dengan setumpuk camilan.

"Seluruh pewaris pengusaha kelas A, akan mengadakan pesta di Hotel Krisan, acara ini digelar setiap satu tahun sekali, guna untuk mempererat ikatan kerja sama antar pengusaha dan yang paling menarik dari itu adalah perkenalan antar pewaris," ucap pembawa acara di televisi.

Seketika Hasa dan Rene saling bertatapan. Berita itu langsung membuat mata Hasa berbinar licik.

"Ren, aku akan datang ke pesta itu," ungkapnya.

"Kau tidak dengar yang dikatakannya? Pewaris pengusaha kelas A, memangnya kau kelas berapa? Dan lagi kau sudah dibuang. Hasa bukan lagi bagian dari Halyas." Rene menyadarkan Hasa atas idenya yang terdengar konyol.

"Ren, bukankah pacarmu anak pemilik rumah sakit? Ayolah, bantu aku!" mohon Hasa.

Rene memutar bola mata malas, namun tak kuasa menolak permintaan Hasa. Selain itu Hasa sendiri mulai mencari informasi tentang pesta itu.

Hingga harinya tiba dia bersiap. Saat hendak berangkat Rene menahan tangannya. "Has, kau yakin ini tidak akan ketahuan? pasti sulit untukmu masuk ke sana."

"Malam ini akan menentukan nasibku, ini adalah caraku untuk membalas perlakuan Don, ibuku dan Morena," ucap Hasa, menatap dirinya di cermin. Gaun seksi yang berkilau di bawah lampu membuat wajahnya tampak lebih berani dari biasanya.

Pacar Rene sendiri tidak jadi pergi, dia memberikan e-invitation miliknya pada Hasa.

Ia tiba di hotel dengan taksi. Lampu kristal menggantung megah, gemerlap pesta menyambut para tamu. Setiap tamu wajib menunjukkan e-invitation. Saat gilirannya diperiksa, petugas menatap layar agak lama.

Hasa mendongak dengan tatapan dingin, namun elegan.

"Kau mau membuatku ketinggalan acara? Atau kau bermaksud meminta suap di depan umum?” Suaranya datar, tanpa emosi, sebuah ancaman halus yang menembus pertahanan petugas itu.

​Petugas itu tersentak, cepat-cepat mengangguk, dan mempersilakan Hasa masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat   Maaf, aku terlambat

    ​Sebelum Hasa pergi meninggalkan kamar hotel, mereka berjanji akan bertemu dua hari lagi, untuk membahas perjanjian yang berisi syarat dari Hasa dan Dama.​Dia tidak pulang ke rumah Rene, melainkan ke rumah tempatnya membuat guci. Selama ini Hasa punya rumah kecil di pinggir kota, rumah yang sengaja disewa untuk pekerjaannya. Suasana hatinya sedikit membaik hingga membuatnya ingin kembali membentuk tanah liat itu. Tapi, sebelum itu Hasa membeli makanan instan dan camilan untuk bekalnya sampai sore hari.​Baru saja mendudukkan diri di kursi kayu, suara pintu dibuka paksa dari luar terdengar. Hasa terperanjat, dia tau siapa yang datang. Sarah masuk dengan mata menyala marah, dia langsung menghampiri Hasa dan melayangkan tangannya ke udara, dengan cepat Hasa menahannya. Lalu mata mereka bertemu tajam.​Sarah heran, tidak biasanya Hasa seperti ini, menghindari pukulannya, biasanya dia hanya pasrah dan tidak punya keberanian untuk melawan ataupun membalas tatapannya. Ada perubahan pada dir

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat   Tidak bisa makan

    Hasa bangkit, dia mendapati paperbag di sampingnya, isinya sepaket pakaian wanita lengkap. Dia mandi dan mengganti baju. Cukup pas di tubuhnya dan yang membuat Hasa heran, baju ini sesuai dengan seleranya. Jeans yang tidak sempit juga kaos oblong longgar, kesehariannya memang menyukai pakaian casual seperti itu.Dama sudah menunggunya di meja yang sudah terisi oleh menu sarapan pagi. Hasa duduk menghampirinya."Sekretarisku tidak tau jenis make up yang biasa kau gunakan," ucap Dama."Ti- tidak apa-apa, aku-aku lebih suka seperti ini," kata Hasa. Dia merasa Dama terlihat berbeda, tidak semenakutkan yang diberitakan oleh orang-orang."Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Dama. Tangannya belum menyentuh sarapan, rasa penasarannya jauh lebih tinggi setelah tau asal-usul Hasa.Hasa sempat ragu tapi tetap saja menjawab. "Aku ingin kau menikahi ku.""Kau bukan bagian dari keluarga Halyas, memangnya apa yang bisa kau berikan padaku?"Hasa menatap heran. "Kau tau kalau aku bukan anak kandung k

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat   Tidak kuat minum

    "Akting yang luar biasa, prok...prok...prok...!" Dama bertepuk tangan tanpa melepaskan pandangannya dari sosok Hasa.Tubuh Hasa menegang, dia menatap sekeliling. Dalam hati ia bicara 'padahal cuma ingin bicara, tapi mengapa harus di tempat seperti ini.'"Bagaimana kalau kita wujudkan kehamilanmu malam ini?""A-apa?" Hasa terkejut bukan main."Cih!" Dama tersenyum tapi sama sekali tidak manis.Sedangkan Hasa nyalinya semakin menciut. Dalam hati dia menyesali keputusannya malam ini. Yang ingin dilakukannya adalah keluar dari tempat ini, tapi itu sepertinya mustahil karena dia sudah membangkitkan amarah seorang Dama dengan cara mempermalukannya di pesta."Huh, tempat ini panas, bagaimana kalau kita bicara di luar saja, udaranya lebih terbuka, hehe..." Hasa mengipas-ngipaskan tangannya berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya.Akting Hasa terlalu mudah ditebak, Dama mengambil remot AC lalu menurunkan suhunya ke yang paling rendah. Sontak Hasa menyilangkan tangannya di dada karena sang

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat   Dama Huston

    Hasa melangkah masuk, degup jantungnya berpacu kencang. Musik jazz mengalun lembut, para tamu bergaun mahal saling bercengkerama. Matanya liar mencari sosok yang jadi tujuannya.Di sofa merah yang tak jauh dari Hasa, duduk dua orang pria muda yang paling mencolok di antara semuanya. Mereka cukup menyita perhatian terutama bagi kaum wanita, tapi semuanya menjaga jarak tidak ada yang berani duduk mendekat.Hasa ingat dari foto yang dia cari bahwa dua orang itu adalah tuan muda dari keluarga Huston. Hasa lalu melangkah anggun mendekati sofa. Ia meraih dua gelas minuman dari pelayan yang lewat, lalu dengan berani menaruhnya di meja mereka.Tanpa basa-basi, ia duduk tepat di sisi Dama, putra tertua dari keluarga Huston, sebuah tindakan yang tak seorang pun berani lakukan sejak tadi."Selamat malam calon suamiku!" ucapnya lantang.Ucapan itu sukses membuat dua kakak beradik Huston menoleh bersamaan. Banyak mata yang membelalak tak percaya. Wajah mereka berubah tegang, semua benar-benar pena

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Angkat   Kita putus

    "Aku ingin kita putus," ucap Don, suaranya terdengar datar. Dia baru saja duduk di hadapan kekasihnya, Hasa.Di luar jendela kaca, petir menggelegar hebat, seakan mewakili hati gadis cantik yang duduk di hadapannya. Sudah tiga puluh menit Hasa menunggunya, mereka berjanji menghabiskan sore ini bersama, Don datang, namun yang terjadi adalah mala petaka."Sepolar Group gagal produksi dan mengalami kerugian, butuh dana besar untuk memulihkannya, orang tuaku ingin aku menikahi gadis pewaris dari keluarga kaya, bukan anak adopsi sepertimu," lanjut Don, membuat batin Hasa teriris.Hasa menunduk, jemarinya meremas ujung roknya sampai kusut. Matanya berkaca-kaca, bibirnya tertutup seolah tak bisa bersuara. Bunyi deras hujan di luar jendela menyatu dengan dadanya yang terasa sesak.Dia memang anak yang di adopsi dari panti asuhan oleh keluarga Halyas. Sebagai anak pungut Hasa sudah diberitahu bahwa dia tidak akan mewarisi harta keluarga Halyas sedikitpun, selain hanya diberi pendidikan saja."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status