Pertemuan semalam, menyisakan tanya yang masih cobaku cari jawabnya. Apa alasan Satria, memberikan aku tempat istimewa di dalam hatinya. Kenangan masa kecil kami, mungkin bukan satu-satunya alasan dia bisa memberiku tempat di hatinya. Aku yang dulu dan sekarang tentu bisa saja berbeda, mungkin aku jadi lebih pemarah, atau masuk ke dunia yang lebih gelap, siapa yang bisa tau itu. Tapi kenapa dia memberikan hatinya padaku?
Bahkan setelah semalam, membayangkan wajahnya saja sudah membuatku salah tingkah sendiri."Bagaimana pertemuan semalam?" Kak Zhui sudah duduk di Balkon saat aku sedang santai sendiri. Kami memang tak bertemu saat aku pulang, mungkin Kak Zhui sudah masuk ke kamarnya.Aku tersenyum simpul. "Menurutmu bagaimana pertemuanku semalam, kak?"Dia tersenyum, lalu melihat ke arah depan. " Aku kira kamu bahagia, sejak tadi kulihat bibirmu tak berhenti mengulum senyum. Apa yang coba kamu sembunyikan?'Ah, benarkah aku sejelas itu?Mobil satria membelah jalan, membawaku jauh meninggalkan kota menuju ke tepian pantai yang tak pernah aku tau ada di daerah ini. Semua tempat yang sunyi, dengan pasir putih dan ombak bergulung kebiruan lembut menyentuh bibir pantai."Kamu suka?" Dia bertanya padaku."Suka sekali, aku belum pernah lihat tempat ini Tri, ini indah sekali." Lekat aku terpikat pemandangan yang tersuguh di hadapan.Dia tersenyum, kami sama-sama menatap laut, tangannya kini menggenggam erat tanganku. Apakah salah bila aku tak menolak perlakuan inj?"Aku tak tau ternyata keberuntungan itu datang padaku juga." Ucapnya lirih menatap tangannya yang erat mengenggam tanganku.Aku tersenyum kecil dan melihat wajahnya yang hangat. "Keberuntungan seperti apa?""Keberuntungan mengenalmu dulu, lalu keberuntungan lain yang ikut membawaku dekat denganmu lagi."Aku berjalan mendekati tepian pantai, merasakan air menyentuh kakiku yang tanpa alas."Katakan padaku Tri, kenapa harus aku?""Apakah cinta butuh alasan Sri? Aku b
Membelah jalanan kembali kami melewati bukit dan gunung di bagian selatan, mobil kami tiba di Karanganyar ketika malam telah larut, melewati jalan yang tak terlalu ramai, perlahan mobil kami berhenti karena padatnya kendaraan yang berjajar tanpa kami tau apa yang terjadi di luar sana."Nggak biasanya banyak mobil begini." Satria bergumam heran, ia membuka kaca mobil dan melihat ke depan dari jendela sebelahnya.Aku juga merasa heran, ini bukan hari minggu atau weekend, harusnya kendaraan tak berjalan lambat apa lagi macet begini."Mungkin ada kecelakaan." Ucapku menerka saja.Sementara perlahan aku juga buka kaca jendela, melihat orang berkumpul di satu sisi jalan. Seorang lelaki berlari dari arah depan, mengetuk setiap kaca jendela mobil seperti sedang mencari sesuatu."Ada apa mas?" Aku memanggilnya yang akan mengetuk kaca mobil si sebelahku."Ada kecelakaan mbak, lelaki tua."Entah kenapa jantungku berdegup kencang, aku keluar melihat ke jalan yang begitu ramai, melihat lelaki tua
Hingga tengah malam aku masih menunggu di rumah sakit, Satria tak pernah jauh dari sisiku, ia menjagaku seperti tak ingin aku jauh dari pandangan matanya."Kamu belum pulang Sri?" Mas Fandi keluar dari ruangan bapak.Bapak sudah di pindah ke ICU untuk mendapat perawatan yang lebih intensif."Belum, bagaimana keadaan bapak?""Belum sadar, ibu masih di dalam sampai jam tunggu habis."Aku menganggukkan kepala, ibu tentu orang yang paling terpukul saat tau bagaimana kondisi bapak."Baiknya kamu pulang Sri, kasihan Lala di rumah sendiri."Mas Fandi memintaku, tumben sekali dia perduli denganku dan anaknya."Aku bisa antar kamu dulu jika_"Tidak perlu mas, Saya bisa antar Sri pulang!" Satria tiba-tiba saja menyela kalimat mas Fandi.Mereka saling menatap tak suka. "Saya bisa antar Sri pulang mas, lagi pula sejak datang Sri memang bersama saya, jadi lebih baik saya sendiri yang mengantarnya pulang."Mas Fandi hanya bisa diam menatapku dan Satria bergantian."Satria ini teman ku sejak kecil d
Kami masuk ke ruang bapak, lelaki yang sangat ku hormati itu duduk di balkon ruang kerjanya. Hari sudah begitu larut, bahkan udnara malam terasa menusuk namun bapak duduk dalam remang cahaya, menatap perkampungan yang ada di bawah tempat kami tinggal."Selamat malam tuan Lee."Aku menatap Tri yang begitu terdengar tegas saat menyapa Bapak, sungguh berbeda ketika dia bicara padaku."Iyan, apa kabarmu?" Bapak dengan tawa lepas membuka tangan menyambut Tri dalam dek apa nya. Bapak menepuk-nepuk punggung Tri seperti mereka benar-benar saling merindukan."Baik paman, sangat baik." Ucapnya melepaskan pelukan dan mereka masih saling tersenyum hangat.Aku yang masih tak mengerti hubungan keduanya hanya bisa terdiam menikmati setiap momen hangat yang tercipta di depanku."Mey, jangan melamun begitu, kemarilah sayang." Bapak memanggilku untuk mendekat.Aku berjalan menghampiri bapak dan mereka mengajakku duduk di ruang kerja yang hangat ini."Kenapa bapak di luar selarut ini, bapak bisa sakit j
"Apa kamu tak bisa datang?" Suara mas Fandi terdengar lemah.Aku melirik ke arah Lala, tak ingin gadis kecilnya terjaga karena suaraku, aku berjalan menjauh dan keluar dari kamar Lala."Tidak bisa mas, tidak malam ini!" Ucapku tak ingin memberinya kesempatan lebih.Aku berjalan menuju kamarku sendiri dan menguncinya dari dalam."Kenapa? Aku sedang butuh dirimu Sri, ibu juga terus menangis di sini, aku nggak tai harus berbuat apa!""Dimana Fani?" Aku masih memegang ponsel dan meletakkan tas di meja rias."Aku belum bisa menghubunginya Sri." Suara mas Fandi terdengar kecewa."Hubungi lagi mas, dia juga harus tau bapaknya meninggal!""Nanti akan ku coba lagi Sri, yang penting kamu datang dulu!""Aku tak bisa mas, maaf!" Aku berkata dengan nada yang sedikit ketus. Kusandarkan punggungku di sofa kamar dan masih mendengarkan suara mas Fandi di seberang ruangan."Kenapa? Apa karena kami sedang bersama dokter kaya itu? Ingat Sri, kamu masih istriku dan tak elok jika perceraian kita saja masih
Mobil Tri tiba di pelataran, bapak berdiri di sisiku dan tersenyum saat Satria keluar dari mobilnya."Selamat pagi paman." Dia menjabat dan mencium tangan bapak. Adat ketimurannya masih di junjung meski lama dia ada di luar negeri."Pagi Iyan, kamu akan pergi bersama Mei?"Betul, dan nanti Iyan juga yang akan antar pulang.""Begitu? Baiklah jika begitu paman tak perlu merasa cemas."Aku berpamitan juga pada Bapak, bersama Lala aku masuk ke dalam mobil Satria. Lala masih sempat melambai, meski aku tau hatinya sedih akan kabat duka yang kusampaikan pagi tadi."Apa kabar cantik?" Satria menyapa Lala yang hanya diam di kursi belakang."Baik om Tri, tapi Lala sedang sedih.""Ya, om Tri tau yang terjadi, tapi om Tri sudah berusaha sayang, hanya saja mungkin Allah lebih sayng kakek Lala."Gadis itu terdiam dan menundukkan kepala, aku baru menyadari dia membawa buku gambarnya sejak tadi dan kini buku itu ada dalam pangkuan nya."Buku gambarnya terbawa ya sayang?" Aku bertanya dengan lembut da
Perdebatan kami menimbulkan banyak bisikan dan tatapan tak menyenangkan. Aku masih diam menghormati almarhum bapak dan para tamu lain yang pasti ingin suasana tenang sebelum jenazah di kebumikan. Beberapa kali mas Fandi mencuri pandang ke arahku, dan Satria berusaha membuatku tenang dengan terus berada di sisiku.Hingga waktu keberangkatan jenazah, ibu tersedu berdiri mengiringi peti bapak keluar dari dalam rumah, sementara ku peluk Lala dalam dekapan karena anak itu merasa sangat terpukul sekarang."Biar aku yang gendong Lala."Satria menawarkan diri saat melihatku kepayahan menopang berat tubuh Lala.Aku melihat sosok ayah dalam diri Satria, bahkan Lala yang sulit dekat dengan orang baru tak sungkan melingkarkan tangannya pada Satria."Apa kita ikut ke makam?" Satria bertanya saat kami sama-sama berjalan keluar rumah."Lala mau ikut ke makam kakek?" Aku bertanya pada gadis kecil ku, sebab aku kemari juga karena dirinya."Mau ma, kita ikut ke makam ya ma?""Lala mau di gendong Ayah sa
"Kenapa kamu begitu kejam padaku Sri?"Kalimat mas Fandi menghentikan langkahku, aku sudah berjalan keluar pemakaman bersama Satria dan Lala, namun tiba-tiba mas Fandi menghadang jalan kami."Bisakah kita bicara lain waktu, Lala sedang butuh ketenangan sekarang." Satria mencoba memberikan mas Fandi pemahaman.Lala memang belum berhenti menangis sejak tadi dan aku kira kami butuh waktu sendiri dulu untuk memberinya rasa nyaman dan tenang."Siapa kau berani mengatur apa yang harus aku lakukan pada keluargaku!"Mas Fandi yang memang sejak awal tak suka dengan satria merasa tersinggung dengan perkataan itu."Maaf mas, tapi Lala butuh tenang dulu sekarang. Lagi pula ini masih suasana berkabung, tak elok rasanya jika kita saling bertengkar di sini." Dengan nada pelan Satria mencoba lagi memberikan pengertian pada mas Fandi."Jangan sok mengatur apa yang harus aki lakukan, kamu hanya orang luar yang berada di dekat istriku sekarang."Satria akan bicara lagi, namun aku memegang lengannya."Bi