Share

Bab 2 ( Pedihnya Masa Laluku)

Aku mengulurkan tangan, berharap suamiku itu mau menolongku. Perbuatannya kali ini begitu menyayat hati, namun aku masih berusaha untuk meyakinkan diri ini bahwa orang yang sedang dalam keadaan marah itu akan tetap menolongku.

Bug!

Satu tendangan keras mengenai perutku. Sakit? Jangan tanyakan hal itu. Rasa sakitnya terasa begitu nikmat sampai-sampai aku tidak lagi merasakan rasa sakitnya. Pandanganku tiba-tiba saja menggelap!

***

"Nona, kau sudah sadar?"

aku dapat melihat dengan jelas wajah Bibi Murti, pelayan di rumah mertuaku ini. Wajahnya terlihat begitu cemas dengan keadaanku yang begitu menyedihkan.

Aku segera meraba perutku yang masih datar. Ingin sekali rasanya bertanya pada Bi Murti, tapi aku takut jika harus melakukan hal itu. Di rumah ini,hanya ada Kakek Suamiku dan Bi Murti yang bersikap baik terhadapku, tetap saja aku harus berhati-hati dalam menjaga kehamilanku ini. Tapi, dengan tendangan keras dari suamiku, aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Apakah aku sudah keguguran atau…

"Tenang Nona, bayimu dalam keadaan baik-baik saja."

Aku tidak mempercayai bahwa Bi Murti mengatakan hal itu.

"Be, benarkah Bi?"

"Jangan sampai ada yang tahu, Non, kalau tidak…."

Brakkk!!

Pintu kamar terbuka lebar dan terlihatlah Mas Bagas kembali ke kamar. Raut wajahnya masih sama, memancarkan aura negatif.

"Bagaimana keadaannya Bi? Apa anak itu sudah mati?"

aku berusaha untuk mencerna kata-kata Mas Bagas.

"Tenang saja Tuan, obat penggugur kandungan itu sudah saya masukkan ke dalam minuman Nona Yira dan sudah diminum saat sadar. Mungkin satu atau dua jaman lagi reaksinya akan terlihat."

Kepalaku menggeleng cepat berusaha untuk meyakinkan diri sendiri bahwa yang dikatakan oleh Bibi Murti adalah suatu kebohongan semata.

"Hai sayang…" Sesosok tubuh gadis yang sangat cantik dan memiliki tubuh seksi bergelayut manja pada lengan kokoh Mas Bagas.

"Oh, ini istri yang dijodohin sama kamu? Benar-benar ya, jelek banget! Aku yakin, untuk cium pipinya saja pasti kamu jijik…"

Gadis itu segera meraup bibir tebal Mas Bagas, menciumnya di hadapanku dan juga Bibi Murti. Aku hanya dapat memalingkan wajahku agar tak melihat adegan tak senonoh keduanya.

"Ayo kita lanjutkan di kamar saja sayang …" ucap Mas Bagas tanpa memperdulikan perasaanku yang sudah hancur berantakan.

"Baiklah sayang, Seperti biasa aku siap melayani dirimu. Aku yakin, kau tidak mungkin bernafsu untuk menyentuh istri jelekmu itu!" sahut gadis berambut pirang itu.

Belum reda rasa sakitku atas perlakuan semena-mena dan kekerasan yang ia lakukan padaku, kini hatiku kembali merasakan perih tak terkira.

Setelah Kepergian kedua manusia itu, Bi Murti menggenggam erat tanganku.

"Kalau kau menginginkan anak yang kau kandung itu hidup, pergilah dari rumah ini."

Air mataku menetes Mendengar ucapan Bibi Murti. seketika kembali kepalaku bergerak ke kiri dan kanan, saat terlintas didalam benakku wajah kakek. Pria itu begitu baik terhadapku, bagaimana bisa aku mengkhianati janji pernikahan yang akan aku jalani bersama dengan Mas Bagas sampai akhir hayat kami.

"Aku kasihan padamu, Nona. Cobalah mengerti maksud ucapanku."

"Bagaimana caranya?"

***

Bagas masih menikmati ciumannya bersama dengan kekasihnya, Imelda. Gadis berkulit putih bersih ini begitu memanjakan dirinya sebagai seorang pria.

"Sayang…" Imelda melepaskan bibirnya dari Bagas.

"Aku belum puas, sayang…" rengek Bagas sambil memeluk tubuh gadis yang hanya memakai pakaian dalam saja.

