"Aku tak cemburu." Elakku saat Satria menatapku justeru dengan tatapan ragu."Betul Tri, aku tak cemburu!" Ucapku lagi menepis caranya melihatku, dia tak tau aku sedang menahan debaran sekarang."Jangan menatap begitu Tri, aku sudah bilang tak cemburu pada mbak Aini." Ucapku lalu melemparkan pandangan ke luar jendela.Teringat bagaimana wajah mbak Aini tadi, aku jadi tak yakin dengan ucapan Satria. Mungkin saja bibir mbak Aini bisa berkata rela, namun hatinya tak ada yang taukan?."Jangan marah Sri, aku hanya bercanda." Ucapnya lalu mengusap wajahku yang merona."Aku tak marah Tri, tak ada alasan bagiku untuk marah padamukan? Katakan Tri, jika keluargamu menjodohkan kamu dan mbak Aini lagi, apa kamu akan mau?"Dia tersenyum dengan kepala menggeleng. "Jangan bercanda Sri, aku dan mbak Aini tak mungkin bisa bersama.""Kenapa kamu bilang begitu?""Ya Karena aku tak mau. Jika aku tak mau, tak ada juga yang bisa memaksaku."Aku hanya tersenyum, bahagia mendengar bahwa Satria sendiri tak me
"Tante mau paksa Lala lagi?" Ucap Lala pelan dan ku lihat Fani semakin salah tingkah."Paksa? Tunggu! Apa Fani pernah melakukan sesuatu pada Lala dan aku tak tau?"Aku berbalik melihat Lala, anakku terlihat tak suka sejak bertemu tantenya, kemarin saat di pemakaman Lala juga terlihat tak mau mendekati Fani."Lala sayang, kenapa kamu bilang begitu pada tante Fani?" Aku mengusap rambutnya yang basah. Bukankah tempat ini ber-AC, kenapa Lala bisa basah begini?"La, mama sedang bertanya pada Lala, katakan sayanh, ada apa?" Satria juga berjongkok menenangkan anak gadisku."Tante Fani pernah bilang akan bawa Lala jauh dari mama jika ayah dan mama berpisah."Aku tak percaya dengan apa yang kudengar."Kapan tante bicara begitu La, jangan ngarang kamu Lala, anak kecil saja bisa berbohong begitu!" Ucapnya kesal menunjuk wajah Lala yang terlihat semakin gemetar.Aku mencengkeram tangan Fani dengan kesal, berdiri dan menatap matanya yanv terlihat berkaca sekarang." Jangan berani kamu tunjuk anakku
"Masakan Mei sangat enak." Mami satria memakan habis semangkuk sup solo yang kubuat."Mami benar, mungkin kita bisa membuka usaha baru di sini." Satria menambahkan, aku tak ingat mangkuk keberapa yang kini ada di depannya, sejak tadi dia tak berhenti mengunyah."Sup buatan mama memang juara oma, biasanya Lala makan ini di pagi hari, tapi sudah lama mama nggak masak." Aku terpaku mendengar kalimat Lala.Dulu aku begitu sering memasak ini di rumah, salah satu masakan yang paling sering Lala minta ada di meja makan. Meski tak selalu ada ayam di rumah, semangkuk kuah dengan isian wortel dan makaroni rebus sudah membuat senyum polos Lala mengembang."Kenapa mama nggak pernah masak lagi La?" Mami bertanya pada Lala."Karena sudah ada yang masak di rumah kakek." Ucap Lala polos."Nanti kalau kalian menikah, mama akan sering berkinjung kerumah kalian, mama mau di masakin ya lain ya Mei."Aku tersenyum saja mendengar kalimat Mami padaku. "Nikah? Mama sana om Tri mau nikah?"Kami saling panda
Pagi ini, aku antarkan Lala ke sekolahnya, sebelum berangkat ke kantor dan mengurus beberapa pekerjaan, aku memang selalu menyempatkan diri mengantarkan Lala ke sekolahnya."Mutiara!" Lala berteriak dari dalam mobil saat melihat sahabatnya itu berjalan ke arah gerbang.Aku memperhatikan dari dalam mobil, bahkan saat tiba-tiba mbak Ainienepis tangan Lala yang menggandeng Mutiara. Aku sampai melepaskan kacamata karena terkejut, ada apa dengan mbak Aini, apa Lala berbuat salah padanya?Aku parkiran mobilku dan mendekati Lala yang masih terpaku melihat Mutiara di ganeng ke ibunya ke dalam sekolah."Mama antar masuk sayang." Ucapku dengan senyuman hangat, meski hatiku panas melihat anakku di perlakukan seenaknya, akuasib coba manah diri untuk tak membuat Lala merasa lebih sedih."Ma, kok mama Mutiara nggak bolehin Lala sama Mutia?" Denvan polosnya gadis kecilku bertanya.Aku tersenyum mengusap rambutnya yang terikat dua."Mungkin mama Mutia sedang buru-buru, jadi mau Mutia segera masuk ke
