Share

Pembalasan Istri Pertama
Pembalasan Istri Pertama
Author: Tri Afifah

Bab 1 (Kembalinya Basyira)

"Aku berharap kau akan bahagia untuk Waktu yang cukup lama, sampai kedatanganku kembali pada kehidupanmu lagi. Bersiaplah untuk melihat wajah baruku."

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Imelda Marcelino dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai lima puluh juta dibayar tunai!" dengan satu kali tarikan nafas, Bagas telah menyelesaikan rangkaian kalimat pengikat janji sucinya pada gadis impiannya.

"Bagaimana, saksi sah?"

"SAH!!!"

Serempak para saksi pernikahan menjawab dengan begitu lantang. Suasana menjadi haru saat Imelda mencium telapak punggung milik Bagas. Semua orang tersenyum dan mengangguk Bahagia melihat hal tersebut.

Saat acara akad pernikahan telah selesai, para tamu undangan dipersilahkan untuk mencicipi makanan dan minuman yang telah disediakan.

"Kau sangatlah cantik, sayang…" Bagas memuji kecantikan wanita yang saat ini sedang duduk di sampingnya.

"Tentu, aku memang cantik dan tidak ada yang menandingi kecantikanku ini. Apalagi mantan istri kucelmu itu." Imelda tersenyum sinis. Ia teringat akan penampilan istri pertama Bagas yang sangat menjijikkan.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

"Aku ingat penampilan istrimu itu, begitu menjijikkan! Kenapa kau dulu mau menikahinya?"

"Tentu saja karena kakek!"

Imelda mendengus kesal mendengar jawaban Bagas. Tapi, Untung saja tua bangka itu sudah tidak ada, pria keriput itu telah berpulang dua Minggu yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya.

Saat akan meninggalkan ruangan untuk mengganti pakaian, suasana ruangan Hotel menjadi sunyi.

Imelda dan Bagas saling pandang, mencari jawaban atas hal terjadi. Sampai pada akhirnya Bagas dan Imelda melihat wajah itu lagi.

***

Aku dan Adelard tak pernah sekalipun tersenyum saat melihat wajah-wajah orang yang aku kenal. Mereka adalah orang-orang bertopeng dan mampu membuat siapa saja menangis darah saat mereka tak menyukainya.

Pandanganku hanya tertuju pada Bagas, sosok pria tampan dan berkharisma. Lebih tepatnya ia adalah mantan suamiku. Tatapannya mengisyaratkan bahwa ia belum siap untuk bertemu dengan diriku. Satu tahun lamanya, bukankah itu waktu yang cukup untuk pergi?

"Apa kabar mas?" tanyaku saat tubuhku telah berdiri di hadapannya.

"Basyira, kaukah itu?"

Senyumku semakin melebar saat melihat wanita sebelah Bagas melontarkan pertanyaan yang seharusnya dia mampu untuk menjawab tanpa harus bertanya.

"Kalian sudah resmi menjadi suami istri?" aku tak bisa menahan pertanyaan ini.

Bagas terlihat sangat gelisah, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Jadi, kau ceraikan diriku untuk mewujudkan cerita cinta kalian yang belum usai?"

"Jaga Mulutmu!" Imelda nampak terpancing emosi. Saat tangannya hendak menampar pipiku, sebuah tangan kekar mencengkeram erat pergelangan tangannya. Alderad!

"Jangan berani-berani menyentuh tangan istriku!" teriak Bagas tak kalah emosi.

Aku hanya menggeleng menanggapi perdebatan ini. Sesekali kedua tanganku bertepuk tangan membuat seisi ruangan melihat ke arah perdebatan yang sedang berlangsung.

"Basyira, pergilah. Kau tidak diundang untuk datang ke acara ini." Seorang pria dengan postur tubuh sedikit pendek maju ke depan, beliau adalah mantan Ayah mertuaku.

"Basyira memang tidak diundang pak, tapi dia adalah pasanganku di pesta ini." Adelard membuka suara. Tangannya telah melepaskan pegangannya pada Imelda.

Bagas kembali mendekati diriku. Terlihat raut wajah penuh amarah saat memandangi wajahku.

"Apa sebenarnya maumu?"

"Memberikan selamat atas pernikahan kalian. Apa itu juga termasuk sebuah rencana?"

Bagas mencengkram kedua lenganku. Saat Alderad akan menarik tubuh Bagas agar menjauhi diriku, aku segera mengedipkan sebelah mataku. Memberitahukan dirinya bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja.