"Kau tidak boleh menyentuhku lebih jauh lagi sebelum menikahi diriku dan menceraikan istri jelekmu itu!" sahut Imelda sambil mendorong tubuh Bagas agar menjauh. Ia segera memakai baju dan celana jeans-nya.

Bagas mengacak rambutnya, frustasi saat itu juga. Jika ia mengikuti perkataan Imelda, dirinya tidak akan mendapat satu persenpun harta warisan milik keluarganya.

"Sayang, aku tidak bisa langsung membuang wanita itu. Tapi tenang saja, aku sudah memikirkan semuanya. Sebentar lagi pasti kita akan menikah. Percayalah padaku,"

Imelda tersenyum mendengar ucapan Bagas. Gadis itu segera duduk di pangkuan Bagas.

"Apa rencanamu sayang?"

"Wanita jelek itu sedang mengandung anakku."

"Apa?!" Imelda hendak turun dari pangkuan Bagas, namun dengan cepat pria berwajah tampan itu menahan tubuh kekasihnya itu.

"Dengarkan penjelasanku. Aku dalam keadaan mabuk dan tidak sadar, aku pikir dia adalah dirimu. Jadi, aku tidak menikmati tubuhnya. Sekedar membuang laharku saja dan aku tidak tahu jika hal itu malah membuatnya mengandung anakku."

Imelda tersenyum sinis Mendengar penjelasan Bagas.

"Dasar Buaya! Lalu, apa yang akan kau lakukan padanya?"

"Mengerjainya dan kau akan senang melihatnya."

"Jangan buat aku penasaran, sayang. Apa sebenarnya rencanamu itu?"

Bagas tak lantas menjawab pertanyaan Imelda, pria itu kembali mengecup lembut pipi dan leher Imelda secara perlahan-lahan.

"Bagas, kau benar-benar ya. Cepat katakan sayang…"

"Membuat dirinya hancur berantakan dan tidak akan pernah berpikir untuk kembali ke rumah ini lagi."

Imelda dapat melihat sosok Bagas dengan sikap yang begitu menakutkan. Jujur, Ia sedikit takut dengan rencana Bagas kali ini. Untuk itu, ia memutuskan untuk tidak menanyakan kembali rencana Bagas. Ia hanya bisa pasrah menikmati bibir Bagas yang bermain di sekitaran wajahnya.

***

"Aku dengar kau sedang sakit. Tapi sepertinya sudah sembuh!" Kedua mertuaku nampak menatap wajahku. Tidak ada ekpresi wajah kasihan pada diriku yang sedang dalam keadaan lemah ini.

"Satu jam lagi kami akan pergi ke Singapore. Kau jaga Rumah Basyira, jangan sampai ada maling uang mengambil barang di rumah ini!" lanjut ibu mertuaku.

"Satpam dan semua pelayan rumah juga ikut kami. Hanya kau yang ada di rumah ini. Jadi, jangan pernah berulah dan membuat kekacauan. Satu lagi, sampai kau memberi kabar pada tua bangka itu, aku pastikan hidupmu akan hancur berkeping-keping. Paham?!"

aku melirik sekilas ke arah ayah mertuaku yang sedang sibuk dengan layar ponselnya. Pria itu nampak tak perduli dengan keadaanku dan tak ambil pusing saat istrinya memarahi diriku. Ayah Kuncoro hanya baik saat ada kakek.

"Paham, Basyira?!" bentaknya dengan tatapan mata penuh kekesalan.

Aku mengangguk mengiyakan saja. aku hanya dapat melihat dengan diam saat kedua mertuaku itu pergi meninggalkan kamarku.

Kembali aku menangis tersedu-sedu, aku benar-benar sendirian tanpa ada orang yang benar-benar peduli terhadap keadaanku.

Bahkan Bibi Murti Sepertinya hanya membuat diriku mengkhayal atas bantuan yang akan dirinya berikan padaku.

Ingin sekali menghubungi nomor kakek, tapi aku tak memiliki nyali untuk melakukan hal itu. Terlalu berisiko, bahkan nyawaku bisa saja terancam jika aku membeberkan semua kelakuan Keluarga ini.

"Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Tolonglah aku…" monologku sambil melihat ke atas, menatap plafon rumah. Seharusnya aku mendengarkan ucapan Sita sahabatku, jangan terlalu percaya pada orang baru. Terlihat manis diluar namun busuk di dalamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status