Happy Reading ♥️
"Apa Nadia masih tidur?" aku menatap wajah Tiara yang sedang terlihat menatap box bayi tempat tidur Nadia.Tiara tersenyum menanggapi pertanyaanku. Gadis itu nampak menatap diriku dengan tatapan yang tak mampu aku artikan."Kenapa menatapku, seperti itu?" tanyaku sambil mendudukkan tubuhku di pinggiran kasur. Jujur saja, aku sedikit lelah dengan semua hal yang aku lakukan, padahal Alderad hanya menyuruhku untuk memilih baju. "Nadia baru saja tidur setelah meminum satu botol ASI yang anda siapkan." Jawab Tiara.Aku mengangguk dan tersenyum penuh rasa syukur atas apa yang dilakukan gadis ini. Sebenarnya, sudah dari dulu aku penasaran. Siapa sosok Tiara sebenarnya. Gadis ini, tidak seperti para pekerja di rumah ini yang memakai baju khusus pelayan. Ia bebas memakai baju yang ia sukai, dan memiliki kamar tersendiri, berbeda dengan para pekerja yang memiliki kamar di paviliun belakang rumah Alderad.Tiara telah menempati posisi kamarnya di dalam rumah utama ini, jauh sebelum Basyira memasu
"Aku berharap kau akan bahagia untuk Waktu yang cukup lama, sampai kedatanganku kembali pada kehidupanmu lagi. Bersiaplah untuk melihat wajah baruku." ***"Saya terima nikah dan kawinnya Imelda Marcelino dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai lima puluh juta dibayar tunai!" dengan satu kali tarikan nafas, Bagas telah menyelesaikan rangkaian kalimat pengikat janji sucinya pada gadis impiannya."Bagaimana, saksi sah?""SAH!!!"Serempak para saksi pernikahan menjawab dengan begitu lantang. Suasana menjadi haru saat Imelda mencium telapak punggung milik Bagas. Semua orang tersenyum dan mengangguk Bahagia melihat hal tersebut. Saat acara akad pernikahan telah selesai, para tamu undangan dipersilahkan untuk mencicipi makanan dan minuman yang telah disediakan."Kau sangatlah cantik, sayang…" Bagas memuji kecantikan wanita yang saat ini sedang duduk di sampingnya. "Tentu, aku memang cantik dan tidak ada yang menandingi kecantikanku ini. Apalagi mantan istri kuce
Aku mengulurkan tangan, berharap suamiku itu mau menolongku. Perbuatannya kali ini begitu menyayat hati, namun aku masih berusaha untuk meyakinkan diri ini bahwa orang yang sedang dalam keadaan marah itu akan tetap menolongku.Bug!Satu tendangan keras mengenai perutku. Sakit? Jangan tanyakan hal itu. Rasa sakitnya terasa begitu nikmat sampai-sampai aku tidak lagi merasakan rasa sakitnya. Pandanganku tiba-tiba saja menggelap! ***"Nona, kau sudah sadar?" aku dapat melihat dengan jelas wajah Bibi Murti, pelayan di rumah mertuaku ini. Wajahnya terlihat begitu cemas dengan keadaanku yang begitu menyedihkan.Aku segera meraba perutku yang masih datar. Ingin sekali rasanya bertanya pada Bi Murti, tapi aku takut jika harus melakukan hal itu. Di rumah ini,hanya ada Kakek Suamiku dan Bi Murti yang bersikap baik terhadapku, tetap saja aku harus berhati-hati dalam menjaga kehamilanku ini. Tapi, dengan tendangan keras dari suamiku, aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Apakah aku sudah
Keadaan rumah semakin sepi saja. Aku berusaha untuk turun dari tempat tidurku. Rasa sakit di bagian perutku sungguh terasa berdenyut nyerinya. Saat melihat ke atas meja, air putih yang disediakan oleh Bibi Murti telah habis. Terpaksa, aku harus turun ke lantai bawah untuk mengambil air minum di dapur.Walaupun sudah tinggal selama tiga bulan di rumah ini, tapi tetap saja aku tak suka dengan suasana rumah megah ini. Dengan berjalan tertatih-tatih, aku berusaha untuk meyakinkan diri ini bahwa diriku kuat menghadapi ini semua. Saat akan menuruni anak tangga, aku sempat melihat ada bayangan seseorang di ruang tamu. Karena lampu penerangan hanya di nyalakan di lantai atas bagian kamar dan lorong menuju dapur, jadi hal itu tidak terlihat begitu jelas. Kakiku terasa bergetar. Padahal aku belum menuruni tangga rumah. Karena merasa sangat gelisah dan tidak nyaman dengan suasananya, aku memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. saat akan membalikkan tubuhku, betapa terkejutnya aku ketika ada or
"Tapi tadi aku sempat melihat pria ini tidak ditabrak…"hampir semua pasang mata menatap wajah orang yang baru saja mengucapkan sederet kalimat tak masuk akal."Apa maksudmu?" tanya salah satu dari mereka."Pria ini dibuang dari mobil!"aku menutup mulutku terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar. ***Aku terus menyusuri jalanan kota Balikpapan, berharap agar diriku mampu berpikir kemana arah yang harus aku tempuh. Pulang ke kampung halaman bukanlah pilihan terbaik karena uang yang aku miliki tak cukup untuk membeli tiket pesawat ataupun kapal menuju ke Semarang.Terlebih suasana jalanan kota malam ini begitu terasa menyeramkan. Seharusnya aku minta bantuan pada salah seorang warga tadi, tapi naluriku berkata agar menjauh dari masalah yang nantinya akan berakibat panjang jika saja aku di berondong pertanyaan tentang asal-usul diriku. Dan bisa saja aku tidak dapat menahan untuk berkata soal pria yang telah meninggal itu."Hei kau, Masuk!" aku menoleh dan mendapati sebuah Mob
"Apa maksudmu, Tiara?"Gadis itu nampak menatap wajahku dengan sorot mata penuh tanda tanya."Nona tenang saja, itu bukanlah hal yang perlu dipikirkan.""Apa maksudmu, seseorang sudah kehilangan nyawanya! Dan aku…""Anda adalah saksi kuncinya. Jadi, saya harap anda dapat menahan diri agar tetap diam dan mengubur semua hal mengenai pria itu." ***Keesokan harinya, aku terbangun dari tidur panjang. Saat melihat jam dinding kamar, jam telah menunjukkan pukul lima pagi. Aku bergegas untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk bisa menunaikan shalat subuh.Selesai menunaikan shalat subuh, akupun membereskan ranjang tempat tidurku. Sungguh, tidur di atas spring bed berukuran besar ini membuat tidurku begitu nyaman. Walaupun dulu, di rumah Mas Bagas ada kasur sebesar ini, tapi diriku tak diperbolehkan untuk menikmatinya. Aku harus bertahan tidur diatas lantai putih yang dingin itu. ***"Apakah yang kau katakan benar, Sayang?"Imelda tersenyum penuh arti.Bagas hanya meng
Aku hanya dapat duduk termenung melihat Tiara yang sedang memilah mana baju yang bagus untuk diriku. Gadis itu nampak begitu sibuk dengan tumpukan baju dan hijab yang menggunung di atas kasurku. Belum ada dua jam semenjak Ia menyuruh salah seorang pelayan di rumah ini untuk membelikan baju untukku, seseorang kembali datang dengan membawa banyak sepatu high heels yang pastinya akan aku gunakan."Nona, kira-kira anda lebih suka dominan warna yang seperti kalem atau yang mencolok untuk dilihat? Oh iya, cobalah untuk memakai sepatu high heelsnya. Saya harap anda menyukainya."Aku tidak ingin membuat suasana hati Tiara bersedih, jadi aku memutuskan untuk mencoba sepatu berwarna hitam. Saat akan mencoba memasukkan kakiku pada Sepatu, ingatanku kembali pada saat pertama kalinya diriku memasuki rumah mewah keluarga Kuncoro."Diam di situ!" teriak seorang wanita cantik dengan gaun pesta yang menampilkan belahan dadanya."Lepas sepatumu!" titahnya tanpa memperdulikan ekspresi wajahku yang kebin
"Bukan anda Nona, tapi Tuan Alderad." Jawab Tiara tetap dengan senyuman manisnya.Aku bernafas lega mendengar itu semua. Lagi pula, tak mungkin diriku diajak oleh Alderad untuk kembali ke tempat yang mengerikan itu."Oh iya, anda Suka yang mana Nona?" Tiara menyodorkan gamis berwarna putih dan Navy padaku. Kembali ingatan tentang masa lalu bergelayut di dalam kepalaku."Pakai ini!" Kembali wajahku terkena lemparan, namun kali ini bukan sandal jepit melainkan baju lusuh yang sudah terlihat sangat kotor."Tapi aku memiliki baju sendiri, Bu.""Bu? Aku bukan babumu!"PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Rasa sakitnya sudah tak perlu ditanyakan, tapi yang lebih pedih lagi saat semua pasang mata yang berada di ruangan ini hanya melihat tanpa mau membelaku."Jangan panggil aku Bu! Panggil aku Nyonya! Kalaupun kakek tua itu memperlakukan dirimu dengan baik, tapi tidak denganku! Aku ingin kau hancur, dan terus menerus tersiksa di rumah ini."Aku hanya bisa tertunduk diam mendengarka