"Aku berharap kau akan bahagia untuk Waktu yang cukup lama, sampai kedatanganku kembali pada kehidupanmu lagi. Bersiaplah untuk melihat wajah baruku."
***"Saya terima nikah dan kawinnya Imelda Marcelino dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai lima puluh juta dibayar tunai!" dengan satu kali tarikan nafas, Bagas telah menyelesaikan rangkaian kalimat pengikat janji sucinya pada gadis impiannya."Bagaimana, saksi sah?""SAH!!!"Serempak para saksi pernikahan menjawab dengan begitu lantang. Suasana menjadi haru saat Imelda mencium telapak punggung milik Bagas. Semua orang tersenyum dan mengangguk Bahagia melihat hal tersebut.Saat acara akad pernikahan telah selesai, para tamu undangan dipersilahkan untuk mencicipi makanan dan minuman yang telah disediakan."Kau sangatlah cantik, sayang…" Bagas memuji kecantikan wanita yang saat ini sedang duduk di sampingnya."Tentu, aku memang cantik dan tidak ada yang menandingi kecantikanku ini. Apalagi mantan istri kucelmu itu." Imelda tersenyum sinis. Ia teringat akan penampilan istri pertama Bagas yang sangat menjijikkan."Kenapa kau tersenyum seperti itu?""Aku ingat penampilan istrimu itu, begitu menjijikkan! Kenapa kau dulu mau menikahinya?""Tentu saja karena kakek!"Imelda mendengus kesal mendengar jawaban Bagas. Tapi, Untung saja tua bangka itu sudah tidak ada, pria keriput itu telah berpulang dua Minggu yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya.Saat akan meninggalkan ruangan untuk mengganti pakaian, suasana ruangan Hotel menjadi sunyi.Imelda dan Bagas saling pandang, mencari jawaban atas hal terjadi. Sampai pada akhirnya Bagas dan Imelda melihat wajah itu lagi. ***Aku dan Adelard tak pernah sekalipun tersenyum saat melihat wajah-wajah orang yang aku kenal. Mereka adalah orang-orang bertopeng dan mampu membuat siapa saja menangis darah saat mereka tak menyukainya.Pandanganku hanya tertuju pada Bagas, sosok pria tampan dan berkharisma. Lebih tepatnya ia adalah mantan suamiku. Tatapannya mengisyaratkan bahwa ia belum siap untuk bertemu dengan diriku. Satu tahun lamanya, bukankah itu waktu yang cukup untuk pergi?"Apa kabar mas?" tanyaku saat tubuhku telah berdiri di hadapannya."Basyira, kaukah itu?"Senyumku semakin melebar saat melihat wanita sebelah Bagas melontarkan pertanyaan yang seharusnya dia mampu untuk menjawab tanpa harus bertanya."Kalian sudah resmi menjadi suami istri?" aku tak bisa menahan pertanyaan ini.Bagas terlihat sangat gelisah, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya."Jadi, kau ceraikan diriku untuk mewujudkan cerita cinta kalian yang belum usai?""Jaga Mulutmu!" Imelda nampak terpancing emosi. Saat tangannya hendak menampar pipiku, sebuah tangan kekar mencengkeram erat pergelangan tangannya. Alderad!"Jangan berani-berani menyentuh tangan istriku!" teriak Bagas tak kalah emosi.Aku hanya menggeleng menanggapi perdebatan ini. Sesekali kedua tanganku bertepuk tangan membuat seisi ruangan melihat ke arah perdebatan yang sedang berlangsung."Basyira, pergilah. Kau tidak diundang untuk datang ke acara ini." Seorang pria dengan postur tubuh sedikit pendek maju ke depan, beliau adalah mantan Ayah mertuaku."Basyira memang tidak diundang pak, tapi dia adalah pasanganku di pesta ini." Adelard membuka suara. Tangannya telah melepaskan pegangannya pada Imelda.Bagas kembali mendekati diriku. Terlihat raut wajah penuh amarah saat memandangi wajahku."Apa sebenarnya maumu?""Memberikan selamat atas pernikahan kalian. Apa itu juga termasuk sebuah rencana?"Bagas mencengkram kedua lenganku. Saat Alderad akan menarik tubuh Bagas agar menjauhi diriku, aku segera mengedipkan sebelah mataku. Memberitahukan dirinya bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja."Apa kau masih belum puas?" Bagas mendekat padaku dan membisikkan kalimat tersebut tepat di telinga kananku."Apa kau mau aku siksa lagi sampai kau teriak minta ampun untuk segera dilepaskan? Jujur, aku belum puas dan ingin sekali membunuhmu!" lanjutnya tanpa memperdulikan rasa sakit di kedua lenganku.Tanganku terulur dan mulai menyentuh pipi Bagas."Kau terlihat kurus, apa kau kurang sehat?"Bagas segera melepaskan cengkraman tangannya. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya tampak mengepal erat menahan emosi yang siap meledak.Aku hanya tersenyum menyaksikan hal itu."Bagas, lebih baik kau dan istrimu segera berganti pakaian. Kalian akan berganti pakaian adat, jangan hiraukan kedatangan Basyira." Kuncoro mencoba mengalihkan pembicaraan."Ayo, mas!" Imelda menarik tubuh Bagas menjauh dari diriku. Aku melambaikan tangan kepada Bagas agar pria itu semakin menggila dengan kedatanganku."Basyira, pulanglah. Suasana akan nyaman jika dirimu tidak ada di ruangan ini."Aku mengalihkan pandanganku pada Kuncoro, pria berbadan gempal itu nampak terlihat begitu tua, berbeda dengan saat aku masih menjadi menantunya."Bukankah sudah aku katakan, Basyira adalah pasanganku dalam pesta ini." Kembali Alderad membelaku dengan merangkul lenganku."Aku tidak tahu, bagaimana kalian bisa kenal satu sama lain. Tapi, untuk kali ini, tolong jangan membuat masalah. Kredibilitas perusahaan menjadi rusak jika kau menghancurkan acara ini."Begitulah pemikiran orang-orang berkelas, hanya ada nama baik yang ada dalam otak mereka. ***Bagas duduk di sofa kamarnya saat menunggu giliran dirinya untuk berganti pakaian dengan Imelda.Pikirannya saat ini masih dipenuhi dengan wajah baru Basyira. Wanita itu tampak berbeda sekali dengan dirinya yang dulu.Wanita itu kini telah menutup diri dengan memakai hijab. Wajahnya yang dulu terlihat pucat dan tanpa riasan sedikitpun, kini terlihat begitu cantik dengan perpaduan warna lipstik merah menyala. Seperti mengundang para pria agar menikmati bibirnya itu."Sialan! Kenapa wanita jelek bisa menjelma menjadi cantik seperti itu!" Monolog Bagas, kesal dengan ulah Alderad yang membawa Mantan istrinya itu datang ke acara pernikahannya.Bagas berulang kali mengusap wajah setelah membayangkan bagaimana rasanya jika dirinya bisa menikmati kembali bibir itu. ***"Aku hamil, mas….aku hamil." Ucapku begitu senang saat mendapati garis dua pada alat tes kehamilan."Kau hamil?""Iya, mas…aku hamil," sahutku sambil tersenyum dan ingin meraih tubuh Bagas."Gugurkan kandungan itu." Bagas terlihat begitu serius menatapku."Apa mas?""Kau tuli? Apa kita perlu ke dokter THT agar pendengaranmu kembali normal? Aku bilang Gugurkan kandungan itu."Kepalaku tertunduk dan berulang kali menggelengkan kepalaku. Dadaku terasa terbakar dan sesak mendengar ucapan suamiku itu."Kau tidak mau menggugurkannya?"Kepalaku mendongak menatap wajah Bagas. Pria yang dalam posisi duduk itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku."Ini anak kita, mas…" tangisku pecah saat menyadari tangan Bagas telah berhasil menarik rambutku dengan sangat keras."Aku tidak ingin memiliki anak dari rahim wanita jelek seperti dirimu!"Rasa panas dan nyeri kembali terasa saat Bagas kembali menjambak rambutku."Lepas mas!! Sakitttt!!! Ya Allah……""Sakit? Kalau tahu hasilnya akan sakit begini, kenapa tidak pakai pil pencegah kehamilan!" Bagas mendorong tubuhku hingga menabrak pinggiran meja rias. Punggungku terasa berdenyut -denyut merasakan sakit yang tak tertahankan."Basyira, dengarkan ucapanku sekali lagi. Malam itu, aku dalam keadaan tak sadarkan diri jadi aku pikir kau itu Imelda, kalau tahu itu adalah dirimu sampai kapanpun aku tak Sudi menyentuh tubuh jelekmu ini!"Aku mengulurkan tangan, berharap suamiku itu mau menolongku. Perbuatannya kali ini begitu menyayat hati, namun aku masih berusaha untuk meyakinkan diri ini bahwa orang yang sedang dalam keadaan marah itu akan tetap menolongku.Bug!Satu tendangan keras mengenai perutku. Sakit? Jangan tanyakan hal itu. Rasa sakitnya terasa begitu nikmat sampai-sampai aku tidak lagi merasakan rasa sakitnya. Pandanganku tiba-tiba saja menggelap! ***"Nona, kau sudah sadar?" aku dapat melihat dengan jelas wajah Bibi Murti, pelayan di rumah mertuaku ini. Wajahnya terlihat begitu cemas dengan keadaanku yang begitu menyedihkan.Aku segera meraba perutku yang masih datar. Ingin sekali rasanya bertanya pada Bi Murti, tapi aku takut jika harus melakukan hal itu. Di rumah ini,hanya ada Kakek Suamiku dan Bi Murti yang bersikap baik terhadapku, tetap saja aku harus berhati-hati dalam menjaga kehamilanku ini. Tapi, dengan tendangan keras dari suamiku, aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Apakah aku sudah
Keadaan rumah semakin sepi saja. Aku berusaha untuk turun dari tempat tidurku. Rasa sakit di bagian perutku sungguh terasa berdenyut nyerinya. Saat melihat ke atas meja, air putih yang disediakan oleh Bibi Murti telah habis. Terpaksa, aku harus turun ke lantai bawah untuk mengambil air minum di dapur.Walaupun sudah tinggal selama tiga bulan di rumah ini, tapi tetap saja aku tak suka dengan suasana rumah megah ini. Dengan berjalan tertatih-tatih, aku berusaha untuk meyakinkan diri ini bahwa diriku kuat menghadapi ini semua. Saat akan menuruni anak tangga, aku sempat melihat ada bayangan seseorang di ruang tamu. Karena lampu penerangan hanya di nyalakan di lantai atas bagian kamar dan lorong menuju dapur, jadi hal itu tidak terlihat begitu jelas. Kakiku terasa bergetar. Padahal aku belum menuruni tangga rumah. Karena merasa sangat gelisah dan tidak nyaman dengan suasananya, aku memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. saat akan membalikkan tubuhku, betapa terkejutnya aku ketika ada or
"Tapi tadi aku sempat melihat pria ini tidak ditabrak…"hampir semua pasang mata menatap wajah orang yang baru saja mengucapkan sederet kalimat tak masuk akal."Apa maksudmu?" tanya salah satu dari mereka."Pria ini dibuang dari mobil!"aku menutup mulutku terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar. ***Aku terus menyusuri jalanan kota Balikpapan, berharap agar diriku mampu berpikir kemana arah yang harus aku tempuh. Pulang ke kampung halaman bukanlah pilihan terbaik karena uang yang aku miliki tak cukup untuk membeli tiket pesawat ataupun kapal menuju ke Semarang.Terlebih suasana jalanan kota malam ini begitu terasa menyeramkan. Seharusnya aku minta bantuan pada salah seorang warga tadi, tapi naluriku berkata agar menjauh dari masalah yang nantinya akan berakibat panjang jika saja aku di berondong pertanyaan tentang asal-usul diriku. Dan bisa saja aku tidak dapat menahan untuk berkata soal pria yang telah meninggal itu."Hei kau, Masuk!" aku menoleh dan mendapati sebuah Mob
"Apa maksudmu, Tiara?"Gadis itu nampak menatap wajahku dengan sorot mata penuh tanda tanya."Nona tenang saja, itu bukanlah hal yang perlu dipikirkan.""Apa maksudmu, seseorang sudah kehilangan nyawanya! Dan aku…""Anda adalah saksi kuncinya. Jadi, saya harap anda dapat menahan diri agar tetap diam dan mengubur semua hal mengenai pria itu." ***Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur panjang. Saat melihat jam dinding kamar, jam telah menunjukkan pukul lima pagi. Aku bergegas untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk bisa menunaikan shalat subuh.Selesai menunaikan shalat subuh, akupun membereskan ranjang tempat tidurku. Sungguh, tidur di atas spring bed berukuran besar ini membuat tidurku begitu nyaman. Walaupun dulu, di rumah Mas Bagas ada kasur sebesar ini, tapi diriku tak diperbolehkan untuk menikmatinya. Aku harus bertahan tidur diatas lantai putih yang dingin itu. ***"Apakah yang kau katakan benar, Sayang?"Imelda tersenyum penuh arti.Bagas hanya meng
Aku hanya dapat duduk termenung melihat Tiara yang sedang memilah mana baju yang bagus untuk diriku. Gadis itu nampak begitu sibuk dengan tumpukan baju dan hijab yang menggunung di atas kasurku. Belum ada dua jam semenjak Ia menyuruh salah seorang pelayan di rumah ini untuk membelikan baju untukku, seseorang kembali datang dengan membawa banyak sepatu high heels yang pastinya akan aku gunakan."Nona, kira-kira anda lebih suka dominan warna yang seperti kalem atau yang mencolok untuk dilihat? Oh iya, cobalah untuk memakai sepatu high heelsnya. Saya harap anda menyukainya."Aku tidak ingin membuat suasana hati Tiara bersedih, jadi aku memutuskan untuk mencoba sepatu berwarna hitam. Saat akan mencoba memasukkan kakiku pada Sepatu, ingatanku kembali pada saat pertama kalinya diriku memasuki rumah mewah keluarga Kuncoro."Diam di situ!" teriak seorang wanita cantik dengan gaun pesta yang menampilkan belahan dadanya."Lepas sepatumu!" titahnya tanpa memperdulikan ekspresi wajahku yang kebin
"Bukan anda Nona, tapi Tuan Alderad." Jawab Tiara tetap dengan senyuman manisnya.Aku bernafas lega mendengar itu semua. Lagi pula, tak mungkin diriku diajak oleh Alderad untuk kembali ke tempat yang mengerikan itu."Oh iya, anda Suka yang mana Nona?" Tiara menyodorkan gamis berwarna putih dan Navy padaku. Kembali ingatan tentang masa lalu bergelayut di dalam kepalaku."Pakai ini!" Kembali wajahku terkena lemparan, namun kali ini bukan sandal jepit melainkan baju lusuh yang sudah terlihat sangat kotor."Tapi aku memiliki baju sendiri, Bu.""Bu? Aku bukan babumu!"PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Rasa sakitnya sudah tak perlu ditanyakan, tapi yang lebih pedih lagi saat semua pasang mata yang berada di ruangan ini hanya melihat tanpa mau membelaku."Jangan panggil aku Bu! Panggil aku Nyonya! Kalaupun kakek tua itu memperlakukan dirimu dengan baik, tapi tidak denganku! Aku ingin kau hancur, dan terus menerus tersiksa di rumah ini."Aku hanya bisa tertunduk diam mendengarka
Aku tak pernah sekalipun ingat jika ada seorang dokter yang memeriksa kondisi tubuhku terutama kandunganku. Apakah anak yang berada di rahimku ini masih dalam keadaan baik-baik saja atau tidak."Tenang saja, keadaannya baik-baik saja, Nona. Jadi tak perlu terlalu banyak berpikir." Tiara mencoba menenangkan diriku."Benarkah itu?"Tiara mengangguk mengiyakan sambil tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang tak dapat aku artikan."Kenapa menatapku seperti itu?'"Nona, jujur saja. Baru kali ini Tuan Alderad membawa seorang wanita ke dalam rumah ini. Dan, aku begitu bersemangat saat mengetahui andalah orangnya.""Aku hanyalah seorang wanita yang terbuang, dan tidak pantas memiliki sebuah impian lebih."Tiara mengelus lembut lenganku, Seperti memberikan kekuatannya padaku. ***Delapan bulan kemudian…Tidak ada yang berubah. Semenjak kedatanganku ke rumah Adelard, penghuni rumah ini begitu baik padaku. Terlebih setelah usia kehamilanku yang sudah sembilan bulan."Nona, ini sudah jam makan
Hampir dua jam lamanya Tiara menunggu dokter yang berada di ruang perawatan Basyira keluar. Sebenarnya perutnya sedikit terasa perih,karena pagi tadi ia belum sarapan. Ia merutuki kebodohannya karena begitu teledor dalam menjaga kesehatannya.Saat ingin beranjak dari tempat duduknya, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter perempuan keluar bersama dengan dua perawatnya."Bagaimana keadaannya, dokter?"Dokter itu tersenyum, dan berkata " Tidak ada yang perlu anda risaukan. Pasien begitu kuat dan saya sangat kagum dengan perjuangannya. Pasien boleh dijenguk setengah jam lagi, kalau begitu saya permisi dulu."Tiara mengelus dada, lega dengan semua hal baik yang terjadi pada diri Basyira. Karena sudah mendapatkan kabar baik dari perkembangan Basyira, Tiara memutuskan untuk ke kantin Rumah Sakit untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan.***Alderad memandangi wajah wanita yang saat ini sudah berada di dalam kamar rumahnya sambil menyusui bayi yang tiga hari lalu telah dilahirkan."An…