Bughhh!Nara tercekat, ketika ada seseorang yang tidak sengaja menabrak dirinya dari belakang. Dengan segera ia pun berbalik, tanpa berani menampakkan wajahnya di hadapan Evan dan Bella."Mudah-mudahan saja mereka tidak mengenaliku," batin Nara dengan penuh harap.Setelah itu, entah kenapa tak terdengar percakapan lagi. Nara ingin berbalik untuk lebih mencari tahu, akan tetapi sayangnya ia juga tak mau terlalu mengambil resiko dengan berhadapan langsung dengan Evan dan Bella ketika sendirian seperti ini."Hmm, mungkin nanti aku akan bicarakan hal ini pada Mas Dimas," tutur Nara dalam hati, sambil memberanikan dirinya untuk berjalan ke arah kasir dan keluar dari area perbelanjaan itu.Untung saja saat ini Nara memakai sebuah masker dan kacamata, sehingga ia bisa sedikit menutupi identitasnya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Marvori? Apa sudah dengan urusan mobilnya? Kalau sudah, tolong jemput aku sekarang," ucap Nara dengan sesekali melihat ke arah sekelilingnya.***Setela
"Sebenarnya ada apa, Mas? Siapa penelepon itu?"Belum sempat menjawab, Dimas telah mengenakan jasnya kembali. Pria itu terlihat begitu terburu-buru, hingga memberhentikan langkahnya tepat di depan pintu."Kunci semua pintu dan jendela, dan jangan pernah membukanya kecuali aku yang datang!" ucap Dimas yang kian membuat Nara merasa kebingungan.Tanpa bisa bertanya-tanya lagi, pintu itu telah tertutup rapat. Dengan segera Nara pun ke sana, dan menguncinya tepat seperti apa yang telah kekasihnya sampaikan."Tapi aku tidak bisa diam begini saja! Ke mana Mas Dimas akan pergi? Sepertinya ada sesuatu yang penelepon itu katakan, hingga Mas Dimas langsung pergi tanpa mengembalikan ponselku," gumam Nara dengan perasaan tak tenang."Aku jadi takut, kalau Mas Dimas kenapa-kenapa di jalan. Dia benar-benar terlihat sangat terburu-buru dan emosi tadi," lanjutnya sambil terus mondar-mandir melangkah tidak menentu.Karena tak bisa lagi menahan rasa khawatirnya, akhirnya Nara pun mencoba menghubungi Mar
"Sampai kapan pun Nara tidak akan pernah kembali pada pria sialan sepertimu!"Bughhh!Berbagai hantaman berkali-kali kini telah mengenai wajah tampan Dimas. Pria itu kini tengah duduk tak berdaya, dengan kedua tangan yang telah terkunci rapat oleh dua orang berbadan besar yang ada di belakangnya.Licik! Evan benar-benar licik!Andai saja pria itu tak membawa teman-temannya, sudah pasti Dimas akan bisa membalikkan keadaan dengan mudah."Bagaimana rasanya? Apa ini sakit?" tanya Evan dengan senyum miringnya, dengan sedikit menekan luka lebam di dekat rahang tegas milik Dimas."Sial!"Rahang Dimas kini semakin mengeras, dengan tatapan yang semakin menusuk ke arah Evan. Ia tak mau menyerah begitu saja, dan terus berusaha melawan. Namun sayangnya, kekuatannya saat ini benar-benar tak seimbang dengan lima orang pria yang ada di sekelilingnya."Tadinya niatku ke tempat ini, hanya untuk bersenang-senang saja dengan Nara. Akan tetapi ...."Ucapan Evan terhenti sesaat, karena kini kedua netranya
"Akhh! Kenapa semuanya bisa seperti ini? Ini tidak mungkin 'kan, Dok?" Dimas terus berteriak, sambil terus memukul-mukul kedua kakinya yang terasa mati rasa. Ia sangat terpukul dengan penjelasan dokter, hingga tak bisa dengan mudah menerima semuanya."Mas?" panggil Nara yang langsung berlari dan memeluk erat kekasihnya itu.Air mata Nara tumpah begitu saja, seiring dengan hadirnya kenyataan yang sama sekali tak pernah diduganya. Ia sangat sedih, tetapi dirinya tahu pasti Dimas lebih terpuruk darinya.Sehingga saat ini, Nara hanya bisa membantu menguatkannya. Memeluknya, menenangkannya, dan terus berusaha memberi tahu kalau semuanya akan tetap baik-baik saja sampai ke depannya nanti.Hingga tak terasa, seminggu pun telah berlalu. Dimas berhasil menjalani hari-harinya yang cukup berat, dengan bantuan Nara yang selalu ada di sisinya. Termasuk pada saat ini, yaitu tepat di mana pria itu pulang dari rumah sakit dan hendak kembali tinggal di apartemennya."Kamu serius? Bagaimana jika nanti
Bohong jika tadi Dimas mengatakan hanya sebentar saja, karena kenyataannya kini sudah hampir satu jam lebih pria itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin bangun dari tempat tidurnya.Dimas masih terlelap di dalam posisi yang sama seperti awal, yaitu mendekap erat seorang perempuan yang ada di pelukannya seolah menjadikannya sebagai bantal guling hidup.Sementara Nara, perempuan itu justru tak bisa tidur. Jantungnya terus berpacu dengan cepat, terlebih di setiap kali Dimas semakin mengeratkan pelukannya dan bermanja-manja di dalam tidurnya."Huftt! Bagaimana kamu bisa tidur dengan begitu nyenyak di saat jantungku terus berdebar tak karuan seperti ini, Mas?" keluh Nara yang mencoba bergerak, guna memberikan sedikit jarak aman.Jujur saja, sebenarnya Nara merasa tak nyaman. Di masa pernikahan dulunya saja, ia tak pernah sampai tidur dalam posisi yang seperti ini. Sehingga sekarang dirinya terlihat sangat begitu kaku, dan canggung."Hmm ...."Sebuah suara erangan, langsung membua
Selepas pertemuanya dengan Bella yang tidak disengaja, Nara pun terus-menerus memikirkan segala tuduhan yang telah dilontarkan oleh wanita itu padanya. Pikirannya tak pernah berhenti memikirkan hal tersebut, hingga ia tak sadar telah sampai tepat di depan apartemennya sendiri."Eh, Nyonya Nara? Sini, biar Bibi bantu bawakan barang belanjaannya," ucap salah seorang pembantu di apartemennya, yang langsung sigap membantunya menaruh beberapa bahan makanan ke dapur."Ada yang bisa bibi bantu lagi, Non?" tanya pembantu itu lagi, karena merasa tak enak telah membiarkan atasannya memasak sendirian di dapur."Hmm ... Sepertinya tidak, Bi. Bibi cukup jaga-jaga saja di sana, takut-takut nanti Mas Dimas membutuhkan bantuan," jawabnya dengan sedikit tersenyum, dan kembali melanjutkan aktivitasnya memotong beberapa sayur yang ada di hadapannya.Kalau urusan memasak, Nara memang cukup handal. Dari dulu ia selalu memasak untuk ayahnya, sehingga terbiasa melakukan semuanya sendiri. Hingga kurang lebih
Di sini tempatnya. Di sebuah restoran yang cukup mahal, kini Nara dan Dimas sedang duduk berhadap-hadapan dengan saling memandang satu sama lain.Nara mengerenyitkan dahinya, karena kekasihnya itu tak kunjung berbicara. Hingga akhirnya ia melihat kedatangan Marvori dari kejauhan, dengan membawa beberapa map cokelat yang entah apa isinya."Mas—""Tunggu sebentar, Nara," potong Dimas dengan cepat, sambil mengecek beberapa berkas bawaan dari Marvori.Ada beberapa lembar kertas bertinta di sana. Akan tetapi sayangnya, dari posisinya saat ini Nara tak bisa membaca isi tulisan tersebut. Sehingga kini, ia pun terdiam sambil menunggu Dimas mengecek kelengkapan semua dokumen itu."Nah, ini. Coba lihat semuanya," tutur pria itu akhirnya, yang memberikan semua kertas ditangannya pada sang kekasih.Nara meraih beberapa lembar kertas tersebut, dan melihat semuanya secara sekilas terlebih dahulu. Hingga kedua alisnya mengerenyit tak mengerti, dan mulai membaca satu per satu isi surat dokumen itu."
Dimas mengerjap tak percaya, sambil memegangi salah satu pipinya yang baru saja disentuh dengan begitu lembut oleh bibir indah kekasihnya.Sungguh, ini seperti mimpi!Tak biasanya Nara melakukan ini padanya, biasanya ia yang selalu memulai lebih dahulu. Dan ini, ini adalah sebuah peningkatan yang cukup sangat signifikan.Kekasihnya itu tak hanya bertindak selangkah lebih agresif, akan tetapi juga sudah berhasil menutup semua rasa ragu yang pernah menggelayuti hatinya.Nara sudah menegaskan semuanya. Ia sudah tak lagi mencintai Evan, dan sudah memberikan sepenuh hatinya pada Dimas.Hingga sedetik kemudian, Dimas pun langsung menarik tangan Nara mendekat. Ia membuat perempuan itu terjatuh di pangkuannya, lalu menyambar dengan cepat bibir yang telah mengecup salah satu pipinya itu sesaat."Sudah, Mas. Ini masih di restoran, aku khawatir ada orang lain yang melihat ...." Ucapan Nara tiba-tiba saja terhenti, di saat kedua netranya langsung disambut oleh sebuah kotak kecil berwarna merah.