Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
"Surat apa ini?"Napas Nara tercekat, di saat ia melihat tulisan pengadilan agama di dalam sebuah amplop yang masih tertutup rapat. Dengan tangan yang bergetar, ia mulai membuka isi surat itu dan membacanya secara menyeluruh hingga air matanya luruh begitu saja."Surat cerai? Ini tidak mungkin! Bagaimana caranya Mas Evan bisa menceraikanku tanpa sepengetahuanku? Apa salahku?" gumamnya tak percaya sambil membaca isi surat tersebut untuk yang kedua kalinya.Tetes air mata Nara semakin menderas, di saat ia menyadari kenyataan ini bukanlah sebuah mimpi buruk. Entah nasib sial apa lagi yang tengah menimpanya, hingga detik ini tangannya bisa menggenggam sebuah surat perceraian yang dilayangkan oleh seorang pria yang belum genap menikahi dirinya selama dua bulan."Tidak! Aku tidak boleh percaya begitu saja! Aku harus meminta konfirmasi langsung dari Mas Evan!" batin Nara yang langsung menyeka jejak air matanya.Perempuan itu beranjak dari tempat duduknya, dan beralih mencari ponsel di kamar.
"Mas Evan?"Sontak seluruh kekuatan yang ada di dalam diri Nara menghilang, hingga membuat secarik kertas yang ada di dalam genggamannya terjatuh begitu saja. Rasa sesak dan pedih seketika menyeruak masuk ke dalam tubuhnya, seiring dengan munculnya sesosok pria yang tak lagi asing di matanya.Pria itu adalah sosok yang tengah ditunggu-tunggu kabarnya selama ini. Dia sedang merangkul mesra pinggang seorang wanita, bahkan tak ragu untuk mengecup dahi wanita tersebut di depan para tamu undangan dan wartawan berita."Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa Mas Evan bisa bersama wanita itu?" gumamnya dengan tetes air mata yang mulai turun secara bersamaan.Nara mencoba mengatur napasnya yang terasa sesak, sambil berupaya berjalan menerobos beberapa orang yang tengah berdiri dengan memegangi ponsel mereka. Orang-orang di sekitarnya mulai menatap ke arahnya dengan tatapan aneh, tetapi ia tak peduli. Hatinya sudah sungguh tak karuan, berkat kenyataan yang sangat mengejutkan ini."Mas Evan!" teriak N
"Hey! Hey! Jangan mati dulu!" ucap seseorang yang seketika membuat Nara mengerang lemah.Tubuhnya yang sudah terlalu lemas, membuat Nara tak bisa bergerak bahkan menoleh. Hingga perlahan-lahan, kedua netranya yang sudah terpejam pun kini mulai terbuka dengan pandangan yang kurang begitu jelas."Siapa kamu?" tanya Nara pelan dengan bibir yang sudah pucat.Pria itu tak menjawabnya, melainkan langsung mengangkat tubuh Nara dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Nara direbahkan di dalam sebuah mobil yang sudah terbuka, dan langsung disodorkan oleh sebotol air mineral yang baru saja dilepaskan segelnya.Pria itu memegangi botol minuman Nara, hingga telapak tangannya bersentuhan langsung dengan punggung tangan dingin perempuan tersebut. Pandangannya saling bertemu dengan netra merah yang masih basah, membuat manik matanya bisa sedikit banyak mendalami apa yang telah dirasakan oleh perempuan itu."Kenapa kamu menolongku?" tanya Nara tiba-tiba yang langsung membuat dahi pria itu menger
"Di mana ini?"Sebuah pertanyaan itu terlontar dari bibir Nara, ketika kendaraan mewah milik Dimas sampai pada suatu tempat yang sangat asing di matanya. Ada beberapa logo stasiun TV yang terpajang pada beberapa mobil di hadapannya, dan juga ada sebuah kerumunan besar yang menimbulkan rasa ingin tahunya."Apa kamu sudah membawa seluruh surat-suratnya?" tanya Dimas yang malah melontarkan pertanyaan lain.Nara mengangguk, hingga membuat rambut hitam indahnya bergerak menutupi sebagian wajahnya. Dimas yang melihatnya pun langsung refleks membenarkan tatanan rambut itu, sampai seketika pandangannya kembali bertemu."Cantik," gumam pria itu tanpa sadar, tepat di hadapan Nara. Satu sudut bibirnya terangkat, hingga kembali menampilkan sebuah lesung pipi kecil di pipi kanannya.Untuk sesaat Dimas terlihat mengagumi kecantikan Nara. Bulu mata lentik alami, bibir merah merona, sungguh membuat fokusnya teralihkan. Dimas memperhatikan lama wajah Nara yang kini telah berbalut polesan makeup tipis,