"Mbak, maafkan aku mbak." Danu tak berhenti mengiba, namun aku tak bisa lagi memberinya maaf."Lepaskan Danu, dengar pulanglah, kita akan bertemu di rumah ibu mertuamu!" Ucapku kesal dan bergegas kembali ke dalam mobilku."Mbak, jangan begitu mbak, kita bisa bicara berdua dulu mbak." Danu berusaha mengikuti aku."Bicara saja nanti di depan keluargamu itu!" Aku menepis kasar tangannya yang terus coba menghentikan langkahku.Aku tutup pintu mobil dengan segera dan melihat dengan kesal ke arah kaca yang pecah di depanku, aku memijat kepalaku yang berdenyut, hariku benar-benar kacau sekarang.Kuambil ponsel dari dalam tas dan menghubungi Arman."Man, aku kirim lokasi tempatku berada, tolong bawa derek untuk mengurus mobilku.""Apa terjadi sesuatu nyonya?""Ya, orang gila sudah memecahkan kaca mobilku!" Ucapku kesal menatap Danu yang masih terus mengetuk kaca mobilku dan mengiba.Tak lama Arman datang dengan mobil derek di belakangnya, kulihat dia segera turun dan menyingkirkan Danu dari s
"Sekarang dari mana kamu akan mulai cerita Fani?" Aku bertanya, menatapnya yang hanya berani melihatku tanpa mau menatap wajah ibu yang kecewa padanya."Apa salahku padamu mbak, sampai kamu tak bisa membiarkan aku hidup tenang!" Dia menatapku tajam."Kamu berteriak padan Fani, bahkan kamu tanya apa salahmu? Sekarang kembalikan semua uang itu dan aku anggap urusan kita satu ini selesai!" Aku menatap dirinya yang terlihat sangat marah, semua orang akan berlaku sama jika kecurangannya terbongkar, ini adalah cara seseorang membela diri, untuk terlihat kuat." kembalikan sisa dari dua juta yang kamu berikan pada ibu, bisa?""Bukankah kamu sudah memberikannya pada keluargaku mbak, lantas tak malu menjilat ludah yang telah kamu buang?"Aku tersenyum sinis, dia baru saja mengakui perbuatanya."Aku memberikannya untuk kirim doa, lalu di mana uang itu?"Mas Fandi mendekati Fani. "Jawab Sri Fani, dimana uang yang dia berikan?""Lepaskan aku mas!"Fani membentak kakanya sendiri."Kalian cuma memi
"Jadi karena itu kamu menolakku? Bukan karena lelaki baru itu?""Siapa maksudmu mas, Satria?"Mas Fani hanya diam."Ya, dia juga jadi alasan. Satria sudah melamarku mas dan dia menunggu sidang terakhir kita beberapa hari lagi lalu menunggu masa udah ku selesai.""Jadi begitu?""Ya, aku harap kamu mengerti posisi kita sekarang."Mas Fandi terdiam sebentar, aku tau dia pasti sedang memikirkan banyak hal terutama rasa kecewa nya.Aku melihat dia menghela napas, lalu duduk di tangga teras rumahnya."Dulu harta bagimu tak bernilai Sri.""Iya, aku baru menyadari juga mas, kenapa dulu aku tak memikirkan harta dan tahta.""Apa kamu tak pernah bahagia saat bersamaku?""Aku bahagia mas, apa pernah aku mengeluh selama jadi istrimu?"Dia diam, mungkin mengingat kembali adakah kalimat aku mengeluh saat jadi istrinya dulu."Aku tak pernah mempermasalahkan berapapun uang yabg kamu beri, bahkan saat kamu bilang memberikan uang untuk Fani padahal kita juga butuh, aku tetap diam.""Lalu kenapa sekarang
"Maaf bu, tapi lelaki yang tertangkap mencuri itu Danu, sekarang ada di masjid dekat tikungan itu""Apa, Danu? Ya Allah ada apa lagi ini, belum selesai satu masalah sudah muncul masalah baru."Ibu berlutut di halaman rumah, di peganggi sepupu perempuannya, tubuhnya gemetar hebat, aku tau ibu pasti sangat terpukul sekarang."Fandi ayo kita susul iparmu itu!" Ucap ibu sambil menarik tangan mas Fandi keluar halaman rumah mereka.Gemetar ibu berjalan menyusuri tepian, banyak nya orang berkerumun memenuhi halaman masjid, membuat ibu mencengkeram tangan mas Fandi dengan erat."Ibunya Robi, bukanya itu suami Fani?" Teriak wanita dengan tubuh berisi, seingatku dia adalah pemilik warung di depan rumah ibu.Ibu hanya diam menundukan, berjalan membelah kerumunan masuk ke teras masjid yang sudah di penuhi jama'ah."Dimana Danu Man?" Aku bertanya pada Arman yang sejak tadi ikut berdiri mengamankan situasi."Di dalam nyonya." Ucapnya menunjuk ke dalam masjid yang mereka jaga.Ibu dan mas Fandi mend