"Apa kau masih belum puas?" Bagas mendekat padaku dan membisikkan kalimat tersebut tepat di telinga kananku.

"Apa kau mau aku siksa lagi sampai kau teriak minta ampun untuk segera dilepaskan? Jujur, aku belum puas dan ingin sekali membunuhmu!" lanjutnya tanpa memperdulikan rasa sakit di kedua lenganku.

Tanganku terulur dan mulai menyentuh pipi Bagas.

"Kau terlihat kurus, apa kau kurang sehat?"

Bagas segera melepaskan cengkraman tangannya. Rahangnya mengeras dan kedua tangannya tampak mengepal erat menahan emosi yang siap meledak.

Aku hanya tersenyum menyaksikan hal itu.

"Bagas, lebih baik kau dan istrimu segera berganti pakaian. Kalian akan berganti pakaian adat, jangan hiraukan kedatangan Basyira." Kuncoro mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ayo, mas!" Imelda menarik tubuh Bagas menjauh dari diriku. Aku melambaikan tangan kepada Bagas agar pria itu semakin menggila dengan kedatanganku.

"Basyira, pulanglah. Suasana akan nyaman jika dirimu tidak ada di ruangan ini."

Aku mengalihkan pandanganku pada Kuncoro, pria berbadan gempal itu nampak terlihat begitu tua, berbeda dengan saat aku masih menjadi menantunya.

"Bukankah sudah aku katakan, Basyira adalah pasanganku dalam pesta ini." Kembali Alderad membelaku dengan merangkul lenganku.

"Aku tidak tahu, bagaimana kalian bisa kenal satu sama lain. Tapi, untuk kali ini, tolong jangan membuat masalah. Kredibilitas perusahaan menjadi rusak jika kau menghancurkan acara ini."

Begitulah pemikiran orang-orang berkelas, hanya ada nama baik yang ada dalam otak mereka.

***

Bagas duduk di sofa kamarnya saat menunggu giliran dirinya untuk berganti pakaian dengan Imelda.

Pikirannya saat ini masih dipenuhi dengan wajah baru Basyira. Wanita itu tampak berbeda sekali dengan dirinya yang dulu.

Wanita itu kini telah menutup diri dengan memakai hijab. Wajahnya yang dulu terlihat pucat dan tanpa riasan sedikitpun, kini terlihat begitu cantik dengan perpaduan warna lipstik merah menyala. Seperti mengundang para pria agar menikmati bibirnya itu.

"Sialan! Kenapa wanita jelek bisa menjelma menjadi cantik seperti itu!" Monolog Bagas, kesal dengan ulah Alderad yang membawa Mantan istrinya itu datang ke acara pernikahannya.

Bagas berulang kali mengusap wajah setelah membayangkan bagaimana rasanya jika dirinya bisa menikmati kembali bibir itu.

***

"Aku hamil, mas….aku hamil." Ucapku begitu senang saat mendapati garis dua pada alat tes kehamilan.

"Kau hamil?"

"Iya, mas…aku hamil," sahutku sambil tersenyum dan ingin meraih tubuh Bagas.

"Gugurkan kandungan itu." Bagas terlihat begitu serius menatapku.

"Apa mas?"

"Kau tuli? Apa kita perlu ke dokter THT agar pendengaranmu kembali normal? Aku bilang Gugurkan kandungan itu."

Kepalaku tertunduk dan berulang kali menggelengkan kepalaku. Dadaku terasa terbakar dan sesak mendengar ucapan suamiku itu.

"Kau tidak mau menggugurkannya?"

Kepalaku mendongak menatap wajah Bagas. Pria yang dalam posisi duduk itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku.

"Ini anak kita, mas…" tangisku pecah saat menyadari tangan Bagas telah berhasil menarik rambutku dengan sangat keras.

"Aku tidak ingin memiliki anak dari rahim wanita jelek seperti dirimu!"

Rasa panas dan nyeri kembali terasa saat Bagas kembali menjambak rambutku.

"Lepas mas!! Sakitttt!!! Ya Allah……"

"Sakit? Kalau tahu hasilnya akan sakit begini, kenapa tidak pakai pil pencegah kehamilan!" Bagas mendorong tubuhku hingga menabrak pinggiran meja rias. Punggungku terasa berdenyut -denyut merasakan sakit yang tak tertahankan.

"Basyira, dengarkan ucapanku sekali lagi. Malam itu, aku dalam keadaan tak sadarkan diri jadi aku pikir kau itu Imelda, kalau tahu itu adalah dirimu sampai kapanpun aku tak Sudi menyentuh tubuh jelekmu ini!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status