Share

Bab 3 ( Pria Misterius )

Keadaan rumah semakin sepi saja. Aku berusaha untuk turun dari tempat tidurku. Rasa sakit di bagian perutku sungguh terasa berdenyut nyerinya. Saat melihat ke atas meja, air putih yang disediakan oleh Bibi Murti telah habis. Terpaksa, aku harus turun ke lantai bawah untuk mengambil air minum di dapur.

Walaupun sudah tinggal selama tiga bulan di rumah ini, tapi tetap saja aku tak suka dengan suasana rumah megah ini. Dengan berjalan tertatih-tatih, aku berusaha untuk meyakinkan diri ini bahwa diriku kuat menghadapi ini semua. Saat akan menuruni anak tangga, aku sempat melihat ada bayangan seseorang di ruang tamu. Karena lampu penerangan hanya di nyalakan di lantai atas bagian kamar dan lorong menuju dapur, jadi hal itu tidak terlihat begitu jelas.

Kakiku terasa bergetar. Padahal aku belum menuruni tangga rumah. Karena merasa sangat gelisah dan tidak nyaman dengan suasananya, aku memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. saat akan membalikkan tubuhku, betapa terkejutnya aku ketika ada orang yang berpakaian serba hitam dan memakai penutup wajah telah berdiri di belakangku.

Belum sempat aku berteriak meminta tolong, tangan orang itu segera membekap mulutku dan menarik tubuhku agar mengikuti langkahnya.

"Hmmpphhhhh…" aku berusaha sekuat tenaga untuk dapat lepas dari cengkraman tangannya. Namun hal itu percuma saja. Karena pada dasarnya, tubuhku sudah disakiti oleh Mas Bagas dan hal itu berpengaruh terhadap tenagaku.

Tubuhku terus ditarik masuk ke dalam kamarku sendiri. dengan tanpa perasaan, tubuhku di dorong sampai terjatuh di atas lantai putih yang dingin.

"Siapa kau?! Tolonglah, jangan sakiti aku…" aku memohon agar dikasihani. tubuhku yang sudah benar-benar lemas rasanya tak mampu lagi untuk berdiri.

Orang yang memakai penutup wajah itu sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapanku. Ia semakin mendekati diriku dan mulai menyentuh pipiku.

Aku hanya bisa menangis dan pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh orang yang dihadapanku ini.

"Kita akan bersenang-senang." terdengar suara serak yang keluar dari manusia berpakaian serba hitam ini. Dari segi suara, aku dapat memastikan bahwa orang ini adalah seorang pria.

Aku hanya dapat melihat kedua mata dan bibir tebalnya itu.

"Bersiaplah!"

"Kyyyaaaaaaaaaaaa!!!!" aku begitu terkejut saat tangan pria itu merobek pakaian yang aku kenakan dengan pisau lipat yang ia keluarkan dari sakunya.

"Aku tahu kau dalam keadaan hamil. Bayangan jika pisau ini menembus perutmu, bukan hanya kau yang pergi dari dunia ini. Tapi, janin yang kau kandungpun akan tiada."

tubuhku merespon dengan cepat. Aku bisa merasakan hawa panas dan dingin menyelimuti seluruh tubuhku.

"Kau tidak terlalu jelek, jika saja kau bisa merawat tubuhmu dengan baik, pasti pria itu akan tergila-gila padamu." Lanjutnya sambil terus mencabik-cabik baju yang aku kenakan.

Saat ia menyentuh bagian dadaku, aku dapat mendengar deru nafasnya tidak beraturan.

"Pasti ia belum pernah menyentuhnya. Ini terlihat masih begitu padat." Komentarnya saat menikmati keindahan tubuhku.

Selesai bermain pada tubuh bagian atasku, Pria itu mendudukkan tubuhku di pinggiran kasur.

"Buka celanamu!" perintahnya.

Aku menggeleng cepat berusaha menyembunyikan raut wajah takutku walaupun air mata sudah menjadi jawabannya.

***

Belum selesai pelecehan yang aku dapatkan, kembali aku merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang wanita yang diperlakukan seperti budak. Jika dua jam yang lalu kedua mertuaku berpamitan akan pergi ke Singapore, sepertinya itu semua hanyalah akal-akalan mereka saja. Semua orang yang tinggal di rumah ini kembali ke rumah dan langsung melihat keadaanku yang setengah telanjang bersama dengan seorang pria asing.

"Memalukan! Dasar wanita rendahan dan tak tahu diri!" teriak Ibu mertuaku sambil berkacak pinggang.

"Fajar!!" teriak Kuncoro.

Aku melihat ke arah Mas Bagas. Pria itu terlihat begitu santai dan tidak peduli dengan hal yang terjadi pada diriku.

"Seret Pria itu dan Yira keluar dari rumah ini!"

Ingin rasanya membela diri sendiri, namun sepertinya itu semua hanyalah harapan palsu saja. Bibi Murti datang dan membantu diriku untuk memakai baju daster miliknya dan juga sebuah hijab. Kedua matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang dalam keadaan sedih. Tapi aku menepis anggapan itu. Bagiku, semua orang di rumah ini sama saja.

Di hadapan semua orang, aku menggunakan daster besar milik Bi Murti serta hijab yang di berikan oleh beliau.

"Cepat Fajar!" Kuncoro kembali berteriak meminta agar Fajar segera menarik tubuhku dan juga pria yang saat ini sudah tak memakai penutup wajah.

Saat melewati tubuh Bagas, aku menghentikan langkahku dan berbalik menatap wajahnya.

"Kau akan membayar semua ini." Ucapku sambil tersenyum. Tidak ada lagi air mata yang jatuh. Seperti ada kekuatan lain yang merasuki tubuh dan pikiranku.

"Jangan mimpi!" sahut Mas Bagas. Bibirnya melengkung menampilkan senyum tipis meremehkan lawan bicaranya.

"Aku akan datang. Kalian semua akan membayar semua rasa ini."

"Dasar menantu Kere! Kalau bukan karena tua bangka itu, sudah aku singkirkan dirimu! Tapi lihatlah, keberuntungan memihak kami. Tua bangka itu sekarat di rumah sakit!"

Aku refleks memandang wajah Bibi Murti. Wanita itu terlihat menahan air matanya. Jadi, ini yang menyebabkan Bibi Murti tidak langsung menolongku?

"Kalian apakan Kakek?"

Plak!!

Mas Bagas kembali bermain kasar. Aku ingin sekali membalasnya sesegera mungkin. Tapi, aku tahu hal itu mustahil karena diriku saat ini dalam keadaan kalah dan tak mungkin bisa melakukan apa-apa.

"Mulut kotormu itu tidak pantas menyebut kakekku! Dasar wanita murahan, jangan-jangan bayi dalam kandunganmu itu adalah anak orang lain. Ya, walaupun itu murni anakku, aku tak Sudi menerimanya! Walaupun obat itu tidak berhasil menyingkirkan janin yang kau kandung, tapi setidaknya kau akan pergi dari hidupku. Kita akan bercerai karena kau berselingkuh dengan pria lain. Dengar Basyira, kau tertangkap sedang tidur dengan pria lain. Dan aku punya buktinya."

"Ayo Nona, lebih baik anda pergi saja." Ucap Fajar.

"Aku harap kau bahagia. Tunggulah aku dengan wajah baruku. Selamat tinggal dan hiduplah dengan baik sampai aku datang dan merusak Semua yang kau miliki."

***

Setelah di lempar begitu saja di jalanan, aku dapat melihat pria yang bersamaku di jemput seseorang yang memakai mobil keluaran terbaru.

"Maaf Basyira, aku harap kau bisa bertahan hidup di luar sana. Bawalah ini, kau pasti membutuhkannya!"

belum sempat aku menjawab, Pria itu sudah masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa memandangi kartu nama yang diberikannya dan lima lembar uang bergambar Soekarno Hatta.

Saat akan kembali melangkahkan kakiku, terdengar suara teriakan meminta tolong dari arah depan.

Entah apa yang terjadi, namun karena rasa penasaranku yang begitu besar, aku memutuskan untuk berjalan dengan sedikit tertatih menuju ke tempat dimana suara orang-orang berkumpul.

Saat tiba di belokan jalanan yang memang lumayan curam, terlihat banyak orang berkumpul melihat sesuatu.

"Ada apa ini?" tanyaku pada salah seseorang yang ikut melihat.

"Korban tabrak lari, Mba! Orang-orang yang bawa mobil nggak berani bawa, soalnya katanya sudah nggak bernafas! Takut di salahin, ini kita nunggu Ambulance datang."

"Astagfirullah…" ucapku seraya mencoba memasuki kumpulan orang yang mengerubungi tempat itu.

Saat sudah berada di garis depan, tubuhku mendadak kehilangan tenaga. Pria berlumuran darah di bagian perutnya itu adalah pria yang baru beberapa waktu lalu melecehkan diriku.

"Mbak, mbak kenal?" tanya salah seorang warga.

"Tidak, saya kalau lihat darah suka lemas." sahutku berbohong.

"Kalau takut lihat darah, kenapa lihat sih mbak!" Protes yang lainnya.

kembali aku memandangi sosok pria yang telah terbujur kaku dengan luka di perut itu. Jika memang korban kecelakaan, kenapa hanya perutnya yang berdarah dan kemana perginya Mobil yang tadi membawanya?

'sebenarnya, Siapa kau?' batinku menahan rasa penasaran yang begitu besar. jawabannya hanya satu. ya, hanya dengan cara itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status