Share

Bab 6 ( Kenangan Pahit Sandal Jepit)

Aku hanya dapat duduk termenung melihat Tiara yang sedang memilah mana baju yang bagus untuk diriku. Gadis itu nampak begitu sibuk dengan tumpukan baju dan hijab yang menggunung di atas kasurku. Belum ada dua jam semenjak Ia menyuruh salah seorang pelayan di rumah ini untuk membelikan baju untukku, seseorang kembali datang dengan membawa banyak sepatu high heels yang pastinya akan aku gunakan.

"Nona, kira-kira anda lebih suka dominan warna yang seperti kalem atau yang mencolok untuk dilihat? Oh iya, cobalah untuk memakai sepatu high heelsnya. Saya harap anda menyukainya."

Aku tidak ingin membuat suasana hati Tiara bersedih, jadi aku memutuskan untuk mencoba sepatu berwarna hitam. Saat akan mencoba memasukkan kakiku pada Sepatu, ingatanku kembali pada saat pertama kalinya diriku memasuki rumah mewah keluarga Kuncoro.

"Diam di situ!" teriak seorang wanita cantik dengan gaun pesta yang menampilkan belahan dadanya.

"Lepas sepatumu!" titahnya tanpa memperdulikan ekspresi wajahku yang kebingungan.

"Kau tidak pantas memakai Sepatu cantik itu. Yang pantas kau pakai adalah ini!"

aku tidak percaya dengan hal yang baru saja aku rasakan. Sepasang sandal jepit dilemparkan tepat mengenai wajahku.

Aku melirik sekilas ke arah Mas Bagas, pria yang baru beberapa jam lalu telah menyandang status sebagai Suamiku.

"Cepat Pakai!" dengan perasaan takut bercampur malu, aku memakai sandal jepit yang telah dilemparkan ke arahku.

"Nah, itu lebih cocok buatmu. Dasar wanita kampungan! Bagas, jangan sampai kau menyentuh wanita buruk rupa ini. Aku tidak ingin memiliki Cucu yang terlahir dari rahimnya." Sederet kalimat itu membuat dadaku terasa berdenyut nyeri, perih dan sangat sesak.

"Lagi pula, tua bangka itu ada saja ulahnya. Kenapa harus menikahkan anak semata wayang kita dengan wanita jelek seperti dirinya!" sarkas Wanita yang tak lain adalah ibu mertuaku.

Aku hanya dapat menahan air mata yang hampir saja tumpah.

"Sudahlah, biarkan mereka istirahat saja." Ayah mertuaku menengahi. Bukan membela, hanya saja sepertinya Ia merasa begitu terganggu dengan sikap istrinya yang telah mengganggu konsentrasinya saat bermain dengan ponsel di tangannya.

"Iya Ma, biarkan aku tidur. Resepsi tadi begitu melelahkan. Aku ingin cepat tidur, beristirahat sejenak dari mimpi burukku yang harus menikahi wanita jelek seperti dirinya." Jawab Mas Bagas tanpa memikirkan bagaimana perasaanku.

"Tapi kau tidak boleh tidur sekamar dengan wanita ini, Bagas!"

"Mama tenang saja, walaupun Ia telanjang di depanku, aku tidak memiliki niat sedikitpun untuk menyentuhnya!"

aku hanya mampu meremas gaun pengantin yang aku kenakan. Menelan semua penghinaan yang mereka lakukan secara bersamaan.

"Non Yira, kenapa melamun?"

aku terkejut saat menyadari tangan Tiara menyentuh lenganku. Seketika itu juga lamunanku buyar dan diriku tersadar telah kembali mengingat kejadian saat pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah Suamiku itu.

"Ah, tidak…hanya memikirkan kata-katamu soal Tuan Alderad yang tidak mempercayai adanya Tuhan."

Tiara tersenyum dan mulai memakaikan sepatu di kakiku.

"Panjang ceritanya, Nona. Tapi, saya berharap agar suatu saat nanti Tuan Alderad dapat kembali seperti sedia kala. Nah.. selesai!"

Aku melihat sepatu yang menempel pada kedua kakiku. Terlihat begitu manis saat dipandang mata.

"Sangat cocok untuk anda, Nona."

"Terimakasih Tiara, kau sangat baik padaku."

Gadis itu menggeleng cepat sambil terus memamerkan deretan gigi putihnya.

"Besok kita akan datang ke rumah keluarga Kuncoro, Nona."

"Apa maksudmu?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status