Share

Bab 7 ( Kekejaman Keluarga Suamiku )

"Bukan anda Nona, tapi Tuan Alderad." Jawab Tiara tetap dengan senyuman manisnya.

Aku bernafas lega mendengar itu semua. Lagi pula, tak mungkin diriku diajak oleh Alderad untuk kembali ke tempat yang mengerikan itu.

"Oh iya, anda Suka yang mana Nona?" Tiara menyodorkan gamis berwarna putih dan Navy padaku. Kembali ingatan tentang masa lalu bergelayut di dalam kepalaku.

"Pakai ini!"

Kembali wajahku terkena lemparan, namun kali ini bukan sandal jepit melainkan baju lusuh yang sudah terlihat sangat kotor.

"Tapi aku memiliki baju sendiri, Bu."

"Bu? Aku bukan babumu!"

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Rasa sakitnya sudah tak perlu ditanyakan, tapi yang lebih pedih lagi saat semua pasang mata yang berada di ruangan ini hanya melihat tanpa mau membelaku.

"Jangan panggil aku Bu! Panggil aku Nyonya! Kalaupun kakek tua itu memperlakukan dirimu dengan baik, tapi tidak denganku! Aku ingin kau hancur, dan terus menerus tersiksa di rumah ini."

Aku hanya bisa tertunduk diam mendengarkan Omelan ibu mertuaku.

"Ganti pakaianmu sekarang juga!"

Aku segera mengambil baju yang tergeletak di lantai, tepatnya dihadapanku.

Lalu berniat untuk meninggalkan ruang tamu.

"Mau kemana?"

"Ganti pakaian, Bu…"

"Buka bajumu disini!"

Kedua mataku membulat sempurna mendengar ucapan Ibu mertuaku.

"Tapi…"

"Bagas, cepat!"

Aku ganti menatap wajah suamiku yang masih terlihat datar itu. Saat sudah dekat dengan tubuhku, Mas Bagas segera mengunci kedua tanganku ke belakang. Lalu ibu mertuaku mengambil gunting dalam laci bufet.

"Jangan! Aku mohon, jangan lakukan ini…" tangisku pecah saat menyadari Ibu mertuaku itu akan menggunting pakaianku de hadapan mereka semua.

"Lepaskan aku, Mas!" aku berusaha berontak, namun tenagaku kalah dengan Mas Bagas. Dengan tanpa ada rasa kasihan pada diriku telah menangis memohon agar dilepaskan, Wanita dengan lipstik merah itu tetap saja menggunting baju yang aku kenakan, dari bawah sampai atas. Dan tanpa bisa di cegah, baju yang aku kenakan tergeletak begitu saja di atas lantai. Yang tertinggal hanya pakaian dalam dan jilbab yang aku kenakan.

"Astagfirullah…" tangisku pecah seketika itu juga. Aku pikir mereka akan mengasihani diriku, nyatanya tidak. Mas Bagas justru menarik paksa jilbab yang aku kenakan. Aku dapat melihat raut wajah ayah mertuaku yang terlihat begitu menikmati momen diriku yang ditelanjangi. bahkan Saat Ibu mertuaku berbalik akan mengambil baju yang akan dikenakannya padaku, tangan Mas Bagas dengan santai meremas kedua dadaku. Hal itu membuatku terduduk lemas di lantai sambil berusaha menutupi bagian tubuh telanjangku.

"Heh, Yira! Nggak ada yang mau ngerasain tubuh kurusmu itu! Coba lihat, pahanya aja ada korengnya!"

"Nih, pakai bajumu!" Ibu mertuaku mengambil baju lusuh itu dan kembali melemparkan pada wajahku.

"Pakai atau aku seret ke dapur, biar semua pelayan tahu tubuh jelekmu ini!" ancamannya membuat diriku ketakutan setengah mati. Segera aku memakai baju pemberian beliau. Baru saja baju yang diberikan mertuaku menempel pada tubuhku, aku dapat merasakan sesuatu yang panas dan gatal menggerogoti setiap inci kulitku.

Terdengar suara tawa yang membuatku terkejut.

"Rasakan, baju yang kau pakai itu aku taburi dengan bubuk gatal yang akan membuat kulitmu kepanasan dan memerah. Selamat menikmati fasilitas yang aku berikan, Mantu jelek!"

Saat kedua mertuaku meninggalkan kamar, Mas Bagas segera mengunci pintu dan berbalik menatap wajahku dengan sorot mata yang tak dapat aku artikan. Namun, detik berikutnya pria itu justru menciumi bibirku dengan ganasnya. Saat kami mulai kehabisan oksigen, Mas Bagas mengakhiri ciumannya.

"Seandainya saja tidak ada bubuk gatal itu, sudah aku pastikan kau mendesah keenakan di bawah tubuhku."

"Kenapa kalian jahat padaku, Mas? Salahku apa?"

"Salahmu datang tanpa diundang. Wow, ternyata bibirmu enak juga. Tapi sayang, sudah saatnya aku pergi untuk bersenang-senang dengan kekasihku. Nikmati saja hari-harimu di rumah ini."

Mas Bagas menjambak rambutku dan dengan cepat kembali meraup bibirku, serta memasukkan lidahnya menggelitik isi mulutku. Jujur, aku juga menikmatinya. Karena aku belum pernah melakukannya dengan pria lain.

Mas Bagas masih menikmati ciumannya. Sepertinya ia mulai tertarik padaku.

"Ah, kau nikmat. Tapi sayang, lebih nikmat bibir kekasihku." ucapnya disela-sela ciuman kami.

Aku berusaha untuk mendorong tubuhnya menjauh dariku, namun kekuatan yang aku miliki tak sebanding dengan kekuatan Mas Bagas.

"Nikmati saja, karena aku yakin selain diriku, pria lain tak akan pernah Sudi untuk menyentuh tubuh jelekmu ini."

Tok! Tok! Tok!

Mas Bagas segera melepaskan ciumannya dengan tergesa-gesa.

"Bagas, cepat keluar!" suara ibu mertuaku terdengar begitu keras.

"Iya, ad apa?"

"Cepatlah, diluar sudah ada Imelda yang menunggu dirimu!"

Mas Bagas menatapku sejenak, lalu kembali ia menciumi bibirku. Seperti enggan untuk melepaskan Ciumannya dengan diriku.

"Baiklah," akhirnya Mas Bagas pergi meninggalkan diriku.

Rasa gatal masih menyerang dan aku memutuskan untuk mandi agar rasa gatalnya menghilang.

"Nona kembali melamun…" Tiara kembali menyentuh lenganku.

"Eh, maaf Tiara. Sepertinya aku kurang enak badan. Apakah boleh aku memeriksakan kesehatan dan keadaan janin yang saat ini aku kandung?"

"Apa Nona sudah lupa, kalau Nona sudah diperiksa semenjak pertama kali datang ke rumah ini."

"Be, benarkah